Teori-Teori Komunikasi Verbal Komunikasi Verbal 1. Definisi Komunikasi Verbal

Dalam komunikasi nonverbal bisa dilakukan beberapa tindakan sekaligus dalam kondisi tertentu, sementara komunikasi verbal terikat pada urutan waktu. Komunikasi nonverbal dipelajari sejak usia sangat dini. Sedangkan penggunaan lambang berupa kata sebagai alat komunikasi membutuhkan masa sosialisai sampai pada tingkat tertentu. Komunikasi nonverbal lebih dapat memberi dampak emosional dibanding komunikasi verbal.

II.2.5. Teori-Teori Komunikasi Verbal

Berikut adalah Teori-Teori Komunikasi Verbal 34 . 1. Pendekatan Natural Nature Approach Noam Chomsky mengemukakan melalui Teori Struktur Dalam deep structure bahwa suatu tata bahasa atau struktur bawaan imate grammar yang ada pada diri manusia sejak dia lahir merupakan landasan bagi semua bahasa. Teori ini mencakup suatu pendekatan umum yang universal. Dengan mendasarkan pada sejumlah besar penelitiannya, Chomsky mengidentifikasi adanya tiga struktur dalam semua bahasa. Pertama, adanya hubungan antara subjek-predikat. Apapun subjeknya predikat akan selalu menunjukkan tindakan apa yang dilakukan oleh subjek. Demikian pula sebaliknya apapun predikatnya, subjek akan selalu menunjukkan apa atau siapa yang melakukan tindakan tersebut. Misalnya, ‘orang makan’, ‘gajah makan’, kesemuanya menunjukan bahwa subjek sedang melakukan tindakan tertentu, yaitu makan. Sementara dari visi predikat ‘orang lari’, ‘orang 34 Ibid, hal.6.37 - 6.45. Universitas Sumatera Utara bermain’, ‘orang makan’, menunjukkan bahwa ‘orang’ yang melakukan tindakan, apapun bentuknya. Kedua, hubungan antara kata kerja verb dengan objek yang mengekspresikan hubungan logis sebab dan akibat. Hubungan ini menunjukkan kepada siapa atau untuk apa suatu tindakan dilakukan. Misalnya, ‘orang memakai topi’, ‘orang memakai jas’, ‘orang memakai kaos’, kesemuanya menunjukkan bahwa objek apapun jenisnya dipakai oleh orang tersebut. Ketiga, modifikasi, yang menunjukkan adanya pertautan kelas intersection of classes. Misalnya, ‘orang memakai topi hitam’, ‘orang memakai topi kuning’, ‘orang memaki topi putih’, dimana kesemuanya menunjuk adanya pertautan intersection antara topi dan warna tertentu. Dengan demikian, Chomsky beranggapan bahwa manusia dilahirkan dengan membawa kemampuan alamiah untuk berbahasa. Kita dapat memformulasikan bentuk-bentuk komunikasi kata tertentu hingga terasa masuk akal. Namun penjelasan bahwa bahasa dapat dipilah dalam struktur tata bahasa belum dapat menjawab bagaimana bahasa mengungkapkan makna. Seorang teoritisi lain, Dan I. Slobin mengemukakan bahwa daripada terlahir dengan pemahaman tata bahasa yang telah terprogram, anak sebenarnya telah memiliki suatu mekanisme pemrosesan atau sistem untuk mengorganisasikan informasi linguistik yang diperoleh dari lingkungan anak tersebut. Slobin mengemukakan bahwa perkembangan kognitif mendahului perkembangan bahasa. Dengan berbagai bukti ilmiah dia menunjukkan bahwa anak dari kelompok bahasa yang berbeda, mempelajari bahasa secara berbeda tergantung pada tingkatan kesulitan dari bahasa tersebut. Bahasa yang lebih Universitas Sumatera Utara kompleks membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya, karena anak harus membuat sejumlah pengecualian pada prinsip bawaan yang ada dalam setiap bahasa. Slobin sendiri mengidentifikasi adanya empat prinsip yang bekerja pada semua bahasa, yaitu: memperhatikan susunan kata, menghindari pengecualian, menghindari interupsi atau penataan kembali unit-unit bahasa, dan memperhatikan kata yang ada pada bagian terakhir kalimat. Walau ada perbedaan antara teori Chomsky dan Slobin, namun pada dasarnya keduanya mendasarkan diri pada prinsip natural, yang memandang bahwa bahasa diperoleh secara natural. Meskipun demikian keduanya belum dapat menjawab makna apa yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa tersebut. 2. Pendekatan Nurtural Nurture Approach Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengemukakan teori yang menentang perspektif alamiah nature. Dengan memusatkan kajiannya pada semantik makna dari kata, mereka mengembangkan suatu teori kultural mengenai bahasa. Mereka mengatakan bahwa latar belakang dari sistem linguistik atau tata bahasa dari setiap bahasa bukan hanya suatu alat reproduksi untuk menyampaikan gagasan, tetapi lebih sebagai pembentuk gagasan, pembentuk dan pemandu bagi aktivitas mental individu, untuk menganalisis kesan, untuk mensitesiskan aktivitas mental dalam komunikasi. Formulasi gagasan bukan merupakan suatu proses independen dan bukan aktivitas rasional semata tetapi, suatu tata bahasa tertentu yang berbeda diantara berbagai tata bahasa lain. Universitas Sumatera Utara Jadi, bahasa adalah kultural seperti pandangan Birdwhistell mengenai komunikasi nonverbal. Bahkan aturan-aturan bahasa sangat bervariasi dari satu kultur ke kultur lain, oleh karenanya individu dari kultur berbeda akan berbeda pula caranya dalam memandang dunia. Misalnya beberapa bahasa memiliki begitu banyak istilah untuk menyebut ‘salju’ sementara sejumlah bahasa lainnya bahkan tidak memiliki satu istilahpun, terutama bagi yang belum pernah melihatnya. Menurut Sapir dan Whorf bahasa dari suatu kultur akan berkaitan langsung dengan bagaimana cara-cara kita berpikir dalm kultur tersebut. Asumsi ini sejalan dengan pandangan antropologis tentang relativitas kultural, yang menyatakan bahwa karena kultur yang berbeda memiliki bahasa berbeda dan pandangan hidup berbeda, maka mereka juga memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda pula. Kedua teori yang berlawanan ini menunjukkan bahwa baik dalam komunikasi verbal maupun nonverbal, terdapat dua aliran yang berangkat dari posisi yang berlawanan dalam menjelaskan bagaimana orang memperoleh bahasa. Kontroversi ini masih terus berluang tanpa salah satu dapat mengklaim bahwa teorinya yang paling benar, karena bukti-bukti yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak belum cukup memadai. 3. Teori Fungsional tentang Bahasa General Semantics Hanya dengan memfokuskan pada makna dari kata dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi prilaku, aliran general semantics menganggap bahwa bahasa harus dapat merefleksikan dunia dimana kita hidup. Asumsi yang mendasari pemikiran general semantic adalah bahwa ‘the word is not the thing’. Universitas Sumatera Utara Kata dianggap sebagai abstraksi dari realitas. Oleh karenanya general semantics memandang bahwa kata harus sedekat mungkin dengan realitas yang direfleksikannya. Meskipun demikian mereka menyadari bahwa ini suatu hal yang sulit, karena ketika kata merupakan suatu konsep yang statis dalam waktu yang panjang, realitas selalu dalam kondisi yang berubah. Untuk memahami apa yang menjadi kajian general semantics, kita harus mempelajari sifat-sifat simbol dan bagaimana kita menggunakannya. Penggunaan simbol Pandangan ini mengasumsikan bahwa seluruh prilaku manusia berangkat dari penggunaan simbol. Salah seorang ahlinya yang bernama Alfred Korzybski menganggap adanya ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa sehari-hari kita. Argumentasinya adalah bahwa manusia hidup dalam dua lingkungan yang berbeda, lingkungan fisik dan lingkungan simbolik. Untuk memahami hal tersebut kita dapat menganalogikannya dengan penggunaan peta. Misalnya kita bertanya kepada teman kita berapa jarak antara Jakarta-Surabaya, dan dia menjawab: “menurut peta sekitar 10 cm”. Informasi ini hanya memiliki arti bagi kita bila kita mengetahui skala dari peta tersebut dan tentunya skala peta tersebut bukanlah 1:1 karena jika demikian maka jarak yang disebut tadi adalah jarak yang sebenarnya. Hal serupa berlaku pula pada kata. Kata, pada kenyataanya semua jenis simbol tidak sama dengan fenomena yang digambarkannya. Menurut Odgen dan Richards simbol adalah representasi ide, dan ide adalah representasi objek. Dan ketiganya merupakan fenomena yang berbeda. Universitas Sumatera Utara Persoalan menjadi menarik ketika kita berbuat seolah-olah kata adalah objek yang digambarkannya. Misalnya saja orang yang langsung lari ketakutan hanya karena mendengar kata “ular” meskipun ia belum melihat ular itu sendiri. Interaksi antara kata, maknanya dan prilaku manusia inilah yang menjadi perhatian Korzybski ketika dia mengemukakan teori general semantics. Untuk mempelajari teori ini kita akan membahas sejumlah konstruk: silent assumptions, reaksi dan respons, penggunaan identitas, waktu dan ruang, multiordanalitas, orientasi intensional dan ekstensional, dan tataran-tataran abstraksi. Silent assumptions General semantics menjelakan bahwa kita memiliki kecenderungan untuk berurusan dengan objek atau benda pada tataran abstrak. Misalnya kita tidak berurusan dengan fenomena pada tataran anatomis, meskipun sebenarnya fenomena berubah pada tataran ini. Seperti yang telah dikatakan oleh Korzybski bahwa tataran objektif bukan kata dan tidak dapat dicapai hanya dengan kata. Untuk dapat mencapai atau memahami tataran objektif, general semantic mengajarkan kita untuk diam silent, dan kondisi diam ini memungkinkan kita untuk merespons kata sebagai manusia daripada bereaksi terhadapnya sebagaimana yang dilakukan oleh hewan. Persoalan yang muncul dalam silent assumptions ini adalah ketika mengantisipasi apa yang dikatakan orang lain. Oleh karenanya ketika kita melakukan silent assumptions kita harus menanyakan pada diri kita Universitas Sumatera Utara sendiri tiga pertanyaan tentang apa yang sedang dikatakan orang lain, yaitu: apa yang dimaksudkannya?, bagaimana dia mengetahui hal yang dibicarakannya?, dan mengapa dia mengatakan hal ini kepada saya? Reaksirespons Konstruk ini diawali oleh asumsi bahwa manusia bereaksi seperti yang dilakukan hewan melalui apa yang disebut dengan respons yang dikondisikan. Orang dapat dengan mudah dipaksa untuk bereaksi pada slogan, nama, hasrat, dan sebagainya. Misalnya saja reaksi pengikut Hitler pada Swastika dan lambang-lambang lainnya. Korzybski menekankan bahwa kita seharusnya tidak meniru binatang. Respons kita haruslah kondisional bukan dikondisikan. Artinya, respons kita harus melalui penundaan delayed dan modifikasi, bukan otomatis. Untuk itu, kita perlu menghindari reaksi yang baku atau stereotip terhadap kelas atau kelompok orang tertentu dan menyadari adanya perbedaan-perbedaan di antara individu anggota kelompok atau kelas dan menyesuaikan respons kita. Identitas. Ada tiga alasan mengapa kita cenderung bereaksi daripada merespons suatu pesan, yaitu: nama adalah suatu karakteristik penting dari benda atau objek, keunikan benda atau objek berada di dalam nama, dan jika suatu benda atau objek tidak memiliki nama maka ia menjadi tidak eksis atau tidak dianggap. Jadi, terdapat orang-orang yang beranggapan bahwa semua ‘perceraian’ memiliki makna yang sama atau semua pengertian Universitas Sumatera Utara ‘demonstrasi’ adalah sama, padahal dalam situasi yang nyaris sama orang atau hal-hal lainnya akan selalu berbeda. Konstruk tentang identitas berkaitan dengan konstruk lain dalam teori general semantics, yaitu nonallness dan nonaddivity. Nonallness berarti bahwa kita tidak dapat mengatakan segala sesuatunya secara lengkap mengenai semua hal. Oleh karenanya ketika melihat ada kesamaan dalam beberapa hal kita cenderung untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan. General semantics merekomendasikan kita untuk memberikan gambaran bahwa terdapat hal-hal lain yang tidak kita ketahui ketika mendeskripsikan sesuatu pada saat berbicara. Konstruk nonaddivity dapat dilakukan ketika menambahkan sesuatu dan hasilnya memiliki arti lain. Misalnya, ketika guru berkata kepada guru lainnya: bisakah anda menerima seorang murid lagi untuk kelas anda?”. Karena tidak ada dua hal yang sama persis, menerima seorang murid yang sekedar duduk di kelas adalah berbeda dengan menerima seorang murid yang sangat partisipatif di dalam kelas. Oleh karenanya menambahkan sesuatu tidak hanya sekedar menghasilkan hal yang sama dalam jumlah yang lebih besar, seperti yang dikondisikan oleh kata atau bunyi, melainkan menghasilkan suatu prilaku komunikatif yang berbeda. Keterikatan pada waktu dan ruang Universitas Sumatera Utara General semantics mengemukakan bahwa segala sesuatu di dalam lingkungan fisik akan terus menerus berubah. Hal ini bahkan juga berlaku pada benda mati dimana terjadi perubahan molekul. Fenomena ini disebut ‘keterikatan waktu’ time binding. Selain itu juga terjadi ‘keterikatan ruang’ space binding karena orang berada dalam tempat atau ruang berbeda, mereka akan mempersepsikan sesuatu secara berbeda-beda. Dua aspek dalam dimensi ruang adalah jarak dan posisi relatif. Seperti halnya waktu, ruang adalah fenomena yang pasif dan penyebab perubahan catalytic. Benda, objek atau hal harus berada di dalam suatu ruang, harus memiliki jarak baik dekat atupun jauh dari benda, objek atau hal lainnya, dan meskipun memiliki jarak yang sama mereka harus menempati posisi yang berbeda. Dimensi ruang mencakup tataran fisik persepsi dan jarak. Tataran psikologis perasaan, keadaan, dan sebagainya, dan tataran kultural norma, nilai. Multiordinalitas Multiordinalitas menjelaskan pernyataan yang bertingkat-tingkat. Misalnya kata ‘cinta’. Kita dapat mencintai suatu bangunan, seorang gadis, sebuah lukisan, sebuah teori, sebuah pertarungan sengit. Namun semua ‘cinta’ ini berada pada tataran abstraksi yang sama, tetapi cinta juga dapat bergerak ke tataran yang lain. Jadi, kita dapat mencinta ‘kecintaan’ kita terhadap seorang gadis, dan sebagainya. Ini Universitas Sumatera Utara adalah cinta pada tataran kedua, yang berbeda dari cinta pada tataran pertama karena melibatkan proses psikoneurologis yang berbeda. Konstruk ini menjelaskan bagaimana orientasi orang ketika merespons suatu hal. Ivring J. Lee mengemukakan bahwa orientasi intensional didasarkan pada definisi verbal, asosiasi, dan sebagainya yang mengabaikan observasi. Karakteristik orang seperti ini adalah lebih memperhatikan nama dan apa yang dikatakan mengenai suatu hal daripada kenyataan, orang merespon kata atau pernyataan sebagaimana orang merespons objek yang digambarkan oleh kata tersebut, orang tidak merasa yakin dengan kenyataan yang dihadapinya, dan orang menggunakan pembuktian verbal daripada fakta yang nyata. Sebaliknya, orientasi ekstensional didasarkan pada susunan observasi, investigasi dan sebaginya terlebih dahulu sebelum meresponsnya. General semantic lebih mendukung orientasi ekstensional yang artinya merekomendasikan seseorang mencari faktanya terlebih dahulu. 4. Konstruktivisme: Perspektif Pesan dalam Bahasa Teori ini dikemukakan oleh Jesse G. Delia dan Ruth Anne Clark yang menaruh perhatian pada proses berpikir yang terjadi sebelum pesan dikemukakan dalam suatu tindak komunikasi. Proses berpikir ini disebut kognisi sosial. Beberapa prinsip penting dalam teori mereka adalah Konstruksi episodik dan disposisi oleh skemata interpersonalnya. Skemata - skemata interpersonal ini adalah kognisi atau pemikiran mengenai bagaimana kita berpikir mengenai apa yang akan dilakukan oleh orang lain. Skemata - skemata interpersonal ini Universitas Sumatera Utara diorganisasi kedalam sistem yang mencakup interpretasi dan penyimpulan serta pola-pola ‘konstruksi’ yang kita gunakan untuk menjelaskan perilaku orang lain. Prinsip kedua adalah, organisasi kesan interpersonal memberikan pemahaman dan antisipasi atas orang lain secara kontekstual dan relevan. Dalam hal ini orang bertindak seolah-olah sebagai psikolog sosial yang menggunakan suatu pola konsepsional untuk menjelaskan, memahami, dan memperkirakan perilaku orang lain di dalam berbagai konteks. Prinsip ketiga adalah, variasi sistematis dalam konstruk dan skemata interpersonal yang berkembang sebagai suatu fungsi pengalaman sosial, memberikan perbedaan kapasitas untuk membentuk kesan-kesan yang terorganisasikan dan stabil dalam waktu dan konteks berbeda. Maksudnya, orang yang memiliki lebih banyak pilihan dalam menilai orang lain cenderung lebih mampu memformulasikan pandangan yang terorganisasi mengenai orang lain. Delia dan Clark telah mengemukakan bahwa bahasa digunakan untuk menilai apa yang akan dirasakan oleh orang lain terhadap suatu pesan yang disampaikan kepadanya sebelum pesan itu sendiri belum sepenuhnya disusun. Oleh karenanya, individu dengan kecakapan bahasa yang baik akan mampu menyusun pesan secara lebih tepat dan jelas kepada berbagai jenis orang dalam berbagai situasi spesifik. Universitas Sumatera Utara

II.3. Komunikasi Nonverbal