Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dijalankan setelah selesai melalui jenjang pendidikan dasar SMA, MTs, dan sederajatnya. Hal ini dicantumkan dalam UUSPN RI Nomor 20 tahun 2003 : Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan menengah kejuruan yang berbentuk sekolah menengah atas SMA, madrasah aliyah MA, sekolah menengah kejuruan SMK, dan madrasah aliyah kejuruan MAK, atau bentuk lain yang sederajat. Dalam dunia pendidikan, terdapat istilah kurikulum yang menjadi rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelanggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu BSNP, 2006. Menurut BSNP 2006 kurikulum tersebut disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerahnya. Pengembangan kurikulum tersebut sering dinamakan dengan sebutan kurikulum tingkat satuan pendidikan KTSP. Pada KTSP jenjang pendidikan menengah, diharapkan dapat meningkatkan kecerdasaan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan siswa untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Siswa sekolah menengah menurut Monks 2006: 262 termasuk dalam masa remaja awal yang mempunyai usia berkisar 15 sampai dengan 18 tahun. Salah satu karateristik masa remaja awal menurut Slazman adalah perubahan dari sikap tergantung ke arah kemandirian Pikunas, 1976 dalam Yusuf, 2011: 184. Adapun salah satu tugas perkembangan masa remaja awal menurut Hurlock 1991: 209-10 adalah mencapai kemandirian ekonomi dan sosial. Berdasarkan beberapa pendapat dan tujuan kurikulum pendidikan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa siswa Sekolah Menengah Atas SMA diharapkan dapat mencapai kemandirian, baik dalam sosial ekonomi dan pembelajaran. Siswa yang mandiri akan cenderung memilih dan bertanggung jawab atas dirinya. Kemandirian ini juga diharapkan muncul pada saat proses belajar, dimana siswa seharusnya dapat mengatur jam belajar sendiri, memilih kegiatan-kegiatan mana yang dapat menunjang prestasi akademiknya, menyusun strategi-strategi dalam belajar dan perilaku-perilaku lainnya yang menandakan bahwa siswa bertanggung jawab atas dirinya agar dapat berprestasi. Kecenderungan siswa yang mandiri dalam belajar berbanding lurus dengan kemampuan siswa untuk mengatur dirinya. Siswa yang mengatur dirinya akan mengontrol diri agar mendapatkan prestasi dalam belajar. Kemampuan mengatur diri siswa dalam proses belajar ini sering disebut dengan kemampuan Self Regulated Learning SRL. SRL sendiri dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan kemandirian belajar atau regulasi diri dalam pembelajaran. Salah satu komponen dalam self regulation, yaitu meregulasi usaha yang mempunyai hubungan dengan prestasi dan mengacu pada niat siswa untuk mendapatkan sumber, energi, dan waktu untuk dapat menyelesaikan tugas akademis yang penting Wolters dkk., 2003: 24. Shunck 1996, dalam Shunck dkk, 2008: 157 juga berpendapat bahwa siswa yang mengeksplorasi bagaimana tujuan dan evaluasi diri akan mempengaruhi hasil prestasinya. Oleh karena itu, tujuan dan evaluasi merupakan bagian dari siklus self regulation. Kemampuan SRL sendiri dibutuhkan siswa agar mampu mengatur dan mengarahkan dirinya sendiri, mampu menyesuaikan dan mengendalikan diri dalam menghadapi tugas-tugas pembelajaran. SRL merupakan kemampuan individu pemantauan diri, pengaturan, dan pengendalian yang diarahkan oleh tujuan belajar dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, dengan adanya self regulated learning siswa diharapkan lebih bisa menunjukkan perilaku- perilaku atau usaha yang dapat menunjang keberhasilannya dalam proses belajar. Siswa yang memiliki self regulated learning tinggi akan lebih memilih kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang cita-citanya. Bukti konkrit siswa harus memilih hal yang dapat menunjang cita-citanya adalah pada saat siswa menduduki bangku SMA. Siswa dituntut untuk mulai memilih jurusan seperti Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial atau Bahasa. Pada masa perkembangan siswa SMA ini, terdapat penguatan dalam mengambil keputusan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Mappiare 1982 bahwa memang pada masa remaja, minat dan cita-cita berkembang, dan hal itu bersifat pemilihan dan berarah-tujuan. Pemilihan jurusan seharusnya ditentukan sesuai dengan keinginan yang dicapai, bagaimana nanti menjalankannya, dan bagaimana mempertanggungjawabkan apa yang telah dipilih. Berdasarkan segi kognitif, perkembangan strategi kognitif yang mencakup rehearsal, elaboration, dan organizational pada siswa SMA sudah mencapai pada tahap yang lebih kompleks dari sebelumnya. Pada siswa SMA menurut McDevitt Ormord 2002, dalam Desmita, 2011: 143, strategi elaboration siswa menggunakan pengetahuan lama guna memperluas atau memperdalam pengetahuan baru sehingga dapat lebih efektif dalam mempelajarinya, digunakan oleh siswa yang memiliki prestasi akademik tinggi. Strategi kognitif elaboration lebih komplek dibandingkan kedua strategi yang lain. Menurut Carol David R 1995, dalam Desmita, 2011: 94 pada masa remaja, terjadi reorganisasi lingkaran saraf frontal lobe belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral. Frontal lobe ini berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemampuan merumuskan perencanaan strategi atau kemampuan mengambil keputusan. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa seharusnya SRL berkembang pada siswa SMA untuk menunjang prestasi belajarnya Hal positif lain dari self regulated learning berada pada penentuan tujuan, perencanaan, dan memonitor diri yang menjadi aspek penting bagi prestasi anak dan remaja Anderman Wolters, 2006; Schunk, Pintrich, Meece, 2008; Wigfield lainnya, 2006, dalam Santrock, 2009: 498. Oleh karena itu, pentingnya siswa memiliki kemampuan self regulated learning untuk menunjang keberhasilan proses belajarnya. Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa masih rendahnya self regulated learning siswa dalam proses belajar mengajar. Terdapat fenomena yang terjadi di SMP Negeri 2 Rajapolah tahun ajaran 20082009 sampai tahun ajaran 20102011 dalam penelitian Pujiati 2010 menunjukkan bahwa kemandirian belajar yang belum “ajeg” mencakup perilaku 1 terlambat ke sekolah, 2 tidak menyelesaikan tugas-tugas sekolah dengan alasan tertinggal di rumah, 3 mencontek pada saat ulangan, 4 kurang memanfaatkan fasilitas perpustakaan sebagai sumber belajar, 5 serta pernyataan beberapa siswa yang mengatakan bahwa belajar di sekolah tidak akan mempengaruhi hasil prestasi yang dicapainya, karena anggapan negatif dari luar tentang dirinya. Penelitian Yoenanto 2010: 92 pada siswa akselerasi di SMP di Jawa Timur menunjukkan data tingkat SRL siswa SMP N 2 Jember memiliki skor rerata = 51,66. Siswa akselerasi SMP N 1 Bondowoso rerata = 51,56 dan siswa SMP N 1 Surabaya dengan rerata 50,85 serta yang paling rendah tingkat SRLnya yaitu siswa SMP N 1 Tuban dengan rerata sebesar 48,36. Apabila rerata siswa SMP akselerasi ini ditotal terdapat tingkat SRL sebesar 50,13. Dengan demikian, hanya sebagian dari total siswa yang memiliki SRL tinggi dari berbagai SMP akselerasi. Penelitian yang dilakukan oleh Widiyastuti 2012 diperoleh data tingkat self regulated learning siswa kelas XI SMA Negeri 1 Nagreg tahun pelajaran 20112012 sebanyak 2,73 berada pada tingkat SRL tinggi, 15,45 tingkat SRL sedang, 46,36 tingkat SRL rendah dan 35,45 tingkat SRL sangat rendah. Siswa dengan SRL yang rendah seperti tidak tuntasnya nilai KKM siswa, rendahnya keinginan untuk mengerjakan tugas dengan usaha optimal dan tepat waktu, rendahnya usaha dan kemauan siswa dalam meminta perbaikan remedial kepada guru mata pelajaran yang nilainya belum tuntas, siswa tidak memiliki jadwal belajar rutin setiap hari, dan siswa belajar saat akan ujian dengan metode klasik ‘belajar kebut semalam’ SKS. Indikasi lain yang menunjukkan self regulated learning rendah adalah melakukan kecurangan akademik seperti mencontek. Hal ini dikarenakan siswa yang memiliki self regulated learning tinggi akan mempersiapkan diri dengan berbagai usaha dan strategi dalam belajar, maka kecenderungan melakukan kecurangan akademik akan rendah. Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Ashifa 2011 di SMPN 10 Bandung menyatakan bahwa terdapat hubungan antara self regulated learning dengan perilaku mencontek. Berdasarkan beberapa indikator siswa yang memiliki SRL rendah dari penelitian sebelumnya, peneliti melakukan wawancara pada bulan Februari 2013 terhadap beberapa siswa dan dua guru mata pelajaran. Hasil dari wawancara tersebut menyatakan bahwa beberapa siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang masih memiliki nilai yang belum tuntas, mencontek pada saat ulangan dan pekerjaan rumah teman, kurang memanfaatkan fasilitas perpustakaan, terlambat mengumpulkan tugas, siswa suka berbicara atau melakukan kegiatan lain pada waktu diterangkan oleh guru, lebih suka membicarakan hal-hal yang tidak masuk dalam pelajaran. Berdasarkan fenomena di atas kita dapat melihat bahwa masih kurangnya self regulated learning dalam proses pembelajaran. Seharusnya proses pembelajaran dilakukan karena kemauan, pilihan dan tanggung jawab sendiri, bukan untuk sekadar masuk ke sekolah favorit, sarana memperoleh gelar, status sosial yang lebih tinggi atau sekedar menyenangkan orang tua. Self regulated learning SRL selalu mengarah pada beberapa tujuan, yang terangkum dalam beberapa tahap yang mencakup 1 memiliki dan menentukan tujuan belajar, 2 membuat perencanaan dan 3 memilih strategi pencapaian tujuan. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa goal orientation menjadi penunjangnya Markus dan Wurf, dalam Deasyanti dan Anna 2007: 14. Menurut Schunk, Pintrich dan Meece 2008: 142 siswa dengan tujuan dan efikasi diri dalam mencapai keinginannya cenderung akan terlibat dalam kegiatan yang dia percaya dapat menunjang keinginannya tersebut dengan memperhatikan proses, berlatih mengingat informasi, berusaha dan bertahan. Self regulated learning yang dihasilkan mengacu pada pikiran, perasaan dan tingkah laku yang ditujukan untuk pencapaian target dengan melakukan perencanaan terarah Zimmerman, dalam Schimtz dan Wiese 2006: 66. Kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa goal orientation yang jelas akan meningkatkan kemampuan self regulated learning pula, karena self regulated learning menuntut siswa memiliki perencanaan terarah. Perencanaan terarah siswa dalam pembelajaran dapat muncul karena adanya goal orientation siswa, dimana goal orientation akan menjadi pendorong siswa untuk berusaha. Hal ini dapat diperkuat Schunk, Pintrich dan Meece 2008: 174 bahwa ketika individu tidak memiliki komitmen untuk mencapai tujuan maka dia tidak akan bekerja maksimal dan tidak memiliki keinginan untuk berprestasi. Selanjutnya Woolfolk 2009: 198 mengemukakan bahwa goal memotivasi individu untuk berperilaku tertentu self regulated learning sebagai usaha mengurangi diskrepansi kondisi antara “where the are” di mana mereka berada kini dan “where they want to be” ke mana mereka ingin berada. Menurut Ormord 2004: 327 komponen yang membentuk self regulated learning adalah goal setting, planning, self motivation, attention control, application of learning strategies, self monitoring, self evaluation, self reflection. Beberapa penelitian mendapati bahwa goal orientation berperan aktif dalam membentuk motivasi berprestasi Anderman dan Wolters, 2006; Pintrich, 2000a, 2000c, 2000d, dalam Pintrich, Schunk dan Meece, 2008 : 183. Kedua pernyataan ini juga menguatkan bahwa goal orientation dapat meningkatkan self regulated learning. Goal orientation ini dapat memicu timbulnya motivasi dan memperjelas tujuan siswa sehingga dapat membantu dalam pembentukan self regulated learning. Berdasarkan faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi regulasi diri menurut Bandura dalam Alwisol, 2010: 285-7. Faktor internal bersumber pada tiga bentuk yaitu observasi diri, proses penilaian atau mengadili tingkah laku, dan reaksi diri afektif, untuk melakukan tiga bentuk ini harus ada tujuan yang menjadi standar siswa tersebut. Adapun faktor eksternal bersumber pada dua hal yaitu interaksi dengan lingkungan dan bentuk penguatan reinforcement. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa goal orientation termasuk dalam faktor internal. Locke dan Latham dalam Woolfolk, 2009: 198-200 mengemukakan empat alasan mengapa goal dapat memperbaiki performance atau usaha yang dilakukan yaitu goals mengarahkan perhatian individu terhadap tugas yang dihadapi, goals menggerakkan usaha, goals mengurangi rasa putus asa sebelum mencapai tujuan, dan goals meningkatkan perkembangan strategi baru. Goal orientation dikembangkan secara khusus untuk menjelaskan cara belajar anak dan performance dalam menjalankan tugas-tugas akademiknya. Di dalam goal orientation terdapat dua karakteristik yang membedakan cara belajar dan performance anak, antara lain: mastery goal dan performance goal. Mastery goal adalah orientasi siswa untuk menguasai materi pelajaran, sedangkan performance goal adalah orientasi siswa untuk mendapatkan hasil yang baik . Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Susetyo 2007 tentang orientasi tujuan, atribusi penyebab, dan belajar berdasar regulasi diri siswa Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta, dengan hasil penelitian F = 36,814 dan p = 0,000 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan belajar berdasar regulasi diri ditinjau dari orientasi tujuan. Perbedaan goal orientation yang siswa miliki dapat menimbulkan usaha yang berbeda pula. Siswa dengan mastery goal berhenti belajar bila merasa menguasai materi pelajaran dengan baik, sedangkan siswa dengan performance goal berhenti belajar bila merasa nilainya sudah baik. Dalam penelitian Mattern 2005: 30 yang menunjukkan bahwa siswa dengan mastery goal memiliki level prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan siswa dengan performance goal. Siswa yang cenderung mastery goal akan mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki tingkat self-efficacy yang lebih tinggi kepercayaan pada kemampuan diri untuk berhasil dalam situasi tertentu daripada siswa-siswa yang cenderung performance goal. Beberapa penelitian yang terdapat pada buku “Motivation in education: theory, research, and applications” yang ditulis oleh Schunk, Pintrich dan Meece 2008: 192-6 menyatakan bahwa approach performance goals dapat memunculkan perilaku-perilaku yang positif menunjang prestasi. Segi afektif approach performance goals memiliki hubungan positif dengan minat, motivasi instrinsik, dan nilai-nilai tugas. Segi kognitif dapat mengarahkan pada penggunaan strategi yang lebih mendalam dan pengaturan kognitif diri. Terakhir dari segi perilaku approach performance goals ini menyebabkan kinerja lebih baik karena siswa dengan orientasi tujuan ini ingin memiliki nilai akademis yang lebih tinggi dari siswa lain. Perbedaan goal orientation pada setiap siswa dapat menimbulkan self regulated learning yang berbeda pula. Hal ini sejalan dengan pendapat Ames dan Archer 1998, dalam Schunk, 2012: 278 bahwa goal orientation menentukan bagaimana siswa belajar dan usaha yang dilakukannya untuk mencapai hasil yang diharapkannya. Usaha-usaha yang dilakukan siswa untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam proses pembelajaran ini salah satunya adalah menunjukkan kemampuan self regulated learning. Penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini adalah hubungan antara efikasi diri dengan kemandirian belajar SRL siswa pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya Tahun Ajaran 20102011 Pujiati 2010. Dalam penelitian ini menyatakan bahwa efikasi diri dengan kemandirian belajar SRL siswa memiliki derajat hubungan yang sedang 0,559, dengan koefisien korelasi yang bernilai positif, artinya efikasi diri memiliki pengaruh signifikan terhadap kemandirian belajar siswa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka penting untuk mengungkap bagaimana hubungan antara goal orientation dengan self regulated learning siswa di sekolah sebagai upaya membantu mengatasi permasalahan yang sedang terjadi. Self regulated learning lebih ditentukan oleh faktor internal siswa. Penelitian yang dilakukan Pratiwi 2009 menyatakan bahwa hubungan antara kecemasan akademis dengan self regulated learning hanya mempunyai sumbangan sebesar 8,6 walaupun kecemasan akademis juga termasuk faktor internal dari self regulated learning. Hal ini menunjukkan bahwa 91,4 keeratannya masih lebih besar ditentukan oleh faktor atau variabel lain, maka peneliti tertarik untuk mencari perbedaan goal orientation sebagai faktor internal siswa yang menentukan self regulated learning. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan self regulated learning ditinjau dari goal orientation pada siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang.

1.2 Rumusan Masalah