Stratifikasi Sosial Pola Pemukiman

31 Beurunyong telah rusak tetapi fungsinya dalam mengairi sawah-sawah yang ada di gampong masih berjalan dengan baik.

2.3. Stratifikasi Sosial

Kondisi sosial masyarakat di Gampong Tanjong Beurunyong berdasarkan tingkat kesejahtraan masih merupakan gampong yang memiliki banyak KK kepala keluarga kurang mampu. Dari 75 KK yang ada, 52 diantaranya merupakan keluarga kurang mampu yang sebagian besar hidup dari lapangan pekerjaan di bidang pertanian, sisanya 20 KK merupakan keluarga sederhana, dan hanya 3 tiga diantaranya yang merupakan keluarga mampu RPJM, 2009-2013. Masyarakat Aceh umumnya mengenal adanya pembagian golongan sosial. Pada masyarakat umum biasa dinamakan orang banyak urieng ie. Kemudian terdapat golongan bangsawan. Golongan ini dapat dilihat dari nama gelar yang mereka miliki sejak lahir,seperti: teuku, polem panggilan untuk bangsawan laki- laki, dan cut panggilan untuk bangsawan perempuan. Selain itu terdapat juga gelar-gelar yang diberikan setelah orang dewasa. Gelar-gelar keagamaan seperti: tengku, syekh, ustad, diberikan kepada seseorang yang dianggap memiliki ilmu agama yang lebih dan kepada guru-guru mengaji. Terdapat juga panggilan- panggilan yang diberikan karena jabatan ataupun pekerjaan yang dimiliki seseorang. Contoh: toke panggilan untuk pedagang yang sukses, mugee panggilan untuk pedagangpengumpul hasil pertanian keliling, keuchik panggilan untuk kepala desa. Panggilan-panggian seperti ini masih sering ditemui dalam keseharian, termaksud di lokasi penelitian peneliti. 32

2.4. Pola Pemukiman

Pola perkampungan Gampong Tanjong Beurunyong cendrung mengikuti pola memusat, dimana masyarakat dibentuk karena aturan adat. Pola ini memusat dengan meunasah sebagai pusatnya, biasa dihuni turun-temurun oleh beberapa generasi. Rumah-rumah penduduk berada di sepanjang jalan menuju kecamatan yang berada memanjang dari Gampong Leuhong sampai Gampong Keude Chik dan juga mengikuti arus irigasi. Sedangkan daerah di sekeliling gampong hanya daerah persawahan, dan ladang yang dimiliki masyarakat. Dalam membangun sebuah rumah biasanya tidak terlalu jauh dari anggota keluarga besarnya. Pola menetap matrilokal juga masih mempengaruhi dalam pembangunan tempat tinggal dimana keluarga baru akan mendirikan rumah tidak jauh dari rumah kediaman keluarga istri. Jika pasangan ini belum mampu untuk mendirikan rumah seniri maka mereka akan tinggal di rumah keluarga istri. Pola menetap matrilokal di Aceh mengikuti adat dan hukum lokal yang mengatur tentang status suami maupun istri dalam keluarga. Seorang laki-laki dalam keluarga khususnya suami bertanggung jawab terhadap nafkah keluarga, hampir segala aktifitas anak laki-laki dilakukan di luar rumah. Laki-laki Aceh baik anak-anak maupun orang dewasa terbiasa untuk hidup di luar rumah dan jarang sekali kembali kecuali saat malam ataupun jika ada keperluan tertentu saja. Perempuan umumnya bertanggung jawab dalam mengurus keperluan rumah tangga di rumahnya. Seorang istri dalam adat Aceh disebut dengan peurumoh atau dapat dikatakan sebagai pemilik rumah. Istri bertanggung jawab mengurus segala kebutuhan anggota keluarga dan menjaga rumah di dalam 33 keluarganya serta dalam pendidikan anak-anak. Anak perempuan dibiasakan untuk bekerja mngurusi kebutuhan rumah tangga sejak usaia dini. Tanggung jawab dalam rumah tangga ini juga memberikan hak kepada seorang istri untuk memiliki rumah yang ditinggali dan dibangun dengan suaminya. Sehingga ketika seorang laki-laki menceraikan istrinya maka laki-laki itu harus meninggalan rumah tersebut walaupun ia yang membangunnya.

2.5. Sistem Pemerintahan