Syarat Wajib Haji dan Umrah

B. Syarat Wajib Haji dan Umrah

Syarat ialah sesuatu yang harus terpenuhi sebelum mengerjakan suatu kegiatan. Ini berarti syarat itu berada di luar kegiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat wajib ialah sesuatu yang harus terpenuhi yang mengakibatkan suatu kegiatan itu hukumnya menjadi wajib. Dalam konteks haji, syarat wajib itu adalah berupa sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji. Logikanya, siapa saja yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat tersebut, maka dia belum wajib

A l-Khatib Al-Syarbini. Op.Cit ., hlm. 215.

menunaikan ibadah haji. Menurut kesepakatan ulama syarat-syarat wajib haji itu ada 5 (lima) macam:

1. Beragama Islam;

5. Memiliki kemampuan. 105 Berkenaan dengan syarat wajib haji itu, Ibnu Qudamah berkata: ―Kami

tidak melihat adanya perbedaan pendapat mengenai lima perkara tersebut 106 ‖. Pertama , syarat ―Islam‖ dan ―Berakal‖ adalah dua syarat wajib haji dan

sekaligus syarat sahnya haji. Karena itu ibadah haji tidak sah apabila dilakukan oleh orang non Muslim atau orang tidak berakal seperti majnun (gila). Kedua, syarat ―Baligh‖ dan ―Merdeka‖ merupakan syarat yang dapat mencukupi pelaksanaan kewajiban tersebut, tetapi keduanya tidak termasuk syarat sahnya haji. Karena apabila anak kecil dan seorang hamba sahaya/budak belian (abid/amat) melaksanakan ibadah haji, maka ibadah haji yang dilaksanakan keduanya tetap sah. Hal itu sesuai dengan kandungan hadis dari seorang wanita yang pada saat melaksanakan ibadah haji bersama Rasulullah SAW. mengangkat anak kecilnya ke hadapan Nabi Muhammad SAW. dan berkata: ―Apakah ia mendapatkan (pahala) haji? ‖ Nabi Muhammad SAW. menjawab: ―Ya, dan kamu pun men-dapatkan pahala 107 ―.

Menurut kebanyakan ulama, meskipun anak kecil dan hamba sahaya/budak belian itu melaksanakan ibadah haji, tetapi hal itu tidak menggugurkan kewajibannya untuk menu-naikan ibadah haji sebagai seorang Muslim. Dalam sebuah hadis dijelaskan: ―Barang siapa (seorang budak) melaksanakan haji, kemudian ia dimerdekakan, maka ia berkewajiban untuk

105 Al -Khatib Al-Syarbini. Op.Cit , hlm. 219. 106 Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, Juz III, hlm. 218 dan Nihayah Al-Muhtaj, Juz II, hlm.375. 107 Hadis Riwayat Muslim 1336, Abu Dawud 1736, dan Nasai‘, 5/120 105 Al -Khatib Al-Syarbini. Op.Cit , hlm. 219. 106 Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, Juz III, hlm. 218 dan Nihayah Al-Muhtaj, Juz II, hlm.375. 107 Hadis Riwayat Muslim 1336, Abu Dawud 1736, dan Nasai‘, 5/120

Sedangkan yang dimaksud dengan terminologi ―mampu‖ dalam syarat wajib haji tersebut hanyalah merupakan syarat saja. Karena itu, apabila seorang yang ―tidak mampu‖ berusaha keras dan menghadapi berbagai kesulitan hingga dapat menunaikan ibadah haji, maka hajinya dianggap sah dan mencukupi

standar ketentuan ibadah haji. Seperti shalat dan puasa yang dilakukan oleh orang yang kewajiban tersebut telah gugur darinya, maka shalat dan puasanya tetap sah dan mencukupi. 109

Adapun ma kna ―kemampuan‖ (istitha‟ah) yang menjadi syarat wajib haji hanya akan terwujud, setidaknya dengan 2 (dua) hal, yaitu: kondisi fisik yang prima dan memiliki pembekalan secukupnya:

1. Kondisi Fisik Sehat

Kemampuan yang dimaksud adalah segi kesehatan harus prima, yaitu badan yang sehat dan bebas dari berbagai penyakit yang dapat menghalangi aktifitas dalam melaksanakan berbagai macam ritual ibadah haji. Hal itu sesuai dengan kandungan hadis dari Ibnu Abbas RA, bahwa seorang wanita dari Khats‘am berkata: ―Wahai Rasulullah, bapakku memiliki kewajiban haji pada saat dia sudah sangat tua dan tidak dapat menanggung beban perjalanan haji, apakah aku bisa menghajikannya? ‖ Nabi Muhammad SAW. menjawab: ―Tunaikanlah haji untuknya (menggantikannya)―. 110 Dalam riwayat lain

dikemukakan, bahwa seorang wanita datang mene-mui Nabi Muhammad SAW. lalu bertanya: Ibu saya meninggal dan belum lagi menunaikan ibadah haji,

terpenuhilah jika saya menggantikannya? Jawab Rasulullah SAW: ―Ya‖ 111 Berkenaan dengan beberapa kriteria yang diriwayatkan dalam hadis di

atas, maka siapa saja yang telah memenuhi seluruh syarat wajib haji, tetapi apabila menderita penyakit yang serius dan sangat kronis termasuk lumpuh, maka dia tidak wajib melaksanakan haji. Namun demikian, di kalangan ulama besar

108 Dishahihkan oleh Al-Albani HR Ibnu Khuzaimah 3050, Al-Hakim 1/481, Al-Baihaqi 5/179 dan lihat Al- Irwa‘ 4/59

109 Al-Mughni, Juz III, hlm. 214. 110 Hadis Riwayat Bukhari 1855 dan Muslim 1334. 111 Majelis Tertinggi Urusan Ke-Islaman Mesir. Op.Cit., hlm. 53.

masih terjadi perbedaan pendapat mengenai wajib tidaknya diwakilkan kepada orang lain. Madzhab Syafi‘i, Hanbali dan dua orang pengikut madzhab Hanafi berpendapat bahwa bagi orang yang sakit tetapi sudah memiliki kemampuan dan

memenuhi syarat lainnya, maka hukumnya wajib. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman bahwa kesehatan badan merupakan syarat untuk menunaikan haji

dan bukan syarat wajib haji. 112 Tampaknya pendapat ini dipandang yang terkuat berdasarkan hadis Ibnu

Abbas, bahwa Nabi Muhammad SAW. bers abda: ―Bagaimana jika ayahmu memiliki tanggungan utang, apa-kah kamu akan melunasinya? ‖ Wanita itu menjawab ―Ya‖. Selanjutnya Nabi Muhammad SAW. bersabda: ―Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi 113 ‖. Adapun Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat tidak wajib mewakilkannya kepada orang lain. 114

2. Memiliki Perbekalan

Rangkaian pelaksanaan ibadah haji itu cukup panjang, sehingga memerlukan cukup waktu, mulai perjalanan yang memakan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari, sampai dengan bermukim pada saat menunaikan ritual ibadah antara kota suci Madinah dengan Makkah (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Untuk kepentingan itu tentunya diperlukan perbekalan yang cukup, bukan saja berbekal mental dan kesehatan yang prima, tetapi juga diperlukan bekal materi untuk living cost yang secukupnya.

Adapun syarat untuk mengerjakan ibadah umrah pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan syarat untuk mengerjakan ibadah haji, yaitu:

1) Beragama Islam;

2) Baligh;

3) Berakal sehat;

4) Merdeka (bukan hamba sahaya-abid atau amat);

5) Istitha‘ah (memiliki kemampuan), yang mencakup: (1) Sehat jasmani;

112 Muhammad Abdul Wahid bin Al Humam. Fathul Qadir, 2/125 113 Hadis Riwayat Bukhori 5699, An-Nasai 5/116

Syamsuddin bin Muhammad bin Abi Abbas. Nihayat al Muhtaj. 2/385

(2) Jalan yang dilalui aman dari segala gangguan, baik terhadap jiwa maupun harta; (3) Ada kendaraan, sebagai alat transportasi; (4) Memiliki cukup bekal, baik untuk biaya perjalanan dan living cost,

maupun untuk nafkah keluarga.

6) Ada mahram (khusus bagi wanita).

C. Rukun Haji dan Umrah Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perbuatan (ada dalam perbuatan). Dalam konteks haji, rukun haji berarti hal-hal yang harus ada dan tidak boleh ditinggalkan dalam kegiatan ibadah haji. Apabila salah satu rukun haji di atas tidak dilaksanakan, maka secara hukum hajinya batal. Dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat bahwa rukun haji hanya ada 2 (dua) yaitu: wuquf dan thawaf. Sedangkan ihram dan sa‘i tidak termasuk kategori rukun haji, karena menurutnya, ihram adalah syarat sah haji, sementara sa‘i adalah yang wajib dilakukan dalam haji (wajib haji). Berbeda dengan Abu Hanifah, Al- Syafi‘i berpendapat bahwa rukun haji ada 6 (enam) macam yaitu: ihram, thaw

af, sa‘i, wuquf, mencukur rambut, dan tertib berurutan. 115

Adapun rukun haji sebagaimana disepakati kebanyakan faqih itu ada 6 (enam), yaitu:

1. Melakukan Ihram

Ihram yaitu pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji atau umrah dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umrah di miqat. Miqat secara harfiah berarti batas, yaitu: garis demarkasi atau garis batas antara boleh atau tidak boleh, atau perintah untuk memulai atau berhenti. Dalam hal ini kapan mulai melapalkan niat dan maksud melintasi batas antara Tanah Biasa dengan Tanah Suci. Ketuk pintu atau salam itulah yang harus diucapkan talbiyah dan keadaan berpakaian ihram. Miqat yang dimulai dengan pemakaian pakaian ihram harus dilakukan sebelum melintasi batas – batas yang dimaksud. Miqat itu ada 2 (dua) macam, yaitu:

115 Al- Fiqh Ala Madzahibil Arba‘ah 1/578 115 Al- Fiqh Ala Madzahibil Arba‘ah 1/578

kapan atau pada tanggal berapa dan bulan apa hitungan waktu haji itu.

b. Miqat Makani, yaitu: miqat berdasarkan peta atau batas tanah geografis, tempat seseorang harus mulai menggunakan pakaian Ihram untuk melintas batas tanah suci dan berniat hendak melaksanakan Ibadah Haji atau Umrah. 116 Adapun Miqat Makani itu adalah sebagai berikut:

1) Bier Ali, sering pula disebut dengan Zulhulayfah. Letak Bier Ali sekira

12 (duabelas) km dari arah kota Madinah, yang merupakan miqat bagi orang yang datang dari arah Madinah.

2) Al-Juhfah, yaitu: suatu tempat yang terletak antara Makkah dengan Madinah. Letak Al-Juhfah sekira 187 km dari arah kota Makkah, yang merup akan miqat bagi jama‘ah yang datang dari Syam (Suriah), Mesir dan Maroko atau yang searah. Setelah hilangnya ciri –ciri Al-Juhfah, miqat ini diganti dengan miqat Rabigh, yang berjarak sekira 204 km dari arah kota Makkah.

3) Yalamlam, yaitu: sebuah bukit di sebelah selatan sekira 54 km dari arah kota Makkah, yang merupakan miqat bagi jama‘ah yang datang dari arah Yaman dan Asia.

4) Qarnul Manazil, yaitu: sebuah bukit di sebelah Timur sekira 94 km dari arah kota Makkah.

5) Zatu Irqin, yaitu: suatu tempat yang terletak di sebelah utara kota Makkah, berjarak sekira 94 km dari arah kota Makkah, yang merupakan miqat bagi jama‘ah yang datang dari Irak dan yang searah.

Ketentuan seluruh miqat itu ditetapkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. seba-gaimana disebutkan dalam hadis-hadis Bukhari dan hadis-hadis Muslim. Tetapi untuk miqat Zatu Irqin terdapat dua riwayat. Menuurt Imam Bukhari miqat Zatu Irqin ditetapkan oleh Umar Ibn Khattab, sedangkan menurut riwayat Imam Abu Daud miqat Zatu Irqin itu ditetapkan oleh Rasulallah SAW. Miqat-miqat itu berlaku bagi orang-orang yang berdomisili di daerah itu dan

116 Zainuddin Bin Muhammad Al –Ghazali. Fathul Mu‟in Syarh I‟anat al- Thalibin, hlm. 60.

lainnya yang dalam perjalanan di Makkah melalui tempat itu. Bagi penduduk Makkah sendiri, tempat ia mulai ihram adalah pintu rumahnya. 117

2. Wukuf di Arafah

Secara istilahi, wukuf yaitu: berdiam diri dan berdo‘a di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Dalam konteks ini wukuf adalah mengasingkan diri atau mengantarkan diri ke suatu ―panggung replika‖ Padang Mahsyar. Suatu gambaran kelak manusia dikumpulkan di suatu Padang Mahsyar dalam formasi antri menunggu giliran untuk dihisab oleh Allah SWT. Wukuf adalah suatu

contoh sebagai peringatan kepada manusia tentang kebenaran illahi. 118 Status hukum wukuf di Padang Arafah adalah rukun yang apabila ditinggalkan maka

hajinya tidak sah. Wukuf juga merupakan puncak ibadah haji yang dilaksanakan di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: Alhajju Arafatun ….. ―Haji itu melakukan wukuf di Arafah.‖

3. Thawaf Ifadah

Thawaf Ifadah yaitu: mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 (tujuh) kali, yang dilakukan setelah melontar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Thawaf itu sendiri terdiri atas 4 (empat) macam, yaitu: Thawaf Ifadah, Thawaf Qudum, Thawaf Wada‘ dan Thawaf Sunat. 119 Empat macam thawaf itu adalah sebagai

berikut:

a. Thawaf Ifadah, yaitu: salah satu dari beberapa rukun haji, yang harus dilaksanakan sendiri, dan apabila tidak dilaksanakan maka hajinya batal. Thawaf Ifadah ini disebut juga dengan Thawaf Ziarah atau Thawaf Rukun. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT. dalam surah Al-Hajj ayat 29 yang terjemahannya berbunyi: “Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka, dan hendaklah mereka menyem-

117 Ibid. 118 Ibid . 119 Zainuddin Bin Muhammad Al-Ghazali. Op.Cit., hlm. 61 117 Ibid. 118 Ibid . 119 Zainuddin Bin Muhammad Al-Ghazali. Op.Cit., hlm. 61

Di kalangan para ulama terjadi kesepakatan bahwa Thawaf Ifadah merupakan rukun haji yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang melakukan ibadah haji. Adapun mengenai waktu Thawaf Ifadah terdapat sedikit perbedaan di kalangan ulama. Kelompok Hanafiah berpendapat bahwa waktu Thawaf Ifadah dimulai dari fajar hari Nahr (10 Dzulhijjah) sampai dengan akhir bulan sesudah seseorang melakukan wukuf di Arafah. Hal yang sama dikemukakan kelompok Malikiyah, bahwa waktu Thawaf Ifadah dimulai sejak terbit fajar pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) sampai dengan akhir bulan Dzulhijjah. Bedanya kelompok ini memberikan penegasan bahwa apabila terdapat jama‘ah haji meninggalkan (mengakhiri) dari waktu tersebut, maka terkena Dam. Sedangkan menurut kelompok Syafi‘iyah waktu Thawaf Ifadah itu dimulai sejak setelah pertengahan kedua malam hari Nahr (10 Dzulhijjah) dan berakhir sampai jama‘ah haji mengerjakannya (kapan saja) selama hidupnya. Sedangkan waktu afdhal (utama) untuk mengerjakannya ialah pada hari Nasr (10 Zulhijah). 121

b. Thawaf Qudum, yang disebut juga dengan Thawaf Dukhul, yaitu: thawaf pembukaan atau thawaf selamat datang yang dilakukuan pada saat jama‘ah haji baru tiba di kota Makkah. Kebiasaan Nabi Muhammad SAW. pada setiap kali memasuki Masjidil Haram terlebih dahulu melakukan thawaf

sebagai ganti shalat Tahiyyatul Masjid. Karena itu, thawaf qudum disebut juga dengan Thawaf Masjidil Haram. Adapun hukum untuk melakukan Thawaf Qudum adalah Sunat. Dengan demikian, apabila jamaah haji tidak melaksanakan Thawaf Qudum, maka tidak akan membatalkan Ibadah haji ataupun Umrah. Bagi wanita yang melaksanakan Thawaf Qudum tidak perlu lari-lari kecil, tetapi cukup berjalan biasa. Sementara bagi wanita yang sedang haid atau Nifas dilarang melakukan Thawaf Qudum.

120 Departemen Agama RI. Al- Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV Toha Putra, 1989), hlm. 516.

Ibid .

c. Thawaf Wada‘, yang berarti thawaf perpisahan, yaitu: salah satu ibadah wajib untuk dilaksanakan sebagai pernyataan perpisahan dan penghormatan

kepada Baitullah dan Masjidil Haram. 122 Thawaf Wada‘ ini cukup dikerjak an dengan berjalan biasa. Thawaf Wada‘ disebut juga dengan

Thawaf Shadar (Thawaf Kembali). Penyebutan dengan Thawaf Shadar ini karena setelah melaksanakan thawaf itu jama‘ah akan meninggalkan Makkah untuk kembali ke tempat tinggalnya masing-masing.

Dalam praktiknya, pelaksanaan Thawaf Wada itu sama dengan thawaf yang lainnya. Akan tetapi do‘a yang dibaca berbeda untuk semua putaran. Thawaf Wada adalah tugas terakhir dalam pelaksanaan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah. Bagi jama‘ah yang belum melakukannya belum boleh meninggalkan Makkah, karena hukumnya wajib. Apabila tidak dikerjakan maka wajib membayar ―Dam‖. Apabila Thawaf Wada‘ itu sudah dikerjakan, maka ia tidak dibenarkan lagi tinggal di Masjidil Haram. Apabila jama‘ah sudah keluar Masjidil Haram, maka hendaklah segera

pergi, karena apabila jama‘ah masih kembali ke masjidil Haram, ia diharuskan mengulangi Thawaf Wada‘.

d. Thawaf Sunat, yaitu: thawaf yang dapat dilakukan kapan saja. Apabila dilakukan saat baru memasuki Masjidil Haram, thawaf ini berfungsi sebagai pengganti shalat Tahiyatul Masjid. Thawaf sunat inilah yang

dimaksud atau disebut Thawaf Tathawwu. 123

4. Melakukan Sa'i

Adapun yang dimaksud dengan melakukan Sa‘i yaitu: berjalan atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dengan bukit Marwah sebanyak 7 (tujuh) kali, yang dilakukan setelah Thawaf Ifadah. Dalam praktiknya, Sa‘i dimulai dari bukit Shafa menuju bukit Marwah, dan dari bukit Marwah kembali menuju bukit Shafa‘. Demikian seterusnya hingga mencapai hitungan 7 (tujuh) kali secara bolak balik.

122 Taqiyudin al-Husni Abu bakar Muhammad bin Husaini. Kifayah al Ahyar, hlm. 226-227 123 Ibid.

5. Melakukan Tahallul

Melakukan Tahalul yaitu: bercukur dengan menggunduli atau menggunting sebagian besar rambut atau sebagian kecil saja setelah melaksanakan prosesi Sa'i, tegasnya setelah menyelesaikan perjalanan jalan kaki atau lari-lari kecil yang ketujuh kalinya, bertempat di bukit Marwah.

6. Tertib Pelaksanaan

Tertib yaitu mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal. 124

Urutan pertama didahulukan sebagai prioritas utama, dan urutan berikutnya dilakukan setelah yang sebelumnya dilaksanakan.

Sedangkan rukun mengerjakan ibadah umrah meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Ihram, berniat untuk memulai umrah;

2) Thawaf;

3) Sa‘i;

4) Tahallul;

5) Tertib. 125