SAKRAMEN EKARISTI Usulan meningkatkan pemahaman tentang makna sakramen Ekaristi demi pengembangan iman putera altar Kuasi Paroki Santo Yusup Bandung, Gunung Kidul, Yogyakarta.

21

B. SAKRAMEN EKARISTI

1. Sakramen Ekaristi

a. Pengertian Sakramen

Menurut Katekismus Gereja Katolik KGK, Sakramen adalah “kekuatan- kekuatan” yang datang dari Tubuh Kristus bdk. Luk 5:17; 6:19; 8:46, yang tetap hidup dan menghidupkan. Mereka adalah tindakan-tindakan Roh Kudus yang bekerja di dalam Tubuh-Nya, Gereja. Mereka adalah “karya-karya agung Allah” dalam perjanjian baru dan kekal KGK 1116. Sakramen-sakramen ditetapkan Kristus dan dipercayakan kepada Gereja sebagai tanda berdaya guna yang menghasilkan rahmat dan memberikan kehidupan ilahi kepada kita. Ritus yang tampak dengan mana Sakramen-sakramen itu dirayakan, menyatakan dan menghasilkan rahmat, yang dimiliki setiap Sakramen. Bagi umat beriman yang menerimanya dengan sikap batin yang wajar, mereka menghasilkan buah KGK 1131. Sakramen adalah suatu tanda lahir yang ditetapkan oleh Kristus dan terdiri dari suatu perbuatan dan perkataan yang menerangkannya sebagai lambang rahmat yang tidak kelihatan yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam diri si penerima. Setiap sakramen memberi rahmat yang khas berkat pertemuan dengan Kristus yang khas Janssen, 1993: 38. Sakramen merupakan sebuah misteri penyelamatan yang dilakukan oleh Allah terhadap manusia dan sekaligus memberikan sebuah rahmat dengan cara manusia mampu untuk berhubungan mesra dengan Allah maupun dengan sesamanya. Sakramen memang memberi rahmat, akan tetapi perayaannya juga 22 mempersiapkan orang beriman dengan sangat baik untuk menerima rahmat dengan berdayaguna bagi kehidupan manusia, untuk menyembah Allah dengan tepat dan untuk melaksanakan cinta kasih Janssen, 1993: 38. Gereja menjadi sebuah tanda atau perwujudan yang nyata dari penyelamatan Allah. Sakramen dapat diartikan sebagai peristiwa konkrit duniawi yang menandai karya keselamatan Allah di dunia. Sakramen secara tidak langsung berkaitan dengan simbol religius, keagamaan. Tetapi semua yang berkaitan dengan hal religius tidak dapat dikatakan sakramen. Simbol religius dapat dibedakan menjadi dua, yaitu simbol ekspresif, yang artinya sebuah realitas fisik benda atau perbuatan menjadi ungkapan dari suatu pengalaman keyakinan, perasaan, terhadap yang Transenden. Dengan simbol ekspresif, orang lain dapat sampai kepada pengalaman batiniah yang sama seperti halnya membuat sebuah tanda salib dan penyalaan lilin sebagai simbol Allah hadir dalam kehidupan. Simbol yang kedua yaitu simbol representatif, sebuah lambang yang menunjuk dan menghadirkan suatu realitas yang melampaui segala pengalaman biasa dan hanya tercapai melalui dan dalam simbol itu. Sakramen termasuk dalam macam simbol religius yang kedua ini yaitu simbol representatif Groenen, 1990: 20-21. Sakramen merupakan sebuah rahmat yang tak kelihatan dalam bentuk yang kelihatan. Rahmat merupakan sebuah kasih yang telah diberikan Allah pada manusia untuk mengatasi segala angan-angan manusia. Rahmat yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia, tidak bersifat paksaan tetapi membutuhkan jawaban yang bebas dari manusia dan memberikan sebuah tanggapan yang diberikanNya. Melalui 23 sebuah imanlah manusia dapat menangkap akan rahmat Tuhan. Iman manusia dapat memupuk, meneguhkan, dan mengungkapkan tanggapannya itu terhadap Allah baik dengan benda maupun kata-kata, tindakan KWI, 1996: 397.

b. Ekaristi sebagai Sakramen Cinta Kasih

Konstitusi Sacrosantum Concilium SC, dokumen Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci menyatakan bahwa Kristus “mempercayakan kepada Gereja, Mempelai- Nya yang terkasih, kenangan wafat dan kebangkitan-Nya: Sakramen cinta kasih, lambang kesatuan ikatan cinta kasih” SC 47. Gereja dipercaya oleh Kristus untuk melanjutkan karya keselamatan dari Allah yang merupakan misteri Kristus sendiri yang tergambar dari kenangan wafat dan kebangkitan Kristus. Dengan melalui sakramen, Gereja mewujudkan Rahmat keselamatan dan cinta kasih bagi semua orang. Ekaristi menjadi sakramen cinta kasih melambangkan kesatuan antara Allah dengan Gereja-Nya Martasudjita, 2005: 297. Dengan adanya Ekaristi akan menjadikan bukti kasih Allah kepada manusia dengan kesatuannya dengan manusia. Manusia sering bertindak dosa dan jauh dari Allah namun dengan cinta kasih-Nya, Allah terus “merangkul” manusia kembali untuk bersatu dengan-Nya.

c. Makna Sakramen

Sakramen berasal dari bahasa latin sacramentum, terdiri dari kata sacr, sacer berarti kudus, suci, lingkungan orang kudus, bidang yang suci. Kata Latin Sacrare artinya menyucikan, menguduskan, mengkhususkan sesuatu atau seseorang bagi 24 bidang yang suci atau kudus. Jadi kata sacramentum itu menunjuk pada suatu hal yang menguduskan Martasudjita, 2003: 61. Sakramen memiliki sebuah kekhasan yaitu pengudusan itu berasal dari diri sendiri, bersifat rohani Ilahi karena itu tidak kelihatan. Dalam Gereja yang tidak kelihatan tersebut akan menjadi nyata melalui Sakramen. Perkataan manusia dan benda duniawi dibuatnya sebagai sarana untuk menyatakan apa yang dilakukan Yesus terhadap para murid Janssen, 1993: 34. Sakramen dapat pula diartikan sebagai tanda pemberian Rahmat Allah, karena melalui sakramen, Allah berkarya dalam diri penerimanya yaitu melaksanakan misteri penyelamatan yang harus dihayati secara sungguh-sungguh sebagai ungkapantanggapan iman. Sakramen bukan hanya mengandalkan iman tetapi juga diharapkan dapat menghubungkannya dengan kehidupan dan meneguhkan dengan kata-kata sehingga sakramen dinamakan juga sebagai komunikasi iman umat beriman Janssen, 1993: 41. Sakramen merupakan sebuah “misteri”, misteri yang berarti bahwa rahasia keselamatan Allah ditampakkan oleh Allah sendiri melalui peristiwa-peristiwa yang konkret di dunia ini. Rahasia itu dinyatakan di dalam seluruh ciptaan melalui penciptaan dan lebih sempurna dinyatakan dalam peristiwa Yesus Kristus. Sakramen dapat dimaknai sebagai peristiwa duniawi yang nyata dimana dapat menandai, menampakkan, dan melaksanakan atau menyampaikan karya penyelamatan yang dilakukan oleh Allah KWI, 1996: 400. Berdasarkan Kitab Suci misteri atau mysterion menjadi sebuah titik untuk menggali sebuah makna sakramen. Sebab dengan adanya kata sacramentum sebenarnya untuk menerjemahkan kata mysterion. Kata mysterion Yunani 25 dipergunakan untuk menerjemahkan sebuah kata Ibrani sôd. Mysterion berasal dari kata my, kata kerja myein, yang memiliki arti menutup mulut atau mata sebagai reaksi atas pengalaman yang mengatasi nalar, pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dengan demikian mysterion memiliki sebuah makna dasar yaitu suatu pengalaman batin yang tak terlukiskan dengan kata-kata karena pengalaman perjumpaan dengan Yang Ilahi Martasudjita, 2003: 62. Tanda sakramental dijelaskan dengan menggunakan lambang atau simbol. Berkaitan dengan hal tersebut, manusia memiliki roh membadan, dengan maksud apa yang dilakukan manusia untuk memuji Tuhan sudah nampak terungkap dalam badan itu, jadi tanda-tanda badaniah sungguh terungkap lebih mendalam dari pada perbuatan-perbuatan konkret, ungkapan yang mendalam itu ialah jiwa dan sikap rohani. Dengan perbuatan manusiawi, kita mengalami cinta ilahi oleh karena itu perbuatan manusiawi yang dilakukan melambangkan perbuatan Allah terhadap kita. Dalam situasi demikian maka hendaklah ritus-ritus sakramen dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh penuh dan harus dirasakan. Selain itu penting disadari pula bahwa perbuatan manusia yang nyata itu akan sungguh menjadi Sakramen Kristiani jika melalui perkataan yang diucapkan. Maka dari itu Allah mendekati dan menyelamatkan manusia secara konkret badaniah melalui segala perbuatan dan perkataan yang membentuk tanda dan lambang KWI, 1996: 400-401.

2. Makna Sakramen Ekaristi

a. Ekaristi sebagai Ungkapan Cinta Kasih Yesus Sehabis-habisnya

Yesus mengorbankan diri di kayu salib demi memenuhi karya keselamatan dari Allah bagi umat-Nya. Ia mempersembahkan diri kepada Bapa untuk 26 pengampunan dosa dan juga mempersatukan manusia dengan Allah. Yesus sendiri yang mengorbankan tubuh dan darah-Nya demi cintanya kepada manusia. Dalam pengorbanan Yesus di kayu salib melambangkan bahwa semua dilakukan dengan penuh penyerahan diri kepada Allah sendiri atas segala ketakutan yang dialami Yesus sebelum disalib. Semua pengorbanan Yesus ini merupakan teladan cinta kasih yang sempurna melalui penyerahan tubuh dan darah Kristus sendiri demi menebus dosa manusia. Pengorbanan dan persembahan diri Yesus menjadi lebih dikenang dalam Gereja yakni dalam Ekaristi. Ekaristi memperlihatkan cinta kasih dengan kurban persembahan diri Yesus pada Allah. Melalui kurban Yesus ini, Gereja menghayati-Nya dalam Ekaristi. Ekaristi menjadi salah satu tempat untuk kurban persembahan kepada Allah. Kurban dalam konteks kita di dunia adalah seluruh diri dan kegiatan duniawi yang kita lakukan akan dipersembahkan kepada Allah. Apa yang ada di dalam dunia itu milik Allah dan sepantasnya kita kembalikan kepada Allah untuk mengucapkan syukur atas pemberiannya. Berkat Yesus Kristuslah segala sesuatu menjadi gambar dan ungkapan kemuliaan Allah di dunia Grün, 1998: 11-12. Yesus memberikan anugerah cinta kasih akan selalu dikenang oleh umat- Nya. Karya penebusan Kristus terwujud dalam kurban Salib-Nya maka perayaan Ekaristi menjadi kenangan Kurban Salib Kristus secara sakramental dalam tindakan liturgis Gereja Yesus telah memberikan kemenangan sejati dan keselamatan bagi semua orang. Oleh sebab itu Gereja mengabadikan dan mengenangnya dalam sebuah Ekaristi suci. Ekaristi menjadi suatu kenangan akan anugerah cinta kasih yang mendalam dan memiliki kekuatan untuk hidup rohani. Selain itu dengan Ekaristi 27 menjadi kenangan, kita sebagai umat beriman diajak untuk mengingat tindakan Allah yang menyelamatkan dunia dari belenggu dosa yang terlaksana melalui karya Yesus Martasudjita, 2005: 293-295. Kurban Ekaristi ini ditetapkan untuk ”mengabadikan kurban salib untuk selamanya”SC 47. Dengan demikian sangat jelas bahwa dengan perayaan Ekaristi maka akan mengabadikan cinta kasih Yesus Kristus dalam kurban salib yang pernah Yesus lakukan. Ada kesatuan antara kurban Ekaristi dan kurban salib Kristus yaitu Ekaristi merupakan suatu kurban dalam nama Yesus Kristus yang mengabadikan kurban salib-Nya yang sekali untuk selamanya di dalam, melalui, dan dengan Gereja Martasudjita, 2005: 295.

b. Ekaristi sebagai Perjamuan dan Persekutuan Umat dengan Allah

Pada zaman dahulu perjamuan adalah pengalaman kebersamaan yang paling mendalam dengan para peserta perjamuan dan sekaligus dengan Allah. Maka dari itu perjamuan akan menunjukkan sebagai suatu perwujudan diri yang hanya terjadi di dalam kebersamaan. Dalam hal ini Ekaristi merupakan kelanjutan dari perjamuan yang dirayakan Yesus semasa hidup-Nya. Ekaristi sebagai perjamuan hadir sebagai obat bagi mereka yang sakit, kasih dan pengampunan bagi orang berdosa. Melalui Ekaristi kita diundang dalam perjamuan bersama orang sakit dan menderita. Perjamuan juga merupakan ungkapan syukur atas panggilan Yesus kepada manusia dan sekaligus menjadi tanda bahwa manusia yang menerima panggilan Yesus siap untuk melepaskan segala sesuatunya untuk mengikuti Yesus. Di dalam Yesus Kristus kita memperoleh ketenangan, hadir sepenuhnya bersama dan di dalam Dia, dan 28 membiarkan diri dihantar menuju persekutuan dengan Allah. Dengan penyerahan diri ini juga memiliki makna bahwa kita melepaskan keterarahan pada yang lahiriah untuk dapat berhubungan lebih baik dengan dunia batin, dengan kenyataan kerajaan Allah dimana manusia menjalin persekutuan dengan Allah. Ekaristi adalah perjamuan kegembiraan karena kita ditemukan kembali, karena Kristus telah mempertemukan kembali bagian-bagian diri kita yang terpisah sehingga kita menjadi utuh dan sehat, seperti dalam perumpamaan anak yang hilang. Si bungsu kembali kepada Bapa dengan penuh kegembiraan dan disambut dengan perjamuan pesta oleh Bapa. Manusia secara individu tidak layak untuk mengikuti perjamuan kegembiraan dengan Allah ini, namun Allah memberikan pakaian terindah dan Allah mengenakan kita dengan kemuliaan-Nya. Ekaristi juga hadir sebagai perjamuan pesta yang diselenggarakan Allah untuk kita, sebab kita yang sudah mati kini hidup kembali, kita yang sudah hilang kini ditemukan kembali. Ekaristi juga berarti bahwa Yesus merayakan perjamuan dengan kita, sebab Dia menaruh kepercayaan kepada benih kebaikan dalam diri kita dan hendak membiarkan benih kebaikan itu tumbuh. Pada intinya perjamuan Ekaristi mempererat hubungan kita dengan Allah dan sesama. Maka dari itu perayaan Ekaristi sebagai perjamuan dapat pula diartikan sebagai tempat perwujudan diri, sebuah tempat dimana kita menemukan diri sendiri dan orang lain dan mengalami Allah sebagai pusat dan teladan hidup Grün, 1998: 29-48. Umat dalam mengikuti perjamuan Ekaristi diajak untuk bersatu membentuk suatu persekutuan sebagai tubuh Kristus dan umat Allah melalui terang Roh Kudus Koinonia. Koinonia merupakan suatu persatuan antara umat Allah dengan Tubuh 29 Kristus. Di dalam Doa Syukur Agung tercantum suatu rumusan permohonan untuk Roh Kudus untuk koinonia secara lebih dekat seperti halnya apa yang dikatakan oleh Paulus: “Perkenankanlah agar semua yang ikut menyantap roti yang satu dan minum dari piala yang sama ini dihimpun oleh Roh Kudus menjadi satu tubuh”. Koinonia juga berarti partisipasi atau peran serta manusia untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah yakni peran serta dalam Roh Kudus dalam hidup baru, dalam cinta kasih, dan terutama di dalam Ekaristi Martasudjita, 2005: 358. Menurut Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium LG, dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja, disebutkan bahwa dalam Ekaristi terlihat adanya koinonia, dalam dan dengan Kristus maupun dalam dan dengan Gereja. Umat beriman berkumpul karena pewartaan Injil Kristus dan dirayakan dalam misteri perjamuan Tuhan supaya dengan berlandaskan pada Tuhan akan membuat hubungan jemaat semakin erat. Dalam altar dengan pelayanan suci uskup sangatlah terlihat suatu lambang cinta kasih dan suatu ‘kesatuan Tubuh Mistik yang menjadi syarat untuk keselamatan’. Dengan lambang ini jemaat yang kecil, miskin, dan tersebar menjadi satu di dalam Kristus dan berkat kekuatan Tuhan terbentuk suatu Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik LG 26.

c. Ekaristi sebagai Perayaan Seruan Karunia Roh Kudus Epiklese

Epiklese berkaitan dengan kenangan akan karya penyelamatan Allah melalui Kristus. Keselamatan yang datang tidaklah datang dengan begitu saja tetapi ada yang membawa atau mengaruniakannya yaitu melalui Roh Kudus. Roh Kuduslah yang membuat keselamatan itu dapat sampai pada semua orang beriman. Pada dasarnya 30 orang di dalam perayaan Ekaristi pastinya berdoa memohon kepada Allah supaya menurunkan Roh Kudus untuk mengkuduskan roti dan anggur supaya menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Di sinilah karunia Roh Kudus sungguh bekerja dan memberikan hidup bagi umatnya yang telah dikasihi oleh Allah. Tanpa kehadiran Roh Kudus keselamatan yang telah dipercayakan di dalam Gereja tak akan terjadi dan rencana keselamatan Allah pastinya hanya terlihat abstrak saja tanpa ada perwujudan yang nyata. Berkat karya Roh Kudus rencana Keselamatan Allah sungguh-sungguh terjadi dalam diri Kristus dan di dalam Gereja. Itulah sebabnya umat beriman memohon agar Allah mengutus Roh Kudus untuk hadir dan menguduskan persembahan dan umat beriman sendiri. Berkat Roh Kudus menjadi tindakan penyelamatan Allah dalam Kristus disampaikan dan diperluas kepada umat beriman dalam perayaan Ekaristi Martasudjita, 2005: 357-358. Seruan karunia Roh Kudus juga diserukan kepada semua umat Allah yang sungguh beriman. Umat Allah yang beriman akan sungguh dikasihi dan akan menjadi satu daging dengan Tubuh dan Darah Kristus. Ini menunjukkan karya ilahi yang sungguh menyelamatkan. Umat sering jatuh ke dalam dosa namun Allah tetap merangkul dan mengajak umat untuk bersatu dengan-Nya. Dengan adanya persatuan ini terbentuk suatu persekutuan berkat pengudusan dari Roh Kudus Martasudjita, 2005: 358.

d. Ekaristi sebagai Sumber Kekuatan Hidup Umat

Pada zaman sekarang, Gereja menghadapi situasi kemiskinan dan pemiskinan yang semakin meluas serta keberagaman agama dan budaya Martasudjita, 2005: 31 341-342. Maka dari itu Ekaristi tampil sebagai kekuatan baru untuk mengatasi permasalahan ini. Ekaristi merupakan sumber kekuatan bagi umat beriman dan salah satu caranya adalah dengan refleksi teologis mengenai Ekaristi yang berpangkal tolak dari praksis di sekitar umat beriman. Dengan demikian sungguh Ekaristi mampu menjadi sumber kekuatan hidup umat di tengah segala permasalahan hidupnya. Umat dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari permasalahan- permasalahan hidup. Dengan adanya permasalahan hidup, umat memiliki daya untuk dapat keluar dari permasalahan dan ingin memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk itulah umat Kristiani selalu merayakan Ekaristi untuk menimba kekuatan dari Allah untuk menghadapi segala rintangan yang ada. Umat Kristiani tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan Allah. Maka dari itu Ekaristi merupakan sumber kekuatan orang Kristiani. Dengan berkumpul merayakan Ekaristi umat Kristiani memperoleh kekuatan untuk menghadapi masalah hidup sehari-hari Martasudjita, 2012: 57.

C. EKARISTI SEBAGAI PENGEMBANGAN IMAN