SEJARAH PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL,

39 memiliki sifat untuk menyesuaikan diri dengan menanggapi keputusan-keputusan orang lain yang penting. Penambahan rasa percaya pada pendapatnya sendiri melebihi dari remaja yang memasuki tahap perkembangan iman Mitis-Harafiah namun hanya digunakan untuk memilih otoritas-otoritas tertentu dan tidak mencakup inisiatif untuk memecahkan ketidakcocokan diantara otoritas-otoritas yang ada. Iman tidak dipilih sendiri melainkan masih bersifat “konvensional” dengan otoritas yang memperkuat remaja tersebut. Dengan mengetahui tahap perkembangan iman menurut James Fowler, jelas bahwa remaja yang tergabung dalam putera altar adalah remaja yang tahap perkembangannya masih dalam tahap tergantung dependent. Putera altar perlu perhatian dan keteladanan khusus dari pendamping dan perlu direncanakan suatu kegiatan yang berpengaruh positif bagi perkembangan iman mereka karena mereka pada umumnya masih tergantung pada kelompok dan otoritas yang ada di antara mereka.

D. SEJARAH PUTERA ALTAR

Sejarah putera altar terkait erat dengan sejarah perayaan Ekaristi dan pelayanan para akolit. Dalam hal ini ada keterkaitan antara putera altar, akolit, dan perayaan Ekaristi Martasudjita, 2008b: 13-14 Pada zaman Gereja Purba, Ekaristi senantiasa dirayakan untuk mengenang sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus. Demikianlah juga ketika Gereja mengalami penganiayaan oleh pemerintahan romawi, secara sembunyi-sembunyi para pengikut Kristus tetap setia merayakan Ekaristi. 40 Dalam zaman itu ada bentuk pelayanan yang resmi bagi altar Tuhan yang dikenal dengan nama akolit. Kata akolit berasal dari kata Yunani akoluthos, yang berarti pelayan atau murid. Akolit kemudian digunakan untuk menyebut para frater yang sedang mempersiapkan diri hendak menjadi imam. Pada tahap persiapan itu, para frater yang ingin menjadi imam harus dilantik menjadi akolit dan juga lektor. Sebelum Konsili Vatikan II, tugas akolit ini termasuk pelayanan yang diterimakan dengan tahbisan, tetapi namanya tahbisan rendah. Namun, sejak tahun 1972, Paus Paulus VI meniadakan tahbisan rendah, dan sebagai penggantinya tugas pelayanan lektor dan akolit untuk para calon imam ini dilimpahkan dalam bentuk upacara pelantikan. Frater yang akan ditahbiskan menjadi diakon dan imam harus sudah dilantik menjadi akolit dan lektor. Frater-frater yang dilantik menjadi akolit itulah para putera altar yang melayani Paus apabila merayakan Ekaristi. Dalam perkembangannya, karena frater-frater akolit itu tidak banyak, sementara kebutuhan pelayanan para putera altar begitu banyak tersebar di berbagai tempat, maka anak-anak diperkenankan untuk menjadi putera altar. Maka dari itu putera altar sungguh pelayan altar walaupun dibedakan dengan para akolit yang adalah para frater yang sedang mempersiapkan diri menjadi imam.

E. PUTERA ALTAR

Putera Altar merupakan kelompok remaja baik pria maupun wanita yang keberadaaannya membantu pelaksanaan ibadat maupun perayaan Ekaristi. kelompok putera altar dimiliki oleh semua paroki dan perbedaannya hanya pada pembinaan 41 terhadap kelompok putera altar. Di berbagai paroki yang keberadaan putera altarnya terbina dengan baik maka kelompok ini berjalan dengan baik dan mampu menjadi wadah kegiatan bagi para anggotanya, namun bagi paroki yang keberadaan kelompok putera altarnya tidak terorganisasi dengan baik, maka cenderung asal ada kelompok putera altar Keberadaan putera altar ini sebenarnya menjadi nilai strategis untuk meningkatkan penemuan akan makna Ekaristi bagi remaja. Menurut hasil observasi yang dilakukan oleh penulis di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ini menunjukkan kegiatan putra altar yang kurang mendapat perhatian dari umat sehingga kurang dapat membantu remaja yang tergabung di dalam putera altar untuk semakin menemukan makna Ekaristi dan kegiatan- kegiatan putera altar demi pengembangan iman mereka kurang mendapat dukungan dan pengarahan dari umat maupun pastor paroki.

1. Definisi Putera Altar

Putera altar atau sering disebut juga misdinar berasal dari bahasa Jerman yaitu Messdiener. Kata Messdiener berarti pelayan Misa Kudus. Dalam bahasa Inggris adalah altar servers, atau para pelayan altar, atau boys and girls to service at the altar. Kata servers atau service memiliki arti pelayanan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa putera altar adalah seorang pelayan, yakni pelayan Misa Kudus atau pelayan perayaan Ekaristi. Dalam prakteknya, putera altar juga melayani perayaan liturgi dan ibadat Martasudjita, 2008b: 12-13. 42 Menjadi putera altar berarti menjadi anak-anak yang melayani altar. Dalam simbolik liturgi Gereja, altar itu melambangkan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Pada saat parayaan Ekaristi berlangsung, Tuhan Yesus sendiri hadir secara istimewa di atas altar, dalam rupa roti dan anggur yang akan diterimakan dalam komuni. Dengan demikian putera altar dapat diartikan sebagai pelayan Tuhan Yesus Kristus. Putera altar merupakan wadah yang efektif bagi peningkatan pemahaman makna sakramen Ekaristi dan memperteguh iman mereka agar nantinya sungguh- sungguh mempunyai kedalaman iman dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari karena pada umumnya dalam lingkup paroki, putera altar merupakan satu-satunya wadah pengembangan iman bagi remaja dan sekaligus dapat dijadikan sebagai wadah untuk mengenalkan tentang makna Sakramen Ekaristi sejak usia remaja. Semua ini akan membuat remaja Katolik khususnya yang tergabung dalam kegiatan Putera Altar mempunyai iman yang kuat dan penuh demi kemuliaan nama Tuhan.

2. Keanggotaan Putera Altar

Keanggotaan putera altar adalah semua anak baik laki-laki maupun perempuan yang sudah dibaptis dan telah menerima sakramen komuni pertama. Usia umum menjadi putera altar adalah 9 atau 10 tahun hingga 17 atau 18 tahun atau usia SMA Martasudjita, 2008b: 16. Mengenai jumlah keanggotaan Putera Altar antara satu paroki dengan paroki yang lain berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh jumlah remaja yang ada di tiap paroki yang berbeda- beda serta maju tidaknya kelompok Putera Altar di tiap-tiap paroki. 43 Keanggotaan putera altar perempuan belum lama diperbolehkan oleh Gereja pada tahun 2001, Tahta Suci menyampaikan pernyataan mengenai keanggotaan ini. Inti dari pernyataan tersebut adalah setiap uskup memiliki wewenang untuk memberikan izin kepada remaja perempuan untuk menjadi putera altar dengan tetap mempertahankan keberadaan putera altar laki-laki dalam rangka panggilan imamat Martasudjita, 2008b: 16-17. Menurut pengamatan penulis, kelompok putera altar yang berjalan baik akan diminati oleh banyak remaja, namun sebaliknya bagi kegiatan putera altar yang monoton ataupun tidak berkembang cenderung tidak diminati. Semua kegiatan pelayanan yang dilakukan cenderung sebagai suatu rutinitas untuk terlibat aktif di dalam perayaan Ekaristi tanpa berusaha untuk menemukan makna dari perayaan Ekaristi itu sendiri.

3. Keberadaan Putera Altar di Paroki

Kelompok putera altar sudah lama ada dan berkembang di dalam paroki. Keberadaan putera altar di tiap paroki berbeda-beda ada yang sudah maju dan berkembang dan ada yang statis atau monoton dalam setiap kegiatannya. Sebagai petugas liturgi, putera altar telah menjalankan tugasnya selama bertahun-tahun. Maka, bila dimanfaatkan kelompok ini dapat dijadikan wadah untuk meningkatkan iman dengan menemukan makna perayaan Ekaristi Waskito,1984: 20. 44

4. Dasar Putera Altar

Dasar kegiatan Putera Altar adalah dari sabda-sabda Yesus sendiri yaitu melalui ayat-ayat yang tertuang dalam kitab suci. Adapun sabda-sabda Yesus yang menjadi dasar adalah: a. “ Aku datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani” Mat 20:28. b. “Kami adalah hamba yang tak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” Luk 17:10.

5. Tujuan Pelayanan Putera Altar

Menurut penulis, tujuan pelayanan putera altar sebagai petugas liturgi terdapat dalam tugas pelayanan dalam tiga bagian yaitu sebelum, selama, dan sesudah perayaan Ekaristi. Sebelum perayaan Ekaristi, putera altar mempunyai tugas mempersiapkan perlengkapan dan peralatan Misa, membantu Koster, dan mempersiapkan berbagai buku yang akan dipakai dalam perayaan Ekaristi. Selama perayaan Ekaristi, putera altar bertugas melayani imam selama perayaan Ekaristi berlangsung. Sesudah perayaan Ekaristi, putera altar masih memiliki tugas yaitu merapikan dan meringkas buku maupun perlengkapan lainnya yang dipakai dalam perayaan Ekaristi serta membantu Koster. Dari ketiga tugas tersebut, maka tujuan putera altar adalah sebagai wadah untuk menampung anak-anak usia SD dan SLTP dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan oleh Gereja, sekaligus sebagai wadah untuk mengadakan pembinaan kepada mereka dan meningkatkan penemuan perayaan Ekaristi lewat pelayanannya. 45 Selain itu putera altar juga bertujuan untuk melayani Tuhan dan umat-Nya, seperti seorang hamba Tuhan yang hidupnya diabdikan seutuhnya bagi Sabda-Nya dan karya-Nya di tengah-tengah umat-Nya Martasudjita, 2008b: 17. Dengan kata lain, seorang putera altar sebagai pelayan Tuhan maka hidupnya harus sesuai dengan sabda Tuhan. Untuk mengetahui sabda Tuhan itu, maka putera altar harus lebih mengenal kitab suci, rajin mengikuti perayaan Ekaristi dan mampu memaknai perayaan Ekaristi secara lebih mendalam sehingga hidupnya sungguh bertolak pada sabda Tuhan sendiri sehingga menjadikan Yesus Kristus sebagai teladan hidup sejati.

6. Organisasi Putera Altar

Putera altar memiliki suatu organisasi untuk mengembangkan keberanian untuk tampil dimuka umum bagi para anggota. Organisasi disini bertujuan melancarkan tugas dalam Perayaan Ekaristi. Selain itu organisasi Putera Altar juga berfungsi untuk membina keakraban dan kekeluargaan di antara para anggota putera altar. Organisasi atau kepengurusan kelompok putera altar tergantung pada masing- masing paroki dan kebiasaan di keuskupannya. Dalam kepengurusan putera altar atau biasa disebut tim kerja putera altar, terdapat suatu kepengurusan yang efektif dan efisien yaitu dengan adanya koordinator atau ketua, yang dibantu oleh sekretaris, bendahara dan tim-tim kerja lainnya. Dalam tim kerja putera altar sebaiknya ada seorang pendamping atau moderator, baik itu dari Tim Liturgi Paroki maupun seorang pendamping yang dirasa mampu dan mempunyai hati dengan sepengetahuan dari Pastor Paroki dan Dewan Paroki Martasudjita, 2008b: 20. 46

7. Kegiatan Putera Altar

Pada umumnya kegiatan putera altar adalah tugas dalam perayaan Ekaristi harian, mingguan, dan hari-hari besar. Selain itu juga mengadakan pertemuan rutin seminggu sekali atau dua minggu atau tiga minggu atau sebulan sekali, tergantung kebutuhan dan keadaan putera altar masing-masing paroki.

8. Tugas Khusus Putera Altar

Di dalam perayaan Ekaristi semua umat bersama-sama berdoa dan bersyukur atas segala kebaikan yang kamu terima dari Tuhan, selain itu berperan aktif dalam mendengarkan Sabda Allah dan ikut merayakan kurban Kristus. Putera altar secara khusus memiliki tugas yang khusus yaitu dengan suara lantang mengucapkan jawaban-jawaban dan doa-doa yang menjadi bagian umat. Pada saat yang tepat putera altar berdiri, duduk, atau berlutut, maksudnya supaya dengan memperhatikan sikap putera altar ini maka umat di Gereja akan mengetahui kapan sebaiknya mereka berdiri, duduk, atau berlutut. Putera altar juga memiliki tugas khusus lainnya yaitu membawa piala dan sibori ke altar, membawa ampul berisi air dan anggur bagi imam, menolong imam mencuci tangan, dan membantu imam membersihkan bejana-bejana suci Waskito, 1984: 21-22 Tugas khusus putera altar ini dilakukan untuk memuliakan dan melayani Tuhan dan untuk kepentingan umat di Gereja dalam mewujudkan rasa khidmat dan meriah dalam merayakan Ekaristi dan nantinya dapat membantu umat dan para 47 putera altar untuk menemukan makna perayaan Ekaristi bagi perkembangan iman mereka. F. RANGKUMAN Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok putera altar merupakan wadah yang positif dan efektif untuk pengembangan iman remaja Katolik. Kelompok putera altar tentu sangat dekat dengan perayaan Ekaristi karena mereka melakukan tugas pelayanan yang mulia saat perayaan Ekaristi. Mengetahui makna perayaan Ekaristi sejak usia remaja akan membuat para remaja Katolik khususnya yang tergabung dalam kelompok putera altar semakin memaknai iman mereka sesuai tahap perkembangan iman mereka. Oleh karena itu pemahaman tentang makna Sakramen Ekaristi secara lebih mendalam memang sungguh berguna bagi pengembangan iman remaja yang tergabung dalam putera altar. Pengembangan iman yang dilakukan tentunya sesuai dengan tahap-tahap perkembangan iman bagi usia remaja agar nantinya dapat menghasilkan iman Kristiani yang dewasa dan terus berkembang. Menurut tahap perkembangan iman James Fowler, remaja yang tergabung dalam kegiatan putera altar berada pada tahap perkembangan iman Mitis-Harafiah dan tahap perkembangan iman Sintesis- Konvensional. Dalam tahap ini, perkembangan iman mereka sangat tergantung pada orang lain atau pihak-pihak yang mendampingi kegiatan putera altar. Mereka juga membutuhkan suatu kegiatan yang sungguh memperkembangkan iman karena mereka cenderung mengambil ajaran-ajaran yang ada di dalam kelompok. Remaja yang tergabung dalam kegiatan putera altar ada juga yang sudah memiliki sifat 48 menyesuaikan diri dengan cara merespon pengharapan dan keputusan orang lain yang penting dan memiliki rasa percaya diri untuk memilih otoritas-otoritas yang ada. Putera altar melaksanakan tugas pelayanannya berkaitan dengan sakramen Ekaristi. Maka dari itu sesuai dengan tahap perkembangannya, perlu ditelaah lebih lanjut mengenai pemahaman tentang sakramen Ekaristi sehingga mereka dapat mengambil makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman mereka. Selain itu dengan mengetahui makna sakramen Ekaristi mereka juga dapat memilih ajaran- ajaran dalam Sakramen Ekaristi untuk menjadi pedoman hidup mereka dan menjadi landasan untuk perkembangan iman mereka. Maka dari itu perlu ditelaah lebih lanjut mengenai sejauh mana penghayatan sakramen Ekaristi demi pengembangan iman putera altar. Khususnya dalam hal ini adalah putera altar di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta. 49

BAB III PENGHAYATAN PUTERA ALTAR KUASI PAROKI SANTO YUSUP

BANDUNG, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA TERHADAP MAKNA SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN Pada bab II telah diuraikan tentang sakramen Ekaristi demi pengembangan iman putera altar khususnya putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta. Pemahaman secara teoritis tentang makna sakramen Ekaristi demi mengembangkan iman putera altar melalui Kitab Suci, dokumen- dokumen Gereja, dan dari pandangan para ahli sungguh membantu putera altar untuk semakin menemukan dan memaknai Sakramen Ekaristi sehingga dapat mengembangkan iman mereka terutama dalam kehidupan konkret setiap hari. Dalam bab III ini, penulis membahas tentang penelitian penghayatan putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta terhadap makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman. Dalam bab III ini penulis memulai dengan memberikan gambaran umum mengenai Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta yang terdiri dari sejarah paroki, situasi umum umat paroki, gambaran umum putera altar paroki, dan kegiatan putera altar paroki. Kemudian penulis menjelaskan metodologi penelitian yang nantinya akan dilaksanakan. Sesudah melaksanakan penelitian penulis membahas hasil penelitian yang telah diperoleh dalam laporan penelitian. Melalui hasil penelitian tersebut penulis berharap dapat mengetahui sejauh mana putera altar mampu menemukan makna 50 sakramen Ekaristi demi pengembangan iman mereka. Penulis kemudian mengusulkan model pembinaan iman yang cocok untuk membantu putera altar menemukan makna Sakramen Ekaristi demi pengembangan imannya.

A. KUASI PAROKI SANTO YUSUP BANDUNG, GUNUNG KIDUL,

YOGYAKARTA 1. Sejarah Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta. Sejarah perkembangan umat di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung tidak dapat dilepaskan dari sejarah Paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari. Sejak tahun 1924 ketika ada baptisan pertama seorang warga Wonosari, umat Katolik semakin berkembang. Didukung kehadiran sekolah-sekolah Katolik yang dikelola oleh Misi Katolik serta hadirnya katekis-katekis dari Yogyakarta, semakin banyak warga Wonosari yang dibaptis. Umat Katolik Wonosari semakin diteguhkan ketika tahun 1952 Wonosari ditetapkan sebagai Paroki dengan nama pelindung Santo Petrus Kanisius dan Romo Vendel SJ sebagai Pastor Paroki yang pertama. Paroki Wonosari ketika itu mencakup seluruh wilayah Kabupaten Gunungkidul, cakupan pastoral yang amat luas. Dalam reksa pastoral kemudian, yakni tahun 1990, disepakati bahwa wilayah Paroki Wonosari dibagi menjadi tiga bagian penggembalaan, yakni wilayah barat yang berpusat di Bandung, wilayah tengah yang berpusat di Wonosari, dan wilayah timur yang berpusat di Kelor. Pembagian wilayah ini diikuti dengan pembagian tugas dari para romo yang ada di Wonosari. Ternyata pilihan pastoral ini membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Umat Katolik di ketiga wilayah semakin tumbuh 51 dan berkembang. Bahkan kedua wilayah, yakni Kelor dan Bandung, makin meningkat paguyuban imannya dan diteguhkan dengan status baru sebagai Paroki Administratif pada 1 Januari 1998. Status baru ini membawa konsekuensi tersendiri yang harus dipikul. Di kedua “anak paroki” ini mulai dibentuk Dewan Paroki tersendiri dengan Romo yang mendampingi serta menetap di kedua wilayah tersebut. Tata kelola paroki, termasuk keuangan, dilaksanakan terpisah dari Wonosari. Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung sendiri saat ini dibagi dalam enam wilayah, yakni Bandung Timur, Bandung Barat, Bogor, Ngijorejo, Beji dan Panggang. Masing-masing wilayah mempunyai sejarah pertumbuhan dan perkembangan yang tidak sama dan tidak berhubungan. Hal ini disebabkan antara lain para katekis yang mewartakan iman berasal dari tempat yang berbeda-beda. Umumnya, para katekis bekerja sebagai guru di sekolah-sekolah kanisius yang sudah ada dan di luar tugas mengajar mereka mengajar agama bagi para katekumenmagang baptis. Di antara para baptisan awal, apa yang terjadi di Ngijorejo pantas disebut sebagai momen historis yang penting. Pada tahun 1930 di Ngijorejo sudah ada pondok pesantren kejawen yang diasuh oleh Kyai Mochamad Chaeram yang sekaligus menjadi Dukuh untuk daerah Ngijorejo, Trukan dan Ngasem. Padepokan ini memang dimaksud untuk mendidik kawula muda Ngijorejo dan sekitarnya agar memiliki akhlak yang baik. Tahun 1933 kehadiran Romo Strater SJ di Wonosari sudah terdengar sampai padepokan ini. Romo Strater dianggap sebagai guru ngelmu bule. Maka, terjadilah adu kawruh ilmu antara Kyai Mochamad Chaeram dengan Romo Strater yang didampingi Romo Hardjasuwanda dan katekis Bapak 52 Sastrapuspita. Adu kawruh ini diadakan dengan perjanjian: siapa yang kalah harus tunduk dan mengikuti yang menang beserta semua pengikutnya. Drama adu kawruh ngelmu ini dimenangkan oleh Romo Strater dan Romo Hardjasuwanda. Maka, sejak itu seluruh penduduk Ngijorejo dan sekitarnya tunduk dan mengikuti Romo Strater. Katekis yaitu Bapak Sastrapuspita mulai rajin datang ke Ngijorejo dan memberikan pelajaran agama Katolik di sana. Pada hari Natal tahun 1934 sekitar 30 orang Ngijorejo akhirnya dibaptis di Gereja Wonosari. Inilah benih awal umat Katolik di Ngijorejo yang sekaligus menjadi cikal bakal umat Katolik di Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung. Semua yang terjadi di Ngijorejo ini gemanya segera meluas dan berpengaruh banyak di daerah-daerah sekitarnya. Setahun kemudian tahun 1934 ada seorang yang bernama Petrus Partosentono yang berasal dari Beji dibaptis. Kemudian, dia bersama temannya mulai mengajar agama di Beji sehingga tahun- tahun selanjutnya mulai banyak orang yang minta dibaptis. Di tempat lain terjadi pula baptisan pertama pada tahun 1935 di daerah Bogor. Waktu itu ada empat orang yang menerima baptisan pertama di daerah ini. Namun, keempat orang itupun segera menyebar dan bertempat tinggal di daerah lain. Sementara itu umat yang paling dekat dengan gereja induk terdiri dari dari dua wilayah, yakni Bandung Barat dan Bandung Timur. Perkembangan umat di kedua wilayah tersebut ditentukan oleh para katekis yang menjadi guru di Sekolah Dasar Kanisius yang ada di kedua wilayah itu. Mulai tahun 1950 terdapat baptisan baru yang semakin lama semakin berkembang. Baptisan itu terjadi pada tahun 1952, yang dibaptis ada dua orang, Yusup Suwardiyono dan Yusup Sarisman. Keduanya berdomisili di Bandung. Tahun 1955, kembali dibaptis tujuh orang dari Pager 53 wilayah Bandung Timur. Mereka mendapat pelajaran agama dari Bapak DJono seorang guru dari Kalasan. Selanjutnya tahun demi tahun, umat semakin meningkat dan tersebar di beberapa kring tahun 1957, baptisan di Banaran; tahun 1966 baptisan dari Nogosari. Khusus untuk wilayah Bandung sendiri, iman katolik berawal dari kehadiran Sekolah Dasar Kanisius Beji yang khusus hanya untuk anak kelas 4-6. Anak-anak ini kemudian membuat kegiatan belajar yang tergabung dalam Himpunan Siswa Bandung di bawah pimpinan Yusup Sarisman. Pelajaran agama Katolik segera diberikan oleh para katekis yang sekaligus menjadi guru di SD waktu itu Bapak Djono, Bapak Wardo, Bapak Lusman dan Bapak Dwijo Susanto dalam bimbingan Romo Vendell dari Wonosari. Dari kegiatan belajar itulah, ada 15 anak yang segera minta dibaptis. Salah satu anak tersebut bernama Yohanes Saeran Setyosudarmo. Dalam perkembangan selanjutnya, Bapak Saeran inilah yang akan meneruskan perkembangan umat Katolik di Bandung. Tempat ibadah yang ada waktu itu hanyalah di komplek Sekolah Dasar. Semakin lama semakin dirasakan kebutuhan untuk memiliki tempat ibadah yg lebih memadai. Lalu dipilihlah suatu pekarangan milik Ibu Harjodinomo di Bandung yang segera dibangun untuk menjadi kapel. Misa pun rutin diadakan di kapel ini sebulan sekali. Pada tahun 1964, Romo Dibyo Wardoyo membeli tanah milik Bapak Saeran untuk didirikan kapel baru. Pada tahun 1969 Bapak Saeran dipanggil Tuhan. Kepemimpinan Gereja diteruskan oleh Bapak Yohanes Baptis Sukino. Bergantinya tokoh awam berganti pula romo paroki yang melayani. Maka, datanglah Romo Zanweh, SJ yang kemudian mulai membeli sebidang tanah dan segera didirikan Gereja yang lebih besar. Pendirian Gereja ini 54 dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh umat. Inilah cikal bakal Gereja Bandung. Dalam perkembangannya, Gereja tersebut semakin tidak memadai untuk menampung seluruh umat. Penambahan di sana-sini pun dilakukan seiring pertambahan jumlah umat. Berdirinya gedung Gereja menuntut penataan tata organisasi-kepemimpinan umat. Maka, tahun 1979 mulai ditetapkan kepengurusan Dewan Stasi yang diketahui oleh Bapak Yohanes Baptis Sukino. Pelindung Stasi yang dipilih adalah Santo Yusup. Hingga sekarang berkembang menjadi Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta.

2. Situasi Umum Umat Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul,

Yogyakarta. a. Kondisi Geografis - geologis Kabupaten Gunung Kidul merupakan kabupaten terbesar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY dengan luas 1.485,36 km2 atau sekitar 46,62 dari total wilayah Provinsi DIY. Jumlah penduduk Gunung Kidul tercatat ada 686,772 jiwa yang tersebar di 18 kecamatan, 144 desa dan 1.416 dusun. Karena termasuk dalam barisan Pegunungan Seribu, sebagian besar wilayah Gunung Kidul berupa tanah perbukitan karst. Karena itu, air menjadi masalah yang cukup serius bagi sebagian besar masyarakat Gunung Kidul. Banyak warga mengandalkan kebutuhan air dari telaga tadah hujan. Tercatat di seluruh Gunung Kidul ada 281 telaga yang tersebar di 10 kecamatan. Karena sifatnya tadah hujan tidak semua telaga berisi air setiap saat. Namun, tiap warga sudah mengantisipasi dengan membuat penampungan tadah hujan di rumah masing-masing. Hanya di daerah dataran rendah air relatif lebih 55 mudah didapatkan dengan dibuat sumur. Beruntung bahwa setahun terakhir ini pemerintah telah menyediakan penyaluran pipa air ke permukiman penduduk dari sumber-sumber air yang dapat dimanfaatkan seperti di pantai Baron, mata air Bribin, mata air Seropan. Walaupun demikian, kebutuhan air tetap menjadi persoalan yang utama, baik untuk kebutuhan rumah sehari-hari maupun untuk kebutuhan bercocok tanam. Seperti daerah-daerah lain, masyarakat Gunung Kidul mengikuti pola tanaman pangan dengan menyesuaikan siklus musim. Di saat musim penghujan, warga dapat menanam padi jenis gogo. Di luar musim penghujan, warga hanya dapat menanam singkong dan tanaman palawija kedelai, kacang, jagung, dan lain-lain. Memang, di tengah kondisi pertanian yang diombang-ambingkan harga serta pupuk dewasa ini hasil olah pertanian tidak memberikan keuntungan ekonomis yang dapat diandalkan. Namun, tidak ada pilihan lain yang lebih menjanjikan di luar pertanian. Untuk mendukung peruntungan ekonomi warga memelihara sapi dan kambing yang lebih dimaksud untuk deposito. Hewan piaraan tersebut acapkali dimanfaatkan untuk kebutuhan yang mendesak seperti hajad nikah, supitan, dan lain-lain.

b. Kondisi Wilayah

Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung terletak di dusun Kepil RT. 29RW. 06 kelurahan Bandung kecamatan Playen kabupaten Gunungkidul, berjarak 5,2 km dari kota Wonosari ke arah Barat. Sebagian besar wilayah paroki terdiri dari tanah dataran yang relatif mudah mendapatkan air. Sementara itu, di sisi barat laut terhampar perbukitan kapur yang merupakan lahan tandus yang sulit ditanami 56 tanaman pangan. Di wilayah ini kebutuhan air masih menjadi persoalan yang berarti dalam hidup umat. Pola tanam pun masih mengikuti siklus musim yang ada. Umat Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung tersebar di 8 kecamatan, yakni Wonosari, Playen, Patuk, Gedangsari, Paliyan, Saptosari, Purwosari, dan Panggang. Dari wilayah yang ada tersebut ditentukan batas-batas wilayah dengan paroki lain: selatan-timur Paroki Wonosari, timur-utara Paroki Kelor, barat laut Paroki Kalasan, barat daya Paroki Bantul dan utara Paroki Wedi. Dalam reksa penggembalaan, Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung dibagi dalam 6 wilayah dan 34 lingkungan, yakni: 1 Wilayah Bandung Barat: Doga, Banaran, Gading, Nogosari Utara, Nogosari Selatan, Jamburejo 6 Lingkungan. 2 Wilayah Bandung Timur: Ngalang, Bandung Utara, Bandung Selatan, Pager, Kepil 5 lingkungan. 3 Wilayah Bogor: Bogor I, Bogor II, Bogor III, Bogor IV, Siyono, Playen, Kernen, Ngasem Lor, Bleberan dan Paliyan 10 lingkungan. 4 Wilayah Beji: Santo Antonius, Santo Nikolaus, Santo Yusup, Santo Yohanes 4 lingkungan. 5 Wilayah Ngijorejo: Santo Markus, Santo Mateus, Santo Petrus, Santo Thomas, Santo Benediktus, Santo Paulus, dan Santo Yohanes 7 lingkungan. 6 Wilayah Panggang: Girisekar dan Panggang 2 lingkungan. Di antara umat Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, ada yang terpanggil hidup sebagai rohaniwan dan biarawanwati dengan data sebagai berikut: imam ada sembilan orang, bruder ada dua orang, suster ada dua belas orang. Di samping itu 57 masih ada satu orang yang menjadi Uskup Tanjung Karang, yakni Mgr. Andreas Henri Susanto, SCJ. Beliau berasal dari wilayah Ngijorejo.

c. Kondisi Sosio-budaya

Dari data umat terakhir, umat Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung tercatat ada 3.180 jiwa dengan 1011 KK. Sebagian besar umat hidup sebagai petani kecil yang penghasilannya tidak terlalu besar. Hasil olah pertanian tergolong seimbang jika dibandingkan antara biaya produksi dan hasil panenannya. Hasil pertanian tersebut hanya dimanfaatkan untuk konsumsi keluarga sehari-hari, tidak dijual. Golongan umat yang hidup sebagai petani ini tercatat ada 976 orang atau 48,2 dari seluruh warga paroki. Golongan kedua adalah umat yang hidup sebagai pedagang dan wiraswasta. Mereka berdagang sayuran dan palawija namun lebih banyak yang bersifat musiman. Selain itu, ada pula yang berdagang di warung kelontong yang penghasilannya lebih baik dibandingkan dengan yang berdagang musiman. Golongan ini berjumlah 437 orang atau 21,6. Golongan berikutnya adalah umat yang berprofesi sebagai PNSTNIPOLRI yang memiliki penghasilan tetap. Jika direkapitulasi, prosentase ekonomi umat adalah: 1 Petani : 48,2 2 PNSPensiunan : 21,6 3 Pedagangwiraswasta : 16,3 4 Buruh tidak tetap :13.1 5 POLRITNI : 0,8 58 Sebagai orang Jawa, umat pun hidup dengan menghayati budaya Jawa yang masih kental. Bahasa Jawa masih menjadi bahasa utama, baik dalam hidup sehari- hari maupun dalam kegiatan ibadat umat. Tradisi-tradisi Jawa masih cukup mewarnai pola hidup umat seperti tumpengan, mitoni, adat nikah, nogo dino, nyadranan, dll. Ada tradisi bersih desa yang disebut Rasulan. Tradisi ini selalu diadakan setiap tahun di setiap kelurahan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang diterima. Umumnya dalam tradisi rasulan ini, dipilih pentas utama wayang kulit semalam suntuk.

3. Gambaran Umum Mengenai Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup

Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta. a. Santo Pelindung Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ini berpusat di Gereja paroki dengan jumlah 41 anak yang terdiri dari Wilayah Bandung Barat dan Wilayah Bandung Timur. Sedangkan untuk tiap wilayah memiliki putera altar tersendiri dan melayani di kapel yang tersebar di tiap wilayah. Sebagian besar peserta putera altar paroki adalah anggota putera altar yang baru. Putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta ini memiliki santo pelindung Putera Altar yaitu Santo Tarsisius. Santo Tarsisius adalah martir cilik pada pertengahan abad ketiga. Ketika sedang mengirim komuni ke penjara, ia diganggu oleh orang-orang kafir sehingga ketahuan membawa hosti 59 Kudus. Maka mau tidak mau ia mengaku diri Kristen dan akibatnya meninggal sebagai saksi iman pada usia muda Heuken, 1989: 287.

b. Materi yang Disampaikan dalam Kegiatan Putera Altar

Putera Altar Paroki Santo Yusup Bandung juga mendapatkan pemahaman dasar mengenai peralataan yang dipakai saat perayaan Ekaristi, pakaian romo, dan warna-warna Liturgi. 1 Mengenal Peralatan yang Dipakai dalam Perayaan Ekaristi Alat Liturgi yang kita kenal sekarang ini pada mulanya adalah berbagai macam alat yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari masyarakat Timur Tengah. Namun dalam perkembangan waktu digunakan secara khusus dalam Liturgi Kristiani. Sejak Abad ke-9, alat-alat Liturgi yang baru, sebelum dipakai selalu diberkati dahulu Martasudjita, 1998: 39-42. Alat-alat Liturgi itu adalah: a Lilin menyala: melambangkan Yesus Kristus, Sang Terang Dunia senantiasa hadir di tengah jemaat-Nya yang sedang berkumpul untuk berdoa b Kandelar : Tempat lilin. c Piala : Piala tempat minum imam dalam perayaan Ekaristi. d Kain Piala Purificatorium: Sehelai kain kecil persegi panjang untuk mengeringkan piala. 60 e Patena : Piring kecil pipih tempat meletakkan hosti besar dalam perayaan Ekaristi. f Palla : Kain linen putih yang dikeraskan untuk menutup piala dan patena. g Korporal : Kain segi empat yang dibentangkan di atas meja altar sebagai alas piala, sibori dan bahan persembahan yang lain. h Sibori : Piala besar dengan tutup untuk menyimpan Sakramen Maha Kudus. i Velum : Kain selubung berwarna putih atau kuning sebagai tudung Sibori yang disimpan dalam Tabernakel atau sebagai tudung pegangan monstran dalam suatu prosesi. j Ampul : Cangkir kecil berisi air dan anggur. Ampul dengan tanda V =vinum berisi anggur dan ampul dengan tanda A =aqua berisi air. k Piksis : Wadah kecil untuk menyimpan Hosti Kudus yang akan dihantarkan kepada orang sakit. l Cerek Lavabo: Berisi air untuk pembasuhan tangan imam. m Navikula dan Turibulum: Navikula merupakan tempat ratus dan Turibulum merupakan tempat untuk pendupaan. n Monstran : Untuk mentahtakan Sakramen Maha Kudus dalam perarakan atau adorasi. o Tempat Minyak Suci: Kaleng untuk menyimpan minyak yang sudah diberkati. Ada tiga jenis minyak suci: OC Oleum Cathechumenorum minyak untuk para katekumencalon baptis. SC Sanctum Chrisma minyak untuk penerimaan Sakramen Krisma. 61 OI Oleum Infirmorum minyak untuk pengurapan orang sakit. p Tempat Pemercikan dan Aspergil: Berisi air suci yang digunakan untuk memerciki umat atau bahan persembahan. 2 Mengenal Pakaian Romo Pakaian romo terdiri dari Alba, Singel, Amik, Stola, dan Kasula. Alba berasal dari bahasa Latin albus = putih. Alba merupakan jubah panjang, dan dalam upacara Liturgi harus dipakai oleh romo, kecuali jika dia sudah memakai jubah oleh romo. Jubah yang biasa dipakai oleh romo dalam arti tertentu merupakan pengganti alba dalam perayaan liturgi Martasudjita, 1998: 43-46 Bagian dari pakaian romo yang lainnya adalah Singel. Singel merupakan tali ikat pinggang panjang yang digunakan untuk mengikat albajubah yang terlalu panjang. Jika alba atau jubah sudah pas dan baik, penggunaan singel boleh ditiadakan. Amik merupakan penutup leher yang berbentuk segi empat di mana kedua ujungnya diberi tali. Amik dipakai di bawah alba untuk menutupi leher dan krah baju yang dipakai. Dalam hal ini, amik tidak perlu digunakan jika petugas Liturgi sudah memakai jubah. Stola merupakan tanda jabatan kepemimpinan Liturgi resmi, maka para petugas liturgi yang tidak ditahbiskan, seperti prodiakon dan lektor tidak diperkenankan memakai stola. Namun, kini di Indonesia sudah berkembang aneka motif stola. Ada model stola yang indah dan model selendang yang berasal dari pakaian adat daerah. Semua ini boleh dipakai, sejauh makna dan fungsi pakaian Liturgi tetap terungkap dengan baik. 62 Kasula, disebut juga paenula atau planeta bahasa Latin berasal dari bahasa Latin casula berarti gubuk kecil atau pakaian luar. Kasula merupakan pakaian Liturgi resmi yang dipakai pada bagian paling luar. 3 Warna-warna Liturgi Dalam Liturgi warna melambangkan sifat dasar misteri iman yang dirayakan dan menegaskan perjalanan hidup Kristiani sepanjang tahun Liturgi. Warna-warna Liturgi yang dipakai adalah PutihKuning, Merah, Hijau, Ungu, dan Hitam Martasudjita, 1998: 50-54. a PutihKuning: Warna Putih dikaitkan dengan makna kehidupan baru, selain itu juga sebagai lambang kemurnian, ketidaksalahan, terang yang tak terpadamkan, dan kemuliaan abadi. Sedangkan warna Kuning umumnya dilihat sebagai warna mencolok sebagai bentuk lebih kuat dari makna kemuliaan dan keabadian. Kedua warna ini Dipakai pada masa Paskah dan Natal, Hari Raya, Pesta Tuhan Yesus kecuali peringatan sengsara-Nya, Santa Perawan Maria, Para Malaikat dan Para Kudus bukan martir. b Merah : Melambangkan Roh Kudus, Penumpahan Darah. Selain itu juga menyatakan kesiapsediaan untuk mengikuti teladan para martir yang mati demi iman. Dipakai pada Minggu Palma, Jumat Agung, dalam perayaan-perayaan sengsara Kristus, Pentakosta, dan Pesta Para Martir. c Hijau :Sebagai warna tenang, menyegarkan, melegakan dan manusiawi. Selain itu warna hijau juga melambangkan pengharapan dan syukur. Dipakai pada masa biasa. 63 d Ungu : Melambangkan pertobatan, duka, mati raga. Ungu melambangkan rasa sedih dan ketenangan. Dalam liturgi warna ungu dipakai selama masa mawas diri yang membutuhkan ketenangan. Masa mawas diri adalah masa Adven empat minggu menjelang Hari Raya Natal dan masa Prapaskah empat puluh hari sebelum Hari Raya Paskah. Dalam satu minggu menjelang Paskah, warna ungu berhubungan erat dengan sengsara dan wafat Yesus Kristus. Pakaian liturgi imam yang dipakai pada Pekan Suci ini dihiasi dengan simbol-simbol seperti salib dan mahkota duri. e Hitam : Melambangkan ketiadaan, kegelapan, pengurbanan, kematian dan kerajaan orang mati. Warna hitam juga melambangkan kesedihan dan kedukaan hati secara paling intensif. Warna hitam biasa akan digunakan dalam Liturgi Arwah, meskipun penggunaan warna hitam ini bersifat fakultatif.

4. Kegiatan Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul,

Yogyakarta. Kegiatan Putera Altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung adalah kegiatan rutin pelatihan setiap hari Sabtu pukul 15.00 WIB. Pelatihan ini diikuti oleh seluruh anggota putera altar dan didampingi oleh pelatih putera altar paroki yaitu Bapak HY. Suyanto dan pengurus putera altar yang dikoordinasi oleh Maria Eka Setyaningsih. Kegiatan pelatihan putera altar dilaksanakan untuk mempersiapkan tugas mingguan maupun perayaan hari raya. Selain itu dikemas juga dalam bentuk permainan dan pengenalan tentang peralatan yang dipakai dalam perayaan Ekaristi dan warna-warna liturgi. 64 Selain kegiatan rutin, putera altar Paroki Santo Yusup Bandung juga mengadakan kegiatan outbond untuk pengakraban anggota dan menambah minat untuk semakin giat melayani.

B. PENELITIAN TENTANG PENGHAYATAN PUTERA ALTAR KUASI