dengan kata lain merupakan hasil dinamika yang simultan antara Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt.
3. Being dan Nonbeing
Manusia adalah satu-satunya makhluk di dunia yang sadar suatu saat mereka akan
mati…Meskipun manusia mengetahui hari mereka di dunia terbatas dan semua akan
berakhir
di saat
mereka tak
mengharapkannya, manusia
membuat hidupnya laksana pertempuran yang senilai
makhluk yang hidup kekal…Mereka tak punya apapun untuk dipertaruhkan
—karena kematian tidak bisa dihindari.
—Paulo Coelho, The Pilgrimage Kematian adalah kecemasan paling fundamental pada
manusia. Manusia tidak bisa memilih untuk lahir, namun dia bisa memilih untuk mati; bahkan tanpa memilih, suatu saat dia akan
mati. Menurut Herman Feifel 1961, penyelidikan lebih lanjut mengenai sikap terhadap kematian dapat memperkaya dan
memperdalam pemahaman kita mengenai reaksi adaptif maupun maladaptif terhadap stres dan teori kepribadian pada umumnya.
Feifel 1961 mengumpulkan berbagai literatur mengenai sikap terhadap kematian dan mendapatkan bukti yang
menegaskan bahwa kematian merupakan hal paling nyata yang membawa manusia ke status nonbeing. Oleh karena itu, yang
menjadi kecemasan manusia paling riil dalam kehidupannya adalah kematian. Yalom 1980 mengklaim bahwa sebagian besar
energi manusia digunakan untuk melakukan penyangkalan terhadap kematian.
May dalam Feist Feist, 2008 mengklaim bahwa kematian bukanlah sebuah fakta yang relatif, melainkan absolut.
Kesadaran dari kematian memberikan eksistensi dan sebuah kualitas absolut mengenai apa yang akan dilakukan setiap waktu.
Hidup menjadi terasa lebih vital dan berarti ketika kita menghadapkannya pada kemungkinan terhadap kematian. Senada
dengan apa yang disampaikan May, Yalom 1980 berpendapat bahwa kesadaran akan kematian menjadi onset manusia untuk
―mencelupkan‖ diri dalam kehidupan. Kecemasan terhadap kematian ini dalam pembentukan struktur karakter manusia dan
menghasilkan kecemasan yang memberi tekanan nyata dalam pembangunan pertahanan psikologis.
Melalui kajian berbagai literatur sejarah manusia, Feifel 1961 berpendapat bahwa gagasan mengenai kematian
merupakan misteri eternal dalam berbagai sistem pemikiran religius maupun filsafat. Ini membuktikan bahwa kapasitas
manusia untuk memahami konsep masa depan dan, tentu saja, kematian yang tidak dapat terhindarkan. Karena sifatnya yang
tidak terhindarkan, maka kematian berimplikasi terhadap reaksi universal terhadap realita bahwa tidak seorangpun terbebas dari
hal tersebut. Kemudian dalam bidang psikologi, muncul Freud
yang mengklaim bahwa ketidaksadaran terhadap kematian terproyeksikan dalam diri manusia yang kemudian muncul lewat
tendensi self-destruction. Kecemasan sendiri memiliki sumber yang berbeda dengan
ketakutan. Jika kecemasan berasal dari ancaman mental, maka ketakutan berasal dari ancaman fisik. Dalam bahasa Yalom
1980 dikatakan bahwa ketakutan menyerang bagian permukaan manusia, bukan pondasi manusia. Dengan demikian, dinamika
kecemasan dipahami secara ontologis; berhubungan dengan eksistensi manusia.
Sama seperti Heidegger maupun Binswanger, secara ontologis, May 1958 memahami kecemasan sebagai ancaman
terhadap dasein. Berbeda dengan Freud yang mengeksplorasi kecemasan dari tiga sumber yang berbeda, konsep kecemasan
dalam psikologi eksistensial diderivasikan dari perselisihan antara being dan ancaman nonbeing. Tidak ada batasan pasti mengenai
intensitas kecemasan yang sehat dengan yang tidak. Hanya saja, manusia yang sehat secara mental tidak kehilangan fungsi diri
sebagai makhluk yang mengatasi kodrat dan keadaannya alloplastic.
Being dan nonbeing adalah negasi. Dalam bahasa Sartrean nonbeing memiliki padanan kata dengan nothingness. Menurut
Sartre 1956, secara konstitutif, pendek kata nothingness dapat dipahami sebagai berikut :
Nothingness does not itself have being, yet it is supported by being. It comes into the world by the
for-itself and is the recoil from fullness of self- contained being which allows consciousness to
exist as such. hal.551
May 1958 mengklaim bahwa nonbeing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari being. Untuk memahami konsep eksis,
seseorang juga perlu menyadari fakta bahwa ada kemungkinan dia tidak eksis. Dalam setiap momen, dia menempuh pinggiran
jurang yang terjal dengan kemungkinan untuk binasa
annihilation. Dia tidak pernah dapat melarikan diri dari fakta kematian yang akan tiba pada waktu yang tidak tentu di masa
depan. Eksistensi selalu dibayang-bayangi oleh nonbeing. Konfrontasi dengan nonbeing membuat eksistensi memiliki
vitalitas vitality dan kesiapan immediacy serta menaikkan tingkat consciousness terhadap dirinya, dunianya, dan segala
sesuatu di sekitarnya. Namun, konfrontasi selalu diikuti dengan status. May
1958 mengelaborasi bahwa kegagalan dalam menghadapi nonbeing adalah munculnya konformisme. Konformisme
memunculkan karakter manusia yang membiarkan dirinya terendam dalam lautan respon dan sikap yang kolektif, ditelan
oleh das Man, serta secara bersamaan kehilangan kesadaran
awareness, potensialitas, dan karakteristik apapun yang membuat dia unik dan menjadi seorang original being. Kapasitas
untuk menghadapi nonbeing terilustrasikan dalam kemampuan seseorang untuk menerima kecemasan anxiety, permusuhan
hostility, dan agresi aggresion; bahwa hal tersebut ada di dalam samudra kejiwaan manusia. Menerima memiliki arti yang
tidak dangkal. Menerima berarti toleran tanpa adanya unsur represi dan dapat menggunakannya sejauh hal tersebut
konstruktif. Sepanjang pengalamannya bersama klien dan dalam
kiblatnya terhadap Freudian, Wolson 2005 menemukan bahwa manifestasi kecemasan memiliki akar yang sama; ketakutan
terhadap kematian secara psikis, atau dengan kata lain; nonbeing. Implikasinya, kebutuhan mendasar manusia adalah psychic
survival. Hal ini telah terlihat sepanjang perjalanan kehidupan manusia. Bayi menghadapi ketakutan kematian psikis dengan
mengembangkan struktur psikis self dan object-relations dan tindakan defensif untuk memastikan psychic survival-nya.
Pengembangan struktur psikis dan tindakan defensif tersebut menjadi sarana pembentukan sense of being. Dengan demikian,
kehidupan manusia adalah dialektika tanpa henti dari being untuk mengatasi nonbeing.
C. State of Being Fundamentalisme Agama