Syarat-syarat Wakaf

C. Syarat-syarat Wakaf

Dalam praktik pelaksanannya di dalam masyarakat, ketentuan wakaf yang terdapat dalam fiqh dan peraturan perundangan Indonesia tidak ada persoalan. Masyarakat sangat memahami bahwa perbuatan wakaf ini hanya mungkin dilakukan oleh orang yang berada dan memiliki jiwa sosial dan dermawan. Meskipun demikian, masih terdapat juga segelintir masyarakat Muslim yang memiliki pemahaman berbeda dengan ketentuan fiqh mengenai wakaf wasiat, yaitu ikrar wakaf yang dilakukan pada saat seseorang mengalami sakit sampai akhirnya meninggal dunia. Dari segi fiqh, wakaf wasiat itu tidak pernah dikenal, bahkan sejumlah fuqaha menafikannya. Sementara dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 hal itu diatur secara spesifik, yakni mulai Pasal 24 sampai dengan Pasal 27.

Terdapat sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan wakaf, antara lain tentang syarat wakaf, yaitu: wakif, nadzir, dan benda wakaf.

1. Wakif (Orang Yang Wakaf)

Pelaku wakaf atau wakif, harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan para Mujtahid, yaita: 148 Dalam hal persyaratan ini, para Mujtahid

menentukan, bahwa syarat wakif meliputi:

a. Berakal;

b. Baligh;

c. Merdeka;

d. Bukan karena terpaksa;

e. Wakaf tersebut bukan dari orang yang bodoh;

f. Wakaf tersebut bukan dari orang yang bangkrut;

g. Tidak ketika sakit yang menyebabkannya meninggal. Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Dewasa;

148 Ragib as-Sirjani. Rawa‟i`u al-Auqaf fi al-Hadharah al-Islamiyyah, Cetakan Kedua (Kairo: Daaru Nahdhartu Mishr, 2011), hlm. 19-22.

b. Berakal sehat;

c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;

d. Pemilik sah harta benda wakaf.

2. Nazhir Wakaf

Dari segi bahasa Nazhir berasal dari kata kerja nazhara, yang berarti menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun nazhir adalah isim fa‟il dari kata nazhara yang diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas. Sedangkan nazhir wakaf atau biasa disebut nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Pengertian ini kemudian dikembangkan menjadi kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus benda wakaf.

Di dalam bagian Kelima Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dijelaskan bahwa nazhir meliputi:

a. perseorangan;

b. organisasi; atau

c. badan hukum. Adapun tentang syarat menjadi seorang nazhir, dalam literatur kitab fiqh disebutkan beberapa syarat sebagai berikut:

a. Dewasa;

b. Berakal sehat;

c. Dapat dipercaya;

d. Mampu menyelenggarakan segala urusan yang berkenaan dengan wakaf. Di dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan bahwa perseorangan yang dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan, yakni:

a. Warga Negara Indonesia;

b. Beragama Islam;

c. Dewasa;

d. Amanah;

e. Mampu secara jasmani dan rohani; e. Mampu secara jasmani dan rohani;

a. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b. Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Sedangkan badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan

c. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Berkaitan dengan tugas seorang nazhir, dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa tugas nadzir adalah sebagai berikut:

a. Melakukan pengadmistrasian harta benda wakaf;

b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;

c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Mengingat tugas yang dipikulkan kepada nadzir itu cukup penting dan menyangkut kepentingan orang banyak, bahkan nazhir disebut-sebut sebagai pemimpin umum dalam wakaf, maka sangat beralasan apabila nazhir itu harus memenuhi kriteria:

a. Berakhlak mulia, amanah berpengalaman, menguasai ilmu administrasi dan keuangan yang dianggap perlu untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan jenis benda yang diwakafkan.

b. Dapat bekerja selama masa kerjanya dalam batasan undang-undang wakaf sesuai dengan keputusan organisasi sosial dan dewan pengurus.

c. Dapat mengerjakan tugas harian yang menurutnya baik dan menentukan petugas-petugasnya, serta punya komitmen untuk menjaga keutuhan harta wakaf, meningkatkan pendapatannya, menyalurkan manfaatnya.

d. Dapat menjadi utusan atas nama wakaf terhadap pihak lain ataupun di depan mahkamah (pengadilan).

e. Harus tunduk kepada pengawasan Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia, dan memberikan laporan keuangan dan administrasi setiap seperempat tahun minimal, tentang wakaf dan kegiatannya.

f. Harus bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian atau hutang yang timbul dan bertentangan dengan undang-undang wakaf 149 .

Karena tugas-tugas yang begitu pelik dan berat itu, maka seluruh nazhir baik perseorangan maupun nazhir organisasi dan badan hukum harus mendapatkan pembinaan dan pengawasan secara berkelindan dari Badan Wakaf Indonesia. Meskipun kendalanya seringkali terjadi, misalnya nazhir wakafnya belum terdaftar sebagai nazhir di BWI. Bahkan dapat pula terjadi harta benda wakafnya yang belum didaftarkan.

Disamping itu, nadzir juga mendapat jaminan berupa hak-hak materi sebagai imbalan atas tugas dan kewajibannya. Hal itu diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014. Pasal 12 tersebut menyebutkan bahwa nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 % (sepuluh

persen). 150

3. Benda Wakaf

Benda wakaf yang merupakan persyaratan ketiga dari wakaf harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

149 Fathurrahman Jamil. Standarisasi dan Profesionalisme Nazhir di Indonesia. www.bwi.or.id

Lihat Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tenttang Wakaf.

a. Apabila yang diwakafkan itu harta, maka harta itu harus merupakan sesuatu yang bisa dimiliki serta bisa diambil manfaatnya. Tetapi apabila harta itu bukan sesuatu yang bisa dan biasa dimiliki seperti burung yang berada di angkasa, dan ikan yang berada di laut, maka itu tidak bisa diwakafkan. Imam asy- Syafi‘i mensyaratkan, ―segala sesuatu yang bisa diambil manfa‘atnya tanpa harus merusak pokoknya dan bisa dijual, maka berarti itu bisa diwakafkan.

b. Benda wakaf itu harus jelas. Apabila wakaf itu tanah, maka harus jelas luasnya. Apabila luas tanahnya tidak jelas, maka lebih baik wakafnya dibatalkan.

c. Sesuatu yang diwakafkan itu mesti milik pribadi si pemberi wakaf.

d. Harta wakaf itu mesti benda yang tidak bergerak dan bisa bertahan lama. Namun syarat ini tidak berlaku bagi sebagian ulama yang membolehkan seperti wakaf buku, mushaf al- Qur‘an, dan benda-benda lain yang bisa dipindahkan. 151

Secara rinci dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 diatur tentang syarat kepemilikan benda wakaf (Pasal 15) dan tentang jenis benda wakaf (Pasal 16). Dalam Pasal 16 ayat (1) poin a Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan tentang wakaf uang. Wakaf uang itu termasuk benda wakaf bergerak yang tidak habis dikonsumsi. Dalam perkembangannya benda wakaf tidak bergerak itu jangkauannnya diperluas, sehingga terdapat sejumlah lembaga swasta yang mendapatkan izin untuk mengelola benda wakaf dengan menggulirkan satu program wakaf uang untuk pengadaan al- 152 Qur‘an. Program

ini merupakan inovasi yang dilakukan para pengelola benda wakaf yang bertujuan mulia, meskipun banyak kalangan yang memahaminya sebagai penyimpangan.

151 Ibid., hlm. 23

152 Apabila wakaf uang itu digunakan untuk pengadaan al-Quran atau benda lainnya, maka logikanya wakaf (uang) itu akan habis dikonsumsi. Sejumlah kalangan mengatakan bahwa

wakaf uang seperti itu seakan-akan hanya sekedar kedok saja, karena dengan cara itu esensi dari wakaf itu menjadi hilang.

Apabila wakaf uang itu merujuk pada peraturan perundangan, maka seharusnya uang itu disimpan di lembaga yang kompeten yang telah memiliki sertifikat wakaf uang. Dalam hal ini adalah LKS-PWU sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 yang kemudian diputarkan, dikelola dan diambil hasilnya atau setidaknya uang tersebut dialirkan pada pos produktif berupa investasi tanpa mengurangi jumlah uang wakaf tersebut.