Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum

c Sistem dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Untuk menjamin akses konsumen terhadap keadilan, UUPK menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan memperkenalkan 3 tiga instrumen, yaitu gugatan kelompok konsumen yang menjadi korban class action, gugatan oleh lembaga konsumen swadaya masyarakat legal standing, dan gugatan yang diajukan oleh Pemerintah. Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan melalui jalan damai atau menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa konsumen yang didirikan di setiap kabupaten dan kota. Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen menyelasaikan Konsumen menggunakan mekanisme Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.

B. Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum

Para pihak yang berperkara bebas menentukan pilihannya secara sukarela untuk berperkara di pengadilan maupun di luar pengadilan. Penjelasan ayat kedua UUPK menyebutkan adanya kemungkinan perdamaian diantara para pihak sebelum mereka berperkara di pengadilan ataupun di luar pengadilan. Dengan demikian, kata “sukarela” harus diartikan sebagai pilihan para pihak, baik sendiri sendiri maupun secara bersama sama untuk menempuh jalan penyelesaian sengketa di pengadilan ataupun di luar pengadilan, oleh karena upaya perdamaian mereka gagal ataupun sejak semula mereka memang tidak mau untuk menempuh alternatif perdamaian. Universitas Sumatera Utara Kemudian pasal 45 ayat 3 UUPK menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana yang dimaksud dengan ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang- undang. Konsumen yang dirugikan haknya dapat diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan di peradilan umum untuk kasus pidana. Dalam kasus perdata di pengadilan negeri , pihak konsumen yang diberikan hak untuk mengajukan gugatan menurut pasal 46 UUPK adalah: 1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan. 2. Sekelompok konsumen yang punya kepentingan bersama. 3. Lembaga perlindungan swadaya masyarakat yang memenuhi syarat , yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan , yang di dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. 4. Pemerintah dan atau instansi terkait jika barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Pada klasifikasi yang pertama, yaitu seorang konsumen atau ahli warisnya tentu saja tidak ada yang istimewa dilihat dari ketentuan proses beracara. Hal yang menarik adalah pada klasifikasi kedua dan seterusnya. Pada klasifikasi kedua, gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama. Ketentuan ini harus dibedakan dengan gugatan dengan mewakilkan orang lain seperti yang diatur dalam pasal Universitas Sumatera Utara 123 ayat 1 HIR. Penjelasan pasal 46 UUPK menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action . Kemudian pada klasifikasi ketiga adalah lembaga swadaya masyarakat. Disini dipakai istilah “ lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”. Klasifikasi ketiga ini berkaitan dengan legal standing. Klasifikasi penggugat dalam sengketa konsumen yang keempat adalah pemerintah danatau instansi terkait. Mereka baru akan menggugat pelaku usaha jika ada kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Namun tidak disebutkan apakah gugatan demikian diperlukan jika ada gugatan dari para konsumen, atau dapat dilakukan bersamaan waktunya dengan gugatan dari pihak konsumen yang termasuk klasifikasi satu sampai tiga diatas. 11 Sebaliknya , pelaku usaha tidak diperkenankan menggugat konsumen atau mengajukan gugatan balik rekonvensi dengan merujuk pada pelanggaran konsumen atas norma-norma Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK, kecuali menyangkut pelanggaran hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud Masuknya sengketa konsumen ke pengadilan negeri bukanlah karena kegiatan hakim, melainkan keaktifan salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa, dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen. Konsumen dapat berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum terhadap pelaku usaha atas pelanggaran norma-norma Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK. 11 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen , Grasindo, PT Raja Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, hal 137-139 Universitas Sumatera Utara pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK, misal : hak untuk menerima pembayaran payment dari konsumen. 12 Penggunaan instrumen hukum acara perdata setelah berlakunya UUPK mengetengahkan sistem beban pembuktian terbalik. Pasal 28 UUPK menyatakan Dikedepankannya isu perlindungan konsumen pasca reformasi membawa perbaikan berupa reformasi penyelesaian sengketa yang selama ini menhambat akses konsumen dalam penyelesaian sengketa konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK mengedepankan alternatif penyelesaian sengketa yang sama sekali baru bagi penegakan hukum di Indonesia, yaitu gugatan perwakilan kelompok class action dan gugatan Lembaga swadaya Masyarakat legal standing yang dapat dilihat dalam pasl 46 ayat 1 butir b dan butir c UUPK. Kedua jenis gugatan ini kadang-kadang masih dirancukan pemahamannya. Kedua jenis gugatan ini tidak sama dan secara prinsipil berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada kesan bahwa pembentuk undang-undang menyerahkan pemahaman perbedaan prinsipil itu pada dinamika hukum. Untuk melaksanakan kedua jenis gugatan ini tidak harus menunggu keluarnya Peraturan Pemerintah PP. Apalagi Peraturan Pemerintah PP yang dimaksud adalah PP yang materinya memuat tentang ketentuan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit menyangkut gugatan yang diajukan pemerintah terhadap pelaku usaha pasal 46 ayat 1 huruf d dan ayat 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen UUPK. 12 Yusuf Shofie, 2002, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK, Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 71 Universitas Sumatera Utara bahwa “pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha” dengan pendekatan sistematik, beban pembuktian unsur kesalahan, dengan menggunakan prosedur : 1. Gugatan perdata; 2. Gugatan perwakilangugatan perwakilan kelompok class action; 3. Gugatan lembaga swadaya masyarakat legal standing; 4. Gugatan oleh pemerintahdanatau instansi terkait. Sebagaimana dimaksud pasal 46 UUPK menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Konsekuensinya,jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak adanya unsur kesalahan , maka gugatan ganti rugi penggugat akan dikabulkan dalam hal memiliki alasan yang sah menurut hukum. Dari sudut praktek , pada akhirnya penggugat tetap harus membuktikan unsur kerugian. Pasal 19 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa “ pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Bentuk ganti rugi tersebut dapat berupa : 1. Pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan ; danatau 2. Pemberian santunan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku pasal 19 ayat 2 UUPK. Pada bagian lain UUPK disebutkan bahwa konsumen berhak mendapatkan ganti rugi maksimal Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah melalui Universitas Sumatera Utara penjatuhan sanksi administratif yang dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian sengketa Konsumen BPSK pasal 52 butir m jo pasal 60 ayat 2 UUPK.

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar pengadilan