i Kemampuan kognitif yang meliputi pengetahuan,
ingatan, dan
pemahaman atau pengertian Winkel, Kingsley, Gagne, dan Bloom ii Kemampuan verbal Gagne
iii Kemampuan dinamik-afektif yang meliputi sikap, nilai, tindakan,
keterampilan, dan kebiasaan Winkel dan Kingsley iv Kemampuan sensori-motorik yang meliputi keterampilan melakukan
rangkaian gerak-gerik badan dalam urutan tertentu Winkel.
D. Penyelesaian Soal Matematika
Menurut KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia, soal adalah i apa yang menuntut jawaban, ii hal yang harus dipecahkan, masalah, iii hal,
perkara, urusan. Sedangkan penyelesaian dalam KBBI adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan dalam berbagai-bagai arti seperti pemberesan,
pemecahan. Dari kedua arti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelesaian soal adalah proses menyelesaikan masalah.
Herman Hudojo 1988 : 174 menyatakan bahwa sesuatu disebut masalah bila sesuatu itu mengandung pertanyaan yang harus dijawab.
Menyelesaikan masalah merupakan proses untuk menerima tantangan untuk menjawab masalah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik garis besar bahwa penyelesaian soal adalah proses menjawab pertanyaan. Jadi dapat disimpulkan
pula bahwa penyelesaian soal matematika adalah proses menjawab pertanyaan matematika.
E. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia adalah adaptasi dari RME Realistic Mathematics Education yang dikembangkan di Belanda sejak
tahun 1970. Penggunaan kata “realistik” dalam pendidikan matematika realistik berasal dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti “untuk
dibayangkan” atau “to imagine” Van den Heuvel-Panhuizen dalam Ariyadi Wijaya, 2012 : 20. Menurut Van den Heuvel-Panhuizen, pendidikan
matematika realistik lebih menekankan pada penggunaan situasi yang bisa dibayangkan imagineable oleh siswa. Pendekatan pembelajaran yang
realistik beranggapan bahwa aplikasi dan proses matematisasi seharusnya merupakan dasar dari penyusunan kurikulum matematika Yansen Marpaung,
2001 : 5. Di Indonesia, adaptasi RME dinamakan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia yang dapat disingkat menjadi Pendidikan Matematika
Realistik, dan secara operasional sering disebut Pembelajaran Matematika Realistik PMR. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia bertumpu pada
realitas dalam kehidupan sehari-hari yang selaras dengan kondisi budaya, geografi, dan kehidupan masyarakat Indonesia Suryanto dkk., 2010 : 37.
1. Dasar Teoritis atau Prinsip-prinsip PMRI Ada beberapa prinsip yang merupakan dasar teoritis PMRI Suryanto,
2010 : 41, yaitu: a. Guided Re-invention dan Progressive Mathematization.
Guided Re-invention Penemuan Kembali secara Terbimbing
Prinsip Guided Re-invention ialah penekanan pada “penemuan kembali” secara terbimbing. Melalui masalah kontekstual yang
realistik yang dapat dibayangkan atau dipahami oleh siswa, yang mengandung topik-topik matematis tertentu yang disajikan, siswa
diberi kesempatan untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematis. Setiap siswa diberikan kesempatan
untuk merasakan situasi dan mengalami masalah kontekstual yang memiliki berbagai kemungkinan solusi. Bila diperlukan dapat
diberikan bimbingan
sesuai dengan
keperluan siswa
yang bersangkutan. Jadi pembelajaran tidak diawali dengan pemberitahuan
tentang “ketentuan”, atau” pengertian”, atau “nama objek matematis” definisi, atau “sifat” teorema, atau “aturan”, yang didikuti dengan
“contoh-contoh” serta “penerapannya”, tetapi justru dimulai dengan masalah kontekstual yang realistik dapat dipahami atau dibayangkan
oleh siswa, karena diambil dari dunia siswa atau dari pengalaman siswa, dan selanjutnya melalui aktivitas, siswa diharapkan dapat
menemukan kembali pengertian definisi, sifat-sifat matematis teorema, dan lainnya, meskipun pengunkapannya masih dalam
bahasa informal nonmatematis. Hal terakhir ini menunjukkan kesesuaian prinsip PMR dengan paham konstruktivisme, yaitu
keyakinan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seorang kepada orang lain tanpa aktivitas yang dilakukan sendiri oleh orang
yang akan memperoleh pengetahuan tersebut.
Progressive Mathematization Matematisasi progresif
Bagian ke-2 dari prinsip pertama ini menekankan “matematisasi” atau “pematematikaan”, yang dapat diartikan sebagai “upaya yang
mengarah ke pemikiran matematis”. Dikatakan progresif karena terdiri atas dua langkah yang berurutan, yaitu i matematisasi horizontal
berawal dari masalah kontekstual yang diberikan dan berakhir pada matematika yang formal, dan kemudian ii matematisasi vertikal
dari matematika formal ke matematika yang lebih luas, atau lebih tinggi, atau lebih rumit.
b. Didactical phenomenology Fenomenologi Didaktis Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat
mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika yang cocok kepada siswa.
Masalah kontekstual dipilih dengan mempertimbangkan i aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan ii
kecocokan kecocokan dengan proses reinvention, yang berarti bahwa konsep, aturan, cara, atau sifat, termasuk model matematis, tidak
disediakan atau diberitahukan oleh guru, tetapi siswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau membangun sendiri dengan berpangkal
pada masalah kontekstual yang diberikan oleh guru. Hal ini akan menimbulkan learning trajectory lintasan belajar yang mengarah ke
tujuan pembelajaran yang diterapkan. Tetapi perlu ditekankan di sini bahwa tujuan utama dalam pembelajaran PMR bukanlah diketahuinya
beberapa konsep atau rumus, atau dikerjakannya banyak soal oleh siswa, melainkan pengalaman belajar yang bermakna atau proses yang
bermakna, dan sikap positif terhadap matematika, sebagai dampak dari matematisasi, baik horizontal maupun vertikal, kebiasaan berdiskusi,
dan merefleksi. Tidak mustahil bahwa lintasan belajar seorang siswa berbeda dari lintasan belajar siswa yang lain, tetapi akan berakhir pada
tujuan yang sama. Ini berarti bahwa pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi akan berpusat pada siswa, bahkan dapat juga disebut
berpusat pada masalah kontekstual yang dihadapi. Masalah kontekstual dapat juga digunakan untuk memantapkan pemahaman siswa atas
sesuatu yang telah didapatnya. c. Self developed model membangun sendiri model
Prinsip ke-3 ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa model.
Karena berpangkal pada masalah kontekstual dan akan menuju ke matematika formal, serta ada kebebasan pada siswa, maka tidak
mustahil siswa akan mengembangkan model sendiri. Model itu mungkin masih sederhana dan masih mirip dengan masalah
kontekstualnya. Model ini disebut “model of” dan sifatnya masih dapat disebut “matematika informal”. Selanjutnya mungkin melalui
generalisasi atau formalisasi dapat mengembangkan model yang lebih umum, yang mengarah ke matematika formal. Model tahap ke-2, yang
memiliki sifat umum ini disebut “model for”. Dua jenis proses
demikian itu sesuai dengan dua matematisasi, yang juga berurutan, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal, yang
memungkinkan siswa dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri.
2. Karakteristik PMRI Robert S., Hoogland K. Dolk M. 2010 : 160 menyebutkan
PMRI Characteristics Karakteristik PMRI :
i Use of contexts for phenomenologist exploration
ii Use of models for mathematical concept construction
iii Use of student’s creations and contribution
iv Student activity and interactivity in the learning process
v Intertwining mathematics consept, aspects, and units
vi Use of typical characteristics of Indonesian nature and culture
. Menurut Suryanto 2010 : 44, Pendidikan Matematika Realistik
mempunnyai dasar aplikatif yang sekaligus merupakan karakteristik Pendidikan Matematika Realistik. Kelima karakteristik itu adalah :
i. Mengggunakan konteks
Pembelajaran menggunakan masalah kontekstual, terutama pada taraf penemuan konsep baru, sifat-sifat baru, atau prinsip-prinsip
baru. Konteks yang dimaksud adalah lingkungan siswa yang nyata baik aspek budaya maupun aspek geografis. Dalam PMR, hal itu
tidak selalu diartikan “konkret” tetapi dapat juga yang telah dialami
oleh siswa atau dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah kontekstual dikemukakan di awal pembelajaran. Namun, masalah kontekstual
dapat juga disajikan di tengah atau di akhir pembelajaran suatu topik atau subtopik. Masalah kontekstual disajikan di awal pembelajaran,
dimaksudkan untuk memungkinkan siswa membangun
atau menemukan
sesuatu konsep, definisi, operasi ataupun sifat
matematis, serta cara pemecahan masalah itu. Masalah kontekstual disajikan di tengah pembelajaran
bila dimaksudkan untuk
“memantapkan” apa yang telah dibangun atau ditemukan. Masalah kontekstual disajikan di akhir pembelajaran bila dimaksudkan untuk
mengimbangkan kemapuan siswa “mengaplikasikan” apa yang telah dibangun atau ditemukan.
ii. Menggunakan model
Pembelajaran suatu topik matematika sering memerlukan waktu yang panjang, serta bergerak dari berbagai tingkat abstraksi. Dalam
abstraksi itu perlu digunakan model. Model itu dapat bemacam- macam, dapat konkret berupa benda atau semikonkret berupa gambar
atau skema yang kesemuannya dimaksudkan sebagai jembatan dari konkret ke abstrak atau dari abstrak ke abstrak lain. Jembatan dapat
berupa model yang serupa atau mirip dengan masalah nyatanya, yaitu yang disebut model of dan dapat pula berupa model yang yang
sudah lebih umum yang mengarahkan siswa ke pemikiran abstrak atau matematika formal, yaitu yang disebut model for.
iii. Menggunakan kontribusi siswa
Dalam pembelajaran perlu sekali diperhatikan sumbangan atau kontribusi siswa, yang berupa ide, atau variasi jawab, atau variasi
cara pemecahan masalah. Kontribusi siswa itu dapat memperbaiki atau memperluas konstruksi yang perlu dilakukan atau produksi yang
perlu dihasilkan
sehubungan dengan
pemecahan masalah
kontekstual. iv.
Menggunakan format interaktif Dalam pembelajaran jelas bahwa sangat diperlukan adanya interaksi
baik antara siswa dan siswa atau antara siswa dan guru yang bertindak sebagai fasilitator. Interaksi mungkin juga terjadi antara
siswa dan sarana atau antara siswa dan matematika atau lingkungan. Bentuk interaksi itu juga bermacam-macam, misalnya diskusi,
negosiasi, memberi penjelasan atau komunikasi, dsb. v.
Intertwining memanfaatkan keterkaitan
Dalam pembelajaran matematika perlu disadari bahwa matematika adalah suatu ilmu yang terstruktur, dengan konsistensi yang ketat.
Keterkaitan antara topik, konsep, operasi, dan sebagainya sangat kuat sehingga adanya integrasi antara topik-topik, dan sebagainya, bahkan
mungkin saja antara matematika dan bidang pengetahuan lain, untuk lebih mempertajam kebermanfaatan belajar matematika. hal ini
memungkinkan untuk menghemat waktu pembelajaran. Selain itu dengan ditekankannya keterkaitan antartopik atau antar-subtopik
sangat mungkin akan tersusun struktur kurikulum yang berbeda dengan struktur kurikulum yang selama ini dikenal, tetapi tetap
mengarah kepada kompetensi yang ditetapkan. Sedangkan karakteristik PMRI menurut Marpaung 2009 adalah :
i. Siswa dan guru aktif dalam pembelajaran.
ii. Pembelajaran dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual atau
realistik. iii.
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan guru dengan caranya sendiri.
iv. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi.
v. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan
menggunakan pendekatan SANI : santun, tebuka dan komunikatif. vi.
Ada keterkaitan antar materi yang diajarkan prinsip intertwinment. vii.
Pembelajaran berpusat pada siswa menggunakan pendekatan tut wuri handayani
. viii.
Guru bertindak sebagai fasilitator proses pembelajaran bervariasi. ix.
Jika siswa melakukan kesalahan di dalam menyelesaikan masalah, siswa jangan dimarahi, tetapi disadarkan melalui pertanyaan-
pertanyaan terbimbing mempraktekkan budaya ngewongke wong. x.
Guru perlu menghargai keberanian siswa ketika mengutarakan idenya.
Dari pendapat Robert, dkk., Suryanto, dan Marpaung, dapat ditarik garis besar mengenai karakteristik PMRI sebagai berikut :
i Menggunakan konteks dengan mengawali pembelajaran dengan
menyajikan masalah kontekstual atau realistik kepada siswa untuk fenomenologi eksplorasi phenomenologist exploration
ii Menggunakan model untuk mengkonstruksi konsep matematika
mathematical concept construction. iii
Menggunakan kreasi siswa dan kontribusi siswa student’s creations and contribution
sehingga memunculkan kreativitas siswa.
iv Menggunakan format interaktif dengan membuat aktivitas siswa
dalam pembelajaran agar siswa mendapat pengalaman belajar yang bermakna dan siswa dapat berinteraksi baik secara individu dengan
guru maupun dengan siswa lain student activity and interactivity in the learning process
sehingga guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan siswa menjadi aktif.
v Memanfaatkan keterkaitan baik antara satu topik matematika
dengan topik matematika lainnya, maupun dengan topik selain matematika misalnya dengan biologi, fisika, dan sebagainya
Intertwining mathematics consept, aspects, and units vi
Menggunakan ciri khas alam dan budaya Indonesia Use of typical characteristics of Indonesian nature and culture
sehingga tercipta suasana belajar yang tidak asing dan menyenangkan bagi siswa.
Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan karakteristik PMRI sebagai berikut :
i. Menggunakan konteks
Dengan menggunakan masalah kontekstual di awal pembelajaran dan memanfaatkan alat peraga Pythagoras, siswa diharapkan dapat
menemukan konsep dasar mengenai Teorema Pythagoras yang sedang dipelajari.
ii. Menggunakan model
Dengan penggunaan model berupa gambar atau skema dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan Teorema Pythagoras
diharapkan siswa dapat membayangkan dan memahami masalah yang harus dipecahkan.
iii. Menggunakan kontribusi siswa
Dengan memperhatikan kontribusi siswa, diharapkan muncul
alternatif-alternatif pemecahan masalah yang berkaitan dengan Teorema Pythagoras sehingga siswa tidak akan bergantung dengan
satu cara atau strategi pemecahan masalah. iv.
Menggunakan format interaktif Siswa dikelompokkan
dengan harapan agar siswa saling
berkomunikasi, bernegosiasi, atau berdiskusi sehingga tercipta suasana pembelajaran dimana bila ada siswa yang tidak memahami
materi, ia akan bertanya kepada teman yang lebih mengerti. Begitu pula sebaliknya bila ada siswa yang sudah memahami materi. Selain
itu akan dimungkinkan pula terjadinya ineraksi siswa dengan guru bila siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi.
v. Intertwining
memanfaatkan keterkaitan Siswa diberikan suatu permasalahan yang terkait dengan konsep
matematika lain agar siswa melihat bahwa konsep yang sedang dipelajari memiliki keterkaitan dengan konsep yang lain sehingga
siswa dimungkinkan mengenal dan membangun lebih dari satu konsep matematika.
3. Langkah-langkah umum pembelajaran dalam PMR Secara umum dapat dikemukakan langkah-langkah pembelajaran
matematika dengan pendekatan PMR di bawah ini Suryanto dkk, 2010 : 50.
a. Persiapan kelas 1 Persiapan sarana dan prasarana pembelajaran yang diperlukan,
misalnya buku siswa, LKS, alat peraga, dan sebagainya. 2 Pengelompokan siswa, jika perlu sesuai dengan rencana.
3 Penyampaian tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang diharapkan dicapai, serta cara belajar yang akan dipakai hari itu.
b. Kegiatan pembelajaran 1 Siswa diberi masalah kontekstual atau soal cerita secara lisan atau
tertulis. Masalah tersebut untuk dipahami siswa. 2 Siswa yang belum dapat memahami masalah atau soalnya diberi
penjelasan singkat dan seperlunya. Penjelasan diberikan secara
individual ataupun secara kelompok, tergantung kondisinya tetapi penjelasan itu tidak menunjukkan selesaian, meskipun boleh
memuat pertanyaan
untuk membantu
siswa memahami
masalahnya, atau untuk memancing reaksi siswa ke arah yang benar.
3 Siswa, secara kelompok ataupun secara individual, mengerjakan soal atau memecahkan masalah kontekstual yang diberikan dengan
caranya sendiri waktu untuk mengerjakan tugas harus cukup. 4 Jika dalam waktu yang dipandang cukup, belum ada satupun siswa
yang dapat menemukan cara pemecahan, guru memberikan bimbingan atau petunjuk seperlunya atau mengajukan pertanyaan
yang menantang. Petunjuk itu dapat berupa gambar ataupun bentuk lain.
5 Setelah waktu yang disediakan habis, beberapa orang siswa atau wakil dari kelompok siswa menyampaikan hasil kerjanya atau hasil
pemikirannya. 6 Siswa-siswa ditawari untuk mengemukakan pendapatnya atau
tanggapannya tentang berbagai selesaian yang disajikan temannya di depan kelas. Bila untuk suatu soal ada lebih dari satu selesaian
atau cara penyelesaian, perlu diungkap semua. 7 Guru mengarahkan atau membimbing siswa untuk membuat
kesepakatan kelas tentang selesaian mana yang dianggap paling
tepat. Dalam proses ini dapat terjadi negosiasi. Guru perlu memberikan penekanan kepada selesaian benar yang dipilih.
8 Bila masih tidak ada selesaian yang benar, guru minta agar siswa memikirkan cara lain.
F. Materi Ajar