Makna-makna Budaya

5.1 Makna-makna Budaya

5.1.1 Bangunan Masjid yang Mengacu kepada Bentuk dan Makna Klenteng Bangunan ini, berdasarkan susunan permaknaan yang ditawarkan Pierce jenis tandanya adalah indeks dari kebudayaan Tionghoa. Kemudian jenis sistem tandanya adalah artefak (seni bangunan atau arsitektur) tradisional Tiongkok. Jenis teks yang disajikan adalah artefak seni bangunan.

Bangunan ini secara umum mengekspresikan tempat ibadah umat Islam, yang memiliki kultur Tiongkok. Dalam budaya Indonesia, bangunan dengan bentuk seperti ini biasanya dimaknai sebagai sebuah klenteng. Klenteng atau kelenteng (bahasa Hokkian: 廟 , miao) adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut

kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Karenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai

penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya sering dainggap sama dengan tempat ibadah agama Konghucu. Di beberapa daerah, terutama di Asia Tenggara, klenteng juga disebut dengan istilah tokong. Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat menyelenggarakan upacara.

Klenteng adalah istilah “generik” untuk tempat ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa, yang awalnya hanya dikenal di pulau Jawa, tidak dikenal di wilayah lain di Indonesia. Sebagai contoh di Sumatera mereka menyebutnya bio; di Sumatera Timur mereka menyebutnya am, dan penduduk setempat kadangkala menyebut pekong atau bio. Selain itu, di Kalimantan di etnik Hakka sering menyebutnya dengan thai pakkung, pakkung miau, dan shinmiau. Seiring dengan berjalannya waktu, istilah klenteng menjadi umum dan mulai meluas penggunaannya.

Klenteng bagi masyarakat Tionghoa pada umumnya, tidak hanya berarti sebagai tempat ibadah saja. Selain Gong-guan (Kongkuan), Klenteng mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan komunitas Tionghoa masa lampau (sumber: http://www.wikipedia.org/wiki/Klenteng).

Dalam konteks sejarah Tiongkok, klenteng dibangun pertama kali pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen, dan dinamakan Kwan Im Teng 觀 音亭.

Klenteng ini dipersembahkan kepada Kwan Im (觀音) dewi pewelas asih atau Avalokitesvara Bodhisatva Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia

akhirnya lebih mengenal kata klenteng dibandingkan vihara. Klenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter 廟 (miao). Ini adalah

sebutan umum bagi klenteng di Republik Rakyat Tiongkok. Pada mulanya, klenteng adalah tempat penghormatan pada leluhur 祠 (ci) (rumah abu) atau dewa, masing-masing marga membuat ci untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abuh. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga mereka.

Seiring perkembangan zaman, penghormatan kepada dewa-dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus yang dikenal sebagai klenteng yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga dan suku. Di dalam klenteng bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) dikhususkan untuk abu para leluhur yang dihormati oleh para sanak keluarga masing-masing. Di dalam klenteng disediakan pula tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran atau agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Taoisme, dan Buddha. Klenteng selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para dewa-dewi, dan tempat mempelajari berbagai ajaran, juga digunakan sebagai tempat yang damai untuk semua golongan, tidak memandang dari suku dan agama apapun.

Makna klenteng menurut Anton Medan adalah sebagai lambang pernyataan kepatuhan manusia kepada Tuhan sebagai pencipta dirinya. Makna lainnya adalah sebagai perwujudan penerapan jalan suci Tuhan. Selain itu maknanya adalah penyerahan diri manusia kepada Tuhan dengan cara memelihara hubungan dengan makhluk lainnya, baik di langit, bumi, dan alam lainnya, yang dingkapkan dalam bentuk persembahyangan atau ibadah.

Berdasarkan sejarah, bentuk, dan fungsi klenteng seperti terurai di atas, maka Anton Medan yang juga sebagai seorang Hokkian dari Tebing Tinggi, yang kemudian mendapat “pencerahan” dari Tuhan masuk agama Islam, membangun mesjid yang bertipe arsitektur klenteng, dengan bentuk dan fungsi yang “hampir sama” dengan klenteng di manapun di dunia ini. Namun fungsinya di sini adalah fungsi untuk kegaitan ibadah agama Islam, yang juga berakar dari ajaran-ajaran humaniora universal, yaitu rahmat untuk seluruh alam.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, bentuk Mesjid Jami’ Tan Kok Liong di Kota Bogor ini, memiliki kesamaan yang sangat dekat dengan Klenteng Sam Poo Kong yang ada di Kota Semarang. Persamaan itu di ataranya adalah: bangunan memiliki tiga atap kekaisaran, namun atap klenteng Sam Poo Kong sedikit lebih melengkung ke atas dibandingkan Masjid Jami’ Tan Kok Liong. Persamaan lainnya adalah terdiri dari beberapa lantai, yang berfungsi sebagai tempat ibadah, pendidikan, dan musyawarah. Dalam hal ini Anton Medan mengadopsi dan memngusikan klenteng tersebut dalam konteks menjadi mesjid, yang tentu saja berciri khas Tiongkok. Selengkapnya perbandingan bentuk arsitektural antara Masjid Jami’ Tan Kok Liong dengan Klenteng Sam Poo Kong itu adalah seperti berikut ini.

Gambar 5.2: Bentuk Secara Umum Masjid Tan Kok Liong (Bogor) yang Memiliki Persamaan dengan Klenteng Sam Poo Kong (Semarang) (Dokumentasi Elysa Afrilliani 2015)

5.1.2 Fungsi dan Makna Masjid

Berdasarkan teori semiotik Pierce, jenis tanda Masjid jami’ Tan Kok Liong ini adalah indeks dari kebudayaan Tiongkok. Seterusnya jenis sistem tandanya adalah artefak bangunan tradisi Tiongkok. Kemudian jenis teks yang ditampilkan adalah berupa artefak bangunan tradisional Tiongkok. Jenis konteks situasi dapat dijabarkan sebagai berikut.

Menurut penjelasan Anton Medan, fungsi dan makna mesjid adalah bukan hanya sekedar tempat ibadah, yaitu tempat untuk hubungan spiritual manusia dengan Allah saja, yang dalam konsep Islam disebut dengan hablumminallah, namun fungsi mesjid juga adalah untuk hubungan dengan sesama manusia (hablumminannas). Kata masjid dalam berbagai bentuknya berulang sebanyak 28 kali dalam Al-Quranul Karim. Berasal dari akar kata: sajada, yasjudu, sujudan, yang secara etimologis berarti tunduk, patuh dengan mengakui segala kekurangan, kelemahan dihadapan Yang Maha Kuasa.

Rasulullah SAW berkata dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim: “Yang paling dekat keadaan salah seorang di antara kamu dari Tuhannya adalah ketika ia sujud.” Jika sujud adalah situasi dan posisi seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya, maka masjid (nama tempat) secara bahasa berarti tempat atau wahana seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang diistilahkan dengan taqarrub.

Taqarrub adalah merupakan misi dan sasaran inti dari ibadah. Maka, masjid secara etimologis adalah tempat untuk mendekatkan diri pada Allah, disamping ia juga adalah sebagai pusat ibadah. Kegiatan umat Islam berpusat di sana, mulai dari Taqarrub adalah merupakan misi dan sasaran inti dari ibadah. Maka, masjid secara etimologis adalah tempat untuk mendekatkan diri pada Allah, disamping ia juga adalah sebagai pusat ibadah. Kegiatan umat Islam berpusat di sana, mulai dari

Salah satu keistimewaan dari syariat Muhammad dibanding nabi lainnya, adalah "seluruh bumi dapat dijadikan masjid." Berangkat dari pengertian- pengertian tadi, kita dapat memahami betapa sentralnya peran masjid di tengah- tengah umat Islam, dia menjadi pusat aktivitas dan kegiatan mereka, baik dalam bentuk ibadah khusus (ritual) maupun ibadah umum (sosial) dan hal-hal ini telah dicontohkan sendiri oleh Rasulullah SAW sejak di Masjid Quba sampai di masjid Nabawi di Madinah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, Surah Al-Jin, ayat 18, sebagai berikut.

[Wannal masjidal lillahi falaa tad’uuma’allahil ahadan]

Artinya: Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah.

Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.

Dari ayat inilah muncul sebutan Baitullah (rumah Allah) untuk menyebut masjid. Tentu saja dalam arti kiasan (majazi) bukan berarti secara fisik Allah bertempat tinggal di masjid, karena Dia tidak terikat ruang dan waktu. Mengingat artinya adalah kiasan, maka pengertiannya bisa banyak: rumah tempat memohon rahmat Allah, rumah tempat memperoleh rahmat Allah, rumah tempat meminta Dari ayat inilah muncul sebutan Baitullah (rumah Allah) untuk menyebut masjid. Tentu saja dalam arti kiasan (majazi) bukan berarti secara fisik Allah bertempat tinggal di masjid, karena Dia tidak terikat ruang dan waktu. Mengingat artinya adalah kiasan, maka pengertiannya bisa banyak: rumah tempat memohon rahmat Allah, rumah tempat memperoleh rahmat Allah, rumah tempat meminta

Gambar 5.2: Suasana Masjid Tan Kok Liong pada Waktu Siang dan Malam Hari (Dokumentasi Elysa Afrilliani 2015)

Lebih jauh lagi, menurut Anton Medan, fungsi dan makna masjid sebagai tempat ibadah kepada Allah dan juga pusat untuk mengasah kesalehan sosial, haruslah dimakmurkan di setiap saat, baik di kala siang maupun malam. Dalam memenuhi fungsi dan makna yang seperti ini, Anton Medan berlandas kepada firman Allah dalam Al-Qur’an, Surah Annuur ayat 36 sebagai berikut.

Surah Annur ayat 36

[Fii buyuutin adzinallahu an turfa’a wayudzkaro fiihaa asmuhu, yusabbikhulah, fiihaa balkhoduwwi walasooli]

Artinya: Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk

dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.

Untuk memakmurkan mesjid Jami’ Tan Kok Liong ini, Anton Medan, berusaha sekuat tenaga untuk memberikan aliran listrik (daya) yang sebaik-baiknya baik did ala siang maupun malam. Keindahan mesjid ini yang bersuasana spiritual juga dapat dilihat tatkala malam tiba, seperti pada gambar di atas.

5.1.3 Makna Asma Allah

Ajaran Islam yang paling mendasar adalah pengakuan umatnya untuk mengakui hanya ada satu-satunya Tuhan (Ilah) yaitu Allah. Jika seseorang mengakui ada Tuhan lain selain Allah, maka dalam perpektif Islam mereka ini disebut dengan musyrikin (orang yang syirik). Secara harfiah berarti orang yang menyekutukan atau menserikatkan Allah dengan Tuhan-tuhan yang lainnya.

Pengakuan akan Allah yang Esa atau Ahad ini tercermin di dalam syahadatain. Selain Allah Yang Ahad, maka di dalam syahadatain (sebagai rukun Islam pertama) ketika seorang menjadi muslim adalah pengakuan bahwa Nabi Muhammad itu adalah rasul atau utusan Allah.

Setelah seseorang muslim tersebut mengakui keesaan Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah, maka setiap muslim biasanya diwajibkan memahami sifat- sifat Allah sebagai Tuhan. Istilah untuk sifat-sifat Allah ini seriang disebut dengan asma’ul husna.

Asma Allah ini dalam bangunan Masjid Tan Kok Liong ditempatkan pada posisi paling tinggi. Berdasarkan kepada teori semiotik Pierce jenis tanda ini adalah lambang dari Tuhan Yang Maha Esa. Jenis sistem tandanya adalah huruf Arab (alif, lam, dan ha) yang diekspresikan dalam bentuk artefak. Kemudian jenis teksnya juga adalah huruf dalam bentuk artefak. Bentuknya adalah dalam bahasa Arab sebagai berikut.

Gambar 5.3: Asma Allah pada Bahagian Paling Puncak Masjid Jami’ Tan Kok Liong (Dokumentasi Elysa Afrilliani 2015)

Jenis konteks situasinya dapat diuraikan sebagai berikut. Adapun makna religius dari asma Allah tersebut sesuai dengan ajaran Islam, seperti termaktub di dalam kitab suci Al-Qur'an, bahwa Allah SWT disebut juga dengan nama-nama sebutan yang berjumlah 99 nama yang masing-masing memiliki makna (arti) yang bersifat baik, agung dan bagus. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-A’raaf, ayat 180, sebagai berikut.

[Walillahil asmaul husna fad’uuhu bihaa, wadzaru ladziina yulhiduuna fii asmaihi sayuzauna maa kaanu ya’maluun]

Artinya: Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada- Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang- orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama- nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Dalam konteks ajaran Islam, di dalam Al-Qur’an terdapat 99 nama (dan sifat) Allah SWT beserta artinya, yaitu sebagai berikut.

1. Ar-Rahman (Ar Rahman) artinya Yang Maha Pemurah,

2. Ar-Rahim (Ar Rahim) artinya Yang Maha Mengasihi,

3. Al-Malik (Al Malik) artinya Yang Maha Menguasai / Maharaja Teragung,

4. Al-Quddus (Al Quddus) artinya Yang Maha Suci,

5. Al-Salam (Al Salam) artinya Yang Maha Selamat Sejahtera,

6. Al-Mu'min (Al Mukmin) artinya Yang Maha Melimpahkan Keamanan,

7. Al-Muhaimin (Al Muhaimin) artinya Yang Maha Pengawal serta Pengawas,

8. Al-Aziz (Al Aziz) artinya Yang Maha Berkuasa,

9. Al-Jabbar (Al Jabbar) artinya Yang Maha Kuat Yang Menundukkan Segalanya,

10. Al-Mutakabbir (Al Mutakabbir) Artinya Yang Melengkapi Segala kebesaran- Nya,

11. Al-Khaliq (Al Khaliq) artinya Yang Maha Pencipta,

12. Al-Bari (Al Bari) artinya Yang Maha Menjadikan,

13. Al-Musawwir (Al Musawwir) artinya Yang Maha Pembentuk,

14. Al-Ghaffar (Al Ghaffar) artinya Yang Maha Pengampun,

15. Al-Qahhar (Al Qahhar) artinya Yang Maha Perkasa,

16. Al-Wahhab (Al Wahhab) artinya Yang Maha Penganugerah,

17. Al-Razzaq (Al Razzaq) artinya Yang Maha Pemberi Rezeki,

18. Al-Fattah (Al Fattah) artinya Yang Maha Pembuka,

19. Al-'Alim (Al Alim) artinya Yang Maha Mengetahui,

20. Al-Qabidh (Al Qabidh) artinya Yang Maha Pengekang,

21. Al-Basit (Al Basit) artinya Yang Maha Melimpah Nikmat,

22. Al-Khafidh (Al Khafidh) artinya Yang Maha Perendah / Pengurang,

23. Ar-Rafi' (Ar Rafik) artinya Yang Maha Peninggi,

24. Al-Mu'izz (Al Mu'izz) artinya Yang Maha Menghormati / Memuliakan,

25. Al-Muzill (Al Muzill) artinya Yang Maha Menghina,

26. As-Sami' (As Sami) artinya Yang Maha Mendengar,

27. Al-Basir (Al Basir) artinya Yang Maha Melihat,

28. Al-Hakam (Al Hakam) artinya Yang Maha Mengadili,

29. Al-'Adl (Al Adil) artinya Yang Maha Adil,

30. Al-Latif (Al Latif) artinya Yang Maha Lembut serta Halus,

31. Al-Khabir (Al Khabir) artinya Yang Maha Mengetahui,

32. Al-Halim (Al Halim) artinya Yang Maha Penyabar,

33. Al-'Azim (Al Azim) artinya Yang Maha Agung,

34. Al-Ghafur (Al Ghafur) artinya Yang Maha Pengampun,

35. Asy-Syakur (Asy Syakur) artinya Yang Maha Bersyukur,

36. Al-'Aliy (Al Ali) artinya Yang Maha Tinggi serta Mulia,

37. Al-Kabir (Al Kabir) artinya Yang Maha Besar,

38. Al-Hafiz (Al Hafiz) artinya Yang Maha Memelihara,

39. Al-Muqit (Al Muqit) artinya Yang Maha Menjaga,

40. Al-Hasib (Al Hasib) artinya Yang Maha Penghitung,

41. Al-Jalil (Al Jalil) artinya Yang Maha Besar serta Mulia,

42. Al-Karim (Al Karim) artinya Yang Maha Pemurah,

43. Ar-Raqib (Ar Raqib) artinya Yang Maha Waspada,

44. Al-Mujib (Al Mujib) artinya Yang Maha Pengkabul,

45. Al-Wasi' (Al Wasik) artinya Yang Maha Luas,

46. Al-Hakim (Al Hakim) artinya Yang Maha Bijaksana,

47. Al-Wadud (Al Wadud) artinya Yang Maha Penyayang,

48. Al-Majid (Al Majid) artinya Yang Maha Mulia,

49. Al-Ba'ith (Al Baith) artinya Yang Maha Membangkitkan Semula,

50. Asy-Syahid (Asy Syahid) artinya Yang Maha Menyaksikan,

51. Al-Haqq (Al Haqq) artinya Yang Maha Benar,

52. Al-Wakil (Al Wakil) artinya Yang Maha Pentadbir,

53. Al-Qawiy (Al Qawiy) artinya Yang Maha Kuat,

54. Al-Matin (Al Matin) artinya Yang Maha Teguh,

55. Al-Waliy (Al Waliy) artinya Yang Maha Melindungi,

56. Al-Hamid (Al Hamid) artinya Yang Maha Terpuji,

57. Al-Muhsi (Al Muhsi) artinya Yang Maha Penghitung,

58. Al-Mubdi (Al Mubdi) artinya Yang Maha Pencipta dari Asal,

59. Al-Mu'id (Al Muid) artinya Yang Maha Mengembali dan Memulihkan,

60. Al-Muhyi (Al Muhyi) artinya Yang Maha Menghidupkan,

61. Al-Mumit (Al Mumit) artinya Yang Mematikan,

62. Al-Hayy (Al Hayy) artinya Yang Senantiasa Hidup,

63. Al-Qayyum (Al Qayyum) artinya Yang Hidup serta Berdiri Sendiri,

64. Al-Wajid (Al Wajid) artinya Yang Maha Penemu,

65. Al-Majid (Al Majid) artinya Yang Maha Mulia,

66. Al-Wahid (Al Wahid) artinya Yang Maha Esa,

67. Al-Ahad (Al Ahad) artinya Yang Tunggal,

68. As-Samad (As Samad) artinya Yang Menjadi Tumpuan,

69. Al-Qadir (Al Qadir) artinya Yang Maha Berupaya,

70. Al-Muqtadir (Al Muqtadir) artinya Yang Maha Berkuasa,

71. Al-Muqaddim (Al Muqaddim) artinya Yang Maha Menyegera,

72. Al-Mu'akhkhir (Al Muakhir) artinya Yang Maha Penangguh,

73. Al-Awwal (Al Awwal) artinya Yang Pertama,

74. Al-Akhir (Al Akhir) artinya Yang Akhir,

75. Az-Zahir (Az Zahir) artinya Yang Zahir,

76. Al-Batin (Al Batin) artinya Yang Batin,

77. Al-Wali (Al Wali) artinya Yang Wali / Yang Memerintah,

78. Al-Muta'ali (Al Muta Ali) artinya Yang Maha Tinggi serta Mulia,

79. Al-Barr (Al Barr) artinya Yang Banyak Membuat Kebajikan,

80. At-Tawwab (At Tawwab) artinya Yang Menerima Taubat,

81. Al-Muntaqim (Al Muntaqim) artinya Yang Menghukum Yang Bersalah,

82. Al-'Afuw (Al Afuw) artinya Yang Maha Pengampun,

83. Ar-Ra'uf (Ar Rauf) artinya Yang Maha Pengasih serta Penyayang,

84. Malik-ul-Mulk (Malikul Mulk) artinya Pemilik Kedaulatan Yang Kekal,

85. Dzul-Jalal-Wal-Ikram (Dzul Jalal Wal Ikram) artinya Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan,

86. Al-Muqsit (Al Muqsit) artinya Yang Maha Saksama,

87. Al-Jami' (Al Jami) artinya Yang Maha Pengumpul,

88. Al-Ghaniy (Al Ghaniy) artinya Yang Maha Kaya Dan Lengkap,

89. Al-Mughni (Al Mughni) artinya Yang Maha Mengkayakan dan Memakmurkan,

90. Al-Mani' (Al Mani) artinya Yang Maha Pencegah,

91. Al-Darr (Al Darr) artinya Yang Mendatangkan Mudharat,

92. Al-Nafi' (Al Nafi) artinya Yang Memberi Manfaat,

93. Al-Nur (Al Nur) artinya Cahaya,

94. Al-Hadi (Al Hadi) artinya Yang Memimpin dan Memberi Pertunjuk,

95. Al-Badi' (Al Badi) artinya Yang Maha Pencipta Yang Tiada Bandingan,

96. Al-Baqi (Al Baqi) artinya Yang Maha Kekal,

97. Al-Warith (Al Warith) artinya Yang Maha Mewarisi,

98. Ar-Rasyid (Ar Rasyid) artinya Yang Memimpin Kepada Kebenaran, dan

99. As-Sabur (As Sabur) artinya Yang Maha Penyabar / Sabar. Menurut penlelasan Anton Medan, asma Allah yang berada di paling puncak Mesjid Jami’ Tan Kok Liong ini memiliki makna Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa beserta sifat-sifatnya seperti yang tertera di dalam Al-Qur’an. Selain asma Allah yang ada di puncak bangunan masjid ini, di beberapa bahagiannya juga dibuat asma Allah seperti pada sisi atapnya di lantai dua.

Gambar 5.4: Asma Allah pada Bahagian Pinggir Atap Masjid Jami’ Tan Kok Liong (Dokumentasi Elysa Afrilliani 2015)

Gambar 5.4: Asma Allah Arrahman pada Bahagian Dinding Luar Masjid Jami’ Tan Kok Liong (Dokumentasi Elysa Afrilliani 2015)

5.1.4 Makna Kubah

Sesuai dengan teori semiotik Pierce, bahwa jenis tanda kubah ini adalah berupa symbol atau lambing. Kubah ini dapat diklasifikasikan jenis sistem tandanya sebagai artefak, yang berbetuk seperti potongan separuh bundaran bola. Jenis teks

yang ditampilkan adalah artefak atau benda. Uraian konteks situasinya adalah sebagai berikut.

Seperti yang kita ketahui, di Indonesia biasanya masjid-masjid akan dilengkapi dengan kubah. Sebuah masjid akan tampak seperti benar-benar masjid jika terdapat kubah di puncak atapnya. Budaya ini tidak dipergunakan pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong. Hal ini dikarenakan pemilik masjid memiliki keyakinan bahwa kubah adalah budaya dari negara Spanyol. Nilai yang terkandung pada Seperti yang kita ketahui, di Indonesia biasanya masjid-masjid akan dilengkapi dengan kubah. Sebuah masjid akan tampak seperti benar-benar masjid jika terdapat kubah di puncak atapnya. Budaya ini tidak dipergunakan pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong. Hal ini dikarenakan pemilik masjid memiliki keyakinan bahwa kubah adalah budaya dari negara Spanyol. Nilai yang terkandung pada

Gambar 5.5: Kubah Masjid Tan Kok Liong (Dokumentasi Elysa Afrilliani 2015)

Sebagai salah satu komponen arsitektur masjid, sejatinya kubah tak sekedar menampilkan kemegahan dan keindahan belaka. Lebih dari itu, kubah juga memiliki fungsi sebagai penanda arah kiblat dari bagian luar dan menerangi bagian interior masjid. Keberadaan kubah dalam arsitektur Islam paling tidak memiliki dua interpretasi simbolik. Yakni, merepresentasikan kubah surga dan menjadi semacam simbol kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Seperti halnya menara dan mihrab, secara historis kubah belum dikenal pada masa Rasulullah SAW.

Kubah memang bukan berasal dan berakar dari arsitektur Islam. Itu karena memang ajaran Islam tidak membawa secara langsung tradisi budaya fisik atau Islam tidak mengajarkan secara konkrit tata bentuk arsitektur. Islam memberi kesempatan kepada umatnya untuk menentukan pilihan-pilihan fisiknya pada akal dan budi.

Hampir semua kebudayaan mengenal dan memiliki kubah. Dari masa ke masa bentuk kubah selalu berubah-ubah. Konon, peradaban pertama yang mengenal dan menggunakan kubah adalah bangsa Mesopotamia sejak 6000 tahun yang lalu. Pada abad ke-14 SM, di Mycenaean Yunani sudah ditemukan bangunan makam berbentuk kubah (tholos tombs). Namun, ada pula yang menyatakan bahwa kubah mulai muncul pada masa Imperium Romawi, sekitar tahun 100 M. Salah satu buktinya adalah bangunan pantheon (kuil) di kota Roma yang dibangun Raja Hadria pada 118 M - 128 M. Penggunaan kubah tercatat mulai berkembang pesat di periode awal masa Kristen. Struktur dan bentang kubah pada waktu itu tak terlalu besar, seperti terdapat pada bangunan Santa Costanza di Roma. Pada era kekuasaan Bizantium, Kaisar Justinian juga telah membangun kubah kuno yang megah. Pada tahun 500 M, dia menggunakan kubah pada bangunan Hagia Spohia di Konstantinopel.

Lalu sejak kapan Islam mulai menggunakan kubah pada arsitektur masjid? Secara historis dan arkeologis, kubah pertama dalam arsitektur Islam ditemukan di Kubah Batu (Dome of Rock) atau yang biasa dikenal sebagai Masjid Umar di Yerusalem. Kubah Batu dibangun sekitar tahun 685 M sampai 691 M. Interior Kubah Batu dihiasi dengan Arabesk, hiasan berbentuk geometris, tanaman rambatan dan ornamen kaligrafi. Unsur hiasan sempat menjadi ciri khas arsitektur Islam sejak abad ke-7 M. Hingga kini, kaligrafi masih menjadi ornamen yang menghiasi interior bangunan sebuah masjid.

Sejak saat itulah, para arsitek Islam terus mengembangkan beragam gaya kubah pada masjid yang dibangunnya. Pada abad ke-12 M, di Kairo kubah menjadi Sejak saat itulah, para arsitek Islam terus mengembangkan beragam gaya kubah pada masjid yang dibangunnya. Pada abad ke-12 M, di Kairo kubah menjadi

Hal yang menarik di dalam penelitian ini adalah kubah Masjid Jami’ Tan Kok Liong tidak ditempatkan pada bangunan paling atas, tetapi di bahagian depan lantai dua. Lantai ini adalah sebagai pusat dilakukannya kegiatan slat dan beribadah bagi umat Islam, baik jamaah pondok pesantren maupun masyarakat sekitarnya. Menurut Anton medan, ini sengaja dilakukannya untuk membentuk persepsi bahwa kubah adalah perkembangan arsitektur berikutnya, bukan di masa Nabi Muhammad. Selain itu, bentuk klenteng lebih bernilai artistik dan religus jika kubah tersebut ditempatkan seperti pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong ini, tidak sebagaimana lazimnya masjid-masjid di Indonesia yang kubahnya cenderung ditempatkan di bahagian paling atas bangunan.

5.1.5 Makna Bulan dan Bintang

Pada kubah Mesjid Jami’ Tan Kok Liong ini, bagian atasnya terdapat bentuk bulan dan bintang. Bagi masyarakat umum, bentuk yang seperti ini adalah sebagai lambang dari agama Islam. Sesuai dengan kajian semiotik Pierce, maka jenis tanda ini masuk ke dalam lambang. Kemudian jenis sistem tandanya adalah artefak bulan dan bintang di atas kubah, jenis teksnya adalah bentuk dari seni kerajinan arsitektur, selanjutnya dari jenis konteks situasinya, bulan dan bintang ini memiliki makna historis dan kebudayaan, seperti uraian berikut ini.

Gambar 5.6: Bulan dan Bintang pada Bahagian Atas Kubah Masjid Jami’ Tan Kok Liong (Dokumentasi Elysa Afrilliani 2015)

Dalam konteks sejarah Islam, sebenarnya asal-usul lambang bulan bintang berasal dari lambang yang digunakan oleh khilafah Islamiyah terakhir, yaitu Kekhalifahan Turki Utsmani. Khilafah ini adalah warisan terakhir kejayaan umat Islam. Wilayahnya adalah tiga benua besar dunia, yaitu: Afrika, Eropa, dan Asia. Ibukotanya adalah kota yangg sejak 1400 tahun yang lampau telah dijanjikan oleh Rasulullah SAW sebagai kota yang akan jatuh ke tangan umat Islam yaitu kota Konstantinopel (Istambul).

Saat Khalifah Utsmaniyah ini, bulan sabit digunakan untuk melambangkan posisi tiga benua. Ujung yang satu menunjukkan benua Asia yg ada di Timur, Ujung lainnya mewakili Afrika yang ada di bagian lain dan di tengahnya adalah Benua Eropa. Sedangkan lambang bintang menunjukkan posisi ibu kota yang kemudian diberi nama Istambul yang bermakna Kota Islam. Lambang bulan bintang adalah lambang resmi umat Islam saat itu, karena seluruh wilayah dunia Islam berada dibawah satu naungan khilafah Islamiyah. Inilah lambang yangg pernah dimiliki oleh umat Islam secara bersama, bulan dan bintang.

5.1.6 Makna Atap

Jika kita melihat atap dari masjid ini, terdapat lafaz Allah beserta topi Putri Qinjiang, wanita pertama pemeluk agama Islam di Cina. Atap dari bangunan ini memiliki budaya khas Tiongkok. Bentuk atap ini sendiri merupakan bentuk atap tipe Wu Tien, yaitu jenis atap yang digunakan pada istana dan balai-balai penting dengan susunan atap tunggal (single) ataupun ganda (double). Disain istana yang digunakan adalah desain istana dinasti Qing. Dinasti Qing dikenal juga sebagai dinasti Manchu adalah satu dari dua dinasti asing yang memerintah di Tiongkok setelah dinasti Yuang Mongol dan juga adalah dinasti terakhir di Tiongkok.

Atap bangunan ini berfungsi sebagai pelindung bagian ruangan masjid agar terhindar dari angin, panas, dan hujan. Sesuai yang dikatakan informan kepada penulis bahwa atap masjid adalah atap yang terbuat dari bahan semen, yang biasa yang digunakan sebagai pelindung bagian ruangan masjid agar terhindar dari angin, panas, dan hujan.

Gambar 5.7: Atap Masjid Berbentuk Atap pada Kekaisaran Tiongkok (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)

Selain itu, atap melambangkan kekuasaan dan ketinggian posisi. Seperti layaknya kerajaan atau tempat-tempat penting di Tiongkok, memiliki disain atap seperti ini. Atap merupakan penutup pada bagian atas suatu bangunan yang berfungsi untuk melindungi bagian bangunan di bawahnya. Bentuk atap pun bermacam-macam, mulai dari datar sampai dengan tingkat kemiringan yang cukup ekstrim. Lain halnya di negeri Tiongkok, selain fungsi utamanya atap bisa sebagai titik sentral dari bangunan itu sendiri, dengan dilengkapi hiasan berupa patung- patung. Selain itu, hiasan-hiasan itu juga bisa menandai tingkat strata pemilik bangunan ditempatnya. Sebelum jatuhnya kekaisaran Tiongkok tahun 1911 M, hiasan-hiasan di puncak atap hanya dipergunakan untuk bangunan resmi kekaisar saja, sedangkan untuk rumah-rumah rakyat biasa dilarang.

5.1.7 Makna Burung Rajawali

Berdasarkan teori semiotik Pierce, jenis tanda burung rajawali ini dapat dikategorikan sebagai lambing atau symbol. Seterusnya, jenis sistem tandanya adalag artefak hewan dalam bentuk aslinya. Jenis teks yang ditamoilkan juga artefak seperti dalam bentuk hewan aslinya. Konteks situasinya adalah seperti yang diuraiklan berikut ini.

Gambar 5.8: Artefak Burung Rajawali di Bagian Puncak Atap Masjid (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)

Menurut penjelasan Anton Medan, selain artefak burung perkutut, di dalam bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong ini terdapat 4 buah patung burung rajawali di puncak atap masjid. Makna burung rajawali ini adalah pengharapan agar umat Islam bisa melihat kondisi kehidupan setajam pengamatan burung rajawali karena banyak nya masalah dalam kehidupan. Di dalam kebudayaan Tiongkok sendiri, burung rajawali adalah simbol dari kekuatan, keperkasaan, dan kecermatan dalam bertindak.

5.1.8 Makna Kepala Naga

Dalam kebudayaan Tiongkok naga disebut dengan liong atau long. Suatu hewan mitologi Tionghoa, yang populer dan memiliki pelambangan sangat rumit. Makna intinya merupakan simbolisasi sumber kebaikan dan kemakmuran. Naga juga melambangkan kejantanan dan kesuburan, unsur Yang ( 陽 ), positif dan

maskulin. Dalam kehidupan masyarakat sekarang, naga sering diidentikan maskulin. Dalam kehidupan masyarakat sekarang, naga sering diidentikan

Menarik bila diperhatikan bahwa naga ini dapat terus bertahan, digunakan sejak jaman purba hingga dunia moderen sekarang. Dalam sejarah kebudayaan dunia tidak terhitung jenis hewan totemis ciptaan manusia yang pernah ada, tetapi pada masa sekarang mereka ternyata lenyap tidak berbekas pada masyarakat pemiliknya. Bentuk tubuh naga dalam mitologi Tionghoa digambarkan dengan memiliki 9 kemiripan bentuk tubuh hewan yang sungguh ada dan hidup di alam: berkepala unta, bertanduk menjangan, memiliki mata kelinci, berkuping lembu, leher mirip ular, perutnya mirip katak, bersirip mirip ikan, bercakar mirip burung rajawali, dan telapak kakinya mirip harimau. Punggungnya bergerigi 81 buah ujung tajam. Gerigi di leher mengarah kemuka gerigi di kepala bersambungan mirip pegunungan. Kedua sisi mulutnya berjambang, dan jangut didagunya ditempati mutiara. Nafasnya berbentuk kabut, kadang berubah menjadi air, atau juga berbentuk semburan api.

Dalam ranah ilmu bangunan tradisional Tionghoa dikenal falsafah feng-shui ( 风水 ) , suatu teori terapan yang menafsirkan kosmologi Tionghoa dari dimensi

makrokosmos agar dapat ditransfer pada dimensi mikrokosmos pada tempat hunian manusia yang ideal. Dimaksud dengan hunian tidak hanya bangunan bagi yang masih hidup, tetapi juga tempat makam untuk yang telah meninggal. Untuk

menguraikan falsafah feng-shui digunakan banyak idiom dan lambang budaya masyarakat yang masih aktif dan mudah dimengerti oleh rakyat, bentuk topografi bumi dan situasi di lokasi bangunan diidentikan dengan komponen naga. Istilah menguraikan falsafah feng-shui digunakan banyak idiom dan lambang budaya masyarakat yang masih aktif dan mudah dimengerti oleh rakyat, bentuk topografi bumi dan situasi di lokasi bangunan diidentikan dengan komponen naga. Istilah

Gambar 5.9: Artefak Kepala Naga pada Sudut Atap Masjid (Dokumentasi Elysa Afrilliani 2015)

Simbol naga saat ini sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat Tionghoa dari agama hingga politik dan dari sastra sampai seni. Simbol naga merupakan landasan filosofi cara berpikir masyarakat Tionghoa. Kaitan antara agama, kebudayaan, dan kesenian tercermin dalam desain yang mengandung Simbol naga saat ini sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat Tionghoa dari agama hingga politik dan dari sastra sampai seni. Simbol naga merupakan landasan filosofi cara berpikir masyarakat Tionghoa. Kaitan antara agama, kebudayaan, dan kesenian tercermin dalam desain yang mengandung

5.1.9 Makna Burung Perkutut

Berdasarkan teori semiotik Pierce, maka burung perkutut yang terdapat pada bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong ini, berdasarkan jenis tanda termasuk kepada simbol atau lambang. Kemudian berdasarkan jenis sistem tandanya adalah berupa artefak yang dibuat menyerupai bentuk sesungguhnya, dalam seni rupa disebut mimesis alam. Setersunya berdasarkan jenis teks yang ditampilkan, maka termasuk ke dalam artefak. Sementara konteks situasi kulturalnya dapat diuraiakan seperti paparan berikut ini.

Gambar 5.10: Artefak Lima Burung Perkutut pada Atap Masjid (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)

Menurut penjelasan Bapak Anton Medan, terdapat 5 buah patung burung perkutut di setiap ujung bahagian atap masjid. Artefak burung perkutut yang ada di setiap sudut atap ini, menurut Anton Medan menggambarkan situasi dan kondisi umat Islam baik di Indonesia atau seluruh dunia pada saat ini. Mereka itu beramai- ramai dan berbondong-bondong tetapi tidak berani mengambil tindakan. Berani berkata-kata tetapi tidak berani berbuat.

Dalam konteks kebudayaan Tiongkok, burung perkutut dipandang sebagai burung yang memiliki kemerduan suara, tetapi selalu lemah dalam bertindak. Burung ini suka kumpul beramai-ramai dan kurang bekerja keras. Apa yang dipilih Anton Medan ini sebenarnya adalah mengkritik pribadinya sebagai Tionghoa Muslim yang melihat kelemahan-kelemahan teman-teman seimannya di dalam

kerangka mengisi kehidupan di duniai ini. 2

2 Sebaliknya dalam tradisi dan falsafah Jawa, seorang lelaki dewasa harus memiliki kelengkapan seorang pria sejati yang sempurna dalam tradisi Jawa yang berlatar kebudayaan keraton

yaitu memiliki: (1) wisma (rumah/tempat tinggal), (2) curiga (keris atau senjata andalan), (3) kukila (burung, terutama burung perkutut), (4) turangga (kuda atau kendaraan), (5) gangsa, dan (6) garwa (istri/pendamping hidup). Burung Perkutut diyakini sebagai burung yang disebut sebagai kukila dengan berbagai pertimbangan tradisi jawa. Burung perkutut adalah binatang sakral dan penuh mitos karena pengaruh legenda Joko Mangu. Legenda tersebut menyatakan pada zaman Kerajaan Majapahit ada burung perkutut milik Prabu Brawijaya V (raja Majapahit terakhir) yang merupakan

jelmaan Pangeran dari Pajajaran yang bernama Joko Mangu. Suatu hari Burung perkutut bernama

Joko Mangu lepas dari sangkar tetapi berhasil diketemukan kembali oleh sang raja dalam perjalanannya di wilayah Yogyakarta. Tepatnya, ditemukan di daerah Kretek, dekat Imogiri, Kabupaten Bantul. Sejak saat itu sampai sekarang, raja-raja Mataram keturunan Prabu Brawijaya penguasa Majapahit, selalu melestarikan dan mentradisikan kekukututan (memelihara perkutut) dalam kehidupan Keraton Ngayogjakarta. Kekukututan dianggap memiliki nilai-nilai budaya adiluhung.

5.1.10 Makna Lantai dan Lantai Tempat Salat

Masjid ini memiliki 4 lantai yang masing-masing lantai memiliki makna- makna yang berbeda. Dalam filosofi Tiongkok, angka 1 adalah angka netral dan tidak ada arti khusus. Artinya lantai satu tidak memiliki dan berkait dengan makna budaya apapun. Lantai ini bebas dari interpretasi makna, sebagaimana yang lazim dilakukan dalam proses semiosis makna.

Kemudian lantai dua memiliki makna keberuntungan dan kebahagiaan. Dengan konsep kebudayaan seperti ini, maka tempat untuk melakukan ibadah ditempatkan pada lantai dua. Lantai dua adalah tempat dilakukannya ibadah salat wajib lima waktu, yaitu: Subuh, Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya, yang biasanya dilakukan secara berjamaah. Disertai juga salat-salat sunat lainnya. Di lantai dua ini juga kadangkala dilakukan pengajian Al-Qur’an, tausiyah agama Islam oleh para ustadz (sebutan umum untuk guru agama Islam), musyawarah, dan lain-lainnya. Dengan demikian diharapkan bahwa dengan melakukan ibadah dan aktivtas keagamaan di lanati dua ini, setiap orang akan menddapatkan keberuntungan dan kebahagiaan sesaui dengan pandangan hidup atau filsafat masyarakat Tionghoa yang diwarisi dari para leluhur mereka.

Lantai tiga memiliki makna kelahiran atau kehidupan. Sementara itu, lantai empat, yaitu lantai paling atas memiliki makna kesialan. Oleh karena konsep budaya seperti itu, maka masjid ini hanya aktif digunakan lantai satu dan dua saja. Pada lantai dua tempat salat ini, di lantainya digelar ambal berwarna merah dan hitam bergambarkan kubah dan menara mesjid yang diproduksi oleh mesin sedemikian rupa. Keseluruhan ambal tersebut disusun secara bersaf satu demi satu Lantai tiga memiliki makna kelahiran atau kehidupan. Sementara itu, lantai empat, yaitu lantai paling atas memiliki makna kesialan. Oleh karena konsep budaya seperti itu, maka masjid ini hanya aktif digunakan lantai satu dan dua saja. Pada lantai dua tempat salat ini, di lantainya digelar ambal berwarna merah dan hitam bergambarkan kubah dan menara mesjid yang diproduksi oleh mesin sedemikian rupa. Keseluruhan ambal tersebut disusun secara bersaf satu demi satu

Gambar 5.11: Lantai Dua Tempat Salat (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)

5.1.11 Makna Warna yang Digunakan

Masjid ini didominasi oleh warna hijau, emas, dan merah. Dalam kebudayaan Tiongkok, warna digolongkan ke dalam dua kategori yaitu warna menguntungkan dan warna tidak menguntungkan. Warna yang melambangkan keberuntungan terdiri dari warna merah, kuning, emas, dan hijau. Sedangkan warna yang melambangkan tidak keberuntungan terdiri dari warna biru, putih, perak, serta warna hitam

Warna merah melambangkan suka cita dan keberuntungan. Orang-orang Tiongkok baik kuno maupun modern sangat menghargai warna merah. Merah dilarang pada acara pemakaman karena merupakan warna tradisional simbolis kebahagiaan.

Warna kuning atau emas sesuai dengan bumi, dianggap sebagai warna yang paling indah. Pepatah Cina mengatakan, “kuning menghasilkan Yin dan Yang” hal Warna kuning atau emas sesuai dengan bumi, dianggap sebagai warna yang paling indah. Pepatah Cina mengatakan, “kuning menghasilkan Yin dan Yang” hal

5.1.12 Makna Pintu Berbentuk Huruf Zhōng (中)

Berdasarkan teori semiotik Pierce jenis tanda pintu masjid ini adalah lambang. Kemudian berdasarkan jenis sistem tandanya adalah huruf simetris zh ōng. Jenis teks yang disajikan adalah huruf. Sementara itu jenis konteks situasinya secara kultural adalah sebagai berikut.

Dalam akasara Mandarin zh ōng berarti tengah. Makna tengah ini adalah merujuk kepada kawasan peradaban Cina. Aksara ini juga selaras dengan istilah Tiongkok yang berarti kerajaan tengah, atau juga Tionghoa yaitu orang-orang yang berasal dari kerajaan tengah. Tengah dalam huruf ini maksudnya adalah pusat peradaban dan kebudayaan dunia. Orang-orang Tionghoa sangat bangga akan kebudayaan mereka sebagai pusat kebudayaan dunia. Bentuk zh ōng pada pintu masjid ini berkait dengan makna tengah tersebut. Selain itu, menunjukan pula kalau pemilik masjid ini masih menjaga dan melestarikan kebudayaannya sebagai orang Tionghoa, yang memeiliki kebanggaan sebagai pendukung dan pelestari kebudayaan Tionghoa, sebagai pusat peradaban dunia.

Gambar 5.12: Pintu Masjid yang berbentuk huruf Zhong (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)

5.1.13 Makna Jendela Berbentuk Ba Gua (八卦)

Ba gua adalah delapan diagram atau simbol yang merupakan dasar sistem kosmogoni dan falsafat kepercayaan Tiongkok kuno. Dilihat dari asal katanya, ba berarti delapan, sedangkan kua adalah trigram (tiga garis). Setiap kua terdiri dari tiga baris merupakan simbol yao (bagian) yang berbentuk baris-baris terputus maupun yang tidak terputus; yang menyimbolkan bentuk yin dan yang.

Menurut kosmogoni Tiongkok kuno, untuk menggambarkan ke empat musim yang membentuk yin dan yang, digunakan garis utuh dan garis bersela. Kombinasi dari empat garis utuh dan garis bersela merupakan lambang dari langit, angin, air, gunung, bumi, guntur, api, dan tanah. Di bagian tengah dari sebuah ba gua terdapat bagian yang melambangkan tai chi.

Kombinasi pergerakan ba gua, perpaduan yin dan yang serta transformasi wu xing (lima elemen) merupakan komponen inti yang dipakai dan dikembangkan sedemikian rupa selama ribuan tahun inilah yang menjadi bagian dasar dari perhitungan Feng Shui seperti untuk menentukan lokasi pemakaman dan lokasi tempat tinggal. Pada sebuah hunian rumah, menggantungkan sebuah papan ba gua di depan pintu masuk dipercaya dapat menangkis hawa negatif dan roh jahat.

Gambar 5.13: Jendela yang Berbentuk Ba Gua (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)

5.1.14 Makna Tiang-tiang (Pilar) Bangunan

Tiang-tiang bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong didesain berwarna merah dengan lukisan kulit naga berwarna keemasan. Makna dari corak naga dalam tiang-tiang ini adalah sebagai pelindung serta penangkal dari ancaman yang jahat. Tiang-tiang bangunan juga bermakna sebagai penyangga bangunan.

Gambar 5.14: Tiang-tiang (Pilar) di Bagian Ruang dalam Masjid (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)

5.1.15 Makna Lampion

Lampion adalah artefak dengan bahan dasar kain atau kertas minyak, berbentuk bulat seperti bola dengan diameter berkisar antara 25 sampai 50 sentimeter. Warna lampion yang biasa digunakan adalah merah. Lampion ini diletakkan pada dinding atas lantai dua bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong.

Menurut penjelasan para informan, dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa, lampion melambangkan kemakmuran, kesatuan, dan rezeki. Oleh karenanya lampion selalu ada, terutama pada momen-momen besar dalam kebudayaan Tionghoa, seperti Imlek, Cap Go Meh, dan lain-lain. Lampion merah digantung selama perayaan Tahun Baru Imlek sebagai makna keberuntungan. Lampion bukan Menurut penjelasan para informan, dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa, lampion melambangkan kemakmuran, kesatuan, dan rezeki. Oleh karenanya lampion selalu ada, terutama pada momen-momen besar dalam kebudayaan Tionghoa, seperti Imlek, Cap Go Meh, dan lain-lain. Lampion merah digantung selama perayaan Tahun Baru Imlek sebagai makna keberuntungan. Lampion bukan

Gambar 5.15: Tiang-tiang (Pilar) di Bagian Ruang dalam Masjid (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)

Dengan menggunakan teori semiotik Pierce, maka makna kultural di sebalik artefak lampion ini adalah sebagai berikut. Berdasarkan teori Peirce lampion adalah tanda fisik yang berupa lampu penerang yang berwarna merah dengan bentuk bulat seperrti bumi atau balok. Lampion ini merepresentasikan hal lain di luar bentuk fisiknya, yaitu bermakna sebagai simbol makmur berkelimpahan rezeki, integrasi sosial antara orang Tionghoa dan semua umat di dunia ini (termasuk di Kota Medan yang berbudaya heterogen). Rezeki akan didapat melimpah apabila kita peka secara sosial, tanpa membeda-bedakan etnisitas, agama, dan derajat sosial.

5.1.16 Makna Motif Bunga

Berdasarkan teori semiotik Pierce, jenis tanda berupa motif bunga ini adalah sebagai lambang. Kemudian berdasarkan jenis sistem tanda adalah lukisan dua dimensi. Sedangkan jenis teks juga adalah lukisan, Jenis kontek situasinya adalah menurut penjelasan para informan, dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa, bunga melambangkan kemakmuran, kedamaian, keindahan, dan kasih sayang. Bunga adalah lambang dari alam dengan keberadaannya yang indah menjadikan hati damai.

Gambar 5.16: Motif Lukisan Bunga (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)

5.1.17 Makna Tulisan Nama Masjid Huruf Romawi Bergaya Kanji

Di lantai 2 masjid ini terdapat papan nama masjid ini yang ditulis dengan gaya tulisan Tiongkok. Tulisan ini sendiri ditulis dengan latar berwarna hitam sedangkan tulisan yang timbul berwarna keemasan. Makna yang terkandung dalam tulisan ini sendiri adalah sebagai penanda latar belakang sang pemilik masjid yang Di lantai 2 masjid ini terdapat papan nama masjid ini yang ditulis dengan gaya tulisan Tiongkok. Tulisan ini sendiri ditulis dengan latar berwarna hitam sedangkan tulisan yang timbul berwarna keemasan. Makna yang terkandung dalam tulisan ini sendiri adalah sebagai penanda latar belakang sang pemilik masjid yang

Gambar 5.16. Papan yang Bertuliskan Masjid Jami’ Tan Kok Liong (Dokumentasi, Elysa Afrilliani 2015)

5.1.17 Makna Ayat-ayat Al-Quran

Dinding masjid ini memiliki ukiran ayat-ayat suci Al-Quran. Beberapa ayat yang terukir pada dinding masjid ini adalah surat Al-Baqarah ayat 5 yang memiliki

arti “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” Ayat ini seperti mengisyaratkan tentang kisah hidup Anton Medan yang mendapat hidayah dan kemudian memeluk agama Islam. Selain ayat tersebut, beberapa ayat juga terdapat pada dinding masjid. Salah satu ayat lainnya adalah doa sebelum keluar rumah agar terlindung dari marabahaya.

Gambar 19. Ayat Al-Quran yang Terukir di Dinding Masjid (Dokumentasi Elysa Afrilliani, 2015)