Tata Cara Umrah

E. Tata Cara Umrah

Dalam ibadah umrah terdapat tahapan yang berkaitan dengan kaifiyat atau tata cara melaksanakannya, yaitu:

1) Disunnahkan mandi besar (janabah) sebelum ihram untuk umrah;

2) Menggunakan pakaian ihram, laki-laki dengan 2 (dua) kain yang dijadikan sarung dan selendang, sementara perempuan memakai pakaian yang menutup aurat, dengan tidak memakai cadar atau sarung tangan, dan tidak memakai perhiasan;

3) Niat umrah pada miqat (batas wilayah tanah suci), kemudian shalat sunah dua rakaat dan mengucapkan Labbaika Allahumma 'umratan atau Labbaika Allahumma bi'umratin . Bagi laki-laki bertalbiyah dengan dikeraskan suaranya, dan bagi perempuan cukup dengan suara yang dapat didengar orang yang ada di sampingnya, yaitu: mengucapkan Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk laa syarika laka --Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, segala nikmat dan segala kekuasaan adalah

miliik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu; 127

4) Apabila telah sampai di kota Makkah, disunahkan mandi terlebih dahulu sebelum memasukinya;

5) Pada saat sampai di Ka'bah, talbiyah berhenti sebelum thawaf. Kemudian menuju hajar aswad sambil menyentuhnya dengan tangan kanan dan menciumnya jika mampu dan mengucapkan Bismillahi Wallahu Akbar.

Ibid ., hlm. 60.

Apabila tidak dapat menyentuh apalagi menciumya, maka cukup memberi isyarah dan mengucapkan kalimat ―Allahu Akbar‖;

6) Melakukan thawaf sebanyak 7 (tujuh) kali putaran. Thawaf diawali dan diakhiri di hajar aswad dengan posisi Ka'bah berada di sebelah kiri;

7) Melakukan shalat 2 (dua) raka'at di belakang maqam Ibrahim atau di tempat sekitar maqam Ibrahim di lingkungan Masjidil Haram dengan membaca surah Al-Kafirun pada raka'at pertama dan Al-Ikhlas pada raka'at kedua;

8) Melakukan Sa'i, yang dimulai dengan naik ke Bukit Shafa, kemudian menghadap kiblat sambil mengangkat kedua tangan untuk berdo‘a dengan mengucapkan Inna shafa wal marwata min sya'aairillah. Abda'u bima bada'allahu bihi (Aku memulai dengan apa yang Allah memulainya). Kemudian bertakbir 3 (tiga) kali tanpa memberi isyarat, selanjutnya mengucapkan Laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu. Lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa 'alaa kulli syai'in qadiir . Laa ilaha illallahu wahdahu anjaza wa'dahu wa nasara 'abdahu wa hazamal ahzaaba

wahdahu 3 (tiga) kali. Kemudian berdo‘a;

9) Pelaksanaan Sa'i dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali dengan hitungan berangkat satu kali dan kembalinya dihitung satu kali, diawali di bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah;

10) Pelaksanaan Sa‘i diakhiri dengan mencukur seluruh atau sebagian rambut kepala bagi laki-laki dan memotongnya sebatas ujung jari bagi perempuan, yang dilakukan di Bukit Marwah.

F. Ibadah Haji di Indonesia

1. Penyelenggaraan Ibadah Haji Penyelenggaraan ibadah haji ialah suatu sistem kegiatan dengan sub-sub sistemnya yang meliputi: Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), pendaftaran, pembinaan, kesehatan, keimigrasian, transportasi, akomodasi, penyelenggaraan ibadah haji khusus, dan umrah. Penyelenggaraan haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, disamping juga mengacu 1. Penyelenggaraan Ibadah Haji Penyelenggaraan ibadah haji ialah suatu sistem kegiatan dengan sub-sub sistemnya yang meliputi: Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), pendaftaran, pembinaan, kesehatan, keimigrasian, transportasi, akomodasi, penyelenggaraan ibadah haji khusus, dan umrah. Penyelenggaraan haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, disamping juga mengacu

Pengertian itu sejalan dengan bunyi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan ibadah haji adalah: ―Rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan dan perlindungan jamaah haji‖. Sementara itu dalam Pasal

1 ayat (11) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 396 Tahun 2003 tentang perubahan atas keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 371 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah disebutkan bahwa: ―penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jamaah haji di tanah air dan di Arab Saudi.‖

Dalam konteks Penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia dapat dipahami sebagai suatu rangkaian kegiatan yang meliputi: pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam pelaksanaan ibadah haji kepada calon jamaah haji dan kepada jamaah haji itu sendiri, baik di tanah air maupun di Arab Saudi. Secara lebih rinci rangkaian kegiatan itu terdiri atas: pendaftaran, penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), pengurusan paspor dan visa, pembinaan/bimbingan kepada calon jamaah haji, rekrutmen dan pengorganisasian petugas haji, Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, konsumsi, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, sampai pembinaan pasca menunaikan ibadah haji.

2. Regulasi Penyelenggaraan Ibadah Haji

Berbanding lurus dengan keberadaan umat Islam di Indonesia, penyelenggaraan haji pun telah dilaksanakan sejak umat Islam ada. Berbagai peraturan pun telah diberlakukan sesuai dengan kondisi sosial politik pemerintahan yang berkuasa. Sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda, administrasi penyelenggaraan haji didasarkan atas regulasi Pemerintahan

Belanda, yaitu Pelgrems Ordonnatie Staatsblaads Tahun 1922 Nomor 698, termasuk perubahan serta tambahannya dan Pelgrems Verordening Tahun 1938.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, kedua peraturan tersebut tidak dicabut tetapi dilengkapi dengan regulasi lainnya, yaitu berupa Peraturan Presiden RI, antara lain:

1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji.

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji Secara Interdepartemental.

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji oleh Pemerintah.

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1981 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji.

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1995 tentang Penyelenggaran Urusan Haji.

6. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 1995 juncto Keputusan Presiden Nomor

81 Tahun 1995 juncto Keputusan Presiden Nomor 119 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji.

3. Fenomena Penyelenggaraan Haji

Penyelenggaraan ibadah haji merupakan agenda rutin yang menjadi hajat tahunan , dilaksanakan setiap tahun sekali. Sejalan dengan pelaksanaannya, persoalan ibadah haji selalu saja mengemuka dengan spektrum yang silih berganti, baik mencakup bidang pendaftaran, termasuk masalah Ongkos Naik Haji (ONH) atau Biaya Pendaftaran Ibadah Haji (BPIH), pembinaan, pelayanan, dan perlindungan serta keamanan. Dari aspek pelayanan persoalan klasik yang kerap dihadapi jamaah haji adalah masalah jamaah haji yang gagal berangkat, katering, dan pemondokan.

Dalam rangka meningkatkan layanan penyelenggaraan ibadah haji, hampir setiap tahun pemerintah mengevaluasi dan berupaya melakukan pembenahan di sana sini terkait dengan administrasi dan managemen Dalam rangka meningkatkan layanan penyelenggaraan ibadah haji, hampir setiap tahun pemerintah mengevaluasi dan berupaya melakukan pembenahan di sana sini terkait dengan administrasi dan managemen

Setidaknya terdapat 3 (tiga) masalah yang memicu banyak sorotan, yaitu: kebijakan tarif, kebijakan pemberdayaan pelaku usaha nasional dan organisasi penyelenggaraan ibadah haji. Pertama, kebijakan tarif. Kebijakan tarif di sini adalah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang cenderung menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Padahal, apabila ditentukan dalam mekanisme terbuka, maka BPIH tersebut tidak akan lebih tinggi daripada biaya yang semestinya. Bahkan penetapan BPIH untuk segmen haji regular sebagaimana dikritisi Iqbal (Ketua KPPU) sebaiknya terbentuk melalui mekanisme persaingan yang tidak diskriminatif disertai dengan kriteria-kriteria teknis yang jelas dan transparan.

Sebagaimana yang sudah banyak diketahui, bahwa BPIH ditetapkan oleh Presiden setahun sebelumnya, atas usulan Menteri Agama dengan persetujuan DPR RI. Konsekuensinya, informasi tentang besaran biaya haji praktis tidak mempertimbangkan dorongan potensi efisiensi yang bisa saja dilakukan oleh penyelenggara haji swasta. Karena pasar diatur secara kaku, bahkan dipersepsikan given oleh swasta, sehingga mengakibatkan monopolisasi pasar penyelenggaraan ibadah haji menjadi terjustifikasi oleh sistem. Dengan begitu, tarif yang terbentuk cenderung untuk terus naik bahkan eksploitatif. Sementara itu, eksploitasi pasar yang terjadi juga dapat ditunjukan pada segmentasi pasar haji khsusus atau haji plus. Penetapan tarif ONH plus oleh pemerintah ternyata tidak mendorong swasta untuk melakukan efisiensi. Karakter permintaan pasar di segmen yang bersifat inelastik ini, dimanfaatkan swasta untuk menetapkan besaran tarif di atas ketentuan tarif yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Sementara, ketentuan regulasi penyelenggaraan ibadah haji tidak mengatur mengenai sanksi atas perilaku semacam itu. 128

Kedua , kuota haji. Sejak tahun 2011 Kementerian Agama RI berupaya memperjuangkan kuota haji tahun 2011 dengan target meningkat sampai dengan

22 persen. Dalam dokumen Kementerian Agama RI, saat itu kuota yang diperoleh Indonesia mencapai 211 ribu. Jumlah itu semestinya mendapat penambahan kuota haji dan akan disampaikan kepada pemerintah Arab Saudi, sehingga apabila dikabulkan menjadi 238 ribu sampai dengan 258 ribu. Berkaitan dengan itu, Menteri Agama RI Surya Dharma Ali (saat itu) menegaskan, bahwa kuota haji Indonesia harus ditambah seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia. Apabila jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa, dan kuota haji dihitung berdasarkan rasio satu per- seribu, maka Indonesia selayaknya mendapatkan kuota 237 ribu jamaah haji. Selain itu diharapkan bahwa "Penambahan kuota juga untuk memperpendek daftar tunggu". Menteri Agama Surya Dharma Ali mengakui bahwa saat ini daftar tunggu haji Indonesia sudah mencapai waktu yang cukup melelahkan, karena harus menunggu (waiting list) sembilan hingga 10 tahun.

Ketiga , kebijakan pemberdayaan pelaku usaha nasional. Untuk hal itu Kementerian Agama RI menyampaikan komitmen tidak keberatannya dengan keberadaan lembaga pengelola keuangan haji di luar kementerian. "Gagasan menghadirkan lembaga tersebut muncul dari pemerintah" ujar Sekretaris Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag RI Abdul Ghafur Djawahir seperti dilansir situs resmi Kementrian Agama. Persoalannya, menurut Abdul Ghafur "Pengelolaan dana haji dengan jumlah besar oleh pihak swasta itu masih terkendala oleh regulasi yang tidak memadai‖.

Beberapa hasil penelitian yang dirangkum oleh Balitbang Kementerian Agama RI yang m engusung tema besar tentang Manajemen Pelayanan Haji di

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17806/kppu-penyelenggaraan-haji-masih- menuai-masalah.

Indonesia menemukan beberapa poin penting. 129 Pertama, manajemen pelayanan haji di beberapa daerah di Indonesia secara umum cukup baik. Beberapa aspek yang harus dipenuhi dalam manajemen pelayanan, seperti

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi sudah dilakukan sesuai petunjuk Kementerian Agama Pusat.. Tetapi besar kemungkinan, mengingat tugas pelayanan haji itu dilakukan setiap tahun, seolah-olah sudah dianggap sebagai kebiasan rutin, sehingga terkesan dilakukan secara apa adanya.

Kedua, pada umumnya pihak Kantor Urusan Agama tidak keberatan ikut terlibat dalam penyelenggaraan haji sebagai fasilitator bimbingan manasik

haji. Tetapi, karena tidak diimbangi dengan informasi yang jelas terkait dengan tugas tambahan tersebut dan alokasi pendanaan untuk bimbingan terlambat dikucurkan, maka akibatnya pihak KUA cukup kerepotan.

Ketiga, pengawasan dan monitoring terhadap pelaksanaan tugas tambahan KUA, di beberapa wilayah tidak dilakukan. Akibatnya, terjadinya procrastination dan kebocoran dalam kewenangan (linkage of authority) yang mengakibatkan KUA tidak dapat melaksanakan pembimbingan calon jamaah haji secara maksimal. Pada gilirannya para jamaah haji merasa kehilangan haknya untuk mendapatkan bimbingan manasik haji yang berkualitas.

Keempat, faktor pendukung yang mengakibatkan ketidak sempurnaan pelayanan haji itu antara lain adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan fungsi secara efektif (inmobilisminability to function) seperti fungsi transparansi dan koordinasi para pejabat. Kondisi itu tidak terlepas dari sistem

birokrasi yang masih cenderung mementingkan struktur, hirarki, dan sentralistik. Pada sisi lain, terkesan adanya keraguan pejabat di tingkat pusat terhadap kemampuan para pelaksana di tingkat bawah seperti KUA, sehingga merasa perlu untuk tidak menyalurkan biaya bimbingan manasik haji secara langsung kepada para pejabat KUA. Apabila model birokrasi seperti itu terus berlanjut, maka bukan mustahil apabila dalam jangka panjang bisa menimbulkan resitensi pada pelaksanaan di level bawah, misalnya berbentuk ketidak pedulian para pejabat KUA terhadap program-program layanan haji

129 Imam Syaukani (Ed.). Manajemen Pelayanan Haji di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama

RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), hlm. Xiv.

yang sudah barang tentu sangat tidak menguntungkan bagi para calon jamaah haji.