2.7.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder
adalah upaya-upaya
yang dilakukan
untuk mendeteksi secara dini suatu penyakit yang dilakukan pada masa sakit yang
berupa screening, pemberian terapi bukan obat dan terapi obat. Terapi bukan obat dilakukan dengan mengurangi faktor penyebab terjadinya Sirosis hati. Contohnya
apabila penyebab Sirosis hati adalah alkohol maka pasien harus berhenti minum alkohol. Penderita Sirosis hati harus mengkonsumsi makanan yang bergizi,
istirahat yang cukup dan minum vitamin Oswari, 2009.
2.7.3 Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian pada penderita
Sirosis hati. Pencegahan yang dapat dilakukan biasanya dapat berupa rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Jika kerusakan hati sangat parah dan mengancam nyawa
maka satu-satunya cara adalah dengan transplantasi hati. Untuk itu perlu seorang donor yang sesuai. Lalu agar tubuh tidak menolak jaringan hati yang baru, juga
harus diberikan obat yang menekan sistem kekebalan tubuh dan harus diminum seumur hidup. Hasil dari tindakan transplatasi cukup baik. Walaupun 20-30 dari
penderita yang melakukan transplantasi hati meninggal dalam kurun waktu 1 tahun setelah operasi karena keadaanya memang sangat parah sebelum dioperasi
dan sisanya dapat tetap hidup seperti orang normal Bateson, 1996.
2.8 Pengobatan Sirosis hati
Menurut Nurdjanah
2009, etiologi
Sirosis hati
mempengaruhi penanganannya. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan
zat-zat yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan
komplikasi. Jika tidak terjadi koma hepatik, pasien diberikan diet yang mengandung protein 1 gKg BB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkalhari.
Pada pasien Sirosis hati yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Pasien kompensata segera menghentikan
konsumsi alkohol dan penggunaan bahan-bahan lain yang bersifat toksik serta pasien diberikan asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang akan menghambat
kolagenik. Pada Hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Pada
Hepatitis B, dapat diberikan terapi interferonalfa dan lamivudin analog nukleosida
. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan
menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi
standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi dengan ribavirin 800-1000 mghari selama 6
bulan. Pengobatan Sirosis hati dekompensata, pasien dengan komplikasi Asites
diberikan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmolhari. Diet rendah garam dikombinasikan dengan obat-obatan diuretik.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kghari
tanpa adanya edema kaki atau 1 kghari dengan adanya edema kaki. Pada pasien dengan komplikasi Ensefalopati hepatik, laktulosa membantu
pasien untuk mengeluarkan amonia. Pasien diberikan Neomisin untuk mengurangi
bakteri usus penghasil amonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 grkg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang
Pada pasien dengan Varises esofagus, sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta propranolol. Waktu perdarahan akut,
bisa diberikan preparat somastostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Pada pasien dengan Peritonitis bakterial spontan diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida. Pada pasien dengan
Sindrom hepatorenal ; untuk mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air.
2.9 Kerangka Konsep