Penyelesaian Sengketa Wakaf
H. Penyelesaian Sengketa Wakaf
Pada umumnya perselisihan dan persengketaan wakaf itu ada dua macam, yaitu: (1) sengketa tentang status harta benda wakaf; (2) peruntukan
harta wakaf yang berkaitan dengan nazhir wakaf. Pertama, sengketa tentang status harta benda wakaf. Dalam hal ini misalnya pengingkaran ahli waris wakif terhadap status wakaf tanah yang diwakafkan oleh wakif yang sudah meninggal dunia. Harta benda wakaf itu diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut meninggal dunia. Apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, harta benda wakaf dapat dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf dikembalikan lagi kepada ahli waris wakif. Tetapi dalam hal wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan tersebut tidak dapat diminta kembali.
Fenomena terdapatnya kasus wakaf itu sering sekali terjadi dalam masyarakat, yang penyebabnya antara lain karena tidak terdapat bukti tertulis ikrar wakaf atau harta benda wakaf tersebut tidak tersertifikasi sebagai benda wakaf. Hal itu dapat disebabkan karena wakaf tanah yang bersangkutan tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang hanya dilakukan dengan dasar pada rasa saling percaya. Pada gilirannya keadaan itu menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila suatu saat terjadi permasalahan mengenai status kepemilikan tanah wakaf atau status benda wakaf, maka penyelesaiannya akan menemui kesulitan, karena tidak dimilikinya bukti outentik tertulis.
Kedua , nazhir wakaf tidak memanfaatkan harta wakaf sesuai dengan yang dikehendaki dan disyaratkan oleh wakif. Misalnya wakif mewakafkan tanah dengan kehendak dan persyaratan agar digunakan sebagai sarana pendidikan berupa madrasah diniyah untuk dikelola oleh nazhir. Dalam praktiknya misalnya nazhir justru menggunakan tanah wakaf itu untuk bangunan Sekolah Dasar yang berafiliasi ke Dikbud. Karena kejadian itu, wakif yang masih hidup berkeinginan mengambil kembali harta wakafnya karena nazhir sudah dianggap menyimpang dari komitmen semula. Padahal dalam peraturan perundang-undangan penarikan tanah wakaf itu tidak diperkenankan. Atau adanya kasus lain, yaitu kemungkinan dikuasainya tanah wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan penggunaannya Kedua , nazhir wakaf tidak memanfaatkan harta wakaf sesuai dengan yang dikehendaki dan disyaratkan oleh wakif. Misalnya wakif mewakafkan tanah dengan kehendak dan persyaratan agar digunakan sebagai sarana pendidikan berupa madrasah diniyah untuk dikelola oleh nazhir. Dalam praktiknya misalnya nazhir justru menggunakan tanah wakaf itu untuk bangunan Sekolah Dasar yang berafiliasi ke Dikbud. Karena kejadian itu, wakif yang masih hidup berkeinginan mengambil kembali harta wakafnya karena nazhir sudah dianggap menyimpang dari komitmen semula. Padahal dalam peraturan perundang-undangan penarikan tanah wakaf itu tidak diperkenankan. Atau adanya kasus lain, yaitu kemungkinan dikuasainya tanah wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan penggunaannya
Dalam menyikapi 2 (dua) kasus di atas, langkah dan cara penyelesaiannya diatur dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, yaitu dilakukan dalam dua pendekatan. Pertama, non litigasi, yaitu dengan cara musyawarah mufakat antara dua pihak yang bersengketa atau dengan cara tahkim melalui saluran mediasi atau arbitrase. Pendekatan pertama ini lebih menekankan pada penyelesaian secara damai. Kedua, litigasi, yaitu melalui lembaga peradilan, diselesaikan secara hukum melalui peradilan agama (Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009). Sedangkan aturan yang kaitannya dengan penyimpangan lain yang dilakukan oleh nazhir seperti menjual, menggadaikan, dan menukar harta benda wakaf tanpa izin, sanksinya diatur dalam Pasal 67 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang ketentuan pidana dan Pasal 68 tentang sanksi administrasi. Hal itu secara rinci berbunyi: (1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual,
mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana (3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana
Sesuai dengan bunyi Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 sengketa perwakafan di Indonesia diselesaikan oleh Pengadilan Agama. Perseng- ketaan perwakafan itu sangat beragam, mulai dari dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif sampai dengan penguasaan tanah wakaf yang dilakukan secara turun temurun oleh Nadzir, yang penggunaannya menyimpang dari akad wakaf. Dalam hal sengketa wakaf itu sudah bergeser dan menyangkut ranah pidana, maka penyelesaianya dilakukan melalui Pengadilan Negeri.
Sekedar menyebut contoh penyelesaian tentang sengketa tanah wakaf, terdapat putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang kemudian terdapat upaya banding dan hasilnya dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Secara kronologis, duduk perkara wakaf tersebut sebagai berikut: HS, seorang wakif di daerah Jakarta telah mewakafkan tanah untuk makam keluarga. Karena penduduk setempat semakin bertambah, tanah tersebut tidak hanya digunakan untuk makam keluarga, tetapi juga untuk makam penduduk setempat. Setelah HS meninggal dunia, tanah tersebut dikelola oleh RY (anak HS). Menurut pengakuan RY, tanah tersebut adalah tanah warisan dari ayahnya, bukan tanah wakaf. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan bukti kepemilikan barupa girik/letter C.Nomor 5941 persil 13 Blok D II atas nama bersangkutan.
Setelah Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jakarta melakukan pemeriksaan, selanjutnya ditetapkan bahwa: (a) membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 311/pdt.G/2006/PA.JS tanggal 16 Oktober 2006; (b) menyatakan bahwa tanah pemakaman Kebelan Jaksel seluas 4776 M2 adalah tanah wakaf yang berfungsi sebagai makam/kuburan; (c) memerintahkan kepada pembanding untuk mendaftarkan tanah wakaf tersebut ke Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan setempat selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Dari contoh peristiwa di atas memberikan gambaran yang terjadi senyatanya, bahwa: (a) Administrasi wakaf belum dilakukan sesuai dengan
Lihat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tenntang Wakaf.
amanat peraturan perundang-undangan, terutama aspek pencatatan atau pendaftarannya; (b) penukaran tanah wakaf berpotensi menimbulkan masalah dan sengketa di kemudian hari, apabila tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam hal terjadi sengketa, sebenarnya penyelesaian kasus wakaf itu tidak mesti melalui jalur litigasi, tetapi dapat juga dilakukan melalui jalur non litigasi. Untuk itu, maka tahapan penyelesaiannya dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Penyelesaian Sengketa Wakaf sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Adapun yang dimaksud mediasi dalam konteks penyelesaian di atas adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang penunjukannya disepakati oleh pihak-pihak yang sedang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan masalah, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah juga tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama sebagai garda terakhir dalam mencari keadilan hukum. Hal ini sejalan dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang menyebutkan ―Pengadilan Agama bertugas dan berwenang dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama Islam.
Sedangkan sengketa wakaf yang bergeser menjadi perkara pidana, berikut ini adalah salah satu contoh kasus. Peristiwa itu terjadi pada awal tahun 2008. Mantan Lurah Sukapada, Agus Anwari, disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung dalam kasus pembuatan keterangan palsu ke dalam akta outentik yang berhubungan dengan tanah wakaf pemakaman yang terletak di Blok Bojongkoneng, Kel. Sukapada, Kec. Cibeunying Kidul, Kota Bandung, tepatnya Sedangkan sengketa wakaf yang bergeser menjadi perkara pidana, berikut ini adalah salah satu contoh kasus. Peristiwa itu terjadi pada awal tahun 2008. Mantan Lurah Sukapada, Agus Anwari, disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung dalam kasus pembuatan keterangan palsu ke dalam akta outentik yang berhubungan dengan tanah wakaf pemakaman yang terletak di Blok Bojongkoneng, Kel. Sukapada, Kec. Cibeunying Kidul, Kota Bandung, tepatnya
Dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Kresna Menon, S.H., M.H, terdakwa dianggap telah membuat surat keterangan terhadap keberadaan tanah yang bukan objek sebenarnya. Dalam keterangan yang dibuat terdakwa tersebut, ditegaskan bahwa tanah pemakaman tersebut belum bersertifikat dan tidak dalam sengketa. Keterangan tersebut diduga dibuat setelah pengurus PKB periode Sutoyo meminta bantuan kepada terdakwa selaku lurah untuk keperluan mengajukan permohonan pendaftaran tanah kepada BPN Kota Bandung," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Andi Arief, S.H.
Dalam dakwaan tersebut, Agus dijerat pasal 266 ayat (1) KUHP atau pasal 263 ayat (1) KUHP. Pembuatan keterangan palsu tersebut dilakukan terdakwa antara tahun 1990 sampai tahun 1994. Kasus tersebut berawal dari adanya pengakuan bahwa tanah wakaf PKB yang luasnya 5.670 m2 adalah tanah milik ahli waris Odo bin Ma'ruf. PKB di bawah kepengurusan Sutoyo mendapatkan wakaf tersebut dari Satidjo dengan persil 102 kelas desa D V tanpa nomor kohir. Tanah wakaf itu tidak terdaftar dalam bukti induk desa. Sedangkan yang terdaftar adalah persil 99 kelas desa D VII nomor kohir 1274 atas nama Wongso Ma'ruf.
Surat keterangan belum bersertifikat dan tidak dalam sengketa No. 295/KT/1992 tertanggal November 1992 yang ditandatangani terdakwa diserahkan kepada PKB untuk dipergunakan sebagai salah satu persyaratan untuk mengajukan permohonan sertifikat hak milik pada BPN Kota Bandung. Padahal, isi surat yang ditandatangani terdakwa selaku Lurah Sukapada yang menerangkan persil 102 D V belum bersertifikat dan tidak dalam sengketa, tidak benar. Karena, lokasi persil 102 D V sebenarnya adalah lokasi persil 99 D VII nomor kohir 1274 yang terdaftar di buku induk Desa Cibeunying atas nama Wongso Ma'ruf.