Sejarah dan Arti Meunasah Bagi Masyarakat Aceh

40

BAB III PROFIL MEUNASAH

3.1. Sejarah dan Arti Meunasah Bagi Masyarakat Aceh

Seperti yang telah di jelaskan pada bab I satu, meunasah sejarahnya berasal dari kata Madrasah yang artinya, tempat mengaji atau sekolah. Meunasah, menurut Hourtje identik dengan Langgar, Baleë atau Tajug, sehingga bangunan ini lebih tua dari nama meunasah yang konon berasal dari bahasa Arab madrasah 1985:69. Hal yang sama juga dikatakan Ismail dan para ahli Aceh sebelumnya dikatakan bahwa kata meunasah atau beulasah berasal dari kata madrasah bahasa Arab yang mengandung arti lembaga pendidikan. Perkembangan meunasah tidak dapat di pisahkan dari perkembangan agama Islam di Aceh. Dalam tulisannya Djalil mengatakan perhatiaan raja-aja kerajaan Islam dalam dunia pendidikan, menimbulkan perkembangan pendidikan di Negara-negara Islam telah meningkat dan maju. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut telah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa dahuluhttp:kantorkemenagacehtimur.wordpress.com. Hasjmy dan Ibrahim mengelompokkan pendidikan Islam di Aceh menjadi 5 tingkatan, yaitu meunasah, rangkang, dayah, dayah Teungku Chik, dan Jami’ah. Husein membaginya menjadi dua kelompok, yaitu meunasah untuk tingkat rendah dan dayah untuk tingkat menengah dan tinggi. Menurutnya lembaga rangkang termasuk ke dalam pendidikan dayah. Dayah sendiri menurut Hasjimy berasal dari kata ”zawiyah” 41 Djalil,2011. Dijelaskan bahwa kerajaan Islam pertama yaitu kerajaan Peureulak sekitar 225H840M, perhatian RajaSultan terhadap pendidikan cukup besar. Pada masa itu telah didirikan pusat pendidikan islam Dayah Cot Kala Zawiyah Cot Kala. Hal yang hampir sama juga diungkapkan Hourtje 1985 yang menyebut dayah dengan deah atau dee’ah yang berasal dari kata Zawiyah 1985:71. Namun dalam pembahasan ini peneliti memfokuskan pembahasannya yaitu pada tingkat meunasah. Secara umum meunasah dalam sejarahnya, merupakan pusat peradaban masyarakat Aceh. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong mendapatkan pendidikan. Djalil 2011 menjelaskan; ”Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, meunasah memiliki sistem pembelajaran; 1 kurikulumnya lebih difokuskan pada penguasaan bacaan Al-Quran dan pengetahuan dasar agama; 2 Sistem pembelajarannya dengan sistem halaqah dan sorogan, metodenya menggunakan metode mengeja untuk tahap awal dan menghafal pada tahap berikutnya, serta praktek ibadah; 3 hubungan antara teungku dan muribaneuk miet beut anak didik bersifat kekeluargaan, yang terus kontinuitas sampai murib menginjak dewasa; 4 teungku dipilih oleh masyarakat gampong yang dikepalai oleh Keuchik dan usia anak didik meunasah berkisar 6-7 tahun; 5 di meunasah juga diajarkan kesenian sya’ir yang bernafaskan Islam seperti qasidah, rapai, dikê, seulaweut dan dalail khairat”. Zulfah menuturkan di setiap gampong di Aceh dibangun meunasah yang berfungsi sebagai center of culture pusat kebudayaan dan center of education pusat pendidikan bagi masyarakat. Dikatakan center of culture, karena meunasah ini memang memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh dan disebutkan center of education, karena secara formal anak-anak masyarakat Aceh memulai pendidikannya di lembaga ini. Pendidikan yang 42 dimaksudkan disini adalah pendidikan yang berintikan agama Islam. Dengan adanya meunasah dijelaskan bahwa sejak dahulu desa-desa di seluruh Aceh telah ada lembaga sekolah. Dalam hal ini peneliti juga menemukan hal yang hampir sama dalam pemanfaatan meunasah. Meunasah juga telah menjadi lembaga pendidikan pertama dalam masyarakat Aceh www.acehforum.com. Dalam perkembangan berikutnya meunasah tidak hanya merupakan lembaga pendidikan dan agama saja. Meunasah kemudian juga mengandung makna sebagai tempat sosial. Syamsuddin menjelaskan bahwa meunasah adalah tempat yang dibangun sebagai pusat kegiatan masyarakat gampông, karena meunasah merupakan suatu lembaga tradisional yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pendapat tersebut dikarenakan meunasah mempunyai multi fungsi, di samping sebagai aspek pendidikan, sosial, ekonomi, juga aspek keagamaan Djalil, 2011. Ismail menjelaskan fungsi-fungsi meunasah ini mempunyai berbagai fungsi praktis pada masa dahulu; antara lain: 1 Lembaga musyawarah, 2 Lembaga pendidikan dan pengajian, 3 Lembaga ibadah shalatibadah lainnya, 4 Lembaga hiburan dan kesenian, seperti Dalail Khairat, Meusifeut, Meurukôn, Ratép Duek dan sebagainya, 5 Asah terampil asah otak meucabang catur tradisional Aceh sambil diskusi, 6 Lembaga buka puasa bersama. Pertama, meunasah sebagai lembaga musyawarah rakyat, artinya desa gampông dalam struktur masyarakat di Aceh sebagai kedudukan terbawah dan para penghuni gampông pada saat pemerintahan Aceh Darussalam masih jaya dapat memanfaatkan meunasah sebagai lembaga musyawarah, baik dalam forum 43 pengangkatan Keuchik dan jabatan lain maupun musyawarah lainnya, sehingga masyarakat Aceh menempatkan meunasah sebagai badan sentral pengendalian pemerintah gampông. Kedua, meunasah sebagai lembaga pendidikan pengajian atau madrasah berarti fungsi meunasah yang diajar oleh Teungku Meunasah adalah menyelenggarakan pengajaran pengajian pada generasi muda dan generasi dini anak usia 6-8 tahun masyarakat gampông desa yang berupa membaca dan menulis huruf Arab, membaca al-Quran, cara beribadat, rukun Islam, rukun Iman, dan diajarkan pula Kitab Perukunan, Risalah Masailal Muhtadin. Ketiga, meunasah sebagai lembaga peribadatan, memiliki fungsi sebagaimana tempat ibadah berarti menempatkan meunasah sebagai fungsi mushalla, rumah ibadah, tempat untuk mengabdi pada Allah, atau tempat untuk bersujud, pada realitas lapangan bergantung pada Teungku Meunasah sebagai Imam Meunasah. Biasanya masyarakat gampông dapat maksimal memanfaatkan meunasah untuk tempat ibadah seumayang saat matahari terbenam maghrib setelah pembantu teungku memukul tambô bedug kemudian masyarakat berbondong-bondong menuju meunasah. Juga pada bulan puasa, shalat dilakukan secara teratur, tepat pada waktunya di waktu malam menjelang Tarawih. Keempat, meunasah sebagai lembaga kesenian Islam dan hiburan. Beberapa fenomena yang nampak di masyarakat Aceh, terdapat kebiasaan menyanyikan ratéb saman, ratib samman sesuai dengan nama wali yang hidup beberapa abad lalu di Madinah, juga pemukulan tambô secara ritmis dan 44 berirama, yang lain juga ada pulet, rebana atau rapa’i yang pada umumnya dimainkan malam Jum’at setelah acara inti ibadah. Kelima, menurut Hourtje 1985 , meunasah juga berfungsi sebagai tempat pelaksanaan akad nikah perkawinan. Mendukung pendapat tersebut menurut Gani dalam Djalil,2011, meunasah juga berfungsi sebagaimana Kantor Urusan Agama, yaitu berfungsi sebagai lembaga nikah dan ruju’, hal itu dimungkinkan karena persoalan kesediaan Teungku Meunasah dan persetujuan Keuchik tentang perlunya kelembagaan nikahruju’fasakh di gampông, agar tidak perlu lagi ke KUA yang tempatnya lebih jauh, maka dapat memanfaatkan meunasah sebagai sekaligus fungsi lembaga KUA.

3.2. Arsitektur Meunasah