Latar Belakang Budaya Anton Medan
4.2.4 Latar Belakang Budaya Anton Medan
Meskipun Anton Medan lebih lama menjalani hidupnya di Jakarta dan sekitarnya dan kemudian mendirikan Pondok Pesantren Attaibin, namun bagaimanapun latar belakang budaya di seluruh kehidupannya menjadi daya dorong dan arah beliau dalam bertindak dan beraktivitas. Menurut penulis, latar belakang budaya ini sangatlah penting dalam kerangka keberadaan Anton Medan. Ia memang
“terbuang” dari Sumatera Utara (Tebing Tinggi dan Medan), dan ia diterima di lingkungan “dunia hitam” di Jakarta, namun ia tidak melupakan semua latar belakang kebudayaannya.
Dari segi etnik, menurut penulis, Anton Medan tetap memelihara keberadaan dirinya sebagai etnik Hokkian, keturunan Tionghoa. Ini dibuktikannya dengan sikapnya yaitu masih terus menggunakan nama Tionghoanya yaitu Tan Kok Liong (masa kecil akrab dipanggil Hok Liang). Ia juga tetap memelihara filsafat-filsafat hidup dari ajaran-ajaran Buddha sebagai agama awal sejak ia dilahirkan, seperti perlunya welas asih, selalu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, mencintai manusia, menegakkan kebenaran, dan lain-lainnya.
Namun di sisi lain ia juga tidak melupakan kebudayaan di mana ia berpijak yaitu kebudayaan Tebing Tinggi dan Medan yang multietnik. Seperti diketahui bahwa Tebing Tinggi dan Medan adalah dua kota di Sumatera Utara yang merupakan ikon dari masyarakat yang heterogen di Sumatera Utara. Dalam hal ini Anton Medan menyadari keeksotikan tersendiri Tebing Tinggi dan Medan. Masyarakat di kawasan ini, umumnya terbuka, tegas (dan sedikit “kasar” menurut persepsi orang di luas Sumatera Utara), ulet dan tekun karena dinamika multietnik, dan lainnya.
Medan dan Tebing Tinggi adalah dua tempat yang berada di dalam wilayah kebudayaan Melayu, yang dasar-dasar adat masyarakatnya adalah Islam. Mungkin ini jugalah yang memberikan arah kepada Anton Medan yang kemudian memeluk agama Islam, yang kemudian diperdalamnya dengan tokoh-tokoh Islam di Jakarta, khususnya Melayu Betawi, seperti K.H. Zainuddin M.Z. yang amat terkenal baik secara nasional maupun internasional.
Selain itu, baik Tebing Tinggi atau Medan terdapat kebudayaan-kebudayaan, seperti Batak Toba yang terkenal dengan ketegasan dalam hidup. Ini juga menjadi salah satu pandangan hidup Anton Medan. Demikian pula Simalungun dengan kebudayaanya, yang lembut dan sangat mencintai perdamaian. Seterusnya ada juga kebudayaan Karo, Pakpak, Mandailing-Angkola, Pesisir, Nias, dan seterusnya. Di kawasan ini ada pula ada pula migrant seperti Aceh, Minangkabau, Jawa, Banjar, Hokkian, Kwong Fu, Hakka, Khek, Tamil, Hindustani, Pasthun, Arab, dan lain- lainnya.
Kebudayaan Sumatera Utara yang beranekaragam ini menurut pendapat penulis, dipelajari Anton Medan secara otodidak dan dijadikan pandangan hidup beliau bnaik semasa di Sumatera Utara maupun ketika berada di Jakarta dan sekitarnya. Anekaragam kebudayaan ini kemudian diinternalisasikan di dalam diri Anton Medan.
Anton Medan juga pastilah bangga dengan identitas dirinya sebagai salah satu putra kelahiran Sumatera Utara. Dalam hal ini nama populernya di Jakarta ketika ia menjadi penjahat dikenal dengan Anton Medan. Nama ini adalah indeks dari bagaimana cinta dan bangganya Anton Medan dengan tempat masa ia kecil yaitu Kota Medan, yang juga adalah ikon dari Provinsi Sumatera Utara.
Walaupun sejak kecil yaitu di usia sekolah dasar ia telah menjalani kehidupan di terminal, ia tidak lupa kepada kesadaran-kesadaran universal sebagai manusia. Dalam konteks ini, walaupun ia merasa bersalah yaitu dengan “melenyapkan nyawa” seorang penjahat yang mencuri uangnya di masa kehidupan susahnya di Terminal Amplas, ia saat itu hanya ingin dipandang dan dihargai sebagai manusia layaknya, yang memiliki hak hidup dan mencari penghidupan yang layak.
Seterusnya ketika ia menjadi mualaf tahun 1992 dan seterusnya, ia juga berusaha memmberikan identitas cultural kepada dirinya, orang-orang terdekat, jemaahnya, dan semua orang. Dalam hal memberikan identitas cultural kepada dirinya ini ia membangun masjid yang begrgaya arsitektur Tiongkok, yang menjadi cirri khas kebudayaan. Dalam hal ini juga ia banyak belajar dari kebudayaan Tiongkok tentang perlunya menganut faham manusia dan semesta alam yang Seterusnya ketika ia menjadi mualaf tahun 1992 dan seterusnya, ia juga berusaha memmberikan identitas cultural kepada dirinya, orang-orang terdekat, jemaahnya, dan semua orang. Dalam hal memberikan identitas cultural kepada dirinya ini ia membangun masjid yang begrgaya arsitektur Tiongkok, yang menjadi cirri khas kebudayaan. Dalam hal ini juga ia banyak belajar dari kebudayaan Tiongkok tentang perlunya menganut faham manusia dan semesta alam yang
[Yaa ayyuhaannasu inna kholaknakum minzakarin waunsa waja’alnakum su’uuban waqobaaila lita’aafofuu inna akromakum indallahi atqookum innallaha ‘alimun khobiir]
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam rangka menjadi manusia yang bertakwa seperti ayat Qur’an yang dikutip Anton Medan di atas, maka beliau selalu mempelajari kebudayaan apa saja di dunia ini. Seterusnya, yang paling penting menurutnya adalah bagaimana ia menjadikan dirinya dan orang lain untuk menjadi manusia yang bertakwa. Demikian uraian umum tentang biografi Anton Medan.