EKARISTI SEBAGAI PENGEMBANGAN IMAN

31 341-342. Maka dari itu Ekaristi tampil sebagai kekuatan baru untuk mengatasi permasalahan ini. Ekaristi merupakan sumber kekuatan bagi umat beriman dan salah satu caranya adalah dengan refleksi teologis mengenai Ekaristi yang berpangkal tolak dari praksis di sekitar umat beriman. Dengan demikian sungguh Ekaristi mampu menjadi sumber kekuatan hidup umat di tengah segala permasalahan hidupnya. Umat dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari permasalahan- permasalahan hidup. Dengan adanya permasalahan hidup, umat memiliki daya untuk dapat keluar dari permasalahan dan ingin memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk itulah umat Kristiani selalu merayakan Ekaristi untuk menimba kekuatan dari Allah untuk menghadapi segala rintangan yang ada. Umat Kristiani tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan Allah. Maka dari itu Ekaristi merupakan sumber kekuatan orang Kristiani. Dengan berkumpul merayakan Ekaristi umat Kristiani memperoleh kekuatan untuk menghadapi masalah hidup sehari-hari Martasudjita, 2012: 57.

C. EKARISTI SEBAGAI PENGEMBANGAN IMAN

1. Ekaristi Memberikan Semangat untuk Berbagi Kepada Sesama

Ekaristi merupakan suatu perayaan yang di dalamnya terdapat banyak nilai luhur untuk mengembangkan iman baik secara individu maupun bersama. Ekaristi memuat sejarah misteri keselamatan kehidupan yang dilakukan oleh Yesus kepada umat-Nya. Ekaristi mengungkapkan pujian syukur atas karya keselamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus yang berpuncak pada wafat dan kebangkitan- 32 Nya. Dengan pujian syukur tersebut, Gereja mengenangkan misteri penebusan Kristus Martasudjita, 2005: 29. Ekaristi yang dirayakan umat menandakan bahwa Tuhan hadir di tengahnya. Ekaristi merupakan sebuah perayaan yang memiliki nilai kebersamaan, kesatuan, partisipasi dan kontekstual Martasudjita, 2005: 106-107. Ekaristi merupakan kegiatan bersama yang melibatkan banyak orang. Umat yang juga terdiri dari para remaja hendaknya mampu memaknai persatuan dalam satu keluarga dalam Kerajaan Allah melalui Ekaristi. Ekaristi juga mengajak kita untuk kembali mewujudkan kebersamaan, dan partisipasi sesuai dengan konteks saat ini dengan berbagi kepada sesama. Ekaristi memiliki makna yang mendalam bila kita ingin menggalinya. Ekaristi dapat digali maknanya melalui pembasuhan kaki yang dilakukan oleh Yesus Martasudjita, 2005: 241. Yesus melakukan pembasuhan kaki ingin menunjukan kepada kita untuk dapat memberikan pelayanan bagi orang lain tanpa terkecuali. Pelayanan yang dilakukan untuk orang lain ini merupakan perwujudan dari pemaknaan Ekaristi. Selain itu dalam Kongres Ekaristi I juga mengajak kita untuk melakukan tindakan berbagi lima roti dan dua ikan. Kongres Ekaristi I mengajarkan pelayanan untuk semangat berbagi. Kongres ini mengajak kita untuk menggerakkan umat bersikap solidaritas keseluruh dunia. Hal ini berkaitan dengan perutusan Ekaristi. Kita setelah menerima Ekaristi mendapat tugas perutusan. Kita diutus untuk membagikan kasih dari Tuhan untuk sesama dalam kehidupan sehari-hari Martasudjita, 2008a: 24. 33 Mengikuti perayaan Ekaristi juga berarti kita siap untuk diutus. Kita mewujudkan perutusan mewartakan kabar gembira dari Tuhan dengan melakukan tindakan kebaikan bagi sesama. Yesus sendiri telah memberikan teladan bagi kita melalui pembasuhan kaki para peserta perjamuan terakhir. Kita melalui teladan ini diharapkan mampu untuk memberikan pelayanan bagi sesama dengan ketulusan dan kerendahan hati.

2. Pengembangan Iman

Iman adalah tindakan bebas manusia yang menjawab kepada Allah Dister, 1991: 139. Manusia menjawab-Nya dengan melibatkan seluruh pribadinya yang ada dalam diri. Wahyu yang datang dari Tuhan merupakan anugerah yang terindah untuk manusia. Manusia memberikan jawaban atas kebenaran iman terhadap wahyu Allah. Wahyu merupakan pertemuan Allah dan manusia KWI, 1996: 127. Pertemuan ini merupakan wujud kasih Allah yang ingin berelasi dengan manusia. Relasi Allah dengan manusia ini akan dapat terjalin jika manusia mampu menanggapi wahyu Allah itu dengan intim dan sungguh dengan kerendahan hati untuk membuka pintu demi kedatangan Allah dalam hidupnya. Iman yang berkembang pastinya memiliki suatu kedewasaan di dalam menghayati, meyakini, dan mengungkapkan wahyu Allah. Iman yang dewasa berarti iman yang berkembang semakin matang secara penuh dan bersifat holistik yaitu mencakup segi pemikiran, hati, dan praksis. Umat yang sudah mencapai suatu kedewasaan pastinya mampu untuk menghayati dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Umat terlihat berkembang dan dewasa dalam iman bila ia mampu 34 untuk mengasihi satu sama lain dan mengandalkan Allah dalam hidup Heryatno, 2008: 29. Untuk sampai pada tindakan tersebut maka remaja perlu di dampingi dalam perkembangan iman mereka. Umat harus semakin menerapkan iman yang sungguh ada kesinambungan antara pemikiran, hati dan tindakan yang akan menjadi teladan untuk remaja sebagai generasi penerus Gereja. Iman Kristiani mencakup tindakan meyakini, mempercayai, melakukan kehendak Allah Heryatno, 2008: 29. Ketiga cakupan ini sangat mendasari terwujudnya iman yang berkembang di dalam kehidupan sehari-hari. Kita menyakini akan wahyu Allah itu benar maka segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan keyakinan kebenaran pastinya memberikan kebahagiaan bagi sesama. Umat yang semakin mendalam menghayati iman akan memperoleh kepenuhan dan kelimpahan hidup. Selain itu umat juga akan mengalami keselamatan dari Allah. Wahyu Allah memberikan suatu keselamatan yang membuat umat merasakan kebebasan, yaitu merasakan kesejahteraan, kedamaian, keadilan, cinta kasih, kegembiraan, kebahagiaan, kerukunan, ketentraman, kesalingan, dan lain-lain Heryatno, 2008: 32. Umat sungguh merindukan akan situasi kebebasan seperti ini. Situasi kebebasan seperti inilah yang dikehendaki oleh Allah bagi umat-Nya. Umat dapat mencapai suatu situasi kebebasan bila mampu menanggapi wahyu Allah dengan iman. Kita mengakui iman, tetapi iman harus dilaksanakan Dister, 1991: 69. Umat melakukan tindakan nyata menjadi wujud dari iman yang berdasarkan wahyu. Iman tanpa perbuatan adalah mati. Maka dari itu pengembangan iman umat perlu dilakukan sejak usia remaja agar iman semakin berkembang dalam perbuatan- 35 perbuatan konkret dan mendarah daging sehingga mampu merasakan kebahagiaan sejati bersama Allah dalam kerajaan-Nya dan demi kemuliaan nama Allah. Dari penelitian yang dilakukan oleh James Fowler, ada enam tahap perkembangan iman, yaitu Iman Intuitif-Projektif 2-67 tahun, Iman Mitis-Harafiah 7-12 tahun, Iman Sintetis-Konvensional 13-21 tahun, Iman Individual-Reflektif 21-35 tahun, Iman Konjungtif 30 tahun ke atas, dan Iman yang mengacu pada Universalitas Groome, 2010: 100-107. Tahap Iman Intuitif- Projektif adalah tahap dimana iman dibentuk dengan cara meniru suasana hati, contoh, dan tindakan-tindakan iman orang-orang lain yang penting, terutama orang tua. Dalam tahap ini, dunia dikenal dengan cara meniru orang-orang dewasa. Pada tahap pertama ini, adalah saat fantasi dan imajinasi yang bebas dimana gambaran dan perasaan yang dapat bertahan lama dibentuk. Dalam tahapan ini fakta dan fantasi belum dapat dibedakan sehingga menimbulkan akibat simbol-simbol diartikan secara harafiah sebagai contoh, Allah adalah seorang pria tua yang memiliki janggut yang dapat melakukan apa saja. Tahap kedua adalah tahap Iman Mitis-Harafiah. Pada tahap ini, seseorang lebih sadar bergabung dan menjadi anggota kelompok atau komunitas iman. Orang dengan antusias mempelajari “tradisi, bahasa, dan legenda-legenda” komunitas tertentu karena ia memiliki kesadaran yang lebih besar mengenai perbedaan antara dirinya dan orang-orang lain yang terdekat. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam tahap ini, iman adalah iman “yang bergabung”. Seseorang secara sadar bergabung dengan kelompok sosial terdekat , mengambil cerita-ceritanya, simbol-simbolnya, mite-mitenya, dan ajaran-ajarannya, dan memahami mereka secara harafiah. Dalam 36 tahap ini, kata-kata dari orang yang lebih tua masih sangat penting dan berkuasa atas kata-kata dari teman-teman sebayanya. Tahap ketiga adalah tahap Iman Sintesis-Konvensional. Pada tahap ini memiliki sifat menyesuaikan diri, yaitu seseorang merespons dengan setia pengharapan-pengharapan dan keputusan-keputusan orang-orang lain yang penting. Pada tahap ketiga ini manusia secara sadar sudah bisa membagi kehidupan ke dalam segmen-segmen atau “medan-medan tindakan”. Penambahan rasa percaya pada pendapatnya sendiri melebihi tahap kedua, namun hanya digunakan untuk memilih otoritas-otoritas dan tidak mencakup inisiatif pribadi untuk memecahkan ketidakcocokan di antara otoritas-otoritas. Iman tidak dipilih sendiri, namun terus bersifat “konvensional”, dengan otoritas yang memperkuat ditempatkan di luar orang tersebut. Tahap keempat adalah tahap Iman IndividualReflektif. Pada tahap ini seseorang mencapai iman yang lebih otonom dan mulai ada kesadaran baru yang ditemukan mengenai paradoks-paradoks kehidupan seperti “individu melawan komunitas; khusus melawan universal; relatif melawan absolut; melayani diri sendiri melawan melayani orang lain dan subjektivitas melawan objektivitas. Pada tahap keempat ini terdapat kemampuan baru untuk berdiri sendiri, dan kelompok miliknya dipilih berdasarkan refleksi dan bukan hanya diterima seperti pada tahap ketiga. Tahap kelima adalah tahap Iman Konjungtif. Tahap ini terdapat kualitas komitmen otonom yang baru terhadap pandangan miliknya sendiri, meskipun menghargai dan terbuka dengan tulus pada kebenaran-kebenaran yang ada dalam 37 pandangan-pandangan orang lain. Pengakuan bahwa pandangan miliknya bukan kebenaran yang final memerlukan keterbukaan yang tulus pada orang lain dan kerelaan yang tulus untuk berdialog dengan mereka. Iman pada tahap kelima ini melibatkan pemakaian kembali pola-pola komitmen dan cara-cara membuat makna masa lampau. Ini bukan suatu kemunduran melainkan dapat memperoleh kembali “kebenaran-kebenaran lama” dengan cara yang baru. Jika pada tahap ketiga adalah tahap tergantung dependent dan tahap keempat adalah tergantung pada diri sendiri self-dependent, maka tahap kelima ini adalah tahap saling bergantung dimana seseorang dapat bergantung kepada orang lain tanpa kehilangan kebebasannya. Pada tahap ini ada empati dan kepedulian aktif bagi semua orang dan kelompok, bagi seluruh umat manusia, dan tidak hanya bagi komunitas terdekat miliknya sendiri. Tahap keenam adalah Iman yang mengacu pada Universalitas. Perkembangan iman tahap keenam ini memiliki ciri khas yaitu seseorang hadir dan tinggal di dunia sebagai orang yang hadir untuk mengubah transform. Contoh konkret dari perkembangan iman tahap keenam ini adalah Bunda Teresa dari Calcutta yang kehadirannya dapat membantu dan mengubah kehidupan orang miskin dan tersingkir dari masyarakat di India. Dalam perkembangan yang mencapai tahap keenam ini beranggapan bahwa komunitas itu bersifat universal dan terbuka. Kerajaan Allah adalah realitas yang dialaminya saat ini sehingga ia hadir untuk melakukan perubahan yang positif demi terwujudnya suasana Kerajaan Allah yang penuh dengan kedamaian. Umat memiliki cara tersendiri dalam mewujudkan iman dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak dapat memaksakan orang untuk mencapai suatu iman dengan 38 cara yang telah ditentukan sepihak. Maka dari itu pengembangan iman umat harus sesuai dengan tahap-tahap perkembangan iman yang ada. Pada umumnya umat yang berusia remaja yang tergabung dalam kegiatan putera altar belum mendapatkan porsi yang cukup dalam pengembangan iman sesuai dengan tahap perkembangan imannya. Remaja yang tergabung dalam keanggotaan putera altar adalah laki-laki atau perempuan yang sudah di baptis dan telah menerima komuni pertama. Usia umum menjadi putera altar adalah 9 atau 10 tahun hingga 17 atau 18 tahun. Maka dari itu menurut tahap perkembangan iman dari James Fowler, usia tersebut termasuk dalam tahap perkembangan iman Mitis-Harafiah dan tahap perkembangan iman Sintesis- Konvensional. Remaja yang berusia 7-12 tahun Tahap Mitis-Harafiah adalah remaja yang lebih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota komunitas iman. Mereka mengambil makna iman dan ajaran-ajaran dari kelompok tempat mereka bergabung. Remaja dalam usia ini, kata-kata dari orang yang lebih tua masih sangat penting dan lebih diperhatikan daripada kata-kata teman sebayanya. Maka dari itu setelah mengetahui tahap perkembangan iman menurut James Fowler, khususnya bagi remaja yang tergabung dalam kegiatan putera altar usia 7-12 tahun, perlu ditindaklanjuti dengan memberikan teladan yang baik dari pendamping dan perlu diperhatikan kegiatan-kegiatan yang dapat semakin membuat iman mereka berkembang dalam kelompok putera altar. Tahap pengembangan iman menurut James Fowler usia 13-21 tahun, berada dalam tahap perkembangan iman Sintesis-Konvensional. Kelompok remaja yang tergabung dalam putera altar juga ada yang berusia 13-18 tahun. Kelompok remaja ini termasuk dalam tahap perkembangan iman Sintesis-Konvensional, dimana 39 memiliki sifat untuk menyesuaikan diri dengan menanggapi keputusan-keputusan orang lain yang penting. Penambahan rasa percaya pada pendapatnya sendiri melebihi dari remaja yang memasuki tahap perkembangan iman Mitis-Harafiah namun hanya digunakan untuk memilih otoritas-otoritas tertentu dan tidak mencakup inisiatif untuk memecahkan ketidakcocokan diantara otoritas-otoritas yang ada. Iman tidak dipilih sendiri melainkan masih bersifat “konvensional” dengan otoritas yang memperkuat remaja tersebut. Dengan mengetahui tahap perkembangan iman menurut James Fowler, jelas bahwa remaja yang tergabung dalam putera altar adalah remaja yang tahap perkembangannya masih dalam tahap tergantung dependent. Putera altar perlu perhatian dan keteladanan khusus dari pendamping dan perlu direncanakan suatu kegiatan yang berpengaruh positif bagi perkembangan iman mereka karena mereka pada umumnya masih tergantung pada kelompok dan otoritas yang ada di antara mereka.

D. SEJARAH PUTERA ALTAR