Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sebagai “Umbrella Act”

3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sebagai “Umbrella Act”

Undang-undang Payung. Pada saat Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disahkan pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku secara efektif tanggal 20 April Tahun 2000, sesungguhnya sudah ada beberapa undang- undang yang substansinya memuat norma-norma di bidang perlindungan konsumen. Dalam penjelasan umum UUPK disebutkan ada 23 dua puluh tiga undang-undang. Oleh karena itu, UUPK berfungsi sebagai perekat dan pengatur lalu lintas undang-undang terkait untuk menciptakan satu kesatuan sisterm hukum perlindungan konsumen. Sebagai undang-undang payung, maka prinsip-prinsip yang ada dalam UUPK menjiwai beberapa undang-undang sektoral lain. Kesatuan sistem hukum perlindungan konsumen, sehingga terjadi sinkroniasi antara Undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lainnya. Sistem hukum perlindungan konsumen yang menempatkan UUPK sebagai payung dan norma-norma lainnya diatur dalam berbagai Undang-undang sektoral, berimplikasi pada luasnya kebiasaan yang menjadi praktek dan sumber pembentukan hukum perlindungan konsumen. Kebiasaan dan praktek perlindungan konsumen terdapat dalam bidang barang dan jasa, seperti jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi, kelistrikan, dll. Dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen, UUPK yang merupakan usul Inisiatif Dewan Universitas Sumatera Utara Perwakilan Rakyat ini memuat terobosan-terobosan hukum baru ini pada dasarnya bersumber pada kebiasaan dan praktek yang dirasakan lebih adil bagi konsumen, yaitu: a Klausula Baku. Pengaturan tentang klausula baku dalam Pasal 18 UUPK dimaksudkan untuk membatasi asas kebebasan kontrak yang dimaksudkan untuk membatasi asas kebebasan kontrak yang selama ini dijadikan acuan bagi pelaku usaha dalam membuat perjanjian standar. Perjanjian standar ini biasanya menjadi beban bagi konsumen, karena isi perjanjian tersebut sudah dirumuskan oleh produsen, dan konsumen hanya dihadapkan dengan pilihan mengikuti atau tidak mengikuti sama sekali. Tidak ada negosiasi isi kontrak. Untuk mengantisipasi praktek yang demikian, UUPK tetap membolehkan adanya perjanjian standar, namun pelaku usaha dilarang untuk mencantukan beberapa klausul yang dinilai merugikan konsumen. b Sistem Pembuktian Terbalik. Salah satu kesulitan bagi konsumen dalam memperjuangkan dan memperoleh ganti kerugian akibat mengkonsumsi produk adalah membuktikan kesalah produsen. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, UUPK menetapkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban tanggungjawab pelaku usaha Pasal 22 dan 28 UUPK. Universitas Sumatera Utara c Sistem dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Untuk menjamin akses konsumen terhadap keadilan, UUPK menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan memperkenalkan 3 tiga instrumen, yaitu gugatan kelompok konsumen yang menjadi korban class action, gugatan oleh lembaga konsumen swadaya masyarakat legal standing, dan gugatan yang diajukan oleh Pemerintah. Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan melalui jalan damai atau menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa konsumen yang didirikan di setiap kabupaten dan kota. Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen menyelasaikan Konsumen menggunakan mekanisme Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.

B. Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum