44 berirama, yang lain juga ada pulet, rebana atau rapa’i yang pada umumnya
dimainkan malam Jum’at setelah acara inti ibadah. Kelima, menurut Hourtje 1985 , meunasah juga berfungsi sebagai tempat
pelaksanaan akad nikah perkawinan. Mendukung pendapat tersebut menurut Gani dalam Djalil,2011, meunasah juga berfungsi sebagaimana Kantor Urusan
Agama, yaitu berfungsi sebagai lembaga nikah dan ruju’, hal itu dimungkinkan karena persoalan kesediaan Teungku Meunasah dan persetujuan Keuchik tentang
perlunya kelembagaan nikahruju’fasakh di gampông, agar tidak perlu lagi ke KUA yang tempatnya lebih jauh, maka dapat memanfaatkan meunasah sebagai
sekaligus fungsi lembaga KUA.
3.2. Arsitektur Meunasah
Djalil 2011 menjelaskan meunasah secara fisik adalah bangunan rumah panggung yang dibangun pada tiap gampông desa yang di sekelilingnya
dibangun sumur, bak air, dan tempat keperluan buang air. Umumnya meunasah dibangun atau berlokasi di pinggir jalan. Bangunan yang letaknya di tengah-
tengah gampong atau lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Bentuknya seperti rumah tradisional Aceh dengan beratap daun rumbia dan dindingnya
dibangun terbuka. Karena terbuat dari kayu, meunasah sering dipenuhi dengan berbagai ukiran yang ada pada rumah tradisional Aceh. Seperti halnya rumah adat
atau rumah tradisional Aceh, meunasah dibangun dengan tiang-tiang kayu dan agak tinggi dari tanah atau lantai. Di bagian depan meunasah kadang-kadang
dilengkapi dengan beranda yang agak rendah yang sering dipakai sebagai tempat
45 istirahat orang-orang yang datang ke meunasah. Pada tempat beranda inilah,
meunasah memiliki fungsi terbuka, karena selalu ada orang yang singgah dan duduk berlama-lama dan menjadikan meunasah sebagai pusat komunikasi sosial
yang efektif yang bersifat informal dalam masyarakat Aceh.
Gambar 2. Bentuk Meunasah Tanjong Beurunyong Meunasah Tanjung Beureunyong secara arsitektur mirip dengan rumah
tradisional Aceh, yaitu rumah panggung. Hampir semua meunasah di Kecamatan Paya Bakong berbentuk rumah panggung dengan hiasan khas Aceh seperti
rencong senjata khas Aceh dan kaligrafi ayat-ayat Al-Quran di dinding dan bagian depan atap meunasah. Bagian atas merupakan bagian dalam yang
berbentuk persegi dengan lantai kayu. Dinding meunasah ini merupakan dinding bata yang telah dibangun sejak tahun 1976 sebelum itu menurut keterangan Azis
meunasah dahulu hanya bangunan kayu, saat awal didirikan memiliki bentuk seperti balee pengajian yang ada sekarang. “Dulu masih meunasah tiang, masih
46 dari kayu dengan enam tiang waktu didirikan. Bentuknya seperti balee, dulu
gotong royong dibuat meunasah itu , waktu habis merdeka”. Bagian dalam meunasah dipisah menjadi dua oleh sebuah kain yang
membatasi antara jamaah laki-laki dah jamaah perempuan. pada bagian depan terdapat sebuah bagian yang sedikit maju yang merupakan tempat untuk imam.
Pada bagian luar yang masih menyatu dengan meunasah terdapat sebuah ruangan kecil yang berfungsi sebagai gudang. Di dalam gudang ini tersimpan segala
keperluan umum untuk desa khususnya untuk segala acara-acara besar, seperti pernikahan. Bagian ini biasanya tersimpan, tenda, teratak, peralatan dapur, kursi
dan lain-lain. Sedangkan bagian bawah tiang merupakan tempat berkumpul untuk melakukan pertemuan-pertemuan tertentu, seperti kenduri, Maulid, dan
musyawarah sebagainya. Bagian bawah ini merupankan bagian tambahan yang telah dilantai keramik.
Gambar 3. Bagian samping meunasah yang terdapat sumur dan bak
47 Disekeliling meunasah terdapat sebuah bak penampung air, dua buah
sumur, dan toilet. Bak penampung air berada di samping meunasah sebagai tempat para jamaah sholat untuk mengambil air wudhu. Air ini ditarik dengan
menggunakan pompa air, untuk menarik yang berasal dari sumur yang berada di depan bak penampung air, sedangkan sumur yang kedua berada di bagian
belakang dan terdapat diantara WC umum toilet yang ada di belakang. Bagian depan meunasah terdapat papan pengumuman, papan nama meunasah, papan
nama posyandu, dan PKK.
Gambar 4. Bagian depan meunasah yang terdapat papan nama posyandu dan PKK
Arsitektur meunasah ini merupakan bangunan yang mirip dengan rumah tradisional Aceh, namun terdapat perbedaan mendasar. Djalil menjelaskan
perbedaan-perbedaan tersebut antara lain pada posisinya, rumah tradisional Aceh membujur ke arah kiblat Mekkah, sementara meunasah berdiri melintanginya
utara-selatan atau menghadap menyilangi rumah tradisional. Lantai pada meunasah lantainya datar sedang pada rumah tradisional Aceh tampak tinggi di
48 bagian tengahnya. Ruangan-ruangan pada meunasah terdiri atas ruangan depan
serambi dan ruangan besar tungai sedangkan ruangan rumah Aceh, selain ruangan tersebut masih ada lagi ruangan yang disebut serambi belakang seramoe
likot. Bentuk tiang meunasah bentuknya persegi delapan, sedang tiang rumah Aceh biasanya berbentuk bulat. Pada meunasah tidak terdapat tiang raja dan tiang
putri seperti pada rumah Aceh.
3.3. Kepengurusan Meunasah Tanjong Beurunyong