69 Meunasah juga merupakan tempat dimana masyarakat salling berhubungan dan
bertemu pada saat-saat tertentu.
4.3.4.1. Meunasah sebagai Tempat Musyawarah dan Mufakat
Musyawarah di Aceh, khususnya di gampong-gampong kecil seperti Tanjong Beureunyong umumnya dilaksanakan di meunasah. Meunasah
merupakan tempat dimana para pemuka gampong berkumpul dan bermusyawarah dalam membahas hal-hal yang berhubungan dengan gampong. Para pemuka desa
ini antara lain: Kadus-Kadus kepala dusun, Kaur, Sekertaris Desa, Tuha Peut dan Tuha Lapan jika ada, serta Imum Meunasah dan dipimpin oleh Keuchik
sebagai pemimpin gampong. Musyawah-musyawarah ini biasa merupakan musyawarah yng membahas masalah pembangunan gampong, pemilihan dalam
menentukan bagian tugas khusus, Qanun gampong, ataupun masalah yang terjadi antara warga.
Para aparat-aparat gampong ini melakukan musyawarah tidak selalu secara bersama-sama, pada kesehariannya mereka juga biasa saling mengobrol dan
membahas masalah gampong serta masalah lainnya secara pribadi. Setiap selesai sholat berjamaah, biasanya setelah Maghrib merupakan saat dimana para jamaah
saling mengobrol dengan Keuchik ataupun Imuem yang biasa hadir untuk sholat. Dan jika untuk urusan-urusan yang lebih pribadi biasanya mereka akan
mendatangi langsung ke rumah Keuchik. Keuchik saat ini, Syamsarif dan beberapa penduduk gampong yang biasa
mengikuti shalat Magrib berjamaah, biasanya tidak langsung pulang ke rumah setiap selesai shalat dan berdoa selesai Magrib. Sering peneliti perhatikan
70 Keuchik, Imeum dan beberapa penduduk biasa mengobrol dahulu sambil
menunggu masuk shalat Isya. Pembicaraan santai ini membahas banyak hal mulai dari masalah pertanian dan sawah mereka sampai, masalah-masalah warganya.
4.3.4.2. Meunasah Tempat Menginap Laki-Laki Lajang
Kebiasaan menginap bagi laki-laki yang belum menikah atau lajang di meunasah telah ada sejak dulu dan merupakan kebiasaan bagi laki-laki Aceh.
Tetapi kebiasaan ini sudah mulai jarang terlihat, pemuda-pemuda Aceh saat ini lebih sering menginap di rumah mereka dari pada di meunasah, kecuali pada saat-
saat tertentu. Mereka umumnya hanya menginap di meunasah ketika mereka pulang terlalu larut atau ada acara tertentu. Begitu pula yang terjadi di gampong
Tanjong Beureunyong. Anak laki-laki Aceh telah biasa untuk tidak tinggal di rumah, sejak kecil
mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama dengan teman-teman laki-laki mereka. Anak laki-laki Aceh belajar untuk dewasa dari lingkngannya di
luar rumah sedangkan anak perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ataupun berkumpul di teras-teras rumah bersama anak perempuan lain.
Seperti yang ditulis oleh Siegel Ihromi, 2006:208-209 dijelaskan: “menjelang pubertas anak laki-laki hanya pulang kerumah, jika
ada keperlan atau jika mereka dibutuhkan di rumah. Sama seperti bapa mereka juga tidak terlama dirumah. Ruang gerak anak
perempuan terbatas pada rumah tangga. Kalau sudah besar mereka membantu mengajar adiknya atau anak kakaknya. Mereka
juga membantu di dapur memasang api atau menggiling bumbu…”
Anak laki-laki sejak usia dini telah diterapkan untuk hidup di luar rumah,
sejak usia dini mereka telah belajar mengaji, kemudian di khitan dengan harapan
71 agar mereka malu terhadap perempuan yang bukan muhrim mereka. Semakin
dewasa mereka di berikan tanggung jawab di luar rumah dengan membantu di sawah atau bekerja, dan shalat lima waktu di Meunasah hingga tinggal disana.
Kebiasaan menginap di Meunasah Tanjong Beureunyong pun sudah mulai berkurang. Para pemuda di Gampong Tanjong Beureunyong mulai sedikit yang
terlihat menginap di meunasah pada hari-hari biasa, kecuali pada bulan Ramadhan jumlah pemuda yang tinggal di meunasah sedikit lebih ramai. Syamsarif selaku
Keuchik tidak terlalu menyukai para pemuda yang menginap dan tidur di meunasah saat ini, karena menurutnya mereka adakalanya sesuka hati
menggunakan karpet untuk sholat sebagai alas tidur mereka, dan juga para pemuda ini sangat susah dibanguni untuk shalat subuh.
4.3.4.3. PKK, Posyandu, dan PAUD