32
d. Mengkomunikasikan nilai-nilai budaya, sosial dan keagamaan.
e. Memperoleh informasi tentang pengetahuan, nilai, dan sikap untuk dihayati
dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. f.
Membangkitkan semangat dan memungkinkan pengembangan dimensi perasaan. Misalnya, anak akan merasa sedih bila tokoh cerita disakiti dan
akan senang bila ada tokoh lain yang melindungi atau baik hati. a.
Mengkomunikasikan nilai-nilai budaya, sosial dan keagamaan. b.
Menanamkan etos kerja, etos waktu, etos alam c.
Membantu mengembangkan fantasi anak, mengembangkan dimensi kognitif anak dan mengembangkan dimensi bahasa anak
Sedangkan menurut Abdul Aziz Abdul Majid 2013:5 dalam cerita terdapat unsur-unsur seperti ide, tujuan, imajinasi, bahasa dan gaya bahasa yang
berpengaruh dalam pembentukan pribadi anak.
C. Empati
1. Pengertian Empati
Howe 2015:15 menggunakan istilah empathy sebagai penerjemahan bahasa Inggris dari kata Jerman Einfuhlung. Etimologinya berasal dari kata
Yunani empatheia, yang artinya memasuki perasaan orang lain atau ikut merasakan keinginan atau kesedihan seseorang.
C.A.J Teen 1990:5 menerangkan, empati adalah kemampuan untuk turut merasakan. Hal itu berarti mampu turut mengalami dan mengambil bagian alam
batin orang lain, sehingga dapat memahami perasaan serta gagasan aktual pada PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
orang lain. Oleh sebab itu, perlu bahwa kadang-kadang kita mengambil jarak dari cara kita mengalami hidup sendiri dan dengan demikian kita mampu
mendalami alam orang lain seolah-olah kita mendalami alam kita sendiri. Empati
dapat juga
didefinisikan sebagai
kemampuan untuk
mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain dalam rangka untuk merespon pikiran dan perasaan mereka dengan sikap yang
tepat. Taufik 2012: 41 mengatakan bahwa empati merupakan suatu aktivitas
untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan observer,
perceiver terhadap kondisi yang sedang dialami orang lan, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya.
Dalam memahami orang lain, individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan
dialami orang lain itu, tetapi tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Kalimat “tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri” sangat penting karena mengandung
pengertian meskipun individu menempatkan dirinya pada posisi orang lain, namun dia tetap melakukan kontrol diri atas situasi yang ada, tidak dibuat-buat,
dan tidak hanyut dalam situasi orang itu. Berikut diungkapkan oleh C.A.J Teen 1994:6:
Hendaknya kita tidak membandingkan perasaan-perasaan sesaat kita dengan perasaan orang lain dan selama kita berempati terhadap seseorang,
kita tidak perlu menyetujui perasaannya. Hal itu membantu kita untuk dapat menampung sementara pratanda yang tidak jelas atau perasanan-
perasaan yang sering kacau dari orang lain, sehingga kita dapat mencoba menjelaskannya.
34
Menurut Howe,
definisi-definisi yang
pasif tentang
empati memperlihatkan kesamaan psikologis kita, kerentanan kita dipengaruhi oleh
perasaan-perasaan orang lain. Definisi-definisi yang lebih aktif menangkap kemanusiaan kita, usaha-usaha kita untuk memahami orang lain, kasih sayang
kita, semangat kita untuk bertindak dan membantu ketika kita berpikir tentang dunia dan mulai melihatnya dari sudut pandang orang lain. Empati mencakup
aspek-aspek psikologis yang kompleks dimana pengamatan, ingatan, pengetahuan dan pemikiran dipadukan untuk menghasilkan pemahaman tentang
pikiran dan perasaan orang lain. Empati adalah memahami pikiran orang lain tanpa pikiran mereka sama
dengan pikiran kita. Bersikap empati berarti memahami, merasakan atau masuk ke dalam em perasaan pathos dari orang lain Howe,2015:22.
Empati terdiri dari tiga proses yakni: -
Kemampuan kognitif untuk melihat, memahami dan mendiskriminasikan keadaan-keadaan emosional orang lain;
- keterampilan kognitif yang lebih matang untuk melihat hal-hal dari sudut
pandang orang lain; -
sebuah respon emosional terhadap keadaan emosional orang lain.
Empati bukan hanya mengetahui apa yang sedang dirasakan orang lain dan merasakan apa yang dialami orang lain, tetapi juga mengkomunikasikan dengan
cara dan sikap yang baik, pengetahuan dan pemahaman kita tentang pengalaman emosional orang lain tersebut. Berikut menurut Howe 2015:28:
35
Kualitas dan kedalaman empati yang dicapai bergantung pada ciri-ciri individual jenis kelamin, kepribadian, temperamen, gaya berhubungan,
mood; hubungan yang dia miliki dengan orang lain keluarga, teman, kolega, orang asing dan situasinya secara spesifik pertemuan santai,
terapi kunjungan ke rumah sakit, meminta tolong, keadaan bahaya dan sebagainya.
Empati merupakan tanda kepedulian manusia terhadap orang lain, perekat
yang memungkinkan terbentuknya kehidupan sosial. Menurut Covey dalam Howe, 2015:31 empati merupakan minyak pelumas bagi roda-roda kehidupan
sosial. Ketika kita berbagi, mencintai, bekerja sama dan memberi, saat itulah empati bekerja. Ketika empati tidak ada, keakraban hilang dan hubungan-
hubungan pun menjadi rusak. Kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan keegoisan menjadi hal yang biasa ketika empati telah hilang.
Melalui pendapat di atas dapat kita ketahui bahwa masalah personal maupun interpersonal dapat dipecahkan ketika ia dimasukkan ke dalam balsem
penyembuh yang bernama empati.Pikiran yang empatik mendorong kerja sama, kolaborasi dan keberadaan; bahwa hubungan-hubungan yang berkualitas baik
dapat menghasilkan kemampuan berempati dan kemampuan berempati menunjukkan kualitas kemanusiaan dari manusia.
2. Komponen-komponen Empati
Empati terdiri atas dua komponen, kognitif dan afektif. Taufik 2012:43 mengatakan bahwa beberapa teoretikus menambahkan aspek komunikatif
sebagai faktor ketiga. Komponen komunikatif sebagai jembatan yang menghubungkan komponen kognitif dan afektif. Berikut penjelasan mengenai
ketiga komponen tersebut: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
a. Komponen Kognitif
Taufik 2012:44 menjelaskan komponen kognitif sebagai kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dari memori dan
kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui pengalaman- pengalaman. Taufik juga mengumpulkan definisi komponen kognitif empati
berdasarkan pernyataan para ahli yakni kemampuan seseorang dalam menjelaskan suatu perilaku, kemampuan untuk mengingat jejak-jejak intelektual
dan verbal tentang orang lain, dan kemampuan untuk membedakan atau menyelaraskan kondisi emosional dirinya dengan orang lain.
Howe2015:23 melihat empati yang terdiri dari tiga proses: kemampuan kognitif untuk melihat, memahami dan mendiskriminasikan keadaan-keadaan
emosional orang lain; keterampilan kognitif yang lebih matang untuk melihat hal-hal dari sudut pandang orang lain; dan sebuah respons emosional terhadap
keadaan emosional orang lain. “Empati kognitif didasarkan pada kemampuan melihat, membayangkan
dan memikirkan sebuah proses reflektif yang lebih berbasis kognitif untuk memahami perspektif orang lain” Howe, 2015: 24. Komponen kognitif
merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain, dimulai pada tahap melihat, membayangkandan memikirkan perasaan orang
lain.Seseorang yang empatik memiliki keahlian-keahlian yang terkait dengan persoalan komunikasi, perspektif dan kepekaan dalam pemahaman sosio-
emosional orang lain. Secara garis besar, aspek kognitif empati meliputi aspek pemahaman atas kondisi orang lain.
37
b. Komponen Afektif
Menurut Taufik2012: 51, empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menyelaraskan pengalaman emosional pada orang lain. Aspek ini
empati ini terdiri atas simpati, sensitivitas, dan sharing penderitaan yang dialami orang lain seperti perasaaan dekat dengan kesulitan-kesulitan orang lain yang
diimajinasikan seakan-akan dialami oleh diri sendiri. Komponen afektif atau emosional ini dekat dengan apa yang umumnya
kita pahami sebagai respon empatik: saya merasakan kesusahan Anda, saya melihat dan memahami kesedihan Anda, tetapi jelas bahwa Andalah yang
mengalami kesusahan dan kesedihan dan bukan saya, meskipun saya secara emosional terpengaruh oleh hendaya Anda Howe, 2015:24.
c. Komponen Kognitif dan Afektif
Brems dalam Taufik, 2012:53 menguji respons-respons empati pada 122 siswa perguruan tinggi terhadap dua skala empati, yaitu skala mengukur berbagai
macam hubungan interpersonal dan altruisme. Hasilnya menunjukkan empati terbagi ke dalam dua komponen kognitif dan afektif.
Howe 2015:23 mengatakan bahwa sensasi-sensasi fisik dapat dirasakan sebagai perasaan subjektif, dan perasaan-perasaan subjektif dapat dipikirkan,
baik perasaan subjektif kita sendiri maupun orang lain. Empati merupakan hasil dari pikiran maupun perasaaan. Ia terdiri dari respons-respons afektif
dankognitif, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memahami mengapa orang lain tersebut mengatakannya.
38
d. Komponen Komunikatif
Munculnya komponen ini didasarkan pada asumsi awal bahwa komponen kognitif dan komponen afektif akan tetap terpisah bila antara keduanya tidak
terjalin komunikasi. Empati bukan hanya mengetahui apa yang sedang dirasakan oleh orang lain dan merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain, tetapi juga
mengomunikasikan, dengan cara dan sikap yang baik, pengetahuan dan pemahaman kita tentang pengalaman emosional orang lain tersebut. Howe,
2015: 25 Kita dapat mendefinisikan empati sebagai sebuah reaksi afektif terhadap
emosi-emosi orang lain; aksi kognitif untuk mengadopsi orang perspektif orang lain; sebuah pemahaman berbasis kognitif tentang orang lain; dan komunikasi
tentang pemahaman tersebut. Komponen empati komunikatif adalah ekspresi dari pikiran-pikiran
empatik intellectual empathy dan perasaan-perasaan empathic emotions terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan
Taufik, 2012:53. Komunikasi empatik terjadi tanpa kata maupun dengan kata, terjadi saat
pandangan mata tertuju pada orang lain di sekitar kita. Selain itu, saat kita memperhatikan orang lain, mendengarkan dengan penuh, saling memandang,
mengangguk tanda setuju, menepuk bahu, merangkul, dsb. Komponen komunikatif empatik dimaksudkan untuk mendapatkan
gambara perasaan orang lain, maka hendaknya kita berusaha mengenali dan merefleksi, menerjemahkan perasaan orang sehingga orang itu sendiri mampu
39
mengenali dirinya sendiri. Refleksi mamupu mengatur sementara perasaan yang kacau, memberikan semangat, hingga ia merasa bahwa ia dimengerti.
3. Proses Empati
Taufik 2012:54 menggolongkan proses empati ke dalam empat tahapan yakni antecedents, processes, interpersonal outcomes, dan intrapersonal
outcomes. 1
Antecedents Antecedents adalah kondisi-kondisi yang mendahului sebelum terjadinya
proses empati. Meliputi karakteristik pelaku empati, target empati atau situasi yang terjadi saat itu. Empati sangat dipengaruhi oleh kapasitas pribadi pelaku
empati. Ada yang memiliki kapasitas berempati tinggi, adapula yang rendah. Kemampuan empati yang tinggi dipengaruhi oleh kapasitas intelektual untuk
memahami apa yang terjadi pada orang lain. Selain itu dipengaruhi oleh riwayat pembelajaran individu sebelumnya termasuk sosialisasi terhadap nilai-nilai yang
terkait dengan empati Taufik, 2012:55. Respons terhadap orang lain, baik respons afektif maupun kognitif berasal
dari beberapa konteks situasional. Terdapat dua kondisi yakni kekuatan situasi dan tingkat persamaan antara pelaku empati dan target empati. Kekuatan situasi
mempengaruhi kita untuk berempati dan sejauhmana persamaan antara pelaku empati dengan target empati, semakin tinggi tingkat persamaannya, maka
akansemakin besar peluang pelaku empati untuk berempati misalnya persamaan tempat tinggal, etnis, agama, bangsa dan sebagainya.
40
2 Processes
Taufik 2012:56 membagi tiga jenis proses empati yakni non-cognitive processes, simple cognitive processes, dan advance cognitive processes. Proses
pertama menyebabkan empati terjadi melalui proses-proses non kognitif, artinya tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang terjadi. Empati jenis ini
hanya melibatkan proses emosi.Kedua, simple cognitive processes, pada jenis ini empati hanya membutuhkan sedikit proses kognitif. Misalnya saat kita
menghadiri acara wisuda, maka kita akan menunjukkan sikap bahagia. Atau sebaliknya saat kita mengunjungi orang meninggal, maka kita menunjukkan
perasaan duka cita. Empati yang muncul tidak membutuhkan proses yang mendalam, karena situasi-situasi tersebut mudah dipahami.
Ketiga, advance cognitive processes yakni proses yang menuntut kita untuk mengerahkan kemampuan kognitif kita. Taufik 2012:56 menyebutnya
dengan language mediated association, dimana munculnya empati merupakan akibat dari ucapan atau bahasa yang disampaikan oleh target empati. Sikap
empatik yang ditunjukkan pada proses ini membutuhkan pemahaman yang tinggi terhadap situasi yang sedang terjadi.Proses empati yang paling tinggi adalah role
taking atau perspective taking, yaitu mencoba memahami orang lain dari sudut pandang orang tersebut.
3 Intrapersonal Outcomes
Intrapersonal outcomes terdiri atas dua macam yakni affective outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes terdiri atas reaksi-reaksi
41
emosional yang dialami pelaku empati dalam merespon pengalaman-pengalaman target. Affective outcomes dibagi ke dalam dua bentuk yakni parallel dan
reactive outcomes.Affective outcomes atau emotion making yaitu keselarasan antara yang kita rasakan atau dialami oleh orang lain. Misalnya, kita melakukan
protes ketika melihat target diperlakukan secara tidak adil. Reactive outcomes didefinisikan sebagai reaksi-reaksi afektif terhadap pengalaman-pengalaman
orang lain yang berbeda Taufik, 2012:57.
4 Interpersonal Outcomes
Bila intrapersonal outcomes berefek pada diri pelaku empati, interpersonal outcomes berdampak kepada hubungan antara pelaku empati dan
target empati. Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes adalah munculnya helping behavior perilaku menolong. Interpersonal outcomes tidak sekadar
mendiskusikan apa yang dialami oleh orang lain, sebagaimana pada parallel dan reactive outcomes.
Selain perilaku menolong, empati juga dihubungkan dengan perilaku agresif. Menurut Davis dalam Taufik 2012:59, empati berhubungan negatif
dengan perilaku agresif. Semakin baik akurasi empati maka akan semakin kecil terjadinya perilaku agresif.
4. Perkembangan Empati
Potensi-potensi empati yang telah dimiliki oleh individu sejak lahir bukan hanya sekedar bersifat alami yang keberadaannya tidak perlu dipupuk.
42
Keberadaannya harus terus dikembangkan melalui berbagai pengalaman yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari maupun melalui pembelajaran langsung
yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya. Martin dan Clark menemukan tiga perbedaan tangisan: pada bayi usia 1
hari, pada usia 11 bulan dan pada anak-anak. Dari ketiga tangisan tersebut, ternyata tangisan bayi yang baru dilahirkan menangis lebih keras dibanding yang
lain. Temuan ini memperkuat Dovidio, Piliavin, Schoeder dan Penner untuk menyimpulkan bahwa bayi umur 1-2 hari telah memiliki potensi-potensi untuk
berempati. Potensi inilah yang harus terus digali oleh para orangtua dan guru agar nantinya dia menjadi pribadi yang berempati Taufik, 2012:92.
Ada sebagian orang yang menggunakan istilah lain dari empati, yaitu perspective-taking. Perspective taking didefinisikan oleh Mark H. Davis sebagai
kecenderungan mengadopsi pandangan-pandangan psikologis orang lain. Kemampuan perspective-taking berkembang sepanjang waktu hingga mencapai
usia dewasa. Taufik 2012:99 mengembangkan lima tahap model untuk mengembangkan perspective-taking yaitu konsep-konsep individual yang
berhubungan dengan self, persahabatan close friendship, kelompok pertemanan peer group, dan hubungan anak dengan orangtua parent child relations serta
hubungan sosial. Rumusan dari lima tahapan model perkembangan perspective-taking
dengan menggunakan konsep pemahaman cerita mengenai Holly yang telah berjanji kepada ayahnya tidak memanjat pohon tapi ia ingin menolong Sean,
kucingnya. Akankah ayahnya marah? Berikut jawabannya: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
a. Undifferentiated perspective-taking usia 3-6 tahun
Anak mengetahui bahwa antara dirinya dan orang lain memiliki perasaan dan pikiran yang berbeda, namun mereka masing sering bingung tentang
keduanya. Mereka menduga bahwa Holly akan menyelamatkan kucing itu karena Holly tidak ingin kucing itu terluka, dan mereka percaya bahwa ayahnya tidak
apa-apa meskipun tahu kalau Holly naik pohon lagi. Bahkan ayahnya akan bahagia, karena dia juga suka kucing.
b. Social-informational perspective-takingusia 5-9 tahun
Anak-anak sudah memahami perbedaan pandangan bisa saja terjadi karena orang-orang memiliki akses untuk informasi yang berbeda. Jawaban mereka, jika
ayah Holly tahu Holly naik pohon untuk menyelamatkan kucing itu, maka ayahnya akan marah. Tetapi, kalau Holly menunjukkan kucing itu kepadanya,
pendapat ayahnya mungkin berubah. Pada tahapan ini, seseorang sudah dapat memahami bahwa orang lain
dapat memiliki perspektif berbeda, namun dia masih menganggap bahwa perspektif orang lain akan sesuai dengan dirinya. Anak-anak pada usia tahapan
ini menganggap bahwa seseorang bisa memiliki perspektif yang berbeda apabila dia kekurang informasi tentang yang dilihatnya.
c. Self-reflective perspective-taking usia 7-12 tahun
Anak-anak dapat melangkah ke dalam diri orang lain dan dapat memandang pikiran, perasaan, serta perilaku mereka sendiri dari perspektif
orang lain. Jawaban mereka, Holly tidak akan dihukum karena Holly berpikir dia tahu ayahnya akan mengerti mengapa dia naik pohon.
44
Pada usia ini, empati mulai terealisasikan karena mereka sudah dapat memahami sekaligus merasakan kondisi orang lain dengan cara masuk dalam
alam pikiran dan perasaan orang lain yang bersangkutan. Mereka meyakini bahwa larangan ayahnya dimaksudkan untuk menjaga Holly agar berhati-hati
dan itu tidak berlaku dalam situasi-situasi darurat misalnya menyelamatkan kucing.
d. Third-party perspective-taking usia 10-15 tahun
Anak-anak dapat melangkah keluar situasi personal dan membayangkan bagaimana diri sendiri dan orang lain ketika dipandang dari pandangan pihak
ketiga, pihak yang netral. Jawaban mereka adalah Holly berpikir bahwa menyelamatkan kucing penting, tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya sudah
melarang dia naik pohon lagi. Maka dia berpikir, ayahnya tidak akan menghukumnya bila mengetahui alasan mengapa dia naik pohon lagi.
e. Societal perspective-takingusia 14 tahun hingga dewasa
Individu-individu memahami bahwa perspective-taking pihak ketiga dapat dipengaruhi oleh satu atau lebih dari nilai-nilai sosial yang lebih besar. Jawaban
mereka, Holly tidak akan dihukum karena nilai-nilai mulia penyelamatan telah menjustifikasi apa yang Holly lakukan.
5. Akurasi Empati
Akurasi empati ialah sejauhmana ketepatan seseorang perceiver dalam memasuki pikiran-pikiran dan perasaan orang lain yang biasanya disebut target.
Menurut Taufik 2012:113 akurasi adalah sebuah aspek penting, “everyday
45 mind reading”, empati yang tidak akurat terjadi pada orang-orang yang lemah
dalam membaca pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain. Kondisi di atas disebut dengan social intelligence kecerdasan sosial
rendah. Kondisi ini dapat menimbulkan hambatan dalam perkembangan, membatasi pergaulan, ancaman terhadap keharmonisan keluarga, membatasi
kesuksesan dalam pekerjaan, melemahkan kualitas hubungan orangtua-anak, bahkan membuat orang-orang tertekan sehingga mereka termarginalisasi dalam
kehidupan bermasyarakat. Menurut Taufik 2012:114 anak-anak atau remaja secara jujur terlihat
memiliki beberapa pemahaman bahwa situasi-situasi tertentu dihubungkan dengan reaksi-reaksi spesifik. Dalam penelitian tentang pemahaman anak-anak
remaja, anak-anakremaja lebih menyukai diberikan cerita-cerita pendek kadang-kadang disertai gambar-gambar yang menampilkan situasi cerita
mengenai kisah-kisah protagonis dalam situasi-situasi yang dihubungkan dengan emosi-emosi spesifik. Penelitian lain pun melihat bahwa sebuah cerita bahagia
yang dibacakan kepada anak-anak remaja dapat secara akurat dipahami oleh mereka sebagai situasi bahagia meskipun si pendongeng tidak menampilkan
mimik bahagia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketepatan empati, yakni:
a. Gender: Menurut Ickes, Gesn dan Graham, akurasi empati perempuan lebih
baik daripada laki-laki tetapi hanya dalam kondisi-kondisi tertentu. b.
Faktor Kognitif: Semakin tinggi tingkat kecerdasan verbalnya maka akan semakin tinggi akurasi empatinya.
46
c. Faktor Sosial: Pengaruh-pengaruh sosial dapat meningkatkan intensitas
hubungan dengan orang lain, intensitas hubungan yang lebih tinggi ini dapat menganggu keakuratan empati.
d. Status Sosial Ekonomi: Menurut Taufik 2012: 121, orang-orang dengan
status sosial ekonomi rendah lebih efektif dalam menerjemahkan emosi- emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain.
e. Hubungan dekat Close Relationship: Akurasi empati memiliki hubungan
negatif dengan kekerasan, semakin akurat empati yang dimiliki individu akan semakin jauh dari aktivitas melakukan tindak kekerasan.
6. Meningkatkan Empati pada Anak-anak
Masalah yang terjadi pada sebagian besar pendekatan dalam pengembangan dan pendidikan anak adalah penekanan yang diberikan pada
aspek rasional dengan mengabaikan aspek emosional, pada aspek individual dan bukan pada aspek hubungannya Howe, 2015:277. Menurut Howe 2015:228,
empati merupakan penghalang terbesar bagi perkembangan kecenderungan pada kekerasan. Membantu empati anak-anak berkembang dapat dilakukan dengan
cara mengajak anak untuk mengenali, memahami, dan mendiskusikan keadaan- keadaan emosi diri sendiri dan orang lain.Mengasuh anak dengan tidak kaku dan
otoritarian, namun mengajak anak berdiskusi juga akan mengembangkan empati atau pemahaman sosial.
Howe 2015:281 memberikan resep untuk membangun anak-anak yang baik dalam perspektif moral mereka:
47
a. Meningkatkan kontak dengan individu-individu lain.
b. Berinteraksi dengan orang lain dalam keadaan-keadaan dimana kerjasama
mengantar kepada manfaat bersama. c.
Berikan cerita-cerita yang nyata maupun khayalan, yang memotivasi mereka untuk dapat memahami sudut pandang orang lain. Semakin banyak anak-anak
membaca, semakin banyak mereka belajar tentang orang lain. Anak-anak yang orangtuanya rutin membacakan cerita cenderung menjadi psikolog yang
terampil dan pelaku sosial yang terampil. d.
Ceritakan pada anak-anak tentang kisah-kisah moral dari generasi-generasi terdahulu.
Howe 2015:286 menguraikan empat pendekatan untuk membantu anak mengembangkan kompetensi sosial dan penggunaan perspektif:
a. Memberikan instruksi-instruksi bagi anak-anak remaja. Memberi contoh
perilaku yang baik. Membacakan cerita-cerita atau memutarkan video-video untuk membantu mereka mengenali, memahami, dan merenungkan pikiran-
pikiran dan perasaan, keyakinan dan perilaku, keinginan dan hasil. b.
Menyediakan kesempatan bagi anak-anak remaja untuk mencoba keterampilan-keterampilan sosial yang baru, bermain, bermain game,
membuat dan menyusun benda-benda serta bermain drama. c.
Umpan balik dan diskusi tentang perilaku manusia membantu anak-anak remaja berpikir apa yang terjadi dalam benak orang lain dan memahami
kompleksitas interaksi sosial. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
D. Penelitian yang Relevan