23
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
3.1.3. Penyederhanaan Jenis Izin
Praktik baik berikutnya yang ditemukan pada PTSP sejauh ini adalah penyederhanaan jenis izin. Untuk melakukan hal itu, pada dasarnya PTSP menempuh dua jalan yang berbeda. Jalan pertama adalah menghimpun terlebih
dahulu jenis izin yang ada ke dalam PTSP untuk selanjutnya dilakukan penyederhanaan. Jalan kedua berlangsung sebaliknya, yaitu PTSP bersama instansi teknis menyederhanakan izin baru kemudian diserahkan kepada PTSP.
Jalan mana yang diambil sangat tergantung kepada situasi dan konteks masing-masing PTSP. Berdasarkan pengalaman yang ada, PTSP yang melakukan cara pertama relatif lebih mudah melakukan
penyederhanaan sebab izin telah berada dalam kewenangan mereka. Meski demikian, persoalan yang muncul tidak berbeda dengan jika menempuh cara kedua, yaitu bagaimana meyakinkan para pihak mengenai penting
dan perlunya melakukan penyederhanaan jenis izin. Ini karena kendati pun sebagian kewenangan telah berada di tangan PTSP, instansi teknis tetap dibutuhkan untuk memberikan rekomendasi sesuai hasil penilaian mereka.
Penyederhanaan jenis izin menentukan sejauh mana PTSP mampu memberikan pelayanan perizinan yang lebih mudah, cepat dan murah. Dengan penyederhanaan, tumpang tindih perizinan yang merugikan publik diharapkan
dapat teratasi. Hal-hal seperti itu juga disampaikan oleh PTSP kepada instansi teknis maupun kepala daerah saat mencoba meyakinkan tentang perlunya penyederhanaan. Namun, prosesnya tidak selalu berlangsung mulus. Ada
langkah-langkah komunikatif dan strategis yang dilakukan untuk memperoleh persetujuan maupun dukungan pihak terkait.
Praktik baik yang ada menunjukkan bahwa kemajuan dicapai secara bertahap. PTSP perlu
menjalankan dulu kewenangan yang diberikan, sekecil apapun, sambil memperlihatkan hasil
yang baik sebagai bahan tambahan untuk berargumentasi dengan pihak terkait. Upaya
meyakinkan tidak dilakukan dengan konfrontatif, tetapi mengakomodasi pendapat maupun
keberatan yang lain. Dalam sejumlah kasus, PTSP bahkan membiarkan instansi teknis memutuskan
solusi yang terbaik menurut mereka. Dalam memberikan kewenangan memutuskan tersebut,
PTSP mempertimbangkan segala kemungkinan dengan menyiapkan argumentasi terbaik yang
mungkin. Tetapi, dalam ranah pembuatan kebijakan publik, argumentasi yang sahih saja memang kerapkali tidak memadai.
Ini disadari oleh PTSP berdasarkan pengalaman berargumentasi dengan pihak terkait. Belajar dari kondisi itu, PTSP dengan praktik baik mengupayakan adanya keterlibatan pihak luar dalam proses perumusan kebijakan.
Pihak luar dimaksud meliputi kepala daerah dan atau sekda, serta pihak non pemerintah.
24
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
Sebelum disampaikan kepada pihak terkait, PTSP akan mengidentifikasi seluruh jenis izin yang ada di daerah bersangkutan. “Kami selama satu tahun bekerja untuk mengidentifikasi izin, termasuk bolak-balik berargumentasi
dengan instansi teknis,” demikian seorang pengelola menceritakan pengalaman PTSP di wilayahnya. Sebagian PTSP sejak awal hanya fokus pada jenis izin yang terkait dengan penanaman modal dan kegiatan usaha. Sebagian
lainnya sampai mencakup izin kependudukan dan catatan sipil. Dari hasil identifikasi, PTSP membuat analisis terhadap izin bersangkutan dengan mengacu antara lain kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
program kerja kepala daerah dan yang tidak kalah penting kebutuhan dan harapan pelaku usaha dan masyarakat. Setelah itu, dibuat skenario-skenario kemungkinan penyederhanaan dalam bentuk penyatuan atau penghapusan
izin. Di PTSP Kubu Raya, identifikasi dan pembuatan skenario penyederhanaan jenis izin pada tahap awal dilakukan
bersama unit terkait di lingkup pemerintah kabupaten, yakni inspektorat, bagian hukum, bagian ekonomi, Bappeda dan biro organisasi. Ada 215 jenis izin yang teridentifikasi, termasuk izin kependudukan, catatan sipil dan
izin non usaha lainnya. Hasil analisis kemudian dikomunikasikan kepada bupati dan pejabat instansi teknis dalam rapat muspika. PTSP juga menyampaikan perkembangan setiap saat melalui komunikasi informal dengan SKPD.
Sementara itu di Barru, izin disederhanakan terlebih dahulu baru dilimpahkan ke PTSP. Menurut pengelola PTSP, hal itu lebih efektif karena setelah berulang kali berkomunikasi dan telah menghasilkan penyederhanaan izin, SKPD
tampak merasa lebih gampang melimpahkan. Jumlah izin dan karena itu juga kewenangan yang menyertainya, yang tadinya terlihat banyak kini lebih sedikit. Ini dapat terlihat absurd sebab pada dasarnya instansi teknis tetap
melepaskan kewenangannya, tetapi itulah yang dirasakan terjadi di lapangan. Selain itu, intensitas pertemuan antara PTSP, instansi teknis dan pihak terkait lainnya juga berpengaruh terhadap kerelaan yang kelihatannya lebih
besar untuk melimpahkan kewenangan dan menyederhanakan jenis izin. Barru termasuk progresif dalam penyederhanaan izin
sebab mereka sampai menyiasati sejumlah nomenklatur peraturan perizinan atas nama otonomi daerah. Filosofi
dasar yang dipegang adalah bagaimana mempermudah pelayanan bagi pelaku usaha dan masyarakat pada
umumnya. Barru mengurangi jumlah izin dari semula 129 menjadi tinggal 22. Seluruh 22 izin tersebut telah
dilimpahkan kepada PTSP. Sebagian besar izin lama dihapus, selebihnya disatukan. PTSP bersama SKPD
melihat satu per satu izin, mana yang perlu mana yang tidak.
25
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
Salah satu kebijakan perizinan yang berbeda di Barru dibanding banyak daerah lain adalah bahwa tidak semua tempat usaha diwajibkan mempunyai Izin Gangguan HO, kendati tetap wajib memiliki Surat Izin Tempat Usaha
SITU. Kebijakan itu mengurangi pendapatan retribusi pemda dari Izin HO. Tetapi, PTSP berargumen bahwa pemerintah berpeluang memperoleh pendapatan dari sumber lain dengan bergeraknya roda ekonomi. Kebijakan
itu membantu usaha mikro yang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk Izin HO. Undang-undang otonomi daerah memberi kesempatan kepada daerah untuk membuat jenis izin sendiri. Dalam
praktiknya, tidak sedikit daerah yang dapat dikatakan kebablasan dengan membuat sangat banyak izin. Sebagian izin tersebut dibuat dengan alasan menaikkan pendapatan retribusi pemda. Pembuatan jenis izin daerah ini
merupakan kewenangan bupati, termasuk apakah dilimpahkan ke SKPD teknis atau lembaga instansi perizinan. Atas dasar itu, PTSP dengan praktik baik selalu berupaya memperoleh dukungan bupati. Langkah ini dilakukan
dengan cermat sebab memperoleh dukungan bupati juga dapat berarti dimusuhi oleh SKPD yang menganggap PTSP berlindung di balik otoritas bupati untuk menggerogoti kewenangan instansi teknis.
Dalam banyak hal, PTSP meyakinkan instansi teknis bahwa kendati jumlahnya dikurangi, substansi sebagian besar izin tak dihilangkan. Bentuk-bentuk komunikasi yang mengakomodasi kepentingan dan cara pikir instansi teknis
dan pihak terkait kerapkali diperlukan dalam rangka mengantongi persetujuan mereka. PTSP juga mengandalkan fakta adanya tuntutan pelaku usaha dan masyarakat untuk penyederhanaan izin dalam berkomunikasi dengan
instansi teknis dan pihak terkait. Seorang pelaku mengatakan demikian:
“Ada tuntutan pelaku usaha. Hasil seminar, workshop. Salah satu keluhan bahwa
pelaku usaha harus mendatangi banyak tempat dengan aneka ragam izin, tanpa SOP dan standar. Kami lalu berpikir, kalau bisa disederhanakan, mengapa tidak?
Kesimpulan
workshop dan diskusi, sangat layak dilakukan pengurangan.”
Instansi teknis dan pihak terkait diundang dalam pertemuan-pertemuan dengan pelaku usaha dan masyarakat. Guna menambah bobot pertemuan, PTSP juga mengundang akademisi dan media massa. Dalam kasus Barru,
bupati langsung menjadi ketua tim kelompok kerja perizinan pemda. Bupati tidak ikut dalam rapat teknis, tetapi hasilnya selalu dikomunikasikan.
26
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP
3.1.4. Izin sebagai Instrumen Pengendalian