SELF REGULATED LEARNING DITINJAU DARI GOAL ORIENTATION (Studi Komparasi Pada Siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang)

(1)

i

SELF REGULATED LEARNING DITINJAU DARI GOAL

ORIENTATION

(Studi Komparasi Pada Siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan

Kabupaten Magelang)

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

oleh Anggi Puspitasari

1511409010

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini dengan judul

Self Regulated Learning ditinjau dari Goal Orientation (Studi Komparasi Siswa

SMA N 1 Mertoyudan Kab. Magelang)” benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 22 Agustus 2013

Anggi Puspitasari 1511409010


(3)

iii

PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Self Regulated Learning ditinjau dari Goal Orientation

(Studi Komparasi Siswa SMA N 1 Mertoyudan Kab. Magelang)” telah dipertahankan di hadapan sidang panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada tanggal 22 Agustus 2013.

Panitia

Ketua Sekretaris

Drs. Sutaryono M.Pd Liftiah S. Psi, M.Si

NIP 19570825 198303 1 015 NIP 19690415 199703 2 002

Penguji utama

Luthfi Fathan Dahriyanto S.Psi, M.A NIP 19791203 200501 1 002

Penguji I Penguji II

Dr. Edy Purwanto, M.Si. Dyah Indah N., S.Psi., M.Psi. NIP 19630121 198703 1 001 NIP 19771127 200912 2 005


(4)

iv

MOTTO DAN PERUNTUKAN

Motto

1. Bismillahirrahmanirrahim (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)

2. Sedih seperlunya, marah sekedarnya, bersyukur sebanyak-banyaknya

PERUNTUKAN:

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk: Ibu Indah Cahyani

Bapak Saptono

Adik Rizal Reynaldo Satria W.


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat, serta hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Self Regulated

Learning ditinjau dari Goal Orientation (Studi Komparasi Siswa SMA N 1

Mertoyudan Kab. Magelang)”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Drs. Hardjono, M. Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

2. Dr. Edy Purwanto, M.Si., Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran serta arahan dan membantu kelancaran ujian skripsi.

3. Drs. Sutaryono M.Pd., sebagai ketua panitia pengujian skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan

4. Luthfi Fathan Dahriyanto S.Psi, M.A., sebagai penguji utama sidang skripsi

5. Dyah Indah Noviyani, S.Psi., M.Psi. dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan, motivasi, dan masukan kepada penulis.

6. Moh. Iqbal Mabruri, S.Psi., M.Si sebagai dosen wali, terima kasih atas saran, bimbingan dan motivasi yang telah diberikan.


(6)

vi

7. Seluruh warga sekolah SMA Negeri 1 Mertoyudan Kab. Magelang yang telah banyak membantu serta berpartisipasi dalam penelitian.

8. Mama, Papa dan Adikku, yang selalu mendoakan untuk kesuksesan penulis serta mendukung dalam keadaan apapun, hanya dua kata keajaiban yang selalu ingin aku ucapkan ”Maaf dan Terima Kasih”

9. Teman terdekat penulis, Atika terimakasih untuk segala dukungan dan motivasi yang sudah diberikan selama ini.

10. Teman-teman Psikologi 2009 (khususnya Happy, Riris dan Trias) terima kasih atas pengalaman dan perjuangan bersama kita selama menempuh kuliah di Psikologi ini.

11. Keluarga Semarang tercinta, Om Agus, Mbak Dyah, Nadia, Reza terima kasih untuk kasih sayang dan kebersamaannya selama 4 tahun.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu menyelesaikan skripsi.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih setulus hati kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini memberikan manfaat dan kontribusi dalam bidang psikologi pada khususnya dan semua pihak pada umumnya.

Semarang, 22 Agustus 2013


(7)

vii

ABSTRAK

Puspitasari, Anggi. 2013. Self Regulated Learning Ditinjau dari Goal Orientation

(Studi Komparasi Pada Siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang).

Skripsi. Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Semarang. Pembimbing I: Dr. Edy Purwanto, M.Si., Pembimbing II: Dyah Indah Noviyani, S.Psi., M. Psi.

Kata Kunci : Self Regulated Learning, Goal Orientation, Siswa SMA.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena masih kurangnya pengaturan diri siswa dalam belajar (self regulated learning), di mana hal tersebut dapat berpengaruh negatif pada kualitas dan kuantitas pembelajaran. Perbedaan goal

orientation antara mastery goal dengan performance goal dapat menjadi

penyebab tinggi rendahnya self regulated learning. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan self regulated learning ditinjau dari goal orientation siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang.

Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif Komparasi. Subjek penelitian berjumlah 128 siswa yang dibagi menjadi dua kelompok mastery goal

dan performance goal. Teknik sampling yang digunakan adalah Probability

Sampling berupa Simple Random Sampling, yaitu pengambilan anggota sampel

dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Data penelitian diambil menggunakan skala self regulated learning

dan skala goal orientation. Skala self regulated learning terdiri dari 51 aitem valid dan koefisien alpha cronbach reliabilitasnya 0,939. Skala goal orientation terdiri dari 7 aitem mastery goal valid dan 10 aitem performance goal valid dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0,780 untuk aitem mastery goal dan 0,752 untuk aitem performance goal. Berdasarkan uji perbedaan menggunakan teknik uji t dengan bantuan program SPSS 17.0 for windows diperoleh nilai t = 6,823 dengan nilai signifikansi atau p = 0,000. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan self regulated learning antara siswa mastery goal dengan siswa performance goal.

Berdasarkan hasil uji analisis menunjukkan bahwa self regulated learning

siswa mastery goal lebih baik daripada siswa performance goal, di mana mean empirik siswa mastery goal lebih tinggi dari mean empirik siswa performance goal (147,03>129,83)


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO DAN PERUNTUKAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1 Self Regulated Learning ... 14

2.1.1 Pengertian Self Regulated Learning ... 14

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning ... 19

2.1.3 Strategi Self Regulated Learning ... 23


(9)

ix

2.2 Remaja Awal... 30

2.2.1 Karakteristik Remaja Awal ... 30

2.2.2 Tugas-tugas Perkembangan Remaja Awal ... 33

2.3 Goal Orientation ... 35

2.3.1 Pengertian Goal Orientation... 35

2.3.2 Karakteristik Goal Orientation ... 37

2.4 Perbedaan Self Regulatd Learning ditinjau dari Goal Orientation Siswa SMA ... 44

2.5 Hipotesis ... 48

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 49

3.1 Jenis Penelitian... 49

3.2 Desain Penelitian... 49

3.3 Variabel Penelitian ... 50

3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian ... 50

3.3.2 Definisi Operasional Variabel ... 51

3.3.3 Hubungan Antar Variabel Penelitian ... 52

3.4 Populasi dan Sampel ... 53

3.4.1 Populasi ... 53

3.4.2 Sampel ... 54

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 55

3.5.1 Skala Goal Orientation ... 57

3.5.2 Skala Self Regulated Learning ... 60


(10)

x

3.6.1 Validitas Instrumen Penelitian ... 61

3.6.2 Validitas ... 65

3.6.3 Reliabilitas ... 65

3.7 Pelaksanaan Uji Coba ... 67

3.8 Metode Analisis Data ... 68

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70

4.1 Persiapan Penelitian ... 70

4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 70

4.1.2 Penentuan Subjek Penelitian... 71

4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 72

4.2.1 Pengumpulan Data ... 72

4.2.2 Pelaksanaan Skoring ... 72

4.3 Analisis Deskripsi ... 73

4.3.1 Gambaran Umum Self Regulated Learning pada Siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang ditinjau dari Goal Orientation... 73

4.4 Hasil Pengujian Hipotesis ... 89

4.4.1 Hasil Uji Asumsi ... 89

4.4.2 Uji Perbedaan data T-test ... 92

4.5 Pembahasan ... 93

4.5.1 Pembahasan Analisis Deskriptif Gambaran Self Regulated Learning ditinjau dari Goal Orientation Siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang... ... 93


(11)

xi

4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Perbedaan Self Regulated Learning

ditinjau dari Goal Orientation Siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan

Kabupaten Magelang ... 97

4.6 Keterbatasan Penelitian ... 102

BAB 5 PENUTUP ... 103

5.1 Simpulan ... 103

5.2 Saran ... 103

Daftar Pustaka ... 105


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Blue Print Skala Goal Orientation ... 58

3.2 Kriteria Mastery Goal ... 58

3.3 Kriteria Performance Goal ... 59

3.4 Blue Print Skala Self Regulated Learning ... 61

3.5 Perbaikan Item Uji Coba Kualitatif ... 62

3.6 Sebaran item Uji Coba Skala Self Regulated Learning Setelah Uji Coba . 64 3.7 Sebaran Item Penelitian Self Regulated Learning ... 64

3.8 Reliability Statistic Skala Goal Orientation kelompok Mastery goal ... 66

3.9 Reliability Statistc Skala Goal Orientation Kelompok Performance Goal 67 3.10 Reliability Statistic Skala Self Regulated Learning ... 67

3.11 Penggolongan Kriteria Analisis Berdasarkan Mean Hipotetik... 68

4.1 Kriteria Self Regulated Learning ... 74

4.2 Gambaran Self Regulated Learning ... 74

4.3 Gambaran Rehearsing and Memorizing ... 76

4.4 Deskriptif Statistik Rehearsing and Memorizing ... 77

4.5 Gambaran Goal Setting and Planning ... 78

4.6 Deskriptif Statistik Goal Setting and Planning ... 79

4.7 Gambaran Self Evaluating ... 79


(13)

xiii

4.9 Gambaran Self Consequenting ... 81

4.10 Deskriptif Statistik Self Consequenting ... 82

4.11 Gambaran Seeking Information ... 82

4.12 Deskriptif Statistik Seeking Information ... 83

4.13 Gambaran Keeping Records and Self Monitoring ... 84

4.14 Deskriptif Statistik Keeping Record and Self Monitoring ... 85

4.15 Gambaran Environmental Structuring ... 86

4.16 Deskriptif Statistik Environmental Structuring ... 87

4.17 Gambaran Seeking Social Asisstance ... 87

4.18 Deskriptif Statistik Seeking Social Assistance... 88

4.19 Rangkuman Penjelasan Deskriptif Self Regulated Learning Ditinjau dari Goal Orientation ... 89

4.20 Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ... 90

4.21 Uji Homogenitas Data Penelitian ... 91

4.22 Hasil Perhitungan Uji Perbedaan T-test ... 92


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Analysis of Self-Regulated Functioning ... 20 2.2 Kerangka Berpikir ... 48 3.1 Hubungan Antar Variabel ... 53 4.1 Gambaran Umum Self Regulated Learning pada Siswa SMA Negeri 1


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Matriks Item Goal Orientation ... 110

2. Instrumen Penelitian ... 113

3. Gambaran Populasi Penelitian ... 123

4. Tabulasi Data Skor Penelitian ... 125

5. Uji Validitas & Reliabelitas Instrumen ... 139

6. Hasil Uji Asumsi ... 150

7. Hasil Uji Perbedaan ... 152

8. Dokumentasi Penelitian ... 154


(16)

1

1.1

Latar Belakang Masalah

Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dijalankan setelah selesai melalui jenjang pendidikan dasar (SMA, MTs, dan sederajatnya). Hal ini dicantumkan dalam UUSPN RI Nomor 20 tahun 2003 :

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan menengah kejuruan yang berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Dalam dunia pendidikan, terdapat istilah kurikulum yang menjadi rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelanggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (BSNP, 2006).

Menurut BSNP (2006) kurikulum tersebut disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerahnya. Pengembangan kurikulum tersebut sering dinamakan dengan sebutan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pada KTSP jenjang pendidikan menengah, diharapkan dapat meningkatkan kecerdasaan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan siswa untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.


(17)

2

Siswa sekolah menengah menurut Monks (2006: 262) termasuk dalam masa remaja awal yang mempunyai usia berkisar 15 sampai dengan 18 tahun. Salah satu karateristik masa remaja awal menurut Slazman adalah perubahan dari sikap tergantung ke arah kemandirian (Pikunas, 1976 dalam Yusuf, 2011: 184). Adapun salah satu tugas perkembangan masa remaja awal menurut Hurlock (1991: 209-10) adalah mencapai kemandirian ekonomi dan sosial.

Berdasarkan beberapa pendapat dan tujuan kurikulum pendidikan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) diharapkan dapat mencapai kemandirian, baik dalam sosial ekonomi dan pembelajaran. Siswa yang mandiri akan cenderung memilih dan bertanggung jawab atas dirinya. Kemandirian ini juga diharapkan muncul pada saat proses belajar, dimana siswa seharusnya dapat mengatur jam belajar sendiri, memilih kegiatan-kegiatan mana yang dapat menunjang prestasi akademiknya, menyusun strategi-strategi dalam belajar dan perilaku-perilaku lainnya yang menandakan bahwa siswa bertanggung jawab atas dirinya agar dapat berprestasi.

Kecenderungan siswa yang mandiri dalam belajar berbanding lurus dengan kemampuan siswa untuk mengatur dirinya. Siswa yang mengatur dirinya akan mengontrol diri agar mendapatkan prestasi dalam belajar. Kemampuan mengatur diri siswa dalam proses belajar ini sering disebut dengan kemampuan Self Regulated Learning (SRL). SRL sendiri dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan kemandirian belajar atau regulasi diri dalam pembelajaran. Salah satu komponen dalam self regulation, yaitu


(18)

meregulasi usaha yang mempunyai hubungan dengan prestasi dan mengacu pada niat siswa untuk mendapatkan sumber, energi, dan waktu untuk dapat menyelesaikan tugas akademis yang penting (Wolters dkk., 2003: 24). Shunck (1996, dalam Shunck dkk, 2008: 157) juga berpendapat bahwa siswa yang mengeksplorasi bagaimana tujuan dan evaluasi diri akan mempengaruhi hasil prestasinya. Oleh karena itu, tujuan dan evaluasi merupakan bagian dari siklus

self regulation.

Kemampuan SRL sendiri dibutuhkan siswa agar mampu mengatur dan mengarahkan dirinya sendiri, mampu menyesuaikan dan mengendalikan diri dalam menghadapi tugas-tugas pembelajaran. SRL merupakan kemampuan individu pemantauan diri, pengaturan, dan pengendalian yang diarahkan oleh tujuan belajar dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, dengan adanya self

regulated learning siswa diharapkan lebih bisa menunjukkan

perilaku-perilaku atau usaha yang dapat menunjang keberhasilannya dalam proses belajar.

Siswa yang memiliki self regulated learning tinggi akan lebih memilih kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang cita-citanya. Bukti konkrit siswa harus memilih hal yang dapat menunjang cita-citanya adalah pada saat siswa menduduki bangku SMA. Siswa dituntut untuk mulai memilih jurusan seperti Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial atau Bahasa.

Pada masa perkembangan siswa SMA ini, terdapat penguatan dalam mengambil keputusan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Mappiare (1982) bahwa memang pada masa remaja, minat dan cita-cita berkembang, dan hal


(19)

4

itu bersifat pemilihan dan berarah-tujuan. Pemilihan jurusan seharusnya ditentukan sesuai dengan keinginan yang dicapai, bagaimana nanti menjalankannya, dan bagaimana mempertanggungjawabkan apa yang telah dipilih.

Berdasarkan segi kognitif, perkembangan strategi kognitif yang mencakup rehearsal, elaboration, dan organizational pada siswa SMA sudah mencapai pada tahap yang lebih kompleks dari sebelumnya. Pada siswa SMA menurut McDevitt & Ormord (2002, dalam Desmita, 2011: 143), strategi

elaboration siswa menggunakan pengetahuan lama guna memperluas atau

memperdalam pengetahuan baru sehingga dapat lebih efektif dalam mempelajarinya, digunakan oleh siswa yang memiliki prestasi akademik tinggi. Strategi kognitif elaboration lebih komplek dibandingkan kedua strategi yang lain. Menurut Carol & David R (1995, dalam Desmita, 2011: 94) pada masa remaja, terjadi reorganisasi lingkaran saraf frontal lobe (belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral). Frontal lobe ini berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemampuan merumuskan perencanaan strategi atau kemampuan mengambil keputusan. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa seharusnya SRL berkembang pada siswa SMA untuk menunjang prestasi belajarnya

Hal positif lain dari self regulated learning berada pada penentuan tujuan, perencanaan, dan memonitor diri yang menjadi aspek penting bagi prestasi anak dan remaja (Anderman & Wolters, 2006; Schunk, Pintrich, & Meece, 2008; Wigfield & lainnya, 2006, dalam Santrock, 2009: 498). Oleh


(20)

karena itu, pentingnya siswa memiliki kemampuan self regulated learning

untuk menunjang keberhasilan proses belajarnya.

Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa masih rendahnya

self regulated learning siswa dalam proses belajar mengajar. Terdapat

fenomena yang terjadi di SMP Negeri 2 Rajapolah tahun ajaran 2008/2009 sampai tahun ajaran 2010/2011 dalam penelitian Pujiati (2010) menunjukkan bahwa kemandirian belajar yang belum “ajeg” mencakup perilaku (1) terlambat ke sekolah, (2) tidak menyelesaikan tugas-tugas sekolah dengan alasan tertinggal di rumah, (3) mencontek pada saat ulangan, (4) kurang memanfaatkan fasilitas perpustakaan sebagai sumber belajar, (5) serta pernyataan beberapa siswa yang mengatakan bahwa belajar di sekolah tidak akan mempengaruhi hasil prestasi yang dicapainya, karena anggapan negatif dari luar tentang dirinya.

Penelitian Yoenanto (2010: 92) pada siswa akselerasi di SMP di Jawa Timur menunjukkan data tingkat SRL siswa SMP N 2 Jember memiliki skor rerata = 51,66. Siswa akselerasi SMP N 1 Bondowoso rerata = 51,56 dan siswa SMP N 1 Surabaya dengan rerata 50,85 serta yang paling rendah tingkat SRLnya yaitu siswa SMP N 1 Tuban dengan rerata sebesar 48,36. Apabila rerata siswa SMP akselerasi ini ditotal terdapat tingkat SRL sebesar 50,13. Dengan demikian, hanya sebagian dari total siswa yang memiliki SRL tinggi dari berbagai SMP akselerasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Widiyastuti (2012) diperoleh data tingkat self regulated learning siswa kelas XI SMA Negeri 1 Nagreg tahun


(21)

6

pelajaran 2011/2012 sebanyak 2,73% berada pada tingkat SRL tinggi, 15,45% tingkat SRL sedang, 46,36% tingkat SRL rendah dan 35,45% tingkat SRL sangat rendah. Siswa dengan SRL yang rendah seperti tidak tuntasnya nilai KKM siswa, rendahnya keinginan untuk mengerjakan tugas dengan usaha optimal dan tepat waktu, rendahnya usaha dan kemauan siswa dalam meminta perbaikan (remedial) kepada guru mata pelajaran yang nilainya belum tuntas, siswa tidak memiliki jadwal belajar rutin setiap hari, dan siswa belajar saat akan ujian dengan metode klasik ‘belajar kebut semalam’ (SKS).

Indikasi lain yang menunjukkan self regulated learning rendah adalah melakukan kecurangan akademik seperti mencontek. Hal ini dikarenakan siswa yang memiliki self regulated learning tinggi akan mempersiapkan diri dengan berbagai usaha dan strategi dalam belajar, maka kecenderungan melakukan kecurangan akademik akan rendah. Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Ashifa (2011) di SMPN 10 Bandung menyatakan bahwa terdapat hubungan antara self regulated learning dengan perilaku mencontek.

Berdasarkan beberapa indikator siswa yang memiliki SRL rendah dari penelitian sebelumnya, peneliti melakukan wawancara pada bulan Februari 2013 terhadap beberapa siswa dan dua guru mata pelajaran. Hasil dari wawancara tersebut menyatakan bahwa beberapa siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang masih memiliki nilai yang belum tuntas, mencontek pada saat ulangan dan pekerjaan rumah teman, kurang memanfaatkan fasilitas perpustakaan, terlambat mengumpulkan tugas, siswa


(22)

suka berbicara atau melakukan kegiatan lain pada waktu diterangkan oleh guru, lebih suka membicarakan hal-hal yang tidak masuk dalam pelajaran.

Berdasarkan fenomena di atas kita dapat melihat bahwa masih kurangnya self regulated learning dalam proses pembelajaran. Seharusnya proses pembelajaran dilakukan karena kemauan, pilihan dan tanggung jawab sendiri, bukan untuk sekadar masuk ke sekolah favorit, sarana memperoleh gelar, status sosial yang lebih tinggi atau sekedar menyenangkan orang tua.

Self regulated learning (SRL) selalu mengarah pada beberapa tujuan,

yang terangkum dalam beberapa tahap yang mencakup (1) memiliki dan menentukan tujuan belajar, (2) membuat perencanaan dan (3) memilih strategi pencapaian tujuan. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa goal orientation

menjadi penunjangnya (Markus dan Wurf, dalam Deasyanti dan Anna 2007: 14).

Menurut Schunk, Pintrich dan Meece (2008: 142) siswa dengan tujuan dan efikasi diri dalam mencapai keinginannya cenderung akan terlibat dalam kegiatan yang dia percaya dapat menunjang keinginannya tersebut dengan memperhatikan proses, berlatih mengingat informasi, berusaha dan bertahan.

Self regulated learning yang dihasilkan mengacu pada pikiran, perasaan dan

tingkah laku yang ditujukan untuk pencapaian target dengan melakukan perencanaan terarah (Zimmerman, dalam Schimtz dan Wiese 2006: 66). Kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa goal orientation yang jelas akan meningkatkan kemampuan self regulated learning pula, karena self


(23)

8

Perencanaan terarah siswa dalam pembelajaran dapat muncul karena adanya

goal orientation siswa, dimana goal orientation akan menjadi pendorong

siswa untuk berusaha. Hal ini dapat diperkuat Schunk, Pintrich dan Meece (2008: 174) bahwa ketika individu tidak memiliki komitmen untuk mencapai tujuan maka dia tidak akan bekerja maksimal dan tidak memiliki keinginan untuk berprestasi.

Selanjutnya Woolfolk (2009: 198) mengemukakan bahwa goal

memotivasi individu untuk berperilaku tertentu (self regulated learning) sebagai usaha mengurangi diskrepansi kondisi antara “where the are” (di mana mereka berada kini) dan “where they want to be” (ke mana mereka ingin berada).

Menurut Ormord (2004: 327) komponen yang membentuk self regulated learning adalah goal setting, planning, self motivation, attention control, application of learning strategies, self monitoring, self evaluation,

self reflection. Beberapa penelitian mendapati bahwa goal orientation

berperan aktif dalam membentuk motivasi berprestasi (Anderman dan Wolters, 2006; Pintrich, 2000a, 2000c, 2000d, dalam Pintrich, Schunk dan Meece, 2008 : 183). Kedua pernyataan ini juga menguatkan bahwa goal orientation dapat meningkatkan self regulated learning. Goal orientation ini dapat memicu timbulnya motivasi dan memperjelas tujuan siswa sehingga dapat membantu dalam pembentukan self regulated learning.

Berdasarkan faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi regulasi diri menurut Bandura (dalam Alwisol, 2010: 285-7). Faktor internal


(24)

bersumber pada tiga bentuk yaitu observasi diri, proses penilaian atau mengadili tingkah laku, dan reaksi diri afektif, untuk melakukan tiga bentuk ini harus ada tujuan yang menjadi standar siswa tersebut. Adapun faktor eksternal bersumber pada dua hal yaitu interaksi dengan lingkungan dan bentuk penguatan (reinforcement). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

goal orientation termasuk dalam faktor internal.

Locke dan Latham (dalam Woolfolk, 2009: 198-200) mengemukakan empat alasan mengapa goal dapat memperbaiki performance atau usaha yang dilakukan yaitu goals mengarahkan perhatian individu terhadap tugas yang dihadapi, goals menggerakkan usaha, goals mengurangi rasa putus asa sebelum mencapai tujuan, dan goals meningkatkan perkembangan strategi baru.

Goal orientation dikembangkan secara khusus untuk menjelaskan cara

belajar anak dan performance dalam menjalankan tugas-tugas akademiknya. Di dalam goal orientation terdapat dua karakteristik yang membedakan cara belajar dan performance anak, antara lain: mastery goal dan performance

goal. Mastery goal adalah orientasi siswa untuk menguasai materi pelajaran,

sedangkan performance goal adalah orientasi siswa untuk mendapatkan hasil yang baik.

Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Susetyo (2007) tentang orientasi tujuan, atribusi penyebab, dan belajar berdasar regulasi diri siswa Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta, dengan hasil penelitian F = 36,814


(25)

10

dan p = 0,000 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan belajar berdasar regulasi diri ditinjau dari orientasi tujuan.

Perbedaan goal orientation yang siswa miliki dapat menimbulkan usaha yang berbeda pula. Siswa dengan mastery goal berhenti belajar bila merasa menguasai materi pelajaran dengan baik, sedangkan siswa dengan

performance goal berhenti belajar bila merasa nilainya sudah baik. Dalam

penelitian Mattern (2005: 30) yang menunjukkan bahwa siswa dengan

mastery goal memiliki level prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan

siswa dengan performance goal. Siswa yang cenderung mastery goal akan mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki tingkat self-efficacy yang lebih tinggi (kepercayaan pada kemampuan diri untuk berhasil dalam situasi tertentu) daripada siswa-siswa yang cenderung performance goal.

Beberapa penelitian yang terdapat pada buku “Motivation in

education: theory, research, and applications” yang ditulis oleh Schunk,

Pintrich dan Meece (2008: 192-6) menyatakan bahwa approach performance

goals dapat memunculkan perilaku-perilaku yang positif menunjang prestasi.

Segi afektif approach performance goals memiliki hubungan positif dengan minat, motivasi instrinsik, dan nilai-nilai tugas. Segi kognitif dapat mengarahkan pada penggunaan strategi yang lebih mendalam dan pengaturan kognitif diri. Terakhir dari segi perilaku approach performance goals ini


(26)

menyebabkan kinerja lebih baik karena siswa dengan orientasi tujuan ini ingin memiliki nilai akademis yang lebih tinggi dari siswa lain.

Perbedaan goal orientation pada setiap siswa dapat menimbulkan self

regulated learning yang berbeda pula. Hal ini sejalan dengan pendapat Ames

dan Archer (1998, dalam Schunk, 2012: 278) bahwa goal orientation

menentukan bagaimana siswa belajar dan usaha yang dilakukannya untuk mencapai hasil yang diharapkannya. Usaha-usaha yang dilakukan siswa untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam proses pembelajaran ini salah satunya adalah menunjukkan kemampuan self regulated learning.

Penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini adalah hubungan antara efikasi diri dengan kemandirian belajar (SRL) siswa pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya Tahun Ajaran 2010/2011 (Pujiati 2010). Dalam penelitian ini menyatakan bahwa efikasi diri dengan kemandirian belajar (SRL) siswa memiliki derajat hubungan yang sedang (0,559), dengan koefisien korelasi yang bernilai positif, artinya efikasi diri memiliki pengaruh signifikan terhadap kemandirian belajar siswa.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka penting untuk mengungkap bagaimana hubungan antara goal orientation dengan self

regulated learning siswa di sekolah sebagai upaya membantu mengatasi

permasalahan yang sedang terjadi. Self regulated learning lebih ditentukan oleh faktor internal siswa. Penelitian yang dilakukan Pratiwi (2009) menyatakan bahwa hubungan antara kecemasan akademis dengan self


(27)

12

kecemasan akademis juga termasuk faktor internal dari self regulated

learning. Hal ini menunjukkan bahwa 91,4% keeratannya masih lebih besar

ditentukan oleh faktor atau variabel lain, maka peneliti tertarik untuk mencari perbedaan goal orientation sebagai faktor internal siswa yang menentukan self

regulated learning.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan self regulated learning ditinjau dari goal orientation pada siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan pemamparan fenomena pada latar belakang masalah diatas maka terdapat perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :

1. Apakah ada perbedaan self regulated learning ditinjau dari goal

orientation siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang?

2. Bagaimana gambaran self regulated learning ditinjau dari goal orientation

siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang?

1.3

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka didapat tujuan penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui perbedaan self regulated learning ditinjau dari goal

orientation siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang.

2. Untuk mengetahui gambaran self regulated learning ditinjau dari goal


(28)

1.4

Manfaat Penelitian

Adapun kontribusi penelitian yang akan diperoleh, yaitu : 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan tentang perbedaan tingkat self regulated learning antara mastery goal dan

performance goal.

b. Sarana untuk peneliti selanjutnya dalam memberikan data dan informasi sebagai bahan studi.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Bimbingan Konseling sekolah, dapat menjadi input yang senantiasa melaksanakan proses Bimbingan dan Konseling di sekolah untuk meningkatkan self regulated learning siswa.

b. Dapat mengetahui bagaimana tingkat self regulated learning siswa SMA agar dapat mengembangkan diri menjadi pribadi yang mandiri untuk masa depan.


(29)

14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Self Regulated Learning

2.1.1 Pengertian Self Regulated Learning

Dalam bahasa Indonesia self regulated learning sering disamaartikan dengan kemandirian belajar, regulasi-diri pembelajaran, dan pengelolaan diri dalam belajar. Pintrich (dalam Boekaerts et al., 2000: 453), self regulated learning

(SRL) didefinisikan sebagai proses konstruktif ketika siswa menetapkan tujuan belajar sekaligus mencoba memantau, mengatur, dan mengendalikan pengamatan motivasi, serta perilakunya yang dibatasi oleh tujuan belajar dan kondisi lingkungan. Zimmerman (dalam Schunk, dkk, 2012: 254) Self-regulation adalah proses dimana siswa mengaktifkan dan mempertahankan kognisi, perilaku, dan pengaruh yang sistematis berorientasi pada pencapaian tujuan mereka.

Self regulated learning adalah kemampuan seseorang untuk mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri dalam berbagai cara sehingga mendapat hasil belajar yang optimal (Wolters 1998: 4). Menurut Pintrich dan Zusho (dalam Nicol dan Macfarlane-Dick 2006: 202) self regulated learning merupakan proses konstruktif aktif dimana siswa menetapkan tujuan belajarnya dan kemudian berusaha untuk memonitor, mengatur, dan mengontrol kognisi, motivasi, dan tingkah lakunya agar sesuai dengan tujuannya dan kondisi kontekstual dari lingkungannya.


(30)

Berdasarkan perspektif sosial kognitif, peserta didik yang dapat dikatakan sebagai self regulated learner adalah peserta didik yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral aktif dan turut serta dalam proses belajar mereka (Zimmerman, 1989: 330). Peserta didik tersebut dengan sendirinya memulai usaha belajar secara langsung untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian yang diinginkan, tanpa bergantung pada guru, orang tua atau orang lain.

Konsep self regulated learning dikemukakan pertama kali oleh Bandura dalam latar teori belajar sosial. Menurut Bandura, “bahwa individu memiliki kemampuan untuk mengontrol cara belajarnya dengan mengembangkan langkah-langkah mengobservasi diri, menilai diri dan memberikan respon bagi dirinya sendiri.”

Self regulated learning sangat penting dimiliki oleh individu dalam proses pembelajaran. Seseorang yang memiliki self regulated learning, akan cenderung lebih memiliki prestasi yang baik. Hal ini diperkuat ketika siswa memiliki self regulated learning, mereka menetapkan tujuan akademik yang lebih tinggi untuk diri mereka sendiri, belajar lebih efektif dan berprestasi di kelas (Broson, 2000; Butler dan Winne, 1995; Winne, 1995a; Zimmerman dan Bandura, 1994; Zimmerman dan Risemberg, 1997 dalam Ormord 2004: 327).

Bandura (dalam Alwisol, 2009: 286) berpendapat bahwa dinamika proses beroperasinya self regulated learning antara lain terjadi dalam subproses yang berisi ‘self-observation’, ‘self judgement’, dan ‘self reaction’. Ketiganya memiliki hubungan yang sifatnya resiprositas seiring dengan konteks persoalan yang mereka hadapi. Hubungan resiprositas ini tidak selalu bersifat simetris melainkan


(31)

16

lentur dalam arti bisa terjadi salah satu di konteks tertentu lebih dominan dari aspek lainnya, demikian pula sebaliknya.

Menurut Ormord (2008: 38-9) menyatakan bahwa self regulated learning memiliki beberapa komponen di dalamnya, yaitu :

1) Goal Setting

Goal setting merupakan pengidentifikasian hasil akhir yang diinginkan untuk kegiatan belajarnya. Siswa yang memiliki self regulated learning tahu apa yang dia ingin capai ketika mereka belajar. Siswa memegang tujuannya untuk kegiatan belajar tertentu untuk tujuan jangka panjang dan aspirasinya. Selanjutnya saat siswa mencapai perguruan tinggi, siswa dapat menetapkan tengang waktu untuk diri mereka sendiri sebagai cara untuk memastikan mereka tidak meninggalkan tugas-tugas belajar yang penting sampai akhir.

2) Planning

Planning adalah menentukan atau merencanakan cara terbaik untuk menggunakan waktu yang tersedia untuk belajar. Siswa dengan self regulated learning memiliki rencana ke depan berhubungan dengan tugas belajar dan menggunakan waktu mereka secara efektif untuk mencapai tujuannya.

3) Self-motivation

Mempertahankan motivasi instrinsik untuk menyelesaikan tugas belajar. Siswa dengan self regulated learning cenderung memiliki self-efficacy


(32)

belajar dengan sukses. Selain itu, siswa menggunakan berbagai strategi untuk mempertahankan semangatnya mungkin dengan cara menghiasi tugasnya agar lebih menyenangkan, mengingatkan diri akan pentingnya melakukan dengan baik, akhirnya mereka memvisualisasikan kesuksesan atau menjanjikan sendiri hadiah ketika mereka selesai.

4) Attention control

Memaksimalkan perhatian pada tugas belajar. Siswa dengan self regulated learning akan mencoba untuk memusatkan perhatian mereka pada tugasnya dan menghilangkan pikiran mereka yang berpotensi mengganggu pikiran dan emosi.

5) Application of learning strategies

Memilih dan menggunakan cara yang tepat pengolahan bahan yang akan dipelajari. Siswa mengatur sendiri memilih strategi pembelajaran yang berbeda tergantung pada tujuan yang spesifik sesuai yang ingin mereka capai, misalnya mereka membaca sebuah artikel majalah berbeda, tergantung pada apakah mereka membacanya untuk hiburan atau belajar untuk ujian.

6) Self-monitoring

Siswa akan mengevaluasi secara berkala untuk melihat apa kemajuan mencapai tujuan. Siswa dengan self regulated learning akan terus memantau perkembangannya selama proses belajar dan siswa akan mengubah strategi belajarnya atau tujuannya jika perlu.


(33)

18

7) Self-evaluation

Menilai hasil akhir dari usaha individu. Siswa dengan self regulated learning akan menilai hal yang mereka pelajari cukup untuk tujuan yang telah ditetapkan.

8) Self-reflection

Menentukan sejauh mana strategi belajar seseorang telah berhasil dan efisien, dan mungkin mengidentifikasi alternatif yang mungkin lebih afektif dalam situasi belajar masa depan.

Self regulated learner menerapkan agency ketika mereka terlibat dalam siklus empat tahap utama : menganalisis tugas, menerapkan tujuan dan merancang rencana, menetapkan taktik dan strategi untuk menyelesaikan tugas, dan meregulasi pembelajaran (Woolfolk 2009: 132).

1 Menganalisis tugas pembelajarannya, yaitu pembelajar memeriksa informasi apa pun yang mereka anggap relevan untuk mengkonstruksikan sense tentang seperti apa tugasnya, sumberdaya apa yang harus dimiliki, dan bagaimana perasaannya tentang tugas yang akan dikerjakan.

2 Menetapkan tujuan dan menyusun rencana, yaitu mengetahui kondisi kondisi yang mempengaruhi hasil kerja dan memberikan informasi yang digunakan oleh pembelajar untuk mencapai tujuan belajar serta mencari cara untuk mengembangkan rencana untuk mencapai tujuannya.

3 Menetapkan taktik dan strategi untuk menyelesaikan tugas. Individu sangat siaga selama tahap ini karena mereka selalu memantau seberapa baikkah rencananya berjalan.


(34)

4 Meregulasi pembelajaran. Dalam tahap ini, pembelajar mengambil keputusan tentang apakah perlu dilakukan perubahan pada ketiga tahap sebelumnya.

Menurut Zimmerman (1989: 329) siswa dikatakan telah memiliki self regulated learning bila siswa tersebut telah memiliki strategi untuk mengaktifkan metakognisi, motivasi, dan tingkah laku dalam proses belajar mereka sendiri. Lebih lanjut dijelaskan bahwa self regulated learning adalah pengetahuan potensial yang dimiliki individu untuk meningkatkan prestasi akademik, merancang strategi belajar, menentukan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan belajar, serta mengevaluasi keberhasilan dan kekurangan yang diperoleh.

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa self regulated learning adalah usaha individu yang dilakukan secara sistematis untuk memfokuskan pikiran, perasaan, dan perilaku pada pencapaian tujuan.

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning

Menurut Zimmerman (1989: 330) setidaknya terdapat 3 faktor yang mempengaruhi self regulated learning pada gambar 2.1 Triadic Analysis of Self-Regulated Functioning sebagai berikut :


(35)

20

Gambar 2.1 Analysis of Self-Regulated Functioning Berikut adalah penjelasan dari gambar bagan diatas, antara lain :

a. Faktor Pribadi, dalam triadic diatas dilambangkan siswa dapat menggunakan proses pribadi untuk mengatur strategi perilaku dan lingkungan belajar segera.

b. Faktor Perilaku, dalam triadic diatas dilambangkan siswa secara proaktif menggunakan strategi self evaluation sehingga mendapatkan informasi tentang akurasi dan apakah harus terus memeriksa melalui umpan balik enactive.

c. Faktor Lingkungan, dalam triadic dilambangkan siswa proaktif menggunakan strategi manipulasi lingkungan yang melibatkan intervensi ruang urutan perilaku mengubah respon, seperti menghilangkan

Behavior Environment

Person (self)

BEHAVIORAL SELF-REGULATION COVERT

SELF-REGULATION

ENVIRONMENTAL SELF-REGULATION


(36)

kebisingan, mengatur pencahayaan yang memadai, dan mengatur tempat untuk menulis.

Sedangkan menurut Boekaerts (1996: 101) “mengatakan bahwa banyak peneliti sepakat bahwa faktor yang paling mendasar dari self regulated learning adalah keinginan untuk mencapai tujuan”. Atribut personal lain yang juga terlibat dalam mempengaruhi self regulated learning antara lain yaitu :

(1) Kesadaran akan penghargaan terhadap diri sendiri. (2) Keinginan untuk mencoba.

(3) Komitmen.

(4) Manajemen waktu.

(5) Kesadaran akan metakognitif. (6) Penggunaan strategi yang efisien.

Ada pula faktor-faktor yang memunculkan self regulated learning yang buruk antara lain impulsivitas, tujuan akademik yang rendah, penghargaan diri yang rendah, kontrol yang buruk, serta perilaku menghindar.

Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2010: 285-7) ada dua faktor yang mempengaruhi regulasi diri, yaitu :

a) Faktor Eksternal

Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, pertama faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan guru anak-anak belajar baik dan buruk, tingkah laku yang dikehendaki dan tidak


(37)

22

dihendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas anak kemudian mengembangkan standar yang akan dipakai untuk menilai prestasi diri.

Kedua, faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement). Hadiah intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan insentif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya bekerja sama; ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi. b) Faktor Internal

Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal dalam pengaturan diri sendiri. Bandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal, yaitu : 1) Observasi diri (self observation): dilakukan berdasarkan faktor kualitas

penampilan, kuantitas penampilan, orisinal tingkah laku diri, dan seterusnya. Orang harus mampu memonitor performansinya, walaupun tidak sempurna karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari tingkah lakunya dan mengabaikan tingkah lakunya yang lain. Apa yang diobservasi seseorang tergantung kepada minat dan konsep dirinya.

2) Proses penilaian atau mengadili tingkah laku (judgemental process): melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi, membandingkan tingkah laku dengan norma standar atau dengan


(38)

tingkah laku orang lain, menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas, dan memberi atribusi performansi.

3) Reaksi diri afektif (self response): berdasarkan pengamatan dan judgement itu, orang mengevaluasi diri sendiri positif atau negatif, dan kemudian menghadiahi atau menghukum dirinya sendiri. Bisa terjadi tidak muncul reaksi afektif, karena fungsi kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna secara individual.

2.1.3 Strategi Self Regulated Learning

Zimmerman (1989: 11) menekankan untuk dapat dianggap self-regulated, proses belajar siswa harus menggunakan strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan akademis. Strategi dalam self regulated learning mengarah pada tindakan dan proses yang diarahkan pada perolehan informasi atau keterampilan yang melibatkan perngorganisasian (agency), tujuan (purpose) dan persepsi instrumental seseorang. Agency adalah kemampuan individu untuk memulai dan mengarahkan suatu tindakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Purpose adalah tujuan yang diharapkan untuk tercapai dari pelaksanaa setiap tindakan yang dapat membantu meraih tujuan.

Self regulated learning merupakan strategi yang harus dimiliki oleh siswa dalam melakukan kegiatan belajar, sehingga diperoleh hasil belajar sesuai dengan keinginan dan cita-citanya. Zimmerman dan Martinez-pons (1990: 7) mengindentifikasi strategi-strategi dalam self regulated learning yang diperoleh dari teori kognitif sosial, didalamnya melibatkan unsur-unsur metakognitif,


(39)

24

lingkungan dan motivasi. Setiap strategi bertujuan meningkatkan regulasi diri siswa pada fungsi personal, behavioral, dan environmental.

a. Strategi untuk optimalisasi fungsi personal (personal function), meliputi :

1) Organizing and transforming (pengorganisasian dan transformasi). Siswa menelaah kembali materi-materi pembelajaran untuk meningkatkan pembelajaran. Misalnya, siswa mempelajari materi pembelajaran dari awal sampai akhir.

2) Goal setting and planning (penetapan tujuan dan perencanaan). Siswa menetapkan tujuan belajar serta merencanakan urutan, waktu, dan penyelesaian aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan tujuan. Misalnya siswa menentukan jadwal belajar.

3) Rehearsing and Memorizing (melatih dan menghapal). Siswa berusaha untuk berlatih dan menghapalkan materi. Contohnya siswa mengerjakan soal-soal latihan dan siswa membaca ulang materi pelajaran agar dapat menghapalkannya.

b. Strategi untuk optimalisasi fungsi tingkah laku (behavioral function), meliputi :

1) Self-evaluating (evaluasi diri). Siswa melakukan evaluasi terhadap kualitas atau kemajuan dari pekerjaannya. Contohnya siswa meneliti ulang tugas-tugas untuk memastikan sudah dikerjakan dengan baik atau belum, siswa mengevaluasi hasil ujian agar dapat menilai kemampuan belajarnya.


(40)

2) Self-consequenting (konsekuensi diri). Siswa membayangkan reward atau punishment yang didapat jika memperoleh kesuksesan atau kegagalan. Contohnya siswa merasa malu apabila mendapatkan hasil ujian buruk, siswa menganggap keberhasilan sebagai motivasi untuk dapat mempertahankan keberhasilannya. c. Strategi untuk optimalisasi fungsi lingkungan (environmental

function), meliputi :

1) Seeking information (pencarian informasi). Siswa berusaha untuk mencari informasi lebih lengkap dari sumber-sumber nonsosial. Contohnya siswa berusaha melengkapi materi pelajaran dari sumber lain atau literature perpustakaan.

2) Keeping records and self monitoring (pembuatan catatan dan mengamati diri). Siswa berusaha untuk mencatat berbagai kejadian atau hasil yang diperoleh dalam proses belajar. Contohnya siswa mencatat hal-hal penting untuk dipelajari, siswa mencatat hal-hal yang tidak dipahami untuk dipelajari ulang.

3) Enviromental structuring (penyusunan lingkungan). Siswa berusaha untuk memilih atau mengatur lingkungan fisik sehingga proses belajar menjadi lebih mudah. Contohnya siswa mematikan televisi saat belajar untuk membantu konsentrasi.

4) Seeking social assistance (pencarian bantuan sosial). Siswa berusaha mencari bantuan dari teman sebaya, guru, orang dewasa lainnya yang dianggap bisa membantu. Contohnya siswa bertanya


(41)

26

kepada guru saat kesulitan mengerjakan tugas atau memahami pelajaran.

5) Reviewing Records (melihat kembali catatan). Siswa berusaha melihat kembali catatan untuk menghadapi ujian. Contohnya siswa membaca ulang catatan, melihat referensi tugas sebelumnya, dan membaca buku-buku pedoman.

Menurut Wolters, et. al (2003, dalam Fasikhah dan Siti 2013: 144) strategi self regulated learning secara umum meliputi tiga macam strategi, yaitu :

a. Strategi regulasi kognitif

Strategi yang berhubungan dengan pemrosesan informasi yang berkaitan dengan berbagai jenis kegiatan kognitif dan metakognitif yang digunakan individu untuk menyesuaikan dan merubah kognisinya, mulai dari strategi memori yang paling sederhana, hingga strategi lebih rumit. Strategi kognitif meliputi : rehersal, elaborasi dan metakognisi.

b. Strategi regulasi motivasional

Strategi yang digunakan individu untuk mengatasi stres dan emosi yang dapat membangkitkan usaha mengatasi kegagalan dan untuk meraih kesuksesan dalam belajar. Strategi motivasional meliputi : (1) konsekuensi diri, (2) kelola lingkungan (environmental structuring), (3) mastery self-talk, (4) meningkatkan motivasi ekstrinsik (extrinsic self-talk), (5) orientasi kemampuan (relative ability self-talk), (6) motivasi intrinsik, dan (7) relevansi pribadi (relevance enchancement).


(42)

c. Strategi regulasi behavioral akademik

Aspek regulasi diri yang melibatkan usaha individu untuk mengontrol tindakan dan perilakunya sendiri. Strategi regulasi behavioral yang dapat dilakukan oleh individu dalam belajar meliputi : mengatur usaha (effort regulation), mengatur waktu dan lingkungan belajar (regulating time and study environment) serta mencari bantuan (help-seeking).

Zumbrunn, et. al. (2011: 9-13) menyatakan bahwa ada 8 strategi pembentukan self regulated learning siswa, yaitu :

a. Goal Setting

Tujuan dianggap sebagi standar yang mengatur tindakan individu. Tujuan jangka pendek sering digunakan untuk mencapai aspirasi jangka panjang, sebagai contoh jika seorang siswa menetapkan tujuan jangka panjang untuk mengerjakan ujian dengan baik, maka dia menetapkan tujuan seperti menetapkan waktu belajar dan menggunakan strategi khusus untuk keberhasilan ujiannya.

b. Planning

Planning mirip dengan goal setting, planning dapat membantu siswa mengatur diri sebelum terlibat dalam tugas-tugas belajar.

c. Self-Motivation

Motivasi diri siswa self-regulated learner terjadi ketika mereka menggunakan satu atau lebih strategi untuk pencapaian tujuannya. Siswa yang termotivasi akan membuat kemajuan menuju tujuannya.


(43)

28

Siswa lebih bertahan melalui tugas yang sulit dan menemukan proses belajar yang memuaskan.

d. Attention Control

Siswa dapat mengendalikan perhatian mereka dengan cara menghindari hal-hal yang mengganggu pikiran serta mengkondisikan lingkungan belajar agar kondusif.

e. Flexibel Use of Strategies

Siswa menggunakan strategi-strategi belajar untuk memfasilitasi kemajuan mereka guna pencapaian tujuan yang meliputi : mencatat, menghafal, berlatih, dan sebagainya.

f. Self-Monitoring

Siswa memantau sendiri kemajuan mereka menuju pada tujuan pembelajarannya.

g. Help-seeking

Siswa mencoba mencari bantuan bila diperlukan agar dapat memahami pembelajaran untuk pencapaian tujuan

h. Self-Evaluation

Siswa dapat mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri, terlepas dari penilaian guru.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan ada 8 strategi dalam self regulated learning meliputi rehearsing and memorizing, goal setting and planning, self-evaluating, self-consquenting, seeking information, keeping records and self monitoring, seeking social assistance.


(44)

2.1.4 Karakteristik Siswa yang Memiliki Self Regulated Learning

Beberapa peneliti mengemukakan karakteristik perilaku siswa yang memiliki ketrampilan self regulated learning antara lain sebagai berikut (Montalvo, 2004: 3) :

1 Terbiasa dengan dan tahu bagaimana menggunakan strategi kognitif (pengulangan, elaborasi dan organisasi) yang membantu mereka untuk memperhatikan, mentransformasi, mengorganisasi, mengelaborasi, dan menguasai informasi.

2 Mengetahui bagaimana merencanakan, mengorganisasikan, dan mengarahkan proses mental untuk mencapai tujuan personal (metakognisi).

3 Memperlihatkan seperangkat keyakinan motivasional dan emosi yang adaptif, seperti tingginya keyakinan diri secara akademik, memiliki tujuan belajar, mengembangkan emosi positif terhadap tugas (senang, puas, antusias), memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasinya, serta menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas dan situasi belajar khusus. 4 Mampu merencanakan, mengontrol waktu, dan memiliki usaha terhadap

penyelesaian tugas, tahu bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, seperti mencari tempat belajar yang sesuai atau mencari bantuan dari guru dan teman jika menemui kesulitan.

5 Menunjukkan usaha yang besar untuk berpartisipasi dalam mengontrol dan mengatur tugas-tugas akademik, iklim, dan struktur kelas.


(45)

30

6 Mampu melakukan strategi disiplin, yang bertujuan menghindari gangguan internal dan eksternal, menjaga konsentrasi, usaha, dan motivasi selama menyelesaikan tugas.

Peneliti menyimpulkan bahwa definisi self regulated learning adalah kemampuan siswa dalam proses belajar untuk memonitor, meregulasi, dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilaku, yang kemudian semuanya diarahkan dan didorong oleh tujuan serta mengutamakan konteks lingkungan.

2.2

Remaja Awal

Menurut Mappiare (1982: 25) masa remaja memiliki rentang usia antara 13-21 tahun, yang dibagi dalam masa remaja awal usia 13/14 sampai dengan 17 tahun, dan remaja akhir 17 sampai 21 tahun. Menurut Hurlock (1991 dalam Ali dan Asrori 2011: 9) adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.

Monks (2006: 259) mengatakan bahwa pada masa ini, remaja sebenarnya tidak memiliki tempat yang jelas. Remaja tidak masuk golongan anak, tetapi tidak termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah Menengah atau Perguruan Tinggi. Sedangkan Desmita (2011: 37) berpendapat masa remaja (12-21 tahun) merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Masa ini dikenal dengan masa pencarian jati diri (ego identity)

2.2.1 Karakteristik Remaja Awal

Menurut Slazman karakteristik masa remaja adalah perubahan dari sikap tergantung ke arah kemandirian, minat-minat seksual, perenungan diri, dan


(46)

perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Dalam budaya Amerika, periode remaja ini dipandang sebagai masa "Strom dan Stress”, frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Pikunas, 1976 dalam Yusuf, 2011: 184)

Mappiare (1982: 32) mengemukakan ciri-ciri remaja awal ditunjukkan pada beberapa indikasi, sebagai berikut :

1. Kestabilan keadaan perasaan dan emosi

Perasaan yang sangat peka, remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. Ini menimbulkan remaja cepat berganti suasana yang sesekali sangat bersemangat dalam bekerja tiba-tiba berganti lesu, kegembiraan yang meledak bertukar rasa sedih, rasa yakin diri berganti rasa ragu diri yang berlebihan.

2. Hal sikap dan moral

Organ-organ seks yang telah matang menyebabkan remaja mendekati lawan jenis. Ada dorongan-dorongan seks dan kecenderungan memenuhi dorongan itu, sehingga kadang-kadang dinilai oleh masyarakat tidak sopan.

3. Hal kecerdasaan atau kematangan mental

Alfred Binet mengemukakan bahwa pada usia 12 tahun kemampuan anak untuk mengerti informasi abstrak baru sempurna. Kesempurnaan mengambil kesimpulan dan informasi abstrak dimulai pada usia 14 tahun. Akibatnya remaja awal sering menolak hal-hal yang tidak masuk akal.


(47)

32

4. Hal status remaja awal sangat sulit ditentukan

Adanya keraguan orang dewasa untuk memberi tanggungjawab kepada remaja dengan dalih mereka masih anak-anak. Pada lain kesempatan, remaja awal sering mendapat teguran sebagai orang yang sudah besar jika remaja bertingkah laku kekanak-kanakan. Akibatnya, remaja awal pun mendapat sumber kebingungan tentang statusnya.

5. Memiliki banyak masalah yang dihadapi

Dari ciri-ciri sebelumnya menjadikan remaja awal banyak menghadapi masalah. Sebab lain adalah sifat emosional remaja awal.

6. Masa yang kritis

Pada masa ini remaja dituntut untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya sendiri. Keadaan remaja yang dapat menghadapi masalahnya dengan baik menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah-masalah selanjutnya, sampai ia dewasa. Ketidakmampuan menghadapi masalahnya dalam masa ini akan menjadikannya orang dewasa yang bergantung. Desmita (2011: 37-38) berpendapat masa remaja ditandai dengan sejumlah karakteristik penting, yaitu :

1 Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya.

2 Dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

3 Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif. 4 Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.


(48)

5 Memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat dan kemampuannya.

6 Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga dan memiliki anak.

7 Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga Negara.

8 Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.

9 Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam bertingkah laku.

10 Mengembangkan wawasan keagamaan dan meningkatkan religiusitas.

2.2.2 Tugas-tugas Perkembangan Remaja Awal

Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991: 209-10) meliputi usaha-usaha sebagai berikut :

1) Mampu menerima keadaan fisiknya.

2) Mampu menerima dam memahami peran seks usia dewasa.

3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis.

4) Mencapai kemandirian emosional. 5) Mencapai kemandirian ekonomi.

6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

7) Memahami dam menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.


(49)

34

8) Mengembangkan perilaku tanggungjawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.

9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

Menurut Mappiare (1982: 106) tugas-tugas perkembangan khusus untuk masa remaja awal yaitu :

(1) Memiliki kemampuan mengontrol diri sendiri seperti orang dewasa

Sejak remaja awal diharapkan dapat mengadakan pengontrolan diri sendiri atas perbuatan-perbuatannya.

(2) Memperoleh kebebasan

Hal ini berarti remaja awal diharapkan belajar dan berlatih bebas membuat rencana, bebas membuat alternatif pilihan, bebas menentukan pilihan dan bebas membuat keputusan-keputusan sendiri, melaksanakan keputusannya itu serta bertanggungjawab sendiri atas keputusan dan pelaksanaan keputusannya.

(3) Bergaul dengan teman lawan jenis

Remaja awal sadar akan dirinya ada rasa simpati, rasa tertarik untuk selalu bersama-sama dengan lawan jenisnya.

(4) Mengembangkan keterampilan-keterampilan baru

Pada masa ini remaja mempersiapkan diri memasuki masa dewasa, maka mulai dalam masa remaja awal dan sepanjang masa remaja, seseorang


(50)

diharapkan berlatih dan mengembangkan berbagai tuntutan hidup dan pergaulannya dalam masa dewasa kelak.

(5) Memiliki citra diri yang realistik

Remaja diharapkan dapat mengukur atau menafsirkan apa yang lebih dan kurang pada diri mereka serta dapat menerima apa adanya diri mereka, memelihara dan memanfaatkannya secara positif.

2.3

Goal Orientation

2.3.1 Pengertian Goal Orientation

Goal orientation merupakan susunan utama teori tujuan. Goal (sasaran atau tujuan) adalah hasil atau pencapaian yang pemenuhannya diperjuangkan seseorang (Locke dan Latham, 2002 dalam Woolfolk, 2009: 198). Pintrich (2003, dalam Schunk, Pintrich, dan Meece 2008: 184) menyatakan bahwa goal orientation adalah tujuan atau alasan yang melibatkan seseorang untuk berprestasi. Sedangkan Schunk (2012: 513) mengatakan bahwa goal orientation (orientasi tujuan) mengacu pada tujuan dan fokus keterlibatan seseorang dalam aktivitas berprestasi, sedangkan goal setting (penetapan tujuan) lebih berfokus pada bagaimana tujuan dibangun dan diubah serta peran sifat-sifat tujuan itu untuk mendesak dan mengarahkan perilaku. Locke dan Latham’s (1990, dalam Schunk, Pintrich, dan Meece 2008: 184) teori goal orientation berkaitan dengan mengapa individu ingin mendapatkan kebenaran, bagaimana cara dan kinerjanya. Goal orientation menentukan bagaimana seseorang berusaha untuk mencapai hasil yang diinginkannya (Ames dan Archer 1998, dalam Schunk, Pintrich, dan Meece 2008: 183).


(51)

36

Goal orientation adalah konstruk yang menggambarkan bagaimana individu merespon, memberikan reaksi dan menginterpretasikan situasi untuk mencapai suatu prestasi atau kinerja tertentu (Vande Walle, dkk 1999: 250). Hal yang menjadi penentu perbedaan individu terhadap perilaku adalah goal orientation (Button, Mathieu dan Zajac, 1996; Farr, Hofman, dan Ringenbach, 1993 dalam VandeWalle, dkk 1999: 249).

Konstruk tentang goal orientation muncul dari program penelitian yang dilakukan oleh Carol Dweck, Dweck memberikan konsep bahwa tujuan secara luas dapat diartikan sebagai dimensi kepribadian individu dan individu tersebut memiliki preferensi goal orientation untuk berprestasi (Dweck dan Leggett, 1988; Elliot dan Dweck, 1988 dalam VandeWalle, dkk 2001: 630). Sedang menurut Ames (dalam Schunk, Pintrich, dan Meece 2008: 184) goal orientation merupakan pola yang terintegrasi dari keyakinan yang mengarah pada cara-cara berbeda dalam proses, perilaku, dan tanggungjawabnya dalam berperilaku untuk berprestasi. Dapat dilihat bahwa goal orientation menjadi alasan individu berperilaku tertentu untuk mencapai tujuan.

Woolfolk (2009: 198) mengemukakan bahwa goal memotivasi individu untuk berperilaku tertentu (self regulated learning) sebagai usaha mengurangi diskrepansi kondisi di antara “where the are” (di mana mereka berada kini) dan

where they want to be” (ke mana mereka ingin berada). Sedangkan Urdan (1997

dalam Schunk, Pintrich, dan Meece 2008: 184) mengatakan goal orientation adalah alasan mengapa individu ingin berprestasi, bukan hanya untuk menampilkan perilaku.


(52)

Menurut Ames (dalam Schunk, Pintrich, dan Meece, 2008: 184) goal orientation disebutkan sebagai gambaran integrasi pola belief yang memiliki peranan penting untuk membedakan pendekatan yang dipakai, cara menggunakan, dan respon terhadap situasi prestasi. Selain itu, goal orientation mencerminkan jenis standar dengan mana individu-individu menilai kinerja diri sendiri, keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan (Elliot, 1997; Pintrich, 2000a, 2000c, 2000d dalam Schunk, Pintrich, dan Meece, 2008: 184).

Berdasarkan pengertian-pengertian goal orientation di atas, dapat disimpulkan bahwa goal orientation merupakan orientasi yang menjadi alasan individu ketika mencoba berusaha yang mencakup proses dan perilaku untuk mencapai atau memperoleh tujuan tertentu.

2.3.2 Karakteristik Goal Orientation

Karakteristik goal orientation dibagi menjadi dua yaitu learning goal dan performance goal (Dweck dan Legget, 1988; Elliott dan Dweck,1988 dalam Schunk, Pintrich dan Meece 2008: 185).

1. Learning goal

Individu dengan learning goals yang kuat cenderung suka dengan tantangan dan menetapkan tujuan yang tinggi serta tidak takut dengan kegagalan pencapaian tujuan. Slavin (2009: 119) siswa yang berorientasi motivasi ke arah sasaran pembelajaran (learning goal) melihat maksud sekolah untuk memperoleh kompetensi dalam kemampuan yang diajarkan dan siswa dengan goal ini kemungkinan akan mengambil mata pelajaran yang sulit dan mencari tantangan.


(53)

38

2. Performance goal

Individu dengan performance goal kuat akan menetapkan tujuan yang kurang menantang dan takut mengalami kegagalan. Menurut Slavin (2009: 119) siswa yang berorientasi ke arah sasaran kinerja (performance goal) berupaya memperoleh penilaian positif atas kompetensi mereka dan menghindari penilai negatif.

Menurut Nicholls (1984 dalam Schunk, Pintrich, dan Meece 2008: 184-5) karakteristik goal orientation dibagi menjadi dua, yaitu :

1) Task-involved goal

Merasa sukses ketika mempelajari hal yang disukai, merasa sukses ketika mempelajari hal yang ingin diketahui, merasa sukses ketika mempelajari sesuatu yang memunculkan suatu ide.

2) Ego-involved goal

Merasa sukses saat menjadi pintar, lebih mengetahui atau lebih berwawasan luas daripada orang lain, mendapat hasil tes yang tinggi. Berbeda dengan Ames dan Archer (1988 dalam Schunk, Pintrich, dan Meece 2008: 185) menyatakan karakteristik goal orientation sebagai berikut :

(1) Mastery goal

Mastery goal merupakan suatu orientasi motivasional yang dimiliki individu, yang menekankan diperolehnya pengetahuan dan perbaikan diri. Penguasaan orientasi tujuan didefinisikan sebagai fokus pada pembelajaran, menguasai tugas sesuai dengan standar yang ditetapkan sendiri atau pengembangan diri, mengembangkan keterampilan baru,


(54)

meningkatkan atau mengembangkan kompetensi, mencoba mencapai suatu hal yang menantang, dan mencoba untuk mendapatkan pemahaman atau wawasan.

Woolfolk (2009: 201) memaksudkan orientasi ini sebagai intens pribadi untuk memperbaiki kemampuan dan memahami apa yang dipelajari, tanpa memperdulikan buruknya performa yang ditampilkan seorang individu yang memiliki orientasi tujuan penguasaan akan memfokuskan diri pada kegiatan belajar itu sendiri, berusaha menguasai tugas, mengembangkan keterampilan baru, memperbaiki kompetensinya, menyelesaikan tugas yang menantang dan berusaha untuk memperoleh pengalaman terhadap apa yang dipelajari. Menurut Schunk, Pintrich, dan Meece (2008: 185) ciri individu dengan mastery goal yang kuat adalah belajar dengan sungguh-sungguh, kesalahan adalah bagian dari belajar. Ormord (2008: 111) memberikan gambaran lebih lengkap mengenai karakteristik siswa dengan mastery goal sebagai berikut :

a. Percaya bahwa kompetensi dapat berkembang melalui latihan dan usaha.

b. Memilih tugas-tugas yang dapat memaksimalkan kesempatan untuk belajar.

c. Bereaksi terhadap tugas yang mudah dengan perasaan yang bosan dan kecewa.

d. Memandang usaha sebagai sesuatu yang penting untuk meningkatkan kompetensi.


(55)

40

e. Lebih termotivasi secara instrinsik untuk mempelajari materi pelajaran. f. Menampilkan perilaku dan belajar yang lebih bersifat self regulated. g. Menggunakan strategi belajar yang mengarah pada pemahaman materi

yang sesungguhnya.

h. Mengevaluasi kinerja sendiri dalam kerangka kemajuan yang sudah dibuat.

i. Memandang kesalahan sebagai sesuatu yang normal dan bagian yang bermanfaat dalam proses belajar, memanfaatkan kesalahan untuk membantu perbaikan kinerja.

j. Merasa puas terhadap kinerja jika sudah berusaha keras, meskipun usaha tersebut mengalami kegagalan.

k. Menginterpretasikan kegagalan sebagai tanda bahwa diperlukan usaha yang lebih keras.

l. Memandang guru sebagai sumber daya dan penuntun untuk membantu individu belajar.

(2) Performance goal

Performance goal berfokus pada menunjukkan kompetensi atau

kemampuan dan bagaimana kemampuan akan dinilai relatif terhadap orang lain, misalnya mencoba untuk melampaui standar kinerja normatif, mencoba untuk menjadi orang terbaik dengan menggunakan standar perbandingan sosial, berjuang untuk menjadi yang terbaik dalam grup atau kelas pada saat mengerjakan tugas, menghindari penilaian kemampuan rendah atau tampak bodoh tentang dirinya, dan mencari regocnition publik


(56)

tingkat kinerja tinggi. Menurut Schunk, Pintrich, dan Meece (2008: 185) individu dengan performance goal yang kuat memiliki karakteristik berusaha untuk mendapatkan peringkat tinggi dan tidak suka membuat kesalahan. Ormord (2008: 111) berpendapat ada beberapa karakteristik

performance goal sebagai berikut :

a. Percaya bahwa kompetensi merupakan karakteristik yang bersifat stabil. Ada orang yang memilikinya dan ada yang tidak.

b. Memilih tugas yang memaksimalkan kesempatan untuk mendemonstrasikan kompetensi, menghindari tugas dan tindakan (misalnya bertanya) yang membuat terlihat tidak kompeten.

c. Bereaksi terhadap tugas yang mudah dengan perasaan bangga.

d. Memandang usaha sebagai tanda kompetensi yang rendah, beranggapan bahwa orang yang berkompeten seharusnya tidak perlu berusaha keras.

e. Lebih termotivasi secara ekstrinsik, seperti penguat dan hukuman eksternal cenderung menyontek untuk mendapatkan nilai yang tinggi. f. Kurang menampilkan belajar dan perilaku yang self regulated.

g. Menggunakan strategi belajar yang hanya bersifat rote learning

(misalnya pengulangan, mencontoh, mengingat kata per kata).

h. Mengevalusi kinerjanya dalam kerangka perbandingan dengan orang lain.

i. Memandang kesalahan sebagai tanda kegagalan dan tidak kompeten. j. Merasa puas dengan kinerja hanya jika berhasil.


(57)

42

k. Menginterpretasikan kegagalan sebagai tanda rendahnya kemampuan dan karena itu meramalkan kegagalan berulang di waktu yang akan dating.

l. Memandang guru sebagai penilai, pemberi hadiah atau hukuman. Kemudian menurut Maehr dan Midgley (1991 dalam Shunck, Pintrich, dan Meece 2008: 185) ada tiga karakteristik goal orientation yaitu :

1 Task-focused

Karakteristik siswa dengan task focused suka belajar dari pekerjaan rumahnya bahkan bila dia membuat banyak kesalahan, alasan siswa mengerjakan pekerjaan sekolah karena siswa ingin belajar hal baru, dan alasan terakhir siswa adalah siswa ingin menjadi lebih baik.

2 Performance-approach

Siswa dengan performance approach memiliki karakteristik adalah ingin menunjukkan pada guru, bahwa dia lebih pintar dari siswa lain; siswa ingin melakukan hal yang lebih baik daripada siswa lain di kelas; siswa akan merasa sangat baik bila siswa tersebut menjadi satu-satunya siswa yang dapat menjawab pertanyaan guru di kelas.

3 Performance-avoid

Karakteristik siswa dengan performance avoid, di mana siswa sangat penting tidak terlihat bodoh di kelas, alasan siswa mengerjakan tugasnya agar orang lain tidak akan berpikir bahwa siswa itu bodoh, alasan siswa menghindari tugasnya agar siswa tidak terlihat tidak bisa mengerjakannya.


(58)

Berdasarkan beberapa teori tentang karakteristik goal orientation oleh beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik goal orientation terbagi menjadi dua yaitu : mastery/learning/task focused/task involved goals dan performance/ego involved goals. Terdapat perbedaan antara mastery goal dan performance goal. Diterangkan bahwa mastery goal ini lebih memiliki motivasi instrinsik, di mana siswa dengan mastery goal akan cenderung mementingkan bagaimana cara siswa agar dapat memahami materi. Hal ini terjadi sebaliknya pada siswa dengan performance goal, siswa lebih memiliki motivasi ekstrinsik. Siswa cenderung mementingkan mendapatkan nilai baik dan pengakuan secara sosial tentang dirinya yang berkompeten. Cara siswa untuk mendapatkan pengakuan ini terkadang menggunakan usaha yang maladaptif, misalnya menyontek agar mendapat nilai dan dipuji.

Berdasarkan pemaparan di atas, menunjukkan bahwa siswa dengan mastery goal lebih baik dibandingkan siswa dengan performance goal. Hal ini sejalan dengan penelitian Mattern (2005: 30) yang menunjukkan bahwa siswa dengan

mastery goal orientation memiliki level prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada siswa dengan performance goal orientation. Schunk, Pintrich, dan Meece (2008: 287) mengatakan bahwa siswa dengan mastery goal lebih menggunakan strategi pengaturan diri yang seperti perencanaan, kesadaran dan pemonitoran. Berbeda dengan siswa dengan performance goal yang hanya menggunakan strategi yang lebih dangkal seperti penghafalan. Siswa yang cenderung mastery goal akan mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah


(59)

44

yang lebih positif, dan memiliki tingkat self-efficacy yang lebih tinggi (kepercayaan pada kemampuan diri untuk berhasil dalam situasi tertentu) dibandingkan siswa-siswa yang cenderung performance goal.

2.4 Perbedaan

Self Regulated Learning ditinjau dari

Goal

Orientation Siswa SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten

Magelang

Pendidikan merupakan hal pokok bagi individu, karena dengan adanya pendidikan individu tersebut dapat mengembangkan dirinya. Fakta yang terjadi pendidikan juga menjadi ketakutan bagi peserta didiknya. Hal ini dibuktikan adanya ketidaklulusan siswa, tidak naik kelas karena tidak memenuhi KKM, dan persaingan yang semakin ketat.

Siswa SMA masuk dalam kategori masa remaja awal, di mana menurut Mappiare (1982: 25) pada masa ini siswa berusia 13/14 sampai dengan 17 tahun. Di dalam dunia pendidikan, siswa SMA sudah mulai menentukan dan memasuki masa penjurusan. Umumnya jurusan yang terdapat di SMA adalah jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial.

Siswa yang sudah mulai mempersiapkan dan memasuki penjurusan seharusnya dapat mengembangkan ilmu yang sedang dipelajarinya sesuai dengan keinginannya. Selain itu, siswa dituntut dapat mempertanggungjawabkan hal (jurusan) yang dia pilih saat ini. Ormord (2008: 39) menjelaskan pada masa SMA ini terjadi peningkatan perencanaan belajar dan motivasinya. Berdasarkan kenyataan yang ada, tidak semua siswa sesuai dengan harapan. Terdapat beberapa siswa yang sering membolos dengan alasan bosan, tidak mengumpulkan tugas,


(60)

lebih suka membicarakan hal-hal yang tidak termasuk dalam pelajaran, dan lain sebagainya.

Self regulated learning adalah proses atau usaha individu yang dilakukan secara sistematis untuk memfokuskan pikiran, perasaan, dan perilaku pada pencapaian tujuan. Terdapat beberapa siswa yang tidak memiliki kemampuan self regulated learning sehingga masih ada siswa yang mengalami permasalahan belajar.

Kemampuan self regulated learning dalam dunia pendidikan sangat penting karena siswa yang mempunyai self regulated learning yang tinggi akan dengan mudah mencapai prestasi yang optimal. Rencana belajar siswa merupakan salah satu cara yang dibuat untuk mengontrol self regulated learning agar tidak memunculkan perilaku seperti yang dicontohkan sebelumnya dan terdapat pencapaian prestasi yang optimal.

Self regulated learning (SRL) selalu mengarah pada beberapa tujuan, yang

terangkum dalam beberapa tahap yang mencakup (1) memiliki dan menentukan tujuan belajar, (2) membuat perencanaan dan (3) memilih strategi pencapaian tujuan. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa goal orientation menjadi penunjangnya (Markus dan Wurf, dalam Deasyanti dan Anna 2007: 14).

Menurut Schunk, Pintrich dan Meece (2008: 142) siswa dengan tujuan dan efikasi diri dalam mencapai keinginannya cenderung akan terlibat dalam kegiatan yang dia percaya dapat menunjang keinginannya tersebut dengan memperhatikan proses, berlatih mengingat informasi, berusaha dan bertahan. Self regulated


(61)

46

ditujukan untuk pencapaian target dengan melakukan perencanaan terarah (Zimmerman, dalam Schimtz dan Wiese 2006: 66). Kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa goal orientation yang jelas maka akan meningkatkan kemampuan self regulated learning pula, karena komponen dari self regulated

learning adalah perencanaan terarah. Perencanaan terarah siswa dalam

pembelajaran dapat muncul karena adanya goal orientation siswa, dimana goal

orientation akan menjadi pendorong siswa untuk berusaha. Hal ini dapat

diperkuat Schunk, Pintrich dan Meece (2008: 174) bahwa ketika individu tidak memiliki komitmen untuk mencapai tujuan maka dia tidak akan bekerja maksimal dan tidak memiliki keinginan untuk berprestasi.

Goal orientation terdapat dua karakteristik yang membedakan cara belajar

dan performance anak, antara lain: mastery goal dan performance goal. Mastery

goal adalah orientasi siswa untuk menguasai materi pelajaran, sedangkan performance goal adalah orientasi siswa untuk mendapatkan hasil yang baik. Perbedaan goal orientation yang siswa miliki dapat menimbulkan usaha yang berbeda pula. Siswa dengan mastery goal berhenti belajar bila merasa menguasai materi pelajaran dengan baik, sedangkan siswa dengan performance goal berhenti belajar bila merasa nilainya sudah baik.

Siswa yang cenderung mastery goal akan mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki tingkat self-efficacy yang lebih tinggi (kepercayaan pada kemampuan


(62)

diri untuk berhasil dalam situasi tertentu) daripada siswa-siswa yang cenderung

performance goal.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan goal

orientation siswa dapat mempengaruhi usaha yang dilakukan siswa. Ames dan

Archer (1998, dalam Schunk, 2012: 278) berpendapat bahwa goal orientation

menentukan bagaimana siswa belajar dan usaha yang dilakukannya untuk mencapai hasil yang diharapkannya. Usaha-usaha yang dilakukan siswa untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam proses pembelajaran ini salah satunya adalah menunjukkan kemampuan self regulated learning. Mastery goal lebih termotivasi secara instrinsik daripada performance goal. SRL lebih dipengaruhi motivasi secara instrinsik, maka mastery goal lebih berpengaruh dibandingkan

performance goal.

Perbedaan goal orientation akan berpengaruh positif ataupun negatif untuk meningkatkan self regulated learning. Dapat dikatakan tingkat SRL siswa SMA dengan mastery goal lebih tinggi dibandingkan siswa SMA dengan performance goal.


(63)

48

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir

2.5

Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu “Ada perbedaan self regulated learning antara siswa dengan mastery goal dan siswa dengan performance goal di SMA Negeri 1 Mertoyudan Kabupaten Magelang”. Siswa dengan mastery goal memiliki tingkat self regulated learning dibandingkan siswa dengan performance goal.

Goal Orientat ion

M astery Goal

1. Sisw a m em ilih t ugas-t ugas yang dapat m em aksim alkan pem aham an m at eri 2. Sisw a menganggap usaha sebagai hal yang pent ing unt uk m eningkat kan pem aham an at au kom pet ensi

3. Sisw a mement ingkan penguasaan m at eri pelajaran

4. Sisw a m enganggap kegagalan sebagai t anda diperlukan usaha yang lebih keras 5. Sisw a m em bandingkan kinerja dengan kerangka kem ajuan yang sudah dibuat

SRL Tinggi

Perform ance goal

1. Sisw a m emilih t ugas-t ugas yang m em aksim alkan kesem pat an untuk m enunjukkan kom pet ensinya

2. Sisw a m enganggap good perf orm anceadalah hal yang ut am a 3. Sisw a m em entingkan penguat an dari luar

4. Sisw a m enganggap kegagalan m er upakan kinerja yang buruk

5. Sisw a mem bandingkan kinerjanya dengan kiner ja orang lain


(64)

49

3.1

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif, yakni penelitian yang banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya (Arikunto 2010: 27). Menurut Azwar (2011: 5) penelitian kuantatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metoda statistika dan dilakukan pada penelitian inferensial (dalam rangka pengujian hipotesis) serta menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan hipotesis nihil.

3.2

Desain Penelitian

Desain penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif komparasi, dengan tujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat melalui pengamatan terhadap konsekuensi yang sudah terjadi dan menengok ulang data penelitian untuk menemukan faktor-faktor penyebab yang mungkin terdapat disana (Azwar 2011: 9). Aswarni (dalam Arikunto 2010: 267) berpendapat bahwa penelitian komparatif merupakan penelitian yang dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaaan tentang benda-benda, tentang orang, tentang prosedur kerja, tentang ide–ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu idea atau suatu prosedur kerja. Penelitian komparatif juga membandingkan kesamaan pandangan atau perubahan-perubahan pandangan orang, grup atau Negara,


(1)

Studi Pendahuluan dengan guru mata pelajaran dan guru BK

Responden mengerjakan skala


(2)

156

LAMPIRAN 9 :


(3)

(4)

(5)

(6)