Masa Kecil sampai Remaja di Tebing Tinggi dan Medan (1957-1974)
4.2.1 Masa Kecil sampai Remaja di Tebing Tinggi dan Medan (1957-1974)
Lebih jauh lagi, Anton Medan adalah mantan perampok dan bandar judi yang kini telah insyaf. Ia memeluk agama Islam sejak tahun 1992. Beliau mendirikan rumah ibadah untuk umat Islam yang diberi nama Masjid Jami' Tan Kok Liong (Tan Hok Liang). Ia dilahirkan ibundanya pada tanggal 1 Oktober 1957 (kini di 2016, 59 tahun), di Kota Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara.
Ibu kandungnya bernama Teti, dan ayah kandungnya bernama Usman Effendi. Ibu dan ayahanda beliau ini secara etnisitas adalah etnik Hokkian, salah satu etnik pendatang dari Negeri Cina. Etnik ini adalah etnik dari daratan Cina yang jumlahnya paling besar di wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya. Sumatera Utara sendiri seperti diketahui adalah tempat yang dihuni oleh berbagai etnik, baik itu etnik setempat seperti: Karo, Simalungun, Pakpak, Batak Toba, mandailing- Angkola, Pesisir, Nias dan Melayu; etnik-etnik Nusantara seperti: Aceh, Minangkabau, Sunda, Jawa, Banjar, Bugis, makasar, dan lainnya; juga etnik-etnik dunia seperti: Tamil, Benggali, Hindustan, Pashtun, Arab, Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, dan lainnya.
Kini kedua orang tuanya ini juga menganut agama Islam. Dalam keluarga intinya, Anton Medan memiliki tiga saudara kandung, yaitu: Herly Sopiah Susanti, Wijanto, Wijaya. Ia dan keluarga intinya ini hidup dan besar di kampung Kini kedua orang tuanya ini juga menganut agama Islam. Dalam keluarga intinya, Anton Medan memiliki tiga saudara kandung, yaitu: Herly Sopiah Susanti, Wijanto, Wijaya. Ia dan keluarga intinya ini hidup dan besar di kampung
“Kota Lemang,” karena menjadi pusat industri lemang di Sumatera Utara. 2 Di Tebing Tinggi ini pada usia 8 tahun, ia harus berhenti sekolah karena
permintaan ibunya untuk membantu berjualan kue. Ia hanya mengenyam bangku Sekolah Rakyat (SR, sekarang Sekolah Dasar) selama 7 bulan saja. Saat itu ia belum bisa membaca dan menulis. Dalam keadaan sedemikian rupa, ia ditantang untuk mengisi kehidupannya dengan kultur anak jalanan Tebing Tinggi yang penuh dengan kekerasan.
Pada saat Tan Kok Liong (Kok Lien nama akrabnya semasa kecil ini) menginjak usia 12 tahun (tepatnya tahun 1969), ia memutuskan untuk menjadi anak terminal Tebing Tinggi. Ia menjual jasanya untuk mencarikan penumpang bagi sopir-sopir angkutan umum ke berbagai jurusa kota dan desa di wilayah Tebing Tinggi dan sekitarnya. Kok Lien dikenal rajin, baik oleh para supir bus sewa atau masyarakat umum yang kenal dengan beliau. Banyak sopir di terminal Kota Tebing Tinggi ini senang dan memanggilnya Cina Tongkol (diakronimkan Cintong). Namun demikian, menurut Anton Medan tidak semua sopir menghargai kerja kerasnya. Suatu ketika ada seorang sopir tidak memberinya upah. Kok Lien protes, tetapi apa yang terjadi sopir itu malah marah. Terjadilah perang mulut. Tak sabar, Kok Lien mengambil sebuah balok kayu dan menghantam sekuat tenaga. Sopir itu pun tersungkur, kemudian Kok Lien lari. Namun apa daya polisi Kota Tebing
2 Berbagai kota di wilayah Sumatera Utara memiliki julukan-julukan tersendiri secara budaya. Biasanya julukan tersebut berkaitan dengan industri yang dihasilkan. Misalnya Kota Binjai
disebut juga dengan “Kota Rambutan,” karena menghasilkan banyak rambutan. Selanjutnya adapula Kota Tanjungbalai yang dikenal juga sebagai “Kota Kerang,” terkenal karena hasilnya kerang. Demikian pula Pasar Bengkel Perbaungan, dikenal dengan “Pasar Dodol,” karena industri dodolnya.
Tinggi menangkapnya, dan memasukkannya ke bui, namun setelah itu ia dilepas kembali.
Kemudian dalam rangka mengisi kehidupan yang ditakdirkan Tuhan untuknya, maka tahun 1970 Kok Lien merantau ke Terminal Medan, saat itu tempatnya adalah di daerah Teladan. Kini telah dipindahkan ke terminal Amplas untuk bus ke arah selatan, dan yang ke arah utara, dipusatkan di Terminal Pinang Baris.
Usia beliau pada saat itu baru 13 tahun. Di Medan ini ia bekerja sebagai pencuci bus. Seperti di terminal Tebing Tinggi, ia dikenal rajin. Dalam satu hari ia bisa membersihkan 3 sampai 5 badan bus yang berdebu. Seolah tak putus dirundung masalah, di Terminal Teladan Medan ini uangnya dicuri orang. Menyadari akan hilangnya uang ini, Kok Lien pun tidak putus asa. Setelah diselidikinya, ia menemukan pencurinya dan menegurnya. Tidak terima dengan teguran Kok Lien itu, si pencuri malah marah dan memukulnya. Orang-orang di terminal tersebut berdatangan, tetapi tak ada yang melerai. Di saat tersudut, Kok Lien melihat sebilah kapak bergerigi yang biasa digunakan membilah es, tergeletak tidak jauh darinya. Secepatnya ia ambil dan menghunjamkannya ke wajah lawannya. Seketika lawannya roboh, dan kemudian meninggal dunia. Kok Lien lalu ditangkap polisi, disidangkan, dijatuhi hukuman dan dipenjara selama 4 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Jalan Listrik, Medan. Ia menerangkan pengalaman hidupnya ketika menjadi pencuci bus di Terminal Teladan Medan ini, kepada penulis sebagai berikut.
Di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus. Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat Di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus. Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat
Akhirnya menginjak usia 17 tahun Kok Lien bebas. Ia gembira dan segera pulang, melepas rindu kepada keluarganya. Namun sayang, sesampainya di rumah keluarganya di Tebing Tinggi, ibunya hanya memberi waktu 2 jam untuk melepas rindu. Ibunya malu kepada tetangga. Dengan berat hati, Kok Lien melangkah pergi, tidak tahu harus pergi ke mana, dan bagaimana Tuhan membimbing hidupnya kelak.
Di tengah kegalauan, ia ingat pamannya yang ada di Jakarta. Ia ingin menjumpainya dan meminta bantuan mencari pekerjaan. Namun sayang, ia tidak tahu alamat persisnya. “Saya tak tau alamat pama saya itu, tetapi saya nekad saja pergi ke Jakarta, karena di Medan dan Tebing Tinggi tidak ada lagi yang mau menerima saya, yang dianggap sebagai penjahat” katanya.