Adat dan Hukum FUNGSI MEUNASAH

54

BAB 1V FUNGSI MEUNASAH

4.1. Adat dan Hukum

Aceh yang terkenal dengan sebutan Serambi Mekkah, sebutan dimana Aceh menjadi daerah dengan kentalnya nuansa, dan besarnya Agama Islam disana. Bagi masyarakat Aceh sendiri Islam sudah merupakan bagian dari adat dan pedoman hukum yang tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Di Aceh sendiri terdapat banyak kebiasaan dan adat istiadat yang menurut Pak Nga dan Raja Itam Priatomo, 2010:52 dikategorikan menjadi empat yaitu: 1. Adatullah, yaitu adat yang bersumber dari alquran dan hadist nabi, implementasi dari kedua sumber tersebut dijadikan adat istiadat oleh masyarakat. Adat istiadat yang berlaku merupakan penerapan dari ajaran Islam. 2. Adat muhakamah, yaitu adat istiadat yang di tetapkan oleh masyarakat dengan mufakat atau musyawarah, namun tidak bertentangan dengan hukum Islam. Contoh adat bertani, berjualan dan lain-lain. 3. Adatunnah, yaitu adat istiadat yang lahir dari kebiasaan baik, lalu diteruskan dan diikuti dari generasi ke generasi berikutnya. Walaupun adat ini tidak lahir dari musyawarah tetapi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 4. Adat Jahilliah, yaitu kebiasaan-kebiasaa yang di adatkan oleh masyarakat, tetapi bertentangan dengan ajaran Islam. Adat ini biasa hanya berlaku sementara dan tidak bertahan lama karena tidak ditolerir oleh masyarakan umum di Aceh. 55 Dalam sistem kelembagaan adat kedudukan antara Keuchik, Imeum Meunasah dan Tuha Peut memiliki kedudukan yang sama. Dalam artikelnya Sudaryanto 2005 mengatakan: “dalam pemerintahan Aceh ada tiga unsur yang mendapat tugas utama yaitu keuchik, yang mengurusi bidang pemerintahan, Imeum Meunasah sebagai pemuka agama, dan Ureung tuha sebagai sebagai pemuka msyarakat, mengingat masing-masing pengurus agama dan adat bersifat mutlak”. Dalam bahasa Aceh terdapat pepatah atau Hadih Maja yang berbunyi “adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut” adat dan hukum bagaikan zat dan sifat, dalam kalimat diartikan bahwa hukum dan adat merupakan dua bagian yang tidak dapat dipisahkan dan saling lengkapi. Sudaryanto juga menambahkan “bagi orang Aceh, agama Islam merupakan hal yang sangat sensitif, baginya yang dikatakan hukum adalah hukum Islam yang berjalan bersama adat. Oleh karena itu adat harus sesuatu dengan hukum Islam, adat mempunyai sanksi yang tidak bisa tidak bisa dipisahkan dengan hukum Islam”. Dalam kehidupan sebuah gampong dan kehidupan di meunasah, Keuchik dan Imeum Meunasah tidak dapat dipisahkan. Keuchik dalam mengambil keputusan yang sesuai harus mempertimbangkan hukum dan ajaran Islam, yang menjadi tugas Imeum Meunasah dalam memberi masukan bersama Tuha Peut. Hukum yang ada harus sejalan antara hukum Islam dan adat. Secara hukum dan permerintahan Keuchik, Imeum Meunasah dan Tuha Peut bertanggung jawab secara langsung kepada kecamatan, tetapi dalam masyarakat adat Keucik, Imeum Meunasah dan Tuha Peut berada di bawah mukim. 56 Semenjak diberlakukannya otonomi khusus di Aceh, maka setiap daerah mulai dari provinsi, kabupaten, kecamatan sampai gampong memiliki hak dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Sebuah gampong juga dapat membuat hukum dan peraturan sendiri sesuai dengan adat yang berlaku di gampong tersebut. Oleh karena itu Keuchik juga dapat mengeluarkan peraturan untuk kebijakan gampong yang disebut Qanun Gampong. Melalui saran-saran dari Teuku Imeum dan Tuha Peut, maka Keuchik memutuskan hukuman yang sesuai dengan kebiasaan yang ada di masyarakat. Dalam Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat istiadat. Pada pasal 13 disebutkan tentang sengketa perselisihn adat meliputi: a. Perselisihan rumah tangga b. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh c. Perselisihan antar warga d. Khalwat mesum e. Perselisihan antar hak milik f. Pencurian dalam keluarga pencurian ringan g. Perselisihan harta seurikat h. Pencurian ringan i. Pencurian ternak atau peliaraan j. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan k. Persengketaan di laut l. Persengketaan di pasar m. Penganiayaan ringan 57 n. Pembakaran hutan dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat o. Pelecehan fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik p. Pencemaran lingkungan dalam skala ringan q. Ancam mengancam tergantung dari jenis ancaman r. Perselisihan lain yang melanggar adat istiadat Seorang warga yang merasa dirugikan biasanya akan melapor kepada Keuchik jika terjadi perselisihan. Jika permasalahan ini bisa diselesaikan hanya dengan peringatan dan nasehat maka hanya Keuchik yang turun tangan, namun jika permasalahan dianggap besar dan tidak dapat di selesaikan dengan nasehat maka Keuchik akan menyelesaikan dengan musyawarah dengan Imeum Meunasah, dan Tuha Peut. Dalam pasal 14 Qanun no.9 tahun 2008 dijelaskan tentang pembinaan adat istiadat, tokoh yang berhak melakukan pengadilan adat terdiri atas. a. Keuchik b. Imeum Meunasah atau nama lain c. Tuha peut atau nama lain d. Sekertaris gampong e. Ulama, cendikiawan, atau tokoh adat lainnya di gampong yang bersangkutan atau sesuai dengan kebutuhan Kasus yang pernah terjadi Gampong Tanjong Beureunyong ialah pada tahun 2009, saat itu telah terjadi kontak fisik antara dua orang warga hingga salah satu melukai warga lainnya hingga mengeluarkan darah, dan hal ini kemudian dilaporkan kepada Keuchik. Dalam hukum Islam, jika seseorang melukai orang 58 lain hingga menyebabkan luka dalam hingga keluar darah maka orang tersebut boleh membalas dengan menyebabkan luka yang sama atau disebut hukum Qisas. untuk mengganti hukuman pelaku, Keuchik dan pemuka gampong menganti dengan membayar satu ekor kambing yang diserahkan kepada meunasah dan membantu biaya pengobatan korban hingga pulih. Menurut Syamsarif informan penggantian hukum ini diambil berdasarkan pengorbanan Nabi Ismail yang digantikan dengan domba Oleh Allah SWT dalam pristiwa qurban. Dalam masyarakat Aceh sendiri penggantian atas luka atau anggota tubuh ini di sebut Dhiet, atau Diyat. Menurut Kurdi Ekoprianto, 2010 Diyat bermakna mengganti jiwa atau anggota tubuh, dalam hukum Islam, Diyat merupakan ganti rugi seorang pidana yang diserahkan kepada korban sebagai bentuk penyesalan terhadap, jiwa atau anggota tubuh korban, bukan kompensasi atau pengganti setiap bagian tubuh korban dengan harta. Jika masalah telah selesai biasanya diakhiri dengan jabat tagan atau dalam masyatakat Aceh disebut peumat jaroe. Peumat jaroe juga berarti perdamaian bagi yang bermasalah atau berselisih, prosesi ini biasa dilakukan di depan saksi yang memfasilasi yaitu Keuchik, Teuku Imeum, dan Ureung Tuha. Walau tiap gampong telah memiliki hak untuk mengatur hukum sendiri tetapi Keuchik dan para pemuka adat masih tetap bekerja sama dengan kepolisian. Dalam banyak kasus hukum pidana Keuchik dan para pemuka gampong masih tetap melapor jika kasus pidana seperti pencurian dan pemakaian narkoba, jika hal tersebut tidak dapat lagi di selesaikan secara adat. 59 Untuk masalah perdata dalam keluarga misalnya perceraian, seorang laki- laki yang mentalak istrinya misalnya harus melapor kepada Keuchik, teuku imeum, dan ketua adat setempat. Saat di lapangan penelitian pada Bulan Ramadhan hari ke 12 peneliti melihat seorang warga melaporkan istrinya ke Keuchik dan berkata “urou nyou ka lon taleuk ..... nama istri pelapor, meunye na urusan-urusan pu ngen drou nyan hana ngen lon lom” hari ini sudah talak ....., kalau ada urusan dengan dia maka itu bukan urusan saya lagi. Keuchik kemudian menanyakan permasalahan dalam keluarganya, dan menanyakan apakah sudah dilaporkan kepada Teuku Imeum atau Tuha Peut yang lain. Laporan ini dimaksudkan agar memperjelas hubungan seseorang dengan pasangannya. Tugas Keuckik sebagai pemimpin adat agar adat dan hukum yang tetap berasaskan Islam tetap terjaga. Ajaran dan hukum Islam bagi masyarakat Aceh pada umumnya merupakan pedoman untuk menjalankan kehidupan kesehariannya. Ajaran ini tidak hanya menjadi kukum agama dan adat, tetapi juga diangkat menjadi undang- undang hukum yang tertulis dan wajib bagi seluruh masyarakat Aceh. Kekuatan syariat Islam diperkuat dalam undang-undang nomor 8 tahun 2001 bab XII pasal 25 dan 28 yang mengatur syariat Islam di Aceh. Adapun pasal tersebut berbunyi : Pasal 25 : 1 Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syariyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. 60 2 Kewenangan Mahkamah Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3 Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Pasal 26 : 1 Mahkamah Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 1 terdiri atas Mahkamah Syariah KabupatenSagoe dan KotaBanda atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2 Mahkamah Syari’ah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. 3 Hakim Mahkamah Syari’ah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.

4.2. Program dan Kebijakan yang berkaitan dengan Meunasah