4
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini bagaimana keberadaan meunasah sebagai salah satu unsur
dari sistem sosial budaya masyarakat Aceh? Permasalahan ini diuraikan ke dalam lima pertanyaan penelitian yakni:
1. Sejak kapan meunasah ada dalam kehidupan masyarakat Aceh?
2. Apa arti meunasah bagi masyarakat Aceh?
3. Apa fungsi meunasah?
4. Apa fungsi meunasah yang berubah dari sebelumnya?
5. Bagaimana meunasah menjadi bagian penting dalam sosial religi
masyarakat Aceh?
1.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih dalam melakukan penelitian ini adalah Gampong Tanjong Beurunyong Kecamatan Payabakong Kabupaten Aceh Utara.
Kecamatan ini terdiri dari 39 desa atau gampong. Alasan dipilihnya lokasi adalah karena lokasi tidak terlalu jauh dengan ibukota kecamatan dan masih banyak
terdapat meunasah tradisional pada lokasi kecamatan yang dipilih. Selain itu antara informan dan peneliti telah terjalin rapport sebelumnya di lokasi penelitian,
sehingga lebih memudahkan bagi peneliti untuk mengambil data.
5
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang fungsi meunasah sebagai bagian penting dalam sosial religi masyarakat Aceh. Selanjutnya dengan
diketahui pentingnya arti meunasah bagi masyarakat Aceh dalam kehidupan
mereka semoga dapat lebih memahami kebudayaan mereka. Secara akademis,
penelitian ini bertujuan lebih memperdalam pengetahuan dalam menjelaskan tentang masyarakat Aceh khususnya yang berkaitan tentang meunasah dalam
bidang Antropologi. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk membuat
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat Aceh ataupun yang berhubungan dengan meunasah.
1.5. Tinjauan Pustaka
Aceh merupakan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh agama Islam. Hampir semua segi dalam kehidupan diatur berdasarkan ajaran syariat Islam.
Meunasah sebagai salah satu bentuk rumah ibadah bagi umat Islam hanya ada di Aceh sepengetahuan peneliti. Tidak ada rujukan khusus tentang meunasah yang
bersifat internasional seperti masjid karena ia hanya dipergunakan oleh orang Aceh saja. Untuk itu definisi yang membumi untuk meunasah memang sulit
didapati dalam kamus-kamus internasional. Demikian juga dengan istilah surau dan langgar, secara harfiah ia mempunyai makna dan definisi yang berlainan
sesuai dengan latar belakang bangsa yang menggunakannya saja http:Acehpedia.orgMeunasah.
6 Terdapat beberapa tulisan yang menjelaskan dan memperdalam pengertian
tentang meunasah. Usman 2002 menjelaskan dalam Qanun Meukuta Alam Al- asyi, bahwa kerajaan Aceh tersusun dari,
gampong-gampong kampongkelurahan,
mukim federasi
gampong-gampong, nanggroe
kecamatan, sagoe federasi dari beberapa nanggroe dan kerajaannegara. Gampong, yang disebut juga Meunasah, dipimpin oleh seorang keuchik dan
seorang Imam Rawarib dengan dibantu oleh staf yang bernama tuha peut. Pemeritahan gampong ini mendapat hak otonomi yang luas. Suatu gampong
mempunyai meunasah sebagai tempat pertemuan atau musyawarah yang berhubungan dengan kesejahteraan desa www.serambinews.com
Meunasah sangat terikat dengan kehidupan gampong, karena gampong sendiri merupakan unit persekutuan masyarakat hukum yang menurut
Vallenhoven dapat dimanfaatkan untuk mengetahui hukum, menyelidiki sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat dikuasai oleh hukum www.acehforum.or.id. Meunasah adalah sentral pengendali proses interaksi sosial masyarakat, karena menciptakan
kesejahteraan sesama manusia dalam komunitas gampong warga kampung, sehingga melahirkan adat istiadat dan tatanan adat.
Zulfah menyebutkan meunasah dan mesjid adalah dua hal yang menarik dalam sistem budaya Aceh www.Acehforum.or.id. Kedua lembaga ini
merupakan simbollogo identitas ke-Acehan yang telah berkontribusi fungsinya membangun pola dasar sumber daya alam masyarakat menjadi satu kekuatan
semangat yang monumental, historis, herois, dan sakralis. Fungsi lembaga ini
7 memiliki muatan nilai-nilai energis, Islamis, dan menjadi sumber inspiratif.
Semangat masyarakat membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta menentang kedhaliman dan penjajahan. Fungsi meunasah menjadi sentral
pembangunan masyarakat social communication dan fungsi mesjid menjadi sentral komunikasi two traffic communications, hablum minallah dan hablum
minannas. Menurut Ismail 2002 fungsi meunasah antara lain: 1.
Sebagai tempat ibadahshalat berjamaah 2.
Sebagai tempat dakwah dan diskusi 3.
Sebagai tempat musyawarahmufakat 4.
Sebagai tempat penyelesaian sengketadamai 5.
Sebagai tempat pengembangan kreasi seni 6.
Sebagai tempat pembinaan dan posko generasi muda 7.
Sebagai tempat forum asah terampilolahraga 8.
Sebagai tempat pusat ibukotapemerintahan gampong. Fungsi menurut Radclife-Brown dalam Koentjaraningrat:1987
menjelaskan bahwa fungsi sosial ialah kontribusi suatu unsur terhadap unsur lainnya sehingga sistem kebudayaanorganisasi dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut penulis menggunakan pandangan Redcilff-Brown mengenai fungsi dalam mengkaji penelitian ini. Meunasah
sebagai sebuah bangunan ibadah tidak hanya sebagai tempat untuk melaksanakan segala kegiatan keagamaan bagi masyarakat Aceh. Meunasah menjadi
kebututuhan bahkan menjadi syarat dalam berdirinya sebuah gampong. Meunasah sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan Aceh yang dapat meningkatkan
8 solidaritas mereka melalui pemanfaatan fungsinya dihampir segala bidang
kehidupan, baik itu dalam bidang religi, sosial, politik, budaya, dan pendidikan, serta segala interaksi yang dilakukan di dalamnya.
Malinowski dalam Koentjaraningrat, 1987:171 menjelaskan fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks, tetapi inti dari fungsi unsur-unsur
kebudayaan tersebut adalah pendirian bahwa segala aktifitas kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan
naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Lebih jelas dicontohkan seperti meunasah sebagai rumah ibadah dalam masyarakat yang
digunakan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan religi masyarakat. Kemudian Malinowski membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat
abstraksi Koentjaraningrat, 1982:167 yaitu: 1.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi kedua
mengenai pengaruh suatu kebutuhan suatu adat yang sesuai dengan konsep masyarakat yang bersangkutan.
3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga
mengenai pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Berdasarkan teori Malinowski di atas peneliti mencoba memahami bagaimana fungsi sosial meunasah berpengaruh dalam pranata sosial yang ada di
lokasi penelitian. Meunasah sebagai sebuah lembaga sosial dalam sebuah
9 gampong dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat yang terdapat di lokasi,
dan bagaimana arti meunasah bagi masyarakat yang diteliti di lokasi penelitian. Dalam teorinya fungsi tersebut kemudian menjadi kebutuhan, dalam
permasalahan penelitan, peneliti ingin menjelaskan bagaimana fungsi meunasah berintegrasi tidak hanya pada kebutuhan akan adanya lembaga agama, tetapi
kemudian mencakup juga sebagai lembaga sosial, hukum, pendidikan di dalam masyarakat yang berlangsung dalam sistem kelembagaan masyarakat gampong
yang terjadi di lokasi penelitian. Masyarakat Aceh banyak dipengaruhi oleh agama Islam dalam
kehidupannya. Islam sebagai agama berpedoman pada Al-Quran dan Hadist yang mengatur tata kehidupannya. Dalam Al-Quran dikatakan :
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang- orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap
mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” QS. At-Taubah:18.
Menurut Syarifudin, adapun kata “memakmurkan” adalah salah satu arti dari sebuah kata dalam bahasa Arab yang juga memiliki banyak arti di antaranya:
menghuni mendiami, menetapi, menyembah, mengabdi berbakti, membangun mendirikan, mengisi, memperbaiki, mencukupi, menghidupkan, menghormati
dan memelihara. Dengan demikian, yang dimaksud “memakmurkan masjid” adalah membangun dan mendirikan masjid, mengisi dan menghidupkannya
dengan berbagai ibadah dan ketaatan kepada Allah, menghormati dan memeliharanya dengan cara membersihkannya dari kotoran-kotoran dan sampah
serta memberinya wewangian http:abumushlih.com.
10 Fungsi-fungsi meunasah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu,
walaupun perubahan tersebut tidak terlalu mempengaruhi fungsinya sebagai pemersatu solidaritas masyarakat. Perubahan dalam Kamus besar Bahasa
Indonesia Balai Pustaka, 1999 berarti hal yang berbeda dari sesuatu sebelumnya, pertukaran, peralihan dan sebagainya. Dalam hal ini berarti terjadi
pertukaran atau peralihan fungsi dari meunasah dari yang sebelumnya hingga saat ini.
Faktor yang melatarbelakangi perubahan yang terjadi dalam fungsi meunasah karena adanya perubahan sistem nilai budaya atau gagasan kolektif
yang terjadi di masyarakat Aceh. Perubahan sisem nilai ini terjadi akibat adanya pengaruh dari interaksi yang dilakukan dengan budaya luar. Perubahan sistem
nilai pola kehidupan masyarakat, seperti perubahan menetap, dan bentuk pendidikan.
Perubahan sistem nilai dalam kebudayaan mempengaruhi bentuk pendidikan yang terjadi di meunasah. Geertz dalam Sairin:2002 menjelaskan
perubahan tersebut dalam dua pola untuk memahami masyarakat yang diteliti. Geertz menyebut kedua model itu sebagai model for pola bagi yaitu pola yang
berupa pola dari sistem pengetahuan, gagasan dan cita-cita dari suatu masyarakat tentang bagaimana seharusnya dan sebaiknya. Kedua adalah model of pola dari
yaitu pola kehidupan yang hidup dalam realitas masyarakat, yang kadang-kadang tidak jelas kaitannya dengan ‘pola bagi’. Dapat dijelaskan bahwa ‘pola bagi’ ini
merupakan ide-ide ataupun gagasan yang ada di dalam masyarakat, sedangkan
11 ‘pola dari’ adalah hasil dari kebudayaan, baik itu tingkah laku maupun
kebudayaan material. Sairin menjelaskan dalam bukunya, sistem pendidikan Islam tradisional
seperti pesantren dan meunasah itu telah mampu menjalankan misinya untuk mencapai sasaran yang dikehendaki sesuai dengan ‘pola bagi’ yang dikehendaki
masyarakat. Namun perkembangan kemudian sistem pendidikan ini mengalami pelbagai perubahan. Sistem pendidikan pesantren dan meunasah dipandang telah
bergeser dan tidak lagi dapat sepenuhnya memenuhi isi ‘pola bagi’ masyarakat. Ini akibat sistem pendidikan tradisional telah terseret pada dinamika kehidupan
masyarakat yang tergambar dari sistem gagasan yang terdapat dalam pandangan ‘pola dari’ masyarakat Sairin, 2002:37-38 .
1.6. Metode Penelitian