BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan perkembangan hidup manusia, setiap manusia mengalami perkembangan ke arah yang lebih sempurna. Salah satu tahap perkembangan
dalam kehidupan manusia adalah menikah. Ada satu tahapan perkembangan dimana tujuan besar seorang perempuan yang belum menikah adalah tahapan
untuk menjalani suatu perkawinan Hurlock, 1991. Menikah merupakan tahapan dari kehidupan, yang merupakan suatu usaha untuk membina hubungan dengan
orang lain dalam diri masing- masing untuk membentuk kehidupan rumah tangga. Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah suci, sunnah Rasul, dan Ibadah. Oleh
karena itu setiap muslim seyogyanya menikah secara Islam, berumah tangga secara Islam dan hidup secara Islami. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh
Rasulullah SAW lewat sabdanya : “Hai para remaja, barangsiapa di antara kalian telah mampu menjalankan sebuah pernikahan maka menikahlah dan
barang siapa yang belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa akan menghindari perbuatan dosa” H.R. Muslim.
Pada prinsipnya, pernikahan diawali dengan niat atau nawaitu selain itu pernikahan perlu didasari sikap saling asih-asah-asuh antara pasangan suami-istri.
Semua itu tidak lepas dari peran serta agama, karena agama sangatlah berperan dalam mempererat hubungan suami-istri di dalam sebuah pernikahan.
Di dalam pernikahan sudah pasti setiap pasangan memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar dapat terpenuhinya sebagian besar kebutuhan pribadi, karna
setiap orang yang memasuki kehidupan pernikahan pastilah berdasarkan kebutuhan, harapan dan keinginannya sendiri-sendiri. Pemenuhan kebutuhan
psikologis adalah alasan terpenting untuk memasuki pernikahan. Tujuan yang jelas akan membimbing pasangan suami- istri untuk mewujudkan keluarga yang
harmonis, karna keharmonisan dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari tujuan awal dalam membangun rumah tangga.
Semua pasangan suami istri, menginginkan memperoleh kepuasaan di dalam pernikahannya. Karena pernikahan yang memuaskan merupakan dambaan setiap
pasangan suami istri, kepuasan pernikahan antara suami dan istri akan tercapai jika kebutuhan- kebutuhan individu dapat terpenuhi antara lain kebutuhan sosial,
psikologis, dan biologis. Kepuasan pernikahan seseorang merupakan penilaiannya sendiri terhadap situasi
perkawinan yang dipersepsikan menurut tolak ukur masing- masing pasangan. Oleh sebab itu, diduga bahwa keberhasilan dalam pernikahan tergantung pada
kebahagiaan dari pribadi individu. Tidak sedikit dijumpai adanya ketidak harmonisan di dalam hubungan pernikahan, baik yang baru menikah bahkan yang
sudah bertahun- tahun menikah Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005. Menurut pandangan Islam di dalam surat Ar-Rum ayat 21, bahwa pernikahan
dapat menciptakan ketentraman lahir dan batin antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga yang tentram, nyaman, damai dan sejahtera, ketika
terpenuhi hak dan kewajiban suami istri dengan baik. Karena kepuasan
pernikahan yang ingin dicapai oleh setiap orang tidak muncul dengan sendirinya, tetapi hal tersebut harus diusahakan dan diciptakan oleh kedua belah pihak yaitu
suami dan istri. Adapun pengertian dari Kepuasaan Pernikahan adalah suatu pengalaman
subjektif, perasaan yang kuat, dan yang didasarkan pada faktor dalam individu yang mempengaruhi kualitas interaksi dalam pernikahan Weiss, 2005.
Seiring dengan berjalannya waktu, dalam kehidupan pernikahan kemungkinan akan muncul berbagai permasalahan, yang sedikit banyak mempengaruhi
keharmonisan rumah tangga. Singkatnya, setiap perkawinan tidak akan terhindar dari konflik, kecuali bila salah satu pasangan atau bahkan kedua pasangan
memutuskan untuk mengalah Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005. Serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gurin, Geroff, Feld dalam Michael dan
Savitri, 1994 bahwa sebesar 45 orang yang sudah menikah mengatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan muncul berbagai masalah. Karena di dalam semua
perkawinan terdiri dari individu yang unik, maka keunikan inilah yang sering menyulitkan suami- istri untuk saling mengerti, memahami dan mengakomodasi
Izzatul Jannah, 2008 . Dari keunikan itulah, terkadang menimbulkan masalah jika keduanya tidak saling
berusaha memahami, beradaptasi dan menerima perbedaan yang ada. Walaupun sudah secara matang dipersiapkan dan cukup mendalam perkenalan pribadi antara
pasangan, juga tidak luput dari perselisihan- perselisihan faham atau pertengkaran- pertengkaran, baik itu yang berasal dari pasangan, lingkungan luar,
atau bahkan berasal dari dalam diri sendiri.
Tetapi perbedaan- perbedaan tersebut bukanlah penghalang bagi pasangan untuk mendapatkan kebahagiaan. Diduga, banyak pula pasangan yang melakukan
pernikahan dini yang sebenarnya tumbuh dari perbedaan- perbedaan yang ada diantara kedua pasangan, tetapi menjadi cocok setelah beberapa saat hidup
bersama dan tidak berarti bahwa kalau seseorang cukup mengenal calon pasangannya akan menjamin terjalinnya kehidupan perkawinan yang memuaskan
kedua belah pihak. Maka pemilihan pasangan hidup dalam pernikahan dini dibutuhkan penyesuaian dengan pasangannya, seperti : penyesuaian minat,
temperamen, dan cara- cara mengungkapkan kasih sayang Hurlock, 1994.
Tetapi, seringkali ditemui kenyataan bahwa pasangan suami- istri yang menikah di usia dini memiliki perbedaan persepsi terhadap pemenuhan kebutuhan
pasangannya. Hal tersebut dapat mengakibatkan permasalahan rumah tangga antara suami- istri. Akan tetapi pada pasangan yang menikah muda,
kecenderungan untuk berdamai kembali setelah mengalami konflik lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan yang berusia 40- an. Hal ini serupa dengan
Papalia Olds dalam M. Fauzil Adhim, 2002 mengemukakan bahwa kecenderungan untuk rujuk atau berdamai kembali stelah mengalami konflik pada
pasangan muda sebesar 89, sedangkan pada mereka yang berusia 40- an hanya sebesar 31.
Karena itu, para pasangan suami- istri yang menikah pada usia dini dalam mengatasi permasalahan dalam pernikahan mereka membutuhkan kedewasaan,
dalam arti dewasa secara mental bukan hanya usia. Bisa saja seseorang yang sudah dewasa usia tetapi belum memiliki kedewasaan secara mental, sebaliknya
seseorang atau pasangan suami- istri yang menikah pada usia ≤18 tahun
kedewasaan secara mental sudah ada dalam diri mereka masing- masing, karena yang menyebabkan pernikahan usia muda rentan konflik bukan terletak pada usia,
melainkan pada aspek- aspek mental yang bersangkut paut dengan proses pembentukkan rumah tangga dalam M. Fauzil Adhim, 2002.
Dalam hal ini, sekecil apa pun masalah yang sedang dihadapi tidak akan bisa selesai jika hanya dibiarkan tanpa pemecahan masalah. Pemecahan masalah
tersebut harus melibatkan usaha bersama suami dan istri, agar dapat memperoleh solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Salah satu solusi dalam pemecahan masalah yang terjadi di dalam rumah tangga adalah melakukan komunikasi yang efektif. Hendaknya suami dan istri yang
masuk di dalam pernikahan usia muda dapat saling memahami satu sama lain. Walau memiliki latar belakang yang berbeda, sebagai suami istri harus bisa saling
memahami satu sama lain. Setiap masalah yang terjadi harus diselesaikan dengan kepala dingin.
Karena konflik sering muncul disebabkan oleh komunikasi yang buruk antara suami dan istri, tetapi komunikasi juga dapat menyelesaikan masalah
jika komunikasi berjalan dengan lancar. Davis, 2004 dalam Rita Eka Chandrasari, 2009 menyatakan, bahwa para pasangan yang mengalami masalah
pernikahan seringkali menyebutkan kurangnya komunikasi sebagai penyebab utama munculnya masalah antara mereka.
Dalam hal ini, pasangan suami- istri seharusnya memiliki ketrampilan komunikasi yang lebih baik. Agar mereka dapat belajar bagaimana cara menghadapi
perbedaan-perbedaan diantara mereka. Karena, komunikasi yang baik terjadi
ketika masing- masing pasangan mampu mengungkapkan isi hatinya secara terbuka dengan kontrol emosi yang baik. Olson dalam Olson, 2002 menemukan
79 pasangan merasa senang apabila pasangannya mampu memahami dirinya, 96 pasangan merasa senang apabila dapat mengekspresikan perasaannya, 83
pasangan merasa senang apabila mereka menjadi pendengar yang baik, dan 79 pasangan merasa senang apabila pasangannya menghargai setiap pendapat yang
diberikan pasangannya. Begitupun Navron Orthner, 1976 dalam Izzatul Jannah, 2008 menyampaikan pendapat yang serupa, bahwa pasangan yang telah
menikah akan merasa dimengerti oleh pasangannya apabila mereka tahu bagaimana cara menyampaikan pesan mereka.
Oleh sebab itu, betapa pentingnya pasangan suami- istri memiliki kemampuan
dalam berkomunikasi, karena kemampuan berkomunikasi yang dimiliki pasangan suami- istri dapat mengatasi kebingungan, kesalahpahaman dan perbedaan
pendapat antara suami- istri yang dapat berujung pada permasalahan di dalam rumah tangga. Sebagaimana hasil penelitian Namun- Mee Lim Universitas
Tunku Abdul Rahman- Malaysia, 2011, menyatakan bahwa pada pasangan yang menikah di usia 18 tahun semakin memiliki kemampuan komunikasi yang baik,
semakin baik pula dalam menangani konflik yang terjadi.
Jadi, dua orang yang menjalani sebuah pernikahan dan tinggal di dalam satu atap, besar kemungkinan untuk hidup dengan suatu permasalahan, yang dapat
mempengaruhi kepuasan pernikahan. Meskipun di dalamnya terdapat komunikasi yang intens antara suami- istri yang cukup lama akan dapat membantu
menyelesaikan masalah, tetapi dapat diduga bahwa mereka suami- istri tidak
dapat saling mengerti dan memahami pesan yang disampaikan dalam pemenuhan kebutuhan pasangannya. Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian
mengenai “Pengaruh Kemampuan Berkomunikasi dan Kemampuan Memecahkan Masalah Terhadap Kepuasan Pernikahan Wanita yang Melakukan Perniakahan
Dini”.
1.2. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah