Menyusun SOP dan Standar Pelayanan yang Baik

38 Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP Mekanisme kerja Tim Teknis tersebut di atas memperlihatan bahwa rekomendasi teknis dari Kepala SKPD tidak diperlukan lagi, cukup dari Tim Teknis. Hanya saja, perlu dicatat bahwa khusus untuk izin-izin bidang kesehatan masih membutuhkan rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan, karena ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mensyaratkan rekomendasi hal itu. Sejak tahun 2014, anggaran untuk Tim Teknis berasal dari KPPT. Total anggaran untuk pelaksanaan tinjauan lapangan per tahun adalah sekitar Rp 80 juta. Dalam satu minggu Tim Teknis melakukan satu hingga dua kali survei lapangan dengan model pendekatan per wilayah untuk beberapa izin yang sedang diproses. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efesiensi waktu dan biaya, terutama untuk lokasi izin yang relatif jauh. Tim Teknis yang melakukan survei ke lapangan biasanya eselon berasal dari pejabat eselon IV bahkan kadang-kadang eselon III didampingi sejumlah staf. Hambatan dalam pelaksanaan tim teknis secara umum adalah keterbatasan sarana dan prasarana untuk melakukan kunjungan ke lapangan. Kendaraan operasional yang digunakan untuk survei lapangan terbatas, yaitu satu unit mobil dan empat unit sepeda motor. Hal itu pula yang menjadi pendorong dilakukannya tinjauan lapangan dengan sistem wilayah bukan satu izin satu tinjauan, karena dengan demikian penggunaan kendaraan menjadi lebih efisien. Masalah dukungan SKPD Teknis yang menjadi kendala di banyak daerah tidak dihadapi oleh PTSP Aceh Selatan. Ada beberapa faktor yang menjadi menyebabkan tidak ada masalah dalam hal koordinasi dengan SKPD di Aceh Selatan, yaitu: • SKPD Teknis dilibatkan dalam penyusunan SOP, sehingga tercapai kesamaan pemahaman dan persepsi serta kesepakatan bersama terkait standar waktu, persyaratan dan prosedur pelayanan, termasuk di dalamnya tugas, peran dan fungsi Tim Teknis. • Pendekatan persuasif dan kekeluargaan dengan cara mendatangimengunjungi SKPD Teknis oleh kepala KPPT sehingga mereka merasa dihargai dan diakui eksistensinya • Dukungan dan komitmen yang kuat dari pimpinan bupati terhadap PTSP KPPT Aceh Selatan yakin bahwa SKPD memiliki komitmen dan tanggung jawab yang tinggi terhadap izin yang diterbitkannya. Tanggung jawab muncul karena itu sesuai dengan tupoksinya, bahwa pengawasan, pembinaan dan pengendalian masih menjadi kewenangan SKPD. SKPD merasa bahwa PTSP beserta Tim Teknis sebagai salah satu perangkatnya saling mendukung dengan SKPD. Selain itu, adanya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara menjadi motivasi bagi pegawai. Semakin bagus kinerja seseorang, maka akan semakin banyak tugas dan pekerjaannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.

3.2.2. Menyusun SOP dan Standar Pelayanan yang Baik

Sebelum upaya reformasi pelayanan perizinan mulai dilakukan, salah satu kendala utama yang dihadapi pengelola perizinan adalah ketiadaan standar pelayanan baku sebagai rujukan. Standar ini meliputi bermacam aspek, termasuk lama waktu pengurusan, syarat kelengkapan berkas, besaran biaya, pihak yang harus ditemui dan berwenang dan sebagainya. Ada ketidakpastian dan dalam ketidakpastian itulah segala jenis penyimpangan dan buruknya pelayanan menjadi hampir niscaya. 39 Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP Empat daerah yang menjadi studi kasus dalam identifikasi praktik yang baik Barru, Kubu Raya, Banyuwangi dan Aceh Selatan semua mencoba menyelesaikan persoalan ketidakpastian tersebut dengan menyusun SOP dan standar pelayanan minimal. SOP dan standar layanan disahkan sebagai rujukan bagi SKPD teknis maupun PTSP sendiri. Sebagian PTSP mempublikasikan SOP dan standar layanan ini kepada masyarakat. Dengan begitu, masyarakat dapat memiliki ekspektasi terhadap pelayanan yang diterima, bahkan mempersoalkan apabila tidak dipenuhi. Atas dasar itu, dapat dikatakan langkah penyusunan SOP dan standar layanan serta mengumumkannya kepada publik merupakan sesuatu yang amat berani dan progresif. Karena keberanian dan progresifitas itulah, penyusunan SOP dan standar pelayanan sungguh bukan hal yang mudah. Berdasarkan pengalaman PTSP di beberapa daerah, kegiatan ini membutuhkan waktu untuk dibahas bersama pihak terkait. Pihak terkait, terutama instansi teknis dilibatkan, sebab SOP dan standar pelayanan juga akan mengikat kinerja mereka. Ini menjadi indikator pencapaian bersama. Tanpa keterlibatan instansi teknis, SOP dan standar menjadi serupa macan ompong, hanya mengaum di atas kertas, tetapi tumpul dalam implementasi. Beberapa PTSP mengalami bahwa keinginan menyusun SOP dan standar pelayanan juga perlu dibawa dalam forum multipihak, selain dengan membangun komunikasi formal antara PTSP dengan SKPD. Ini karena forum multipihak memungkinkan perihal SOP dan standar pelayanan dibicarakan secara terbuka sehingga ada semacam tekanan publik yang didengarkan oleh semua. Proses ini juga menjadi lebih berhasil karena PTSP melibatkan bupati dan sekda. Di beberapa tempat, sekda yang memimpin langsung proses penyusunan. Posisi yang lebih tinggi membuat suara sekda memiliki otoritas yang mau tidak mau harus didengarkan oleh SKPD. Meski demikian, PTSP belajar bahwa perubahan semacam ini tidak dapat dilakukan dengan tangan besi. Bagaimanapun, SKPD juga yang akan melaksanakan SOP dan standar pelayanan itu. Selalu terbuka kemungkinan mereka tidak sepenuh hati menjalankannya jika sejak awal merasa diabaikan, bahkan dipaksa. Penetapan SOP dan standar pelayanan memiliki implikasi terhadap mekanisme kerja maupun hasil yang dianggap baik bagi pihak terkait. Dalam hal mekanisme kerja, misalnya, pihak terkait dituntut mempercepat dan mempermudah proses pengurusan izin. Waktu penerbitan IMB yang ambil contoh semula 14 hari jika ditetapkan menjadi maksimal enam hari dengan sendirinya membuat SKPD harus bekerja lebih cepat. Standar kinerja yang lebih tinggi menuntut kerja yang lebih keras. 40 Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP Perubahan SOP dan standar pelayanan juga dimungkinkan tidak hanya berlangsung sekali. Apabila jumlah izin yang dilimpahkan kepada PTSP bertambah, SOP dan standar pelayanan biasanya akan disesuaikan. Setelah SOP dan standar pelayanan jadi pun, masih ada kebutuhan untuk memastikan ketentuan tersebut ditaati. Menjadi wajar bila dalam prosesnya, ada keengganan dari pihak-pihak yang merasa terganggu atau terbebani oleh perubahan itu. Berdasarkan pengalaman PTSP yang baik, proses penyusunan SOP dan standar pelayanan dimulai dengan mewacanakan hal itu dalam pertemuan dengan instansi teknis, sekda dan akhirnya kepala daerah. Pewacanaan dilakukan pada beberapa kesempatan, baik melalui pertemuan formal dalam bentuk workshop multipihak dan forum PTSP maupun informal lewat komunikasi antar pimpinan instansi. PTSP sengaja mengundang pihak luar yang berkompeten sebagai narasumber untuk memperkuat wacana. Dari hasil pewacanaan, PTSP mulai mengkomunikasikan implementasinya dengan instansi teknis. PTSP mendorong agar kepala daerah menunjuk sekda sebagai pemimpin kelompok kerja. Sejumlah pertemuan bertukar pikiran dilakukan. Setelah itu, sekda meminta instansi teknis bersama-sama menelusuri kemungkinan penetapan standar kinerja dan mekanisme kerja. Seorang pengelola PTSP yang terlibat penuh dalam proses penyusunan membagikan pengalamannya di bawah ini: “Ketika menyusun standar untuk IMB, kami bersama-sama menelusuri pekerjaan tim teknis dalam mengurus IMB. Kami dipimpin sekda. Beliau kebetulan mantan kepala dinas PU sehingga mengetahui persis. Kami buka, berikan alasan, apa sih kerja tim teknis di lapangan. Penelusuran itu menjadi dasar kami untuk menetapkan bisa tidak kalau menjadi enam hari. Akhirnya sepakat dan bisa jalan.” 41 Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP Syamsir, kepala PTSP Barru, mengatakan komitmen dari pimpinan daerah sangat diperlukan dalam proses ini. Penunjukan sekda untuk memimpin tim membuat semuanya lebih mudah. “Kalau sesama SKPD yang rapat, bertengkarnya bisa 10 jam,” tukas dia. Menurutnya, keterlibatan unsur di luar pemerintah sebagai pengawas dan penekan juga memberi kontribusi. Dalam pengalamannya, unsur non pemerintah dapat membantu menjaga agar pemerintah tetap berjalan di koridor pelayanan publik. Karena itu, keterlibatan unsur non pemerintah secara nyata perlu selalu dimungkinkan, bahkan disyaratkan dalam proses pembahasan serupa. Secara konkrit, adanya SOP dan standar pelayanan juga membantu kelancaran pelaksanaan tupoksi PTSP maupun instansi teknis. Bagi PTSP, SOP membuat sistem dapat berjalan, pun ketika terjadi pergeseran staf atau pejabat. “Secara umum pergantian staf tidak menjadi masalah karena SOP sudah memberikan kepastian dan kejelasan prosedur dan mekanisme. Sudah diatur siapa mengerjakan apa dan lain-lain,” jelas seorang pengelola PTSP. Dengan SOP dan standar pelayanan, siapapun yang melayani atau mengerjakan tugas hasilnya diharapkan sama. “Sekarang kalau saya meninggalkan kantor untuk urusan di luar, sistem sudah jalan. Kebijakan dari atas sudah berjalan,” kata seorang kepala PTSP tentang manfaat SOP dan standar pelayanan. SOP di beberapa daerah telah disahkan dengan SK kepala daerah. Sementara itu, ada daerah yang menggunakan SK kepala PTSP. Dasar hukum yang lebih kuat dengan SK kepala daerah memberi daya paksa yang lebih besar pula kepada pihak terkait untuk menjalankannya. Meski demikian, sekali lagi, pembelajaran di lapangan menunjukkan proses ini sebaiknya tidak dipaksakan. PTSP selalu dapat memulai dari apa yang memungkinkan, untuk ditingkatkan saat ada kesempatan. “Kalau mau sekalian, resistensi akan besar. Semua ada resistensi termasuk dari SKPD. Tidak bisa langsung,” papar seorang pengelola PTSP.

3.2.3. Mengelola Sumber Daya Manusia di PTSP