1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran Ruseffendi, 1980 : 148. Disadari ataupun
tidak disadari, kegiatan matematika sering dijumpai dalam kehidupan nyata. Matematika bahkan dimanfaatkan pula sebagai alat bantu oleh cabang ilmu
pengetahuan yang lain. Meskipun demikan tidak sedikit orang yang memiliki pandangan bahwa matematika sulit dipelajari khususnya bagi siswa di
sekolah. Pandangan bahwa matematika itu sulit memang tidak bisa disalahkan.
Salah satu faktor yang mungkin menyebabkan bahwa matematika dikatakan sulit adalah pandangan guru terhadap posisi dan peran matematika. Seperti
yang diungkapkan oleh Adams Hamm Ariyadi Wijaya, 2012 : 6 bahwa cara dan pendekatan dalam pembelajaran matematika sangat dipengaruhi oleh
pandangan guru terhadap matematika dan siswa dalam pembelajaran. Bila seorang guru matematika memandang bahwa matematika sebagai alat, maka
tidak mustahil akan menyebabkan siswa lebih mengutamakan “pokok bisa pakai” atau “pokok bisa selesaikan soal” Suryanto, 2010 : 39. Dengan
demikian pengetahuan matematika yang diperoleh siswa tidak akan menjadi bermakna dan siswa tidak akan mampu berpikir matematis karena hanya
menerima konsep-konsep matematika dalam produk jadi rumus sehingga siswa cenderung menghapalkan rumus tanpa mengetahui makna dari rumus
itu. Dari uraian di atas, peneliti melakukan survei di SMP Kanisius
Kalasan dengan mengadakan wawancara terhadap guru matematika dan observasi kelas VIII kelas VIII A dan VIII B untuk mengetahui bagaimana
proses pembelajaran matematika berlangsung selama ini di sekolah tersebut. Berdasarkan wawancara, guru menyatakan opininya tentang matematika
bahwa matematika itu asyik, tentunya bila kita memahami. Selain itu, guru juga menyatakan bahwa rata-rata nilai siswa di kelas VIII pada umumnya
belum memenuhi standar Kriteria Ketuntasan Minimal yang ditentukan sekolah, yaitu 76. Sedangkan dari observasi, peneliti menemukan bahwa
proses pembelajaran matematika di sekolah tersebut masih menggunakan pembelajaran yang berpusat pada guru dan berkesan monoton. Selama
kegiatan pembelajaran, guru cenderung memberikan materi secara langsung dan
lebih mengajarkan
prosedur-prosedur atau
langkah-langkah menyelesaikan soal matematika daripada mengajarkan siswa untuk berpikir
matematis. Dari hal itu, peneliti menyimpulkan bahwa guru memandang matematika sebagai alat saja yang mengakibatkan siswa hanya meniru
prosedur atau langkah-langkah menyelesaikan soal matematika yang dicontohkan oleh guru tanpa memahami maksudnya dengan jelas.
Dari observasi kegiatan belajar mengajar matematika di kelas VIII A, peneliti melihat bahwa kondisi siswa pasif ketika guru menjelaskan materi.
Namun ketika guru mulai memberikan soal-soal latihan, siswa menjadi aktif dan berani untuk bertanya pada guru. Sayangnya hanya beberapa siswa yang
terlihat aktif bertanya karena guru selalu duduk di mejanya ketika siswa sedang mengerjakan soal-soal. Bahkan ada pula siswa yang mengerjakan soal-
soal tersebut di meja guru sehingga terkesan bahwa guru hanya memperhatikan siswa-siswa tertentu. Selain itu ada pula siswa yang kurang
percaya diri dengan penyelesaiannya dalam mengerjakan soal sehingga terus bertanya mengenai hal yang sama. Dari observasi di kelas VIII A itu, peneliti
melihat bahwa interaksi antara guru dan siswa hanya terbatas bagi siswa yang aktif.
Berbagai pendekatan
dalam pembelajaran
matematika telah
dikembangkan oleh para ahli pendidikan matematika untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa di sekolah, khususnya di Indonesia.
Pembelajaran matematika yang baik harusnya berpusat pada siswa dengan tujuan untuk melatih dan mendidik siswa berpikir secara matematis. Sesuai
dengan pendapat Stacey Ariyadi Wijaya, 2012 : 14 tentang perlunya menempatkan kemampuan berpikir matematis sebagai tujuan pembelajaran
dan sekaligus sebagai suatu cara untuk pembelajaran matematika a way of learning mathematics
. Menurut Leron pemikiran matematis tidak memiliki definisi secara
pasti Ariyadi Wijaya, 2012 : 14. Leron mendefinisikan pemikiran matematika sebagai kemampuan untuk membangun kemampuan penalaran
serta mengkomunikasikan gagasan. Stacey menyebutkan tiga pengetahuan
dan skill yang merupakan karakteristik pemikiran matematis yaitu, 1 pemahaman matematika yang mendalam, 2 kemampuan penalaran, dan 3
pengetahuan tentang strategi heuristik. Salah satu pendekatan pembelajaran dengan tujuan untuk melatih dan
mendidik siswa berpikir secara matematis adalah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI. Dalam PMRI matematika dipandang sebagai
kegiatan manusia. Lebih jelasnya, dasar filosofis PMRI menyatakan bahwa matematika adalah kegiatan manusia mathematic as a human activity dan
sekaligus sebagai alat mathematics as a tool Suryanto, 2010 : 39. Dalam PMRI pula, materi matematika yang diajarkan harus bermakna bagi siswa.
Pada pembelajaran dengan pendekatan PMRI, pembelajaran berorientasi pada siswa. Sedangkan guru, dalam PMRI hanya sebagai fasilitator.
Melihat uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Penerapan PMRI dan Pengaruhnya Terhadap Cara Penyelesaian Soal
serta Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan Teorema Pythagoras di Kelas VIIIA SMP Kanisius Kalasan Yogyakarta Tahun Ajaran 20122013”.
B. Identifikasi Masalah