15
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
BAB 3: BEBERAPA
PRAKTIK YANG BAIK
3.1. Aspek Strategis
3.1.1. Memilih Orang yang Tepat untuk Memimpin PTSP
Sejak diperkenalkan sebagai bentuk reformasi perizinan pada tahun 2006, pengelolaan PTSP merupakan hal baru bagi banyak daerah di Indonesia. Lebih dari sekadar mendirikan instansi atau membuat struktur kelembagaan
tambahan, kebaruan PTSP membawa implikasi yang jauh terhadap cara pandang dan esensi pelayanan publik. Publik dalam PTSP adalah ukuran kinerja yang diwujudkan dalam pelayanan yang lebih mudah, cepat, murah,
transparan dan akuntabel. Keberhasilannya dengan demikian bergantung kepada sejauh mana birokrasi perizinan bersedia mengubah tata kelola perizinan yang belum baik.
Memimpin perubahan. Persis disinilah tugas utama mereka yang ditunjuk mengelola PTSP, sekaligus tantangannya yang terbesar. Berubah berarti melucuti segala praksis lama yang mungkin terlanjur memberikan kenyamanan
kepada para pelakunya. Sebaliknya, berubah juga berarti menyambut praksis asing yang dalam prosesnya dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Berubah adalah mengoreksi status quo dengan semua potensi perlawanannya.
Maka, berubah tidak pernah merupakan perkara sederhana, apalagi mudah. Tentu saja, lebih sulit lagi daripada itu adalah memimpin perubahan itu sendiri.
Pengalaman pembentukan dan pengelolaan PTSP dengan terang benderang menunjukkan kesulitan tersebut. PTSP hampir selalu menghadapi keengganan dari instansi teknis untuk melimpahkan kewenangan, sebuah
aspek sentral yang menentukan efektivitas reformasi. Di banyak tempat, PTSP juga harus berurusan dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan fasilitas kerja. Ada pula faktor teknis berupa minimnya informasi
dan pengetahuan faktual yang bisa dijadikan rujukan untuk mengembangkan PTSP. Yang tak kalah penting, PTSP terus-menerus perlu meyakinkan kepala daerah maupun pihak terkait lain mengenai keniscayaan reformasi
perizinan.
16
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
Di tengah banyaknya kesulitan dan besarnya tuntutan perubahan itu, PTSP yang sukses adalah yang memiliki pemimpin yang baik dan mampu. Seorang pelaku mengemukakan pandangannya berdasarkan pengalamannya
memimpin PTSP demikian:
“Mereka pemimpin PTSP harus dekat dengan masyarakat, mengetahui apa yang diharapkan warga. Pemimpin juga perlu punya kemampuan manajemen SDM.
Mereka tidak harus orang teknis, tetapi harus punya komitmen melayani. Melayani adalah seni. Di sini perlu inovasi karena terkadang kita terbentur dengan aturan.
Dalam memimpin, mengkoordinasi saja tidak cukup, tetapi harus menjiwai.”
Dalam ungkapan yang lebih padat, pemimpin PTSP harus mampu menggerakkan timnya untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dalam menggerakkan tim, pemimpin menyiasati kekurangan kualitas
maupun kuantitas SDM yang ada serta berupaya menggalang dukungan pihak luar yang strategis. Tim diarahkan kepada perbaikan terus-menerus sambil menjadikan suara masyarakat sebagai indikator pencapaian.
Ketika tim mengalami kesulitan atau penurunan semangat, pemimpin membangkitkan. Seorang pelaku PTSP mengungkapkan pengalamannya sebagai berikut:
“Saya kumpulkan staf. Saya bilang, ‘Masih semangat tidak? Kalau tidak punya satu visi, semangat, tidak akan jadi nih. Karena ini institusi baru. Kalau tidak kuat,
mundur.”
Pengalaman Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu BPMPT Kubu Raya, Kalimantan Barat, adalah contoh yang baik. PTSP yang kini menjadi acuan bagi PTSP lain yang tidak hanya di Kalbar, tetapi seluruh Indonesia
ini awalnya benar-benar dimulai dari nol. Kabupaten Kubu Raya sendiri merupakan daerah pemekaran baru. Ketika dicanangkan pada 28 Desember 2009, PTSP Kubu Raya hanya bermodalkan sebuah ruangan berukuran
4x8 meter persegi dengan lima personel, yakni satu sekretaris sekaligus pelaksana tugas plt kepala eselon 3A dan empat kepala bidang eselon 3B.
17
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
Bupati menunjuk Maria Agustina, orang yang relatif muda, perempuan yang belum
berusia 40 tahun sebagai plt kepala PTSP. Ketika terpilih, sang bupati juga baru berusia
38 tahun. Maria menjalankan jabatan plt kepala hingga bulan Mei 2014. Sebelumnya,
yang bersangkutan bekerja sebagai kepala bagian keuangan di Dinas Pendapatan Daerah
Provinsi Kalbar. Ia berpengalaman di bidang perencanaan, pemerintahan, hukum dan
keuangan. Ada yang mengatakan pemilihan ini disebabkan bupati dan orang-orang di
sekitarnya melihat besarnya semangat kerja Maria di unit sebelumnya.
Bupati Kubu Raya pernah mengunjungi PTSP Sragen di Jawa Tengah. Dalam kunjungan itu, bupati memperoleh gambaran dan masukan mengenai pengelolaan PTSP. Kedua pemerintah, Kubu Raya dan Sragen, bersepakat
untuk melaksanakan pendampingan pengembangan BPMPT di Kubu Raya. Meskipun tidak spesifik tentang PTSP, dalam kampanye pilkada tahun 2009, calon bupati telah menjanjikan perbaikan pelayanan publik. Semua latar
belakang ini dapat dikatakan berkontribusi kepada keputusan bupati untuk membentuk PTSP dan menunjuk pemimpin dengan semangat tinggi dan rekam jejak karir yang memadai.
Pada bulan-bulan pertama kepemimpinannya, Maria dan empat kabid segera dihadapkan pada minimnya informasi yang tersedia mengenai PTSP di tingkat provinsi maupun kabupaten. BKPMD Kalbar baru menjalankan
fungsi penanaman modal, belum pelayanan terpadu. Atas saran provinsi, tim Kubu Raya lantas mendatangi kantor BKPM dan Ditjen Pembangunan Daerah Kemendagri di Jakarta untuk mencari informasi. Maria menceritakan
pengalamannya saat itu di bawah ini:
“Kami bermodalkan nekat, niat dan semangat. Tidak tahu mesti ketemu siapa. Di BKPM, kami menerima penjelasan mengenai fungsi penanaman modal dan
peraturannya, tetapi PTSP belum. Akhirnya kami disarankan ke Sragen.”
Karena sudah ada kerjasama, setiba di Sragen tim Kubu Raya langsung menyebar untuk mempelajari apa saja yang bisa dipelajari, termasuk sistem kerja, pelayanan dan lainnya. Kubu Raya telah mempunyai peralatan komputer
dan sarana pendukung teknologi informasi, tetapi belum digunakan sebab mereka tidak mengetahui bagaimana penggunaannya untuk pelayanan. Secara keseluruhan, tim Kubu Raya hanya berada satu hari di Sragen dan sehari
di Jakarta karena keterbatasan anggaran. Biaya perjalanan yang hanya untuk tiga orang selama tiga hari, disiasati
18
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
agar cukup untuk lima orang. Maria ingin agar semua personelnya bisa ikut belajar mengingat merekalah yang akan menjadi tulang punggung pengembangan PTSP. Anggaran sisa hanya cukup untuk membiayai kunjungan
Maria ke Kemendagri. Minimnya informasi diperparah oleh kurangnya
penguasaan SKPD teknis di Kubu Raya tentang perizinan di lingkup kewenangan mereka
sendiri. Mereka tidak memahami dasar hukum sebagian izin, formulirnya, hingga persyaratan.
Dengan jumlah personel sembilan orang pada Mei 2010, tim Kubu Raya melakukan
pendalaman untuk menyisir lika-liku perizinan di daerah itu dan bagaimana PTSP dapat
berperan. Proses ini berlangsung selama seminggu, seringkali sampai larut malam.
Bupati sempat datang meninjau.
Dalam perjalanan itu, ternyata pengelola beberapa instansi teknis tidak menunjukkan kesediaan untuk sepenuhnya bekerjasama dengan PTSP. Ada saja staf yang terpaksa kembali dengan tangan hampa karena instansi teknis
menolak memberikan data. Keengganan ini disertai tudingan sejumlah orang bahwa PTSP telah melangkah terlalu jauh. Ada juga staf PTSP yang dipindahkan dari SKPD mulai merasa bekerja sangat keras, tidak seperti di
tempat asalnya. Seorang pejabat SKPD mengatakan kepada pejabat PTSP, “Kamu jangan terlalu revolusioner. Tidak semua stafmu punya jiwa yang sama. Mereka ditempatkan di PTSP tidak membayangkan akan bekerja seperti itu.”
Menghadapi kendala internal maupun eksternal seperti itu, PTSP mencoba merapatkan barisan. Pejabat PTSP menyemangati staf sambil meminta mereka berkomitmen. Mereka yang benar-benar tidak kuat bekerja keras
dan berada di bawah tekanan dipersilakan meminta untuk dipindahkan. Bersamaan dengan itu, PTSP terus mengkomunikasikan seluruh perkembangan kepada bupati. Dalam beberapa kesempatan, pejabat PTSP berhasil
membujuk bupati agar meminta instansi teknis yang sulit supaya mau bekerjasama. Maria Agustina mengenang bagaimana ayahnya pergi ke pasar untuk membeli buku bagi cucunya yang akan
ujian. “Mungkin itu yang terpola. Saya juga menjadi selalu berusaha mendukung staf,” begitu ia merefleksikan pengalaman memimpin PTSP. Kemajuan dicapai bersama dengan pemimpin kepemimpinan yang berfokus
pada tujuan perbaikan pelayanan publik serta memberi contoh bagi komitmen dan integritas. Dalam hal PTSP untuk reformasi pelayanan perizinan, ini sungguh-sungguh tidak mudah, tetapi juga bukan mustahil.
19
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
Pentingnya memilih orang-orang yang tepat untuk memimpin PTSP juga dialami Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal KP3M Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. PTSP Barru juga merupakan salah satu PTSP rujukan
dalam beberapa tahun terakhir. Kemampuan membangun relasi yang cair dengan bupati membuat kepala PTSP Barru, Syamsir, memperoleh dukungan yang dibutuhkan pada periode awal pembentukan kantor tersebut serta
di masa-masa yang sulit, termasuk saat perlu bernegosiasi dengan SKPD. Keinginannya untuk selalu memperbarui pengetahuan mengenai pelayanan perizinan juga memungkinkan dia untuk secara rutin mengkomunikasikan
hal-hal baru yang diperolehnya kepada bupati. Kepala daerah pun melihat senantiasa ada perkembangan yang menguntungkan citra pemda di mata publik.
Awal mula PTSP Barru juga tidak mudah. Selama kurang lebih dua tahun, konsep PTSP
tidak berkembang di daerah itu. Bupati lama tidak memandang PTSP sesuatu yang strategis.
Setelah pergantian bupati, Syamsir ditunjuk menjadi kepala PTSP pada tahun 2011. Bupati
baru menyampaikan komitmen politik untuk memperbaiki pelayanan publik. Namun,
komitmen bupati saja tidak cukup sebab tanpa komitmen dan kemampuan dari pejabat instansi
teknis, perubahan mendasar tidak akan terjadi. Ini juga menjelaskan mengapa kinerja sebagian
SKPD tetap buruk kendati daerah bersangkutan memiliki pemimpin yang reformatif.
PTSP Barru juga menghadapi persoalan seperti keengganan SKPD untuk melimpahkan kewenangan. Sejumlah sumber yang mengetahui perjalanan PTSP Barru mengatakan Syamsir melakukan audiensi-audiensi resmi dengan
bupati disertai komunikasi personal pada kesempatan berbeda untuk menyampaikan persoalan PTSP dan usulan jalan keluarnya. Apa yang akan disampaikan kepada bupati digodok dulu secara internal di PTSP maupun dengan
pihak lain yang membantu sebelum diteruskan ke bupati. Bupati biasanya tidak menghambat upaya perbaikan. Selain dengan bupati, komunikasi yang baik juga dibangun dengan pejabat SKPD. Relasi dan komunikasi tersebut
disadari merupakan modalitas sosial yang amat berguna bagi upaya perbaikan pelayanan perizinan di Barru. Seiring dengan itu, pemimpin PTSP berusaha meraih kepercayaan kepala daerah dan pejabat lain dengan
menunjukkan kemajuan-kemajuan yang konkrit. Mereka tetap bekerja, kendati pada mulanya dengan kewenangan terbatas serta kondisi kekurangan SDM, sarana dan prasarana serta anggaran. Pada tahun 2011,
PTSP Barru hanya mengelola tujuh dari 122 izin yang ada di kabupaten itu. Upaya perbaikan ternyata diapresiasi oleh pihak luar. Pada tahun 2011, PTSP Barru mendapatkan penghargaan PTSP kualifikasi bintang satu dari BKPM.
Penghargaan ini rupanya membuka mata pemda mengenai PTSP.
20
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
Pada tahun 2012, kewenangan PTSP diperluas menjadi sembilan izin. Di tahun yang sama bupati menginstruksikan dilakukannya pemetaan perizinan yang menghasilkan penyederhanaan dari 129 izin menjadi tinggal 22 jenis izin.
Bupati kemudian memutuskan untuk menyerahkan seluruh pengurusan perizinan ini kepada PTSP pada tahun 2013. PTSP Barru pun tak pernah lagi sepi dari penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional. “Dengan
perbaikan pelayanan dan inovasi yang dilakukan, bupati memberikan kepercayaan yang semakin besar kepada KP3M. Hal ini tentunya setelah bupati mendapatkan informasi-informasi dari customer,” kata Syamsir merefleksikan
perkembangan PTSP di bawah kepemimpinannya. Dalam komunikasi PTSP dengan para pemimpin daerah, pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa peningkatan
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik memiliki korelasi positif dengan kepercayaan kepada pemda yang juga bernilai dalam konteks politik. Setelah kemajuan dikomunikasikan, PTSP juga menjadi lebih mudah
mendorong penerbitan regulasi yang mendukung kinerjanya, baik dalam kaitan dengan program PTSP maupun anggaran untuk mengeksekusi.
Syamsir mengatakan ia dan para pejabat PTSP Barru pernah merasakan susahnya mengurus izin saat masih menjadi anggota masyarakat biasa. Bahkan sesama PNS pun kerapkali dipersulit dalam mengurus izin. “Setelah
izin dilimpahkan, kami merasa cukup kami yang merasakan sulitnya. Bagaimana kami bisa memberikan kemudahan, sebab kami pernah menjadi masyarakat. Prinsip pelayanan kami adalah bahwa kami juga bagian dari
masyarakat di Barru.” Dengan kesadaran seperti itu, maka kemajuan atau kemunduran Barru menjadi tanggung jawab bersama. Pengelola PTSP merasa dapat berkontribusi bagi kemajuan Barru dengan memberikan pelayanan
terbaik dalam perizinan. Mereka yang mengenal Syamsir mengatakan bahwa yang bersangkutan memang dikenal cukup dekat dengan
masyarakat. Ketika menjadi lurah dan camat, hampir tidak ada cerita miring mengenai dirinya. Latar belakang pendidikan di bidang ilmu pemerintahan serta pengalaman bekerja di lembaga swadaya masyarakat diakuinya
turut membentuk pola pikirnya.
3.1.2. Pelimpahan Kewenangan Pelayanan Perizinan