State of Being Fundamentalisme Agama

C. State of Being Fundamentalisme Agama

Dalam sebuah perjumpaan, maka akan terjadi perubahan dalam diri masing-masing aktor. Ketika antar manusia mengalami relasi interpersonal, tegangan atau konflik akan muncul diikuti kecemasan. Kierkegaard 1997 mengilustrasikan kecemasan sebagai ―the dizziness of freedom, the awareness of the possibility of being able. ‖ Kecemasan adalah kebebasan yang sedang bingung, kesadaran bahwa ada kemungkinan untuk menjadi lebih mampu. Lebih jauh lagi Kierkegaard mengatakan bahwa kecemasan adalah realitas kebebasan sebagai sebuah potensialitas sebelum kebebasan tersebut terwujud. Goldstein dalam May, 1963 mengelaborasi bahwa kebebasan dikapitulasikan, secara individual maupun kolektif, dengan harapan agar bisa mengatasi kecemasan yang tidak tertanggungkan. Kecemasan tidak tertanggungkan inilah yang kemudian mendorong Fromm 1955 yang secara menarik menyatakan bahwa di abad ke-20 manusia kehilangan individualitasnya —man is dead Fromm 1942 menguraikan bahwa kecemasan yang tidak tertanggungkan dan individualitas yang hilang ini mewujud dalam kesendirian yang tidak tertanggungkan unbearable aloneness dan ketidakberdayaan yang tidak tertanggungkan unbearable powerlessness. Kesendirian dan ketidakberdayaan ini kemudian menciptakan perasaan inferior terhadap sekitar. Inferioritas ini mendorong individu untuk menggabungkan diri ke dalam sesuatu yang lebih besar dibanding dengan dirinya sendiri atau sesuatu yang dianggap lebih superior. Penggabungan individu ini menunjukkan bahwa ada kekuatan lebih tinggi di luar dirinya. Kekuatan superior ini menuntut individu untuk mematuhinya Fromm, 1942. Inilah yang kemudian mewujud dalam istilah ―hukum alam‖, ―nasib manusia‖, maupun ―kehendak Tuhan‖. Oleh karena itu, melalui indoktrinasinya, agama memenuhi syarat untuk menjadi salah satu kekuatan superior. Tidak heran apabila pola penggabungan diri ke dalam yang lebih superior kemudian juga muncul pada para fundamentalis agama. Ketakutan manusia akan ketiadaan dalam bentuk ketidakberdayaan dan kesendirian mendorong manusia untuk mengatasinya lewat figur yang lebih superior dan sempurna. Figur ini kemudian dihadirkan dalam wujud Tuhan —yang dalam bahasa Freud adalah the exalted father. Tuhan kemudian diorganisasikan sehingga menghadirkan sebuah wujud pasti dari organisasi kehidupan berupa agama. Menurut Fromm 1992, pembentukan lembaga, organisasi, atau kelompok-kelompok tertentu merupakan cara menyalurkan agresi. Tidak jarang cara ini menyebabkan ketertundukan terhadap berhala baru sebagai imbas dari hubungan otoritatif yang tidak membebaskan otoritas irasional. Masih berkaitan dengan otoritas agama, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Moaddel Karabenick 2008, dengan subjek fundamentalis agama di Mesir dan Arab Saudi, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan apa yang diklaim oleh Fromm. Individu dengan level fundamentalisme yang cenderung tinggi bersandar pada otoritas agama sebagai sumber pengetahuan mengenai peran sosio-politis agama, mendukung hukum agama, fatalistik, dan merasa tidak aman. Kondisi fatalistik ini kemudian mengantar pada ketidakberdayaan dan menciptakan sebuah kondisi kebahagian yang tidak terrealisasikan unrealizability of happiness. Sedangkan perasaan tidak aman ditampilkan dalam pandangan hidup responden yang cenderung tidak aman dan tidak dapat diprediksi. Kebahagiaan yang tidak terrealisasikan serta sikap fatalistik ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak sehat dan individu dirugikan Fromm, 1942. Konformitas yang tinggi dan destruksi kepribadian menjadi tera bahwa masyarakat tidak sehat dan cenderung merugikan individu. Akar konformitas dan destruksi kepribadian tersebut adalah intensitas sense of being yang meredup akibat adanya kekuatan luar yang mengendalikan individu. Meredupnya sense of being ini diikuti terciptanya massa anonim dan kaum konformis yang mengalami alienasi dari dunianya May, 1958. Sebaran penelitian e.g. Altemeyer, 2004; Ji Ibrahim, 2007; Moaddel Karabenick, 2008 menunjukkan bahwa pola serupa juga ditemukan dalam ideologi yang cenderung rigid seperti fundamentalisme. Massa yang anonim dan kaum konformis inilah yang kemudian dikendalikan oleh kekuatan mahadahsyat yang tidak terlihat dalam wujud perintah sosial dogma agama. Sebagaimana elaborasi May 1958, konformisme merupakan manifestasi dari nonbeing. Meredupnya sense of being menyulut kemerosotan karakter manusia yang membiarkan dirinya terendam dalam lautan respon dan sikap yang kolektif. Manusia ditelan oleh das Man. Secara simultan, manusia mulai kehilangan kesadaran awareness, potensialitas, dan karakteristik lainnya. Manusia menjadi tidak unik dan bukan lagi seorang original being. Kapasitas untuk menghadapi nonbeing yang tidak mumpuni menjadi pematik yang memunculkan kecemasan anxiety, permusuhan hostility, dan agresi aggresion yang tidak sehat secara mental. Secara ontologis, kecemasan sudah ada dibarengi dengan manusia terlahir ke dunia. Kecemasan ini kemudian mengalami represi ke dalam unconsciousness. Akibatnya, kesadaran bahwa hal tersebut sudah ada dalam samudra kejiwaan manusia semakin dangkal. Tingkat kesadaran yang terhambat ini diikuti dengan terhambatnya penerimaan keadaan secara toleran sehingga cara mengatasi kecemasan cenderung kurang konstruktif. Ketidakmampuan menerima dengan sehat ini menyebabkan terhambatnya proses self-transcending transendensi diri. Dalam keadaan ini, proses psikis berjalan begitu defensif. Struktur psikis yang seharusnya berkembang dalam dunia eksistensial manusia mengalami disturbansi. Disturbansi eksistensial yang bekerja dalam proses mental manusia mengalami pergolakan. Konflik internal ini mempengaruhi tiga mode dunia yang secara simultan membentuk kondisi dasein being-in- the-world, yakni; Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt. Sama halnya dengan manusia pada umumnya, konstelasi kebutuhan biologis, dorongan, maupun insting terus-menerus berdinamika dalam Umwelt para fundamentalis. Sebagai contohnya adalah agresi, yang dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dorongan. Agresi, yang dasarnya bersifat netral dan mengarahkan manusia kepada kehidupan, mengalami penyimpangan dan cenderung menjadi destruktif. Para fundamentalis cenderung memiliah-milah mana yang out-group dan in-group Gribbins Vandenberg, 2011; Herriot, 2009. Proses mental yang defensif dengan mudah terbentuk dalam kondisi ini. Di sisi lain, Sullivan mengklaim bahwa need for others mendorong manusia untuk tetap tergabung dalam komunitas Ewen, 2003. Demikian juga dengan apa yang terjadi terhadap para fundamentalis. Kecenderungan untuk membentuk eksklusivitas dengan anggota yang memiliki cara pandang dunia yang sama sangatlah besar. Komunitas eksklusif yang terbentuk ini memiliki karakter yang sama dengan karakter individu yang menjadi anggotanya; memiliki resistensi terhadap kebaruan, reaktif, serta defensif. Resistensi dan proses defensif akan membuat batasan tertentu di dalam Mitwelt. Hal ini dapat dipahami dalam kecenderungan seorang fundamentalis yang lebih memilih untuk menolong in-group. Dalam kasus ini konsep extrinsic religious orientation Allport Ross 1967 mengambil peranan penting terhadap manifestasi proses mental dalam perilaku. Proses terbentuknya konformitas yang reaktif dan defensif dapat dipahami dalam konteks ini. Status manusia sebagai entitas utuh bermain peran yang besar dalam terciptanya paham fundamentalisme. Manusia menempatkan diri dan melihat yang lainnya sebagai eksistensi yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam keadaan tertentu manusia menempatkan diri sebagai subjek dan objek bagi dunia yang telah dicipta dan dimakna oleh dirinya sendiri sebagai eksistensi yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, proses pemaknaan yang dinamis terus berlangsung dalam ranah Eigenwelt. Masalahnya adalah sumber makna para fundamentalis yang terbatas. Sesuatu yang menyatukan mereka dalam in-group, misalnya kitab suci. Ciri intratextual pada para fundamentalis membatasi dan semakin mengaburkan fungsi dirinya sebagai sebuah being yang berdiri di antara being di sekitarnya. Separasi eksistensi dari individu lain diikuti dengan separasi terhadap dunianya sendiri menjadi akibat wajar dari kiblatnya pada intratextual. Alhasil, fundamentalis memiliki dunia eksistensial baru yang terbentuk lewat pemaknaan yang holistis dari tiga mode dunia yang bekerja secara simultan. Dunia ini begitu rapat, namun bukan berarti tidak permeabel. Pilihan eksistensial para fundamentalis untuk sementara waktu dikendalikan oleh frame of reference yang didasarkan pada teks suci, konservatisme, cara pandang yang kaku, intoleransi, dan kebenaran mutlak pada kelompok. Meskipun demikian, inner dynamism terus berdinamika sepanjang si individu hidup. Sifat dunia eksistensial yang terbentuk ini juga sama seperti dunia eksistensial pada umumnya; dinamis. Sebagaimana dunia eksistensial yang cenderung dinamis, pemahaman religius juga memuat dinamisme di dalam dunia eksistensial manusia. Beberapa sumber menyampaikan ada satu dunia yang bersifat religius dan transpersonal yang erat kaitannya dengan tiga mode dunia lainnya, yakni Uberwelt Rowan, 2012. Pemahaman religius ini menciptakan pengalaman transformasional yang erat melekat dalam tiga mode dunia. Persinggungan selalu terjadi dalam perubahan sebagaimana tegangan dan konflik selalu terjadi dalam pertemuan. Mengacu pada James 1902, dalam kondisi seperti ini konversi bisa terjadi secara gradual; setiap saat dan setiap waktu. Ekuivalen dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya, fundamentalisme merupakan wujud dari merosotnya sense of being manusia. Manusia tidak secara aktif produktif menciptakan makna atau mencari makna dari sekitarnya sehingga berakibat fatal pada tidak terbaharuinya frame of reference. Penerimaan secara sehat terhadap kebaruan modernisasi disertai nilai-nilainya tidak berjalan dengan baik. Unsur represi dan karakter yang destruktif kemudian mudah terbentuk dari tendensi konservatif. Dalam hal ini, resistensi terhadap nilai baru yang tidak sesuai dengan frame of reference dengan mudah akan muncul. Lebih jauh lagi, produk nilai modernisme menciptakan manusia yang inferior secara psikis dan cenderung takut untuk bebas Fromm, 1942; 1955. Keterikatannya terhadap objek tertentu yang menjadi produknya sendiripun semakin kuat. Objek inilah yang lalu oleh Fromm disebut berhala. Berhala di sini memiliki antonim dengan fungsi agama sebagai ―jalan‖ bagi kehidupan manusia. Fungsi agama tidak lagi seperti apa yang disampaikan Jung sebagai sebuah jalan menuju individuasi atau dalam eksistensialisme menjadi jalan menuju the existing person, namun justru suatu produk yang melanggengkan depersonalisasi. Schumaker 1995 benar ketika menyebutkan bahwa, seperti apa yang disampaikan Freud, agama merupakan wujud ketidakberdayaan manusia. Di lain pihak, dalam konteks ini, Schumaker 1995 salah ketika mengklaim bahwa agama meningkatkan kesehatan mental. Hal tersebut bukanlah sebuah keniscayaan. Tidak semua penganut agama selamat; dalam konteks semakin meningkat kesehatan mentalnya. Dengan tepat Fromm 1955 menggambarkan bahwa semangat dunia modern adalah abstraksifikasi dan kuantifikasi. Abstraksifikasi dan kuantifikasi ini menunjukkan bahwa dunia merupakan sesuatu yang diperintah logika dan rasionalitas manusia. Ketika dihadapkan dengan pemaknaan agama yang semata-mata bersumber pada logika, transitional object yang menjadi esensi keberadaan agama sebagai sumber makna semakin menjauhkan manusia dari penyadaran diri. Atau dengan kata lain, tidak semua individu yang menganut agama mengalami peningkatan kesadaran yang dalam literatur psikologi disebutkan sebagai “aha” experience May, 1958. Modern World dan Nilai-nilai yang dibawa Persinggungan dengan frame of reference Pencarian makna sebagai pegangan dan filosofi hidup Berpedoman terhadap kitab sucidogma - Konservatisme - Rigiditas - Anti modernisme - Intoleransi Penemuan makna, frame of reference menjadi ketat FUNDAMENTALISME Kuantifikasi dan Abstraksifikasi Inner dynamism dalam tiga mode dunia: Umwelt, Mitwelt, Eigenwelt Manusia yang kehilangan sense of being dan kehilangan dunianya Kecemasan terhadap NONBEING Proses BEING-SOMETHING

D. Peta Konsep Penelitian