Pembahasan Analisis Inferensial Perbedaan Self Regulated Learning

4.17 diketahui siswa dengan mastery goal berada pada kriteria tinggi dengan prosentase 53,12, sedangkan siswa dengan performance goal berada pada kriteria sedang dengan prosentase 79,69. Data tersebut dapat diartikan bahwa usaha untuk mencari bantuan dari orang lain yang dianggap dapat membantu lebih banyak digunakan oleh siswa dengan mastery goal dibandingkan siswa dengan performance goal.

4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Perbedaan Self Regulated Learning

ditinjau dari Goal Orientation Siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang Berdasarkan hasil uji perbedaan t-test, diketahui bahwa hipotesis kerja berbunyi “Ada perbedaan self regulated learning antara siswa dengan mastery goal dan siswa dengan performance goal” diterima. Hasil perbandingan self regulated learning antara siswa dengan mastery goal dan siswa dengan performance goal, menunjukkan bahwa siswa dengan mastery goal memiliki tingkat self regulated learning lebih tinggi dibandingkan siswa dengan performance goal. Self regulated learning SRL selalu mengarah pada beberapa tujuan, yang terangkum dalam beberapa tahap yang mencakup 1 memiliki dan menentukan tujuan belajar, 2 membuat perencanaan dan 3 memilih strategi pencapaian tujuan Markus dan Wurf, dalam Deasyanti dan Anna 2007: 14. Tujuan untuk menunjang adanya tingkat self regulated learning yang tinggi adalah goal orientation. Adanya goal orientation siswa akan mempengaruhi tingkat self regulated learning. Hal ini disebabkan siswa yang memiliki tujuan dalam belajarnya akan membuat siswa mengarahkan dirinya pada aktivitas-aktivitas yang mendukung pencapaian tujuan tersebut. Didukung dengan pendapat Schunk, Pintrich dan Meece 2008: 142 siswa dengan tujuan dan efikasi diri dalam mencapai keinginannya cenderung akan terlibat dalam kegiatan yang dia percaya dapat menunjang keinginannya tersebut dengan memperhatikan proses, berlatih mengingat informasi, berusaha dan bertahan. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa goal orientation menjadi penunjang self regulated learning. Penelitian yang mendukung dengan pendapat tersebut adalah penelitan Susetyo 2007 tentang orientasi tujuan, atribusi penyebab, dan belajar berdasar regulasi diri siswa Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta, dengan hasil penelitian F = 36,814 dan p = 0,000 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan belajar berdasar regulasi diri ditinjau dari orientasi tujuan. Goal orientation siswa dalam belajar dapat dibedakan dalam dua karakteristik, yaitu siswa dengan mastery goal dan siswa dengan performance goal. Siswa dengan mastery goal akan lebih memiliki tingkat self regulated learning yang tinggi daripada siswa dengan performance goal. Hal ini disebabkan karena siswa dengan mastery goal cenderung lebih termotivasi secara instrinsik, di mana siswa dengan mastery goal akan mementingkan bagaimana cara atau usahanya agar dapat memahami dan menguasai materi pelajaran. Berbeda dengan siswa yang performance goal yang cenderung lebih termotivasi secara ekstrinsik, di mana siswa cenderung berfokus pada cara mendapatkan nilai baik dan pengakuan secara sosial tentang dirinya yang berkompeten . Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Bell dan Kozlowski 2002 serta hasil penelitian Vande Walle et al. 1999 yang menyatakan bahwa learning goal orientation berhubungan positif dan signifikan dengan self-efficacy, knowledge, dan performance seseorang, sedangkan performance goal orientation berhubungan negatif dengan individual performance. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Mayasari 2011 yang berjudul “Pengaruh Orientasi Tujuan dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa SMA Peserta Bimbingan Belajar LBB Primagama” menyatakan bahwa ada perbedaan prestasi belajar antara siswa task-involved orientation dengan siswa ego-involved orientation. Prestasi siswa task-involved orientation lebih tinggi dibandingkan dengan siswa ego-involved orientation. Siswa learning goal orientation ditandai dengan kecenderungan menyukai tantangan dan menetapkan tujuan yang tinggi serta tidak takut dengan kegagalan, kemudian siswa task-involved orientation ditandai dengan kecenderungan suka mempelajari hal ingin diketahui dan mempelajari sesuatu yang memunculkan suatu ide. Hal ini sejalan dengan karakteristik siswa dengan mastery goal yang ditandai dengan kecenderungan ingin menguasai tugas sesuai dengan standar yang ditetapkan sendiri, mengembangkan keterampilan baru, menyukai tugas yang menantang dan beranggapan bahwa kegagalan adalah tanda diperlukan usaha yang lebih keras. Selanjutnya siswa ego-involved orientation ditandai dengan kecenderungan bangga ketika menjadi pandai dari orang lain dan mengutamakan hasil yang tinggi. Karakteristik tersebut juga sejalan dengan karakteristik siswa performance goal yang mengutamakan hasil dari pada proses dan berusaha menjadi lebih baik dari orang lain. Hasil tersebut juga sejalan dengan teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini bahwa siswa-siswa yang memiliki mastery goal akan cenderung mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki tingkat self-efficacy yang lebih tinggi kepercayaan pada kemampuan diri untuk berhasil dalam situasi tertentu daripada siswa-siswa yang memiliki performance goal. Hal ini dikarenakan siswa yang memiliki mastery goal lebih memiliki motivasi instrinsik, di mana siswa mementingkan bagaimana caranya agar dapat memahami dan menguasai materi pelajaran yang akan membuat tingkat self regulated learning siswa tinggi. Berbeda dengan siswa yang memiliki performance goal. Siswa performance goal lebih memiliki motivasi ekstrinsik, di mana siswa mementingkan cara mendapatkan nilai baik dan pengakuan secara sosial tentang dirinya yang berkompeten yang akan membuat kurangnya tingkat self regulated learning siswa. Menurut Pintrich, Shunck, dan Meece 2008: 185 ciri siswa dengan mastery goal yang kuat adalah belajar dengan sungguh-sungguh, kesalahan adalah bagian dari belajar, sedangkan ciri siswa dengan performance goal yang kuat memiliki karakteristik berusaha untuk mendapatkan peringkat tinggi dan tidak suka membuat kesalahan. Siswa dengan mastery goal orientation akan cenderung lebih menyukai tantangan baru dan terus berusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya. Hal ini sesuai dengan Dweck dalam Arias, 2004: 42 bahwa mastery goal memungkinkan siswa mencari peluang untuk meningkatkan kompetensi dan menguasai tantangan baru. Lain halnya siswa dengan performance goal orientation akan lebih fokus pada citra diri, nilai tinggi dan selalu menjadi yang pertama sesuai dengan pendapat Santrock 2008: 523 bahwa performance orientation lebih memperhatikan hasil daripada proses. Bagi siswa yang berorientasi pada kinerja atau prestasi, kemenangan atau keberhasilan itu penting dan kebahagiaan dianggap sebagai hasil dari kemenangan atau keberhasilan. Penyebab lain siswa dengan mastery goal lebih mendapatkan prestasi akademik yang baik dibandingkan siswa dengan performance goal, karena siswa dengan mastery goal akan terus berlatih dan berusaha untuk mengembangkan kompetensinya, sedangkan siswa dengan performance goal memandang berlatih dan berusaha adalah tanda orang memiliki kompetensi yang rendah. Perbedaan pandangan pada siswa yang memiliki mastery goal dengan siswa yang memiliki performance goal membuat usaha-usaha yang ditampilkan berbeda pula. Pandangan siswa yang memiliki mastery goal ini akan membuatnya sukses dalam bidang akademiknya, karena dia akan terus berusaha dan berlatih untuk memahami atau menguasai materi pelajaran. Berbanding terbalik dengan pandangan siswa yang memiliki performance goal ini akan menjadi hambatan dalam belajar, karena siswa hanya senang mengerjakan soal-soal yang menurutnya mudah.

4.6 Keterbatasan Penelitian