Zakat Sebagai Pilar Ekonomi Umat
D. Zakat Sebagai Pilar Ekonomi Umat
Zakat adalah harta kekayaan yang wajib ditunaikan oleh Muslim yang sudah nishab atau suatu badan usaha untuk diberikan kepada kelompok orang (asnaf) yang berhak menerimanya. Dalam ajaran Islam zakat merupakan pilar ketiga dari rukun Islam, yang banyak bersinggungan dengan ranah sosial, terutama dengan bidang sosial ekonomi umat. Karena itu, persoalan zakat banyak disebut- sebut sebagai urusan ta‘abudi yang berdimensi vertikal dan
71 Lihat Surah al-Baqarah ayat 195. 72 Ibid. 73 Al-Faruqi. Op.Cit., hlm. 145 74 Mahmud bin Ibrahim al-Khatib. Op.Cit., hlm. 44-45 71 Lihat Surah al-Baqarah ayat 195. 72 Ibid. 73 Al-Faruqi. Op.Cit., hlm. 145 74 Mahmud bin Ibrahim al-Khatib. Op.Cit., hlm. 44-45
Pada masa Rasulullah SAW. dan para sahabat, yang saat itu keadaan masyarakatnya masih tergolong sangat sederhana, administrasi zakat sudah dikelola dengan baik. Dalam perkembangan berikutnya seiring dengan kemajuan zaman dan tersebarnya umat Islam di pelbagai penjuru yang semakin banyak bersinggungan dengan urusan kehidupan sosial, di samping perlunya kehati- hatian kemungkinan adanya penyelewengan dana umat oleh oknum tertentu, maka administrasi zakat haruslah dikelola secara profesional dan bertang-
gungjawab. 75 Jadi tata kelola yang profesional dan administrasi zakat yang baik itu sema-kin penting dan diperlukan dalam menjaga keseimbangan antara pengumpulan zakat dari muzakki dengan pemberdayaannya kepada mustahiqin yang sesuai dan tepat sasaran.
Apabila saat ini dilakukan pengkalkulasian, dalam lingkungan lokal saja, misalnya di wilayah Kota Bandung dapat diyakini apabila dari sekira 3 (tiga) jutaan jiwa penduduk kota Bandung yang beragama Islam dan sekira 1 (satu) jutaan jiwa saja yang menjadi muzakki, maka sudah dapat dipastikan Pemerintah Kota Bandung berpotensi dapat mengumpulkan dana sekitar 2 miliar rupiah. Lebih-lebih apabila mengikuti alur pikir dan pandangan yang mencoba mengkalkulasi potensi Jawa Barat, dengan perkiraan 10 (sepuluh) juta saja penduduk Muslim Jawa Barat yang menjadi muzakki, maka dapat dipastikan dana zakat akan terkumpul sekira 20 (duapuluh) milyar. Seandainya saja hal itu berlaku secara nasional, maka secara keseluruhan Indonesia dapat mengumpulkan dana sekitar 200 triliun rupiah. 76
75 Rifyal Ka‘bah. Penegakan Syariat Islam di Indonesia (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm. 58. 76 Supardi. ―Zakat Organization And Poverty Alleviation‖, dalam Seminar Proposal Tesis di UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 19 Agustus 2005.
Pada dasarnya, persoalan pengelolaan zakat bukan hanya mengurusi terkumpulnya harta zakat dari muzakki ke amilin, tetapi mencakup pemberdayaan dan pendistribusiannya yang tepat sasaran. Dalam praktiknya pengelolaan zakat di Indonesia masih menyisakan masalah, dan tampak belum optimal. Temuan
A. Patoni sebagaimana dinyatakan dalam mempertanggungjawabkan disertas inya tentang ―Zakat Sebagai Piranti dalam Meningkatkan Kesejahteraan Fakir- Miskin‖ bahwa zakat di Indonesia belum cukup berhasil menekan angka kemiskinan. Karena itu perlu adanya perbaikan sistem tata kelola, agar zakat itu benar-benar dapat menjadi piranti yang
diandalkan untuk mensejahterakan umat. 77 Berbagai faktor yang menyebabkan penyerapan yang kurang maksimal
antara lain masalah kesadaran hukum umat Islam yang masih rendah untuk mengeluarkan zakat. Selain karena alasan beban kewajiban yang menumpuk, terkait dengan kewajiban membayar pajak. Di samping itu, yang paling signifikan adalah masih kurangnya trust (kepercayaan) masyarakat kepada Lembaga Keuangan Syari‘ah. Karuan saja pihak wajib zakat lebih banyak mengeluarkan zakat kepada perorangan, se perti kepada kiai, modin, dan ―indung beurang-- paraji‖. Padahal lembaga yang dibentuk/didirikan untuk mengelola zakat itu cukup banyak, baik yang berada dalam komando Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) maupun yang berada dalam managemen Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan adanya regulasi baru, yaitu Undan-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, diharapkan penyerapan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat di Indonesia akan lebih baik.
Bagi kalangan kaum Muslimin, termasuk umat Islam di Indonesia, zakat bukan satu-satunya unsur dari sistem keuangan masyarakat yang diatur berdasarkan ketentuan syari‘at Islam. Karena selain zakat terdapat infaq dan shadaqah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan menyadari potensi zakat yang cukup besar itu pemerintah Indonesia
77 Lihat Disertasi A. Patoni, ―Zakat Sebagai Piranti dalam Meningkatkan Kesejahteraan Fakir- Miskin Melalui Peraturan Perundang- undangan‖.
ikut menentukan cara melakukan pengelolaan management zakat agar dapat dilakukan dengan benar dan baik, sehingga pemberdayaannya sesuai dan tepat sasaran. Ketentuan itu diatur melalui Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, Keputusan Presiden RI Nmor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 561 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D-291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Dengan demikian, ketiga hal ini di samping memberlakukan ketentuan
hukum agama juga menggunakan ketentuan hukum Negara. 78 Mengenai pengelolaan zakat tersebut secara umum di dalam Penjelasan
Umum Undang- undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa: ―Undang- undang tentang Pengelolaan Zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzakki dan mustahiq, baik perorangan maupun badan hukum dan/atau organisasi‖. Lebih lanjut di dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dinyatakan: ―Badan Amil Zakat dapat menerima harta selain Zakat, seperti infaq, shadaqah, wasiat, dan kafarat‖. Selanjutnya di dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 berbunyi: ―Hasil penerimaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 didayagunakan terutama untuk usaha produktif‖.