PRANATA SOSIAL HUKUM ISLAM pdf
I. PRANATA SOSIAL DAN NORMA SOSIAL HUKUM ISLAM
Perbincangan tentang konsep pranata sosial yang menjadi poin penting dari pembahasan tulisan ini dapat dimulai dari formasi kata ―pranata dan sosial‖. Dalam menelusuri pengertian pranata itu, setidaknya terdapat 2 (dua) varian kata yang sering dipersinggungkan, yaitu: institusi dan pranata. Dua varian kata itu seolah-olah memiliki prasa makna yang berbeda. Padahal kata institusi dan pranata itu berasal dari akar kata yang sama, yaitu institution. Di dalam bahasa latin kata instituere berarti mendirikan. Dari kata instituere itu lahir kata benda institution yang berarti pendirian. Dalam bahasa Indonesia institution diartikan dengan pengertian institusi (pranata) dan institut (lembaga).
Istilah institusi itu sering digunakan untuk pola tingkah laku yang telah disepakati. Judistira K. Garna memberikan pengertian institusi dengan ―suatu pola tingkah laku yang telah menjadi biasa, atau suatu pola relasi sosial yang memiliki tujuan sosial tertentu 1 ‖. RM. Maclver dan CH. Page sebagaimana dikutip Judistira K. Garna mendefinisikan institusi dengan: ―established forms or conditions of procedurs characteristics of group activity 2 ‖.
Secara lebih sederhana institusi berarti suatu ―sistem norma atau aturan yang ada. Sedangkan institut adalah wujud nyata dari norma-norma 3 ‖. Dengan definisi-definisi tersebut, maka dikenal berbagai institusi seperti institusi peribadatan, pendidikan, kesenian, kesehatan, sosial, dakwah, dan hukum.
Dalam tradisi Ilmu Sosial, penggunaan istilah institusi itu sering dilakukan secara bergantian dengan istilah pranata. Dalam konteks ini istilah pranata sering dikaitkan dengan norma yang bersifat abstrak dan fenomena sosial yang bersifat empirik. Karena itu, pranata didefinisikan pula dengan ―seperangkat aturan yang berkisar pada kegiatan atau kebutuhan tertentu‖. Dalam
1 Judistira K. Garna. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi, (Bandung: Unpad, 1996), hlm. 151. 2 Ibid., hlm. 152. 3 Trihardini dkk. Pranata Sosial, (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2009), hlm.6.
kamus bahasa Indonesia pranata berarti sistem tingkah laku sosial yang disetujui bersama atau adat istiadat konvensional dalam masyarakat tertentu. Sedangkan pengertian pranata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat. Sementara pengertian
sosial ialah segala sesuatu yang berkenaan dengan kemasyarakatan. 4 Istilah ―pranata sosial‖ yang merupakan rangkaian kalimat (idhapah) dari
kata pranata dan kata sosial itu sebenarnya berasal dari bahasa Inggris social institution . Dalam beberapa referensi pranata sosial itu disebut dengan lembaga sosial dan bangunan sosial. Meskipun istilah yang digunakanya berbeda-beda, tetapi social institution menunjuk pada dustur yang sama, yaitu mengatur perilaku dan pola hubungan anggota masyarakat. Jadi dapat dikatakan, bahwa pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Karena itu, terdapat tiga kata kunci di dalam setiap pembahasan mengenai pranata sosial, yaitu:
a. Nilai dan norma.
b. Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum.
c. Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
Pranata sosial itu muncul dan berkembang sebagai refleksi dari suatu kebudayaan masyarakat. Karena itu, pembahasan tentang pranata sosial berkaitan dengan pembahasan tentang kebudayaan manusia sendiri, yang menurut
4 Amran Ys Chaniago. Kamus Bahasa Indonesia (Bandung: Pustaka Setia,1995), hlm. 466 dan 509.
Kluckhon adalah ―keseluruhan cara hidup manusia‖. 5 Hal itu kemudian diwujudkan dalam bentuk konsep-konsep, gagasan dan rencana (blue print) yang
tersusun sebagai kombinasi antara reaksi manusia terhadap lingkungan sekitar dengan etos-etos yang menjadi nilai dasar kehidupannya. Selanjutnya keadaan itulah yang membentuk perilaku serta tradisi manusia, baik dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, sosial maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya. Perilaku dan tradisi itulah yang biasa disebut sebagai pranata social. 6
Dalam kontek ini dapat dipahami bahwa pranata sosial adalah tradisi- tradisi dalam kehidupan manusia yang terbentuk sebagai kombinasi antara reaksi kemanusiaan atas tantangan dan dinamika lingkungannya dengan etos yang menjadi nilai dasar kehidupan. Bagi kalangan umat Islam, nilai etos itu terbentuk dari ajaran dasar al- Qur‘an dan al-Hadis yang dijewantahkan dan dikembangkan melalui kreasi ijtihad.
Dalam pandangan Soerjono Soekanto, pranata sosial yang terdapat di dalam masyarakat itu harus dilaksanakan dengan fungsi berikut:
a. Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang tata cara bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
b. Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
c. Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
Pada prinsipnya pranata sosial itu memiliki tujuan yang sama dengan norma sosial. Dalam hal ini pranata sosial berbanding lurus dengan norma- norma sosial, karena sesungguhnya pranata sosial merupakan produk dari norma sosial. Secara umum, tujuan utama pranata sosial adalah untuk mengatur agar
5 Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial. (Jakarta: Rajawali Press,1996), hlm.163. Lihat
pula Clyde Cluckhon. “Cermin bagi manusia”, dalam Parsudi Suparlan (ed.), Manusia, Kebudayaan dan Lingkunganny a, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 69.
6 Ibid. hlm.163
kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, di samping untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat dapat berjalan dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku, sehingga dapat terwujud ketertiban lahiriyah dan ketentraman batiniah. Untuk sekedar menyebut contoh, pranata keluarga mengatur perkawinan, kewajiban dan hak suami- isteri, dan tata cara keluarga dalam memelihara dan mendewasakan anak (hifdz al-nasl). Sementara itu, pranata pendidikan mengatur kewajiban, tugas, dan kewenangan lembaga pendidikan seperti: ma‘had, sekolah, dan perguruan tinggi dalam mendidik para santri, siswa, dan mahasiswa sebagai upaya membangun generasi ulul albab yang cerdas (hifdz al-aql), sehingga kelak dapat menghasilkan lulusan yang handal dan berkualitas.
Begitu pula yang berkaitan dengan kelengkapan menunaikan kewajiban ibadah mahdhah. Mendirikan shalat misalnya perlu adanya sarana yang disebut dengan mushalla, langgar, tajug, atau masjid, meskipun dalam ajaran Islam melaksanakan shalat itu bisa di mana saja asal suci dan bersih dari kotoran, kullu makanin masjidun —setiap ruang/tempat bisa dijadikan masjid—tempat shalat. Karena itu, menunaikan ibadah shalat tidak mesti di masjid, apabila keadaannya tidak memungkinkan, dapat dimana saja sesuai kemampuan dan keadaan. Tetapi dalam keadaan yang semestinya —rutinitas keseharian, keberadaan tempat-tempat suci untuk beribadah itu menjadi suatu keharusan, agar umat Islam mendapat berbagai kemudahan, keamanan, kenyamanan, kekhusuan, kekhidmatan, dan kelancaran dalam menunaikan ibadahnya.
Sementara itu, dalam ibadah-ibadah lainnya seperti zakat, infaq, dan shadaqah diperlukan lembaga penunjang seperti BAZIS, UPZIS, dan LAZIS (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011). Dalam ibadah shaum pun diperlukan lembaga khusus yang bertugas menetapkan awal bulan Ramadhan, penetapan 1 Syawal (iedul fitri) dan penetapan awal bulan Dzulhijah seperti Badan Hisbah dan Ru‘yat (BHR).
Demikian halnya dengan sarana penunjang pelaksanaan ibadah haji, diperlukan lembaga yang khusus menangani urusan haji. Di lingkungan Kementerian Agama RI dikenal Direktorat Jenderal Urusan Haji dan Umrah.
Sementara itu, lembaga-lembaga yang secara khusus dapat memberikan bimbingan, pembekalan, pengawalan, dan pendampingan dan membantu pelaksanaan ibadah haji seperti KBIH dan Biro Perjalanan Haji dan Umrah atau bentuk-bentuk lainnya seperti travel memiliki peran besar dalam membantu memperlancar penyelenggaraan haji, sehingga keberadaannya tetap harus dipelihara, dipertahankan dan ditingkatkan.
Dengan memperhatikan keberadaan, peran dan fungsi strategis pelbagai lembaga tersebut, maka keberadaannya menjadi wajib dan mutlak diperhatikan. Dalam kaidah fiqh dikatakan: Mala yatimul wajibu illa bihi fahuwa wajibun. 7
Karena itu dapat dibayangkan apabila lembaga-lembaga itu tidak tersedia, tidak dimiliki, maka kewajiban untuk menunaikan ibadah dan kegiatan lainnya yang berdimensi ibadah dan muamalah, yang menjadi hajat orang banyak sangat sulit dapat diwujudkan. Mengingat berbagai persoalan, termasuk persoalan muamalah dan fenomena sosial semakin berkembang pesat seiring dengan semakin berkembang dan bertambah pesatnya dinamika perkem-bangan dan kesadaran hukum umat Islam dalam melaksanakan rukun Islam dan ibadah-ibadah lainnya yang dititahkan Allah SWT. dan Rasul-Nya. Karena itu pula, pranata-pranata sosial hukum Islam yang selama ini sudah membuktikan keberadaan dan peran serta fungsi strategisnya perlu mendapatkan perlindungan, penguatan hukum, dan peningkatan kualitas agar keberadaannya tetap eksis sejalan dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
7 A. Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah- masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.32.
II. INSTITUSIONALISASI IBADAH DAN PRANATA SOSIAL PERIBADATAN
A. Pengertian dan Konsep Ibadah
Dari segi bahasa, kata ibadah berasal dari kata „abada ya‟budu „ibadatan, yang berarti beribadah atau menyembah. 8 Dalam kamus bahasa Indonesia, kata
ibadah bermakna kebaktian kepada Tuhan. 9 Harun Nasution merumuskan kata ibadah dengan tunduk dan patuh dan tidak hanya memiliki pengertian
menyembah, karena tuhan maha sempurna dan tak berhajat kepada apapun. 10 Pengertian itu sejalan dengan pandangan Imam Al-Qurthubi yang berpendapat
bahwa asal makna ibadah adalah merendahkan diri dan tunduk. 11 Dari segi istilah, makna ibadah memiliki banyak arti, antara lain diartikan
dengan: ”Mendekatkan (diri) kepada Allah SWT, dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengamalkan apa-
apa yang diizinkan agama‖. 12 Pengertian lain yang tampak lebih luas disampaikan oleh Ibnu Taymiyah, yang mengartikan ibadah dengan: ―suatu nama
yang mencangkup segala bentuk yang dicintai serta diridhai Allah, baik ucapan, maupun perbuatan yang nyata atau tersembunyi. 13 ‖
Terminologi tersebut memberikan pemahaman bahwa ibadah tidak sekedar menyembah tetapi juga merupakan bentuk upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan- Nya, serta tidak hanya berbentuk ritual tetapi dapat berupa aktifitas lain yang baik dan diridhai Allah SWT.
8 Atabik Ali dkk. Kamus Al-
9 „Ashr (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,1998), hlm.1268. Amran Ys Chaniago. Kamus Bahasa Indonesia (Bandung: Pustaka Setia,1995), hlm.251 10 Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta:UIP), hlm. .33
11 Abdurrahman Hasan Alu Syaikh. Fathul Majid. (Wizarah Syuun Islamiyyah wal Awqaf wa 12 Da‟wah wal Irsyad al-Mamlakah al‟Arabiyah, 1421H), hlm. 27
Aceng Zakaria. Tarbiyah An-Nisa, (Garut: Ibn Azka Press, 2006), hlm.1. 13 Abdurrahman Hasan Alu Syaikh. Op.Cit. hlm. 27
Bagi hamba Allah SWT. yang berkeyakinan akan adanya rabb, Allah SWT. dan mengimaninya, persoalan ibadah menjadi refleksi dari nilai-nilai keimanan. Dalam ajaran Islam ibadah itu merupakan tujuan awal penciptaan jin dan manusia selaku makhluk ciptaan-Nya di muka bumi. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT. dalam Surah Adz Dzariyat ayat 56: Wa maa khalaqtul Jinna Wal Insa illa liya‟buduuni—Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku. 14
B. Dasar Hukum dan Hukum Asal Ibadah
1. Dasar Hukum Ibadah
Terdapat sejumlah dalil yang menguatkan pentingnya melaksanakan ibadah sebagai bentuk dan wujud penghambaan makhluk kepada khaliknya, manusia kepada Allah SWT. Dalil-dalil itu berupa Al- Qur‘an, Al-Hadis, dan Ijma‘ ulama.
a. Al-Qur’an
Dalam Surah Al-Dzariyah ayat 56-58, Al-Maidah ayat 3, dan Surah Yunus ayat 59 dijelaskan tentang titah dan pentingnya ibadah.
1) Surah Al-Dzariyah ayat 56-58 mengatur tentang keharusan manusia untuk beribadah, yang terjemahannya berbunyi: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha
Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh‖. 15
2) Surah Al-Maidah ayat 3 menjelaskan tentang kesempurnaan agama Islam, yang terjemahannya berbunyi: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu‖. 16
14 Departemen Agama RI. Al- Qur‟an dan Terjemahannya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), hlm. 862.
15 Ibid., hlm. 862-863. 16 Ibid., hlm. 157.
Melalui utusan-Nya yang terakhir, Muhammad Rasulullah SAW., Allah SWT. telah menyempurnakan agama Islam ini sebagai ajaran yang paling lengkap untuk umat manusia. Pelbagai persoalan yang berkaitan dengan urusan hidup manusia, baik urusan duniawi maupun urusan ukhrawi telah diatur secara sempurna. Karena itu segala sesuatu yang disyari‘atkan sesudah turunnya ayat ini, maka bukan bagian dari ajaran agama Islam.
b. Al-Hadis
Dalam kapasitas sebagai bayan fi al- Syari‟ah, hadis menjadi sumber ajaran yang kedua setelah Al- Qur‘an, yang berfungsi juga sebagai penjelas bagi ayat-ayat Al- Qur‘an yang masih mujmal. Melalui periwayatan yang shahih, dijelaskan tentang hal ihwal yang berkaitan dengan ‗ubudiyah, antara lain:
1) Dari Abu Dzar RA. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: ―Tidak ada sesuatu yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka
kecuali telah diterangkan kepada kalian 17 ”.
2) Dalam Musnad Al- Syafi‘i dijelaskan: ―Tidaklah aku tinggalkan sesuatu yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali telah aku perintahkan kalian melaksanakannya. Dan tidak juga aku meninggalkan suatu larangan yang telah Allah larang kalian darinya kecuali telah aku larang kalian
darinya. 18 ‖
3) Dalam Al-Hadis yang diriwayatkan Bukhari, Nabi SAW. bersabda: ―Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.‘‘ 19
c. Ijma’ Ulama
Ibadah merupakan suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada Khaliknya, Allah SWT, yaitu dengan melakukan ritual atau aktifitas yang telah diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam Islam konsep ibadah (ritual) itu sangat erat dengan hal-hal yang diperintahkan Allah SWT. dan
17 Hadis riwayat Thabrani dalam al-Kabir Nomor 1647 (dishahihkan dalam al-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani ).
18 Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam al-Shahihah .
19 Bukhari. Shahih Bukhari, (Kairo: Darul Hadis, t.th) hlm 155.
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam kaitan itu, maka ijma‘ ulama merumuskan bahwa ―Ibadah adalah tauqifiyah‖ atau ―Ibadah dibangun di atas tauqif .‖ Dengan perkataan lain tidak boleh beribadah kepada Allah SWT. dengan bentuk apapun, kecuali apabila ibadah itu telah benar-benar terdapat ketentuannya dalam nash syar‘i, baik melalui Al-Qur‘an maupun dalam Al- Hadis.
2. Hukum Asal Ibadah
Dalam ajaran Islam, prinsip dasar beribadah (habl min Allah) itu berbeda dengan bermu‘amalah (habl min al-Nas). Dalam beribadah hukum dasarnya adalah larangan, kecuali yang diperintahkan. Dalam hal ini melakukan ibadah itu dilarang, kecuali yang jelas-jelas ada perintah dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Al-Ashlu fi al-Ibadati al-Buthlanu Hatta Yaquuma Dalilu ala al-Amri. — Hukum asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang
memerintahkannya. 20 Sedangkan dalam muamalah prinsip hukum dasarnya adalah serba boleh, kecuali yang dilarang. Al-Ashlu fi al-Muamalati al-Ibahah
illa an Yadula Dalilu „ala Tahrimiha—Hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya. 21
Imam Ahmad dan ulama hadis lainnya berkata: Sesungguhnya hukum asal dalam ibadah adalah tauqif, tidak disyariatkan untuk melaksanakannya kecuali apa yang telah Allah SWT. syari‘atkan. Pendapat Imam Ahmad dan ulama hadis itu kemudian diikuti oleh ulama lainnya seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz. Ia mengatakan: ―Ibadah adalah tauqifiyah, maka tidak disyari‘atkan kecuali apa yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. seperti melaksanakan shalat fardhu, zakat, shaum ramadhan, menunaikan ibadah haji, shadaqah, dan jihad yang telah ditunjukkan oleh dalil- dalil syar‘i.
20 A.Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.52. 21 Ibid., hlm. 10.
Tujuan disyari‘atkannya hukum tentang peribadatan itu adalah dalam rangka memelihara aspek keagamaan, yakni untuk memenuhi salah satu dari
tuntutan kepercayaan teologis, karena menjalankan rangkaian ibadah makhdah ini merupakan manifestasi dari tuntutan doktrin kepercayaan kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya.
3. Penjiwaan Nilai-nilai Ibadah
Kajian atas jati diri manusia sebagai hamba Allah SWT. dapat dibedakan dari makhluk-makhluk lainnya yang diciptakan Allah SWT. Manusia yang dilengkapi dengan akal, terdiri atas dua unsur, yaitu: jasmani dan rohani. Dua unsur itu menyatu dalam diri manusia. Menurut Moh. Ardani manusia adalah jasmani yang dirohanikan, dan manusia seutuhnya adalah rohani yang telah menjasmani, maka badan manusia bukan hanya materi semata-mata atau kejasmanian saja. Seluruh jasmani manusia dan segala gejalanya tidak sama dengan jasmani binatang, karena kejasmanian manusia adalah jasmani yang
dirohanikan dan di dalam jasmani itu terdapat roh yang menjasmani. 22 Dalam konteks ajaran Islam, unsur jasmani dan rohani itu perlu dipupuk
dengan sebaik-baiknya agar tetap sehat dan kuat. Secara fisik, jasmani perlu dipupuk dengan materi, makanan-minuman yang baik dan bergizi (halalan thayyiban ). Di samping itu diperlukan olah raga, olah kanuragan yang teratur. Ini penting untuk kebugaran dan keseimbangan jasmani dan tata pikir: Al-Aqlu Salim fil Jismi Salim , akal yang sehat terdapat pada jasad/jasmani yan sehat. Sedangkan rohani, secara psychis diperlukan pembinaan, pemeliharaan yang teratur, terus menerus dan berkelindan, agar stabilitas emosional dan kekuatan aqidah, kekuatan ibadah, kekuatan khulukiah dan kekuatan spiritual tetap terjaga dengan baik sebagai modal penghambaan diri, taqarub, ibadah kepada Khaliq.
Dengan demikian perlu diakui, bahwa peristiwa-peristiwa yang dialami manusia secara jasmaniah akan mempengaruhi gerak batin dan rohaninya. Sebaliknya situasi rohani seseorang juga akan tercermin dalam sikap dan tingkah
22 Moh. Ardani. Internalisasi Nilai-nilai Islam, Posted on Februari 11, 2008 by E-Center Istiqlal.
laku lahiriah atau jasmaniahnya. Dengan berbagai ucapan dan perbuatan dalam ibadah, rasa rohaniah dan rasa moral menjadi lebih tajam, yang pada gilirannya akan mengantarkan sosok pribadi manusia yang ―pandai merasa‖ daripada ―merasa panndai‖. Lebih lanjut segala peristiwa rohaniah manusia berpengaruh pada jasmaninya yang menggejala dalam kehidupan lahiriahnya. Demikian pula sebaliknya peristiwa yang dialaminya secara jasmaniah berpengaruh pada
rohaninya yang menggejala dalam kehidupan rohaniahnya. 23 Bagi umat Islam, melaksanakan ibadah itu merupakan wujud
penghambaan dan pengabdian diri yang dilakukan seorang makhluk kepada Khaliq, Allah SWT. Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya‟buduni. Atas dasar komitmen penciptaannya sejak awal, maka jin dan manusia sebagai makhluk Allah SWT. berkewajiban untuk tunduk dan patuh kepada sang Khalik, Allah SWT. yakni melalui ibadah makhdhah. Sudah barang tentu, semua bentuk ibadah, baik shalat, puasa, zakat, maupun haji, harus dipahami dan semata-mata bertujuan untuk taqarub kepada Allah SWT., agar jiwa manusia tetap ―eling‖, ingat dan merasa senantiasa dekat kepada-Nya. Keadaan yang demikian dapat memperkokoh kesucian jiwa, sehingga dapat menjadi prisai dalam membentengi dan mendurhakai hawa nafsunya yang selalu menggoda agar melanggar norma- norma, peraturan dan hukum yang berlaku.
Di samping bermakna tunduk dan patuh kepada Allah SWT. ibadah itu mengandung aspek latihan spiritual untuk mendapatkan kesucian, dan sebagai dimensi latihan khulukiah. Jadi, ibadah itu selain berfungsi untuk berbakti kepa-
da Allah SWT., juga membawa efek kesucian lahir batin, menjadikan orang baik yang jauh dari noda-noda hitam. Melalui penghayatan yang demikian pada tataran yang lebih jauh diharapkan agar sistem nilai yang bersinggungan dengan keimanan dapat berbaur, bersinergi menjadi satu dengan sistem norma yang terdapat dalam syari‘at.
C. Fenomena Pranata Sosial Peribadatan
23 Ibid.
1. Dinamika dan Tradisi Peribadatan
Kesadaran, pembumian dan tradisi keagamaan berupa praktik peribadatan yang dilaksanakan masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya dapat dilihat dari pranata sosial peribadatan yang ada. Nyatanya, keberadaan pranata sosial peribadatan itu tampak beragam. Hal itu dapat dipahami, mengingat Indonesia termasuk negeri Muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk menempati ranking 3 (tiga) negara terpadat di dunia. Sudah barang tentu, keadaan itu melahirkan banyak interaksi sosial dan tradisi keagamaan yang terbangun, sehingga pada gilirannya dapat menghadirkan banyak varian pranata sosial dalam peribadatan. Di sisi lain, interaksi sosial dan tradisi keagamaan yang terbangun itu justru banyak disebut-sebut sebagai faktor determinan dan daya ikat terciptanya kehidupan beragama yang rukun dan damai.
Dengan mencermati fenomena yang bersinggungan dengan pranata sosial dalam peribadatan tersebut dapat ditemukan berbagai tradisi keagamaan atau peribadatan dalam lingkungan masyarakat Indonesia, sehingga hal itu berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial yang lebih luas. Terdapatnya berbagai kelompok pengajian yang menjadi sarana untuk peningkatan proses pemahaman keagamaan yang cukup efektif tentunya memiliki implikasi langsung terhadap pemahaman ibadah masyarakat sebagai kewajiban vertikal umat Islam kepada Allah SWT. dan impak hubungan sosial di antara intern umat Islam sebagai bentuk nilai kesalehan personal dan sosial.
Hampir di pelbagai daerah komunitas masyarakat Islam itu memiliki tradisi keagamaan yang beragam. Di antara tradisi keagamaan kelompok masyarakat itu adalah tradisi kelompok pengajian yang terfokus pada kegiatan ―yasinan‖ dan ―qadiranan‖. Secara fungsional kelompok ―yasinan‖ dan ―qadiranan‖ itu menjadi wadah (pranata) silaturahmi yang cukup efektif di lingkungannya masing-masing. Sementara secara sosial komunitas pengajian seperti itu dapat pula menjadi sarana yang berpotensi mengandung dimensi nilai ekonomi, karena bisa jadi dimanfaatkan pula dengan kegiatan transaksi jual beli oleh beberapa orang anggota jamaah. Dengan demikian, slogan satu kali Hampir di pelbagai daerah komunitas masyarakat Islam itu memiliki tradisi keagamaan yang beragam. Di antara tradisi keagamaan kelompok masyarakat itu adalah tradisi kelompok pengajian yang terfokus pada kegiatan ―yasinan‖ dan ―qadiranan‖. Secara fungsional kelompok ―yasinan‖ dan ―qadiranan‖ itu menjadi wadah (pranata) silaturahmi yang cukup efektif di lingkungannya masing-masing. Sementara secara sosial komunitas pengajian seperti itu dapat pula menjadi sarana yang berpotensi mengandung dimensi nilai ekonomi, karena bisa jadi dimanfaatkan pula dengan kegiatan transaksi jual beli oleh beberapa orang anggota jamaah. Dengan demikian, slogan satu kali
Fenomena keagamaan komunitas pengajian itu mengindikasikan dinamika dan interaksi sosial masyarakat Muslim, yaitu terjadinya persinggungan antara ranah kehidupan sosial-ekonomi dengan peran penting agama. Dengan kata lain ada korelasi positif antara fenomena kegiatan keagamaan dengan zona ekonomi. Hal ini memperkuat tesis Weber yang menyatakan ada kecenderungan hubungan
positif antara agama dengan tingkah laku ekonomi. 24 Bentuk peribadatan lain yang memiliki dimensi sosial diantaranya zakat.
Dalam tataran praktis di lapangan, persoalan zakat ini tidak terlepas dari dinamika nilai dan kultur kehidupan masyarakat yang terus berkembang. Karena itu, peluang untuk dikaji tetap terbuka lebar, baik dalam segi jenis barang dan harta yang harus dizakati, maupun strategi pendistribusiannya, mengingat semakin berkembangnya katalisator zakat konsumtif dan produktif.
Terakhir muncul gagasan besar dan kesepakatan dalam musyawarah cendekiawan yang diprakarsai ICMI Pusat (Dr.Hj. Marwah Daud) bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran Bandung (Prof. Dr. H. Ganjar Kurnia) pada tanggal 7 September 2013 di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad untuk mengkonversi zakat dari asnaf (golongan) fakir miskin dan sabilillah ke premi Jaminan Sosial, BJBS (Askes) untuk perlindungan kesehatan bagi masyarakat miskin (bukan yang mengaku sadikin, sedikit-sedikit miskin). Hasil musyawarah itu diapresiasi oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan diagendakan untuk menjadi proyek unggulan di Jawa Barat. Begitu pula persoalan kelompok mustahiq zakat, mengingat tidak seluruh asnaf itu dapat ditemukan di lingkungan masyarakat Muslim Indonesia.
2. Peran atau Fungsi Pranata Agama
Penduduk Indonesia adalah masyarakat agamis, yang menganut berbagai agama. Beberapa agama yang diakui sebagai agama resmi negara yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Dalam ajaran Islam, peran agama ini
24 Ibid.
sangat strategis. Mukti Ali sebagaimana dikutip Oyo Sunaryo Mukhlas mengemukakan peran agama dalam pembangunan manusia dengan peran: motivativ, kreatif, sublimatif, dan integratif.
1. Agama sebagai peran motivatif, yaitu mendorong, mendasari, dan melandasi cita-cita serta amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. Nurcholis Madjid mengidentikan konsep motivasi ini dengan istilah ―niat‖. Niat ini merupakan syarat mutlak untuk melakukan usaha secara bertanggungjawab, sehingga usaha tidak hanya untung-untungan, asal jadi, tidak bergairah serta mudah menjadi oportunis;
2. Agama sebagai peran kreatif, yaitu mendorong dan mengusung umat Islam, yang tidak hanya melakuakan kerja produktif saja, melainkan karya baru;
3. Agama sebagai peran sublimatif, yaitu mengkuduskan segala amaliah umat Islam. Segala perbuatannya dipandang dalam kerangka ibadah kepada Allah;
4. Agama sebagai peran integratif, yaitu dapat memadukan segala kegiatan umat Islam, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, sehingga terhindar dari bencana ―kepribadian yang pecah‖ dan mampu menghadapi tantangan serta resiko kehidupan. Disini soliditas dan kohesifitas lebih ditekankan untuk
kebersamaan, simbiosis mutualistis, saling membantu dan menolong. 25
Keragaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia itu tentu memerlukan rambu-rambu agar tercipta iklim yang kondusif bagi penganut agama masing-masing. Karena itu diperlukan suatu pranata sosial dan pranata keagamaan, yaitu norma dan sistem yang mengatur hubungan antar manusia, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan Tuhannya, Allah SWT., sehingga ketertiban lahiriyah dan ketentraman batiniah dapat diwujudkan secara seimbang dan dengan sebaik-baiknya.
Pranata agama sebagai salah satu bentuk pranata sosial, memiliki beberapa fungsi berikut:
25 Oyo Sunaryo Mukhlas, Membangun Masyarakat Taat Hukum: Perspektif Sosiologi Hukum, Artikel Diskusi Dosen, (Bandung: Fakultas Syari‘ah dan Hukum, 2013), hlm. 8.
a. Fungsi ajaran atau aturan, yaitu memberi tujuan atau orientasi sehingga timbul rasa saling hormat antar sesama manusia. Agama juga dapat menumbuhkan sikap disiplin, pengendalian diri, dan mengembangkan rasa kepekaan sosial. Tiap-tiap ajaran agama pada dasarnya mengarah ke satu tujuan, yaitu kebaikan di dunia dan di alam baqa‘, alam abadi.
b. Fungsi hukum, yakni memberikan aturan yang jelas terhadap tingkah laku manusia tentang hal-hal yang dianggap benar dan hal-hal yang dianggap salah.
c. Fungsi sosial, yaitu sebagai dasar aturan kesusilaan dalam masyarakat, misalnya dalam masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, perkawinan, kesenian, dan arsitektur bangunan.
d. Fungsi ritual, dalam hal ini ajaran agama memiliki cara-cara ibadah khusus yang tentu saja berbeda dengan cara-cara ibadah agama lainnya.
e. Fungsi transformatif yakni agama dapat mendorong manusia untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
3. Pranata Sosial Antar Umat Agama
Agama Islam sangat menekankan pentingnya aspek spritual keagamaan, yang menempatkan wahyu Allah SWT. sebagai pedoman hidup umat Islam, dengan tetap memperhatikan fenomena dan dinamika kehidupan yang secara terus menerus mengalami perubahan. Konteks ajaran Islam khususnya yang terkait dengan hukum yang dianut dan diyakini serta dipahami sekarang mungkin sedikit berbeda dengan karakter hukum Islam yang hidup pada zaman dahulu, mengingat terjadinya perubahan situasi, waktu dan zaman.
Karena itu, pintu ijtihad sebagai gerbang yang memperlihatkan agama Islam sebagai agama yang luwes tetap terbuka dengan berdasarkan moralitas dan fitrah kemanusiaan, sehingga dimana pun eksistensi ajaran Islam dapat berkembang dengan baik dan pesat. Karena kelenturan itu pula Islam dapat bertahan hingga dewasa ini. Khusus berkaitan dengan kewenangan ijtihad itu Nabi Muhammad SAW. bersabda, yang terjemahannya berbun yi: ―Jika hakim Karena itu, pintu ijtihad sebagai gerbang yang memperlihatkan agama Islam sebagai agama yang luwes tetap terbuka dengan berdasarkan moralitas dan fitrah kemanusiaan, sehingga dimana pun eksistensi ajaran Islam dapat berkembang dengan baik dan pesat. Karena kelenturan itu pula Islam dapat bertahan hingga dewasa ini. Khusus berkaitan dengan kewenangan ijtihad itu Nabi Muhammad SAW. bersabda, yang terjemahannya berbun yi: ―Jika hakim
Dalam mengapresiasi pelbagai persoalan umat Islam dalam lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia memiliki Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga ke-Islaman yang dapat menampung aspirasi dan dapat menjadi jembatan untuk mediasi antara kepentingan umat Islam dengan pemerintah. MUI yang merupakan tempat berkumpulnya ulama dan zu‘ama dari pelbagai entitas ini berfungsi pula sebagai wahana bagi umat Islam untuk meminta kejelasan hukum terhadap suatu permasalahan. Atau untuk menjawab problema sosial yang dimintakan oleh lembaga atau badan-badan pemerintah berkaitan dengan stpersoalan syari‘ah.
Dalam lingkungan perbankan dan ekonomi syari‘ah misalnya, MUI memiliki lembaga khusus, yaitu Dewan Syari‘ah Nasional (DSN-MUI), yang bertugas untuk membuat regulasi berupa fatwa sekaligus mengawasi penerapan
prinsip- prinsip ekonomi syari‘ah di lembaga keuangan Syari‘ah, baik di lembaga perbankan syari‘ah, seperti BUS, UUS, dan BPRS maupun di lembaga-lembaga non perbankan syari‘ah seperti Asuransi Syari‘ah, Koperasi Syari‘ah, dan BMT. Bahkan juga di lembaga bisnis syari‘ah (LBS) seperti hotel syari‘ah, kafe
sya ri‘ah, wisata syari‘ah, dan salon syari‘ah. Dalam hal yang menyangkut hubungan antara agama Islam dengan agama-agama lainnya, Indonesia termasuk dalam kondisi yang kondusif. Karena nilai-nilai moralitas yang ditanamkan dan dijunjung tinggi dalam ajaran Islam adalah kerukunan antar umat beragama sebagaimana yang termuat dalam nilai- nilai luhur Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kondisi itu juga tidak terlepas dari peran besar MUI dalam membina, mengayomi dan menyuarakan kehidupan yang damai penuh kasih dan sayang di antara sesama hamba Allah SWT.
Secara garis besar terdapat beberapa alasan terciptanya kerukunan umat beragama yang kondusif di Indonesia saat ini, yaitu: Pertama, aspek sejarah.
26 Syekh Muhammad Al Khudhori Biek. Ushul Fiqih, Terjemahan, Alih Bahasa Zaid H. Alhamid, (Pekalongan: Raja Murah, 1982) hlm. 197.
Dalam hal ini, berdasarkan sejarah perjuangan panjang Bangsa Indonesia telah mengalami rasa senasib dan seperjuangan, yaitu sama-sama sebagai anak jajahan para penjajah dan kaum imperalis. Kemudian berjuang bersama-sama membebaskan diri dari belenggu penjajah, yang akhirnya berkat karunia Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Bangsa Indonesia dapat terbebas, menang dan mengusir para penjajah dari bumi pertiwi, nusantara. Karena itu, sudah sepantasnya apabila dapat saling rukun dan damai antar sesama umat beragama.
Kedua , aspek sosiologi. Dalam hal ini, bahwa masyarakat Indonesia mendiami wilayah kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diikat oleh semboyan ―Bhineka Tunggal Ika‖. Artinya walaupun berbeda- beda dan beraneka ragam suku bangsa, tetapi tetap satu, yaitu Bangsa Indonesia.
Ketiga , aspek hukum. Dalam hal ini, bahwa secara yuridis formal di Indonesia hanya diakui beberapa agama resmi, yaitu: Islam, Kristen, Katolik Hindu, dan Budha. Semua agama itu diikat oleh Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta regulasi yang memayungi tentang kerukunan antar umat beragama.
Dalam suasana kehidupan keagamaan yang majemuk itu, semangat kebhinekaan masing-masing elit agama dan para pengikutnya sangat kuat. Ini yang menjadi modal dasar terciptanya kerukunan antar umat beragama. Selain itu persinggungan antara agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha) serta aliran kepercayaan lain (Khong hu Chu) dengan seluruh lapisan masyarakat, dalam perkembangannya saling mempengaruhi dan saling memberi bekas, sehingga terjadi interaksi yang dinamis melalui pranata sosial yang sudah mengkristal dan melembaga.
Dalam konteks komunitas Muslim Indonesia, yang merupakan warga penduduk mayoritas, budaya dan tradisi yang dimiliki serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tidak terlepas dari suatu proses institusionalisasi norma ajaran Islam ke dalam kehidupan masyarakat, sehingga berbagai tradisi dan kebudayaan itu sarat dengan berbagai nuansa ke-Islaman. Banyak terdapat bangunan masjid, Bank Syari`ah dan tempat-tempat pengajian berarsitektur Islam. Begitu pula banyak gerakan dakwah, baik secara langsung maupun tidak Dalam konteks komunitas Muslim Indonesia, yang merupakan warga penduduk mayoritas, budaya dan tradisi yang dimiliki serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tidak terlepas dari suatu proses institusionalisasi norma ajaran Islam ke dalam kehidupan masyarakat, sehingga berbagai tradisi dan kebudayaan itu sarat dengan berbagai nuansa ke-Islaman. Banyak terdapat bangunan masjid, Bank Syari`ah dan tempat-tempat pengajian berarsitektur Islam. Begitu pula banyak gerakan dakwah, baik secara langsung maupun tidak
Doktrin Islam dengan tegas menyuruh umatnya untuk mengajak sesama umat Islam dan umat lainnya agar tetap istiqamah dan kembali ke jalan kabaikan dengan persuasive (hikmah). Ajakan itu tentunya jangan pernah sekali-kali dengan cara kekerasan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam Surah Al-Nahl ayat 125 dan 126, yang terjemahannya berbunyi:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah-yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang
yang sabar. 27
Dengan firman Allah SWT. itu sangat jelas, bahwa nilai-nilai luhur dari dakwah Islam adalah mengajak orang berbuat baik bahkan menjalankan syari‘at Islam dengan cara hikmah dan bijaksana, dan tidak dengan tekanan dan kekerasan. Untuk sekedar menyebut contoh: sebagai salah satu cara dengan cara hikmah tersebut adalah membangun dan memperkuat lembaga-lembaga ke-
Islaman serta meningkatkan toleransi terhadap sesama umat beragama yang lainnya, baik dengan umat Kristiani, Katolik, Hindu, maupun Budha.
27 Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm 421.
III. ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH DAN FENOMENA BADAN PENGELOLANYA
A. Pengertian dan Konsep Zakat, Infaq dan Shadaqah
1. Pengertian dan Konsep Zakat
Dilihat dari segi etimologi, kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang dapat diartikan dengan tumbuh, suci, baik dan bertambah. 28 Apabila kata
zaka itu dikaitkan (dinisbatkan) dengan kata lain, misalnya ‗pemimpin itu memberi zaka‟, berarti memberikan pengertian bahwa pemimpin itu memberikan berkah. Contoh lain, ‗pohon kurma itu zaka‟, maka berarti memberikan pengertian bahwa pohon kurma itu tumbuh berkembang. Begitu pula apabila dihubungkan dengan nama atau jabatan seseorang, misalnya: ‗dosen itu zaka‟, ‗mahasiswa itu zaka‘, berarti mengandung arti bahwa dosen itu baik, mahasiswa itu baik.
Makna dasar kata zakat sebagaimana terdapat dalam Buku The Vision of Islam adalah ―suci‖. Ide dasar di balik zakat adalah orang mensucikan kekayaannya dengan memba-gikannya karena Allah SWT., sebagaimana halnya
wudhu mensucikan tubuh dan shalat mensucikan jiwa, maka zakat mennsucikan hak milik dan membuatnya halal di hadapan Allah. 29 Sementara itu, dalam
pandangan Wahidi sebagaimana terdapat dalam Mu‟jam Wasit , kata dasar zaka berarti tumbuh dan bertambah. Jadi setiap sesuatu yang bertambah itu dapat disebut zaka. Dalam konteks ini apabila dikaitkan dengan tanaman, misalnya tanaman itu zaka, maka mengandung arti bahwa tanaman itu tumbuh. Sedangkan apabila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zaka di sini berarti bersih. Sementara itu apabila seseorang diberi sifat zaka, maka berarti orang itu lebih banyak 30 mempunyai sifat yang baik.
28 Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah, 1989), hlm. 156.
29 Sachiko Murata, William C. Chittick. The Vision of Islam, Cetakan I, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hlm. 20.
30 Wahidi. Mu‟jam Wasith, (Kairo: Dar al-Fikr, Juz 1), hlm. 398.
Menurut pengertian istilahi, konstruksi terminology zakat yang dikemukakan para ahli itu berbeda-beda. Diantaranya dikemukakan Al-Faruqi, yang menyatakan bahwa zakat itu sebenarnya ―sweaten‖ (memaniskan) kekayaan sehingga menjadi halalan thayyiban, yang berkah dan nikmat dirasakan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kekayaan yang tidak dizakatkan akan membuat
kehidupan menjadi pahit sehingga membawa kesengsaraan. 31 Adapun menurut Sayyid Sabiq zakat adalah ―harta untuk hak Allah
Ta‘ala yang dikeluarkan oleh insan Muslim kepada fakir miskin‖. 32 Sementara Syaikh Al-Khudhari Beyk menyebutnya sebagai bagian tertentu dari kekayaan
yang disedekahkan oleh orang yang berkecukupan untuk tujuan membersihkan kekayaan tersebut sehingga ia menjadi murni dan dapat berkembang. 33 Lain pula
konstruksi pengertian yang dirumuskan dalam ketentuan peraturan di Indonesia. Di dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor
23 Tahun 2011 (amandemen atas Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999) disebutkan: ―Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang Muslim atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. ‖
Dengan merujuk kepada berbagai rumusan di atas, dapat diambil pemahaman bahwa zakat adalah harta yang wajib ditunaikan apabila sudah mencapai batas nishab , dan wajib dikeluarkan sesuai dengan ketentuan syari‘at untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Secara garis besar, zakat itu sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) zakat jiwa (nafs) yang lebih dikenal dengan zakat fithrah dan dikeluarkan setahun sekali; (2) zakat harta (maal) yang terdiri atas beberapa jenis, yaitu: zakat emas, perak, uang, hasil perniagaan, peternakan, pertanian, pertambangan, profesi, dan juga saham serta obligasi.
2. Pengertian dan Konsep Infaq
31 Isma‘il R. al-Faruqi & Lamiya L. al-Faruqi. The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Publishing Company, 1986), hlm. 146
‗Arabi, Jilid 1, 1389/1969), hlm. 327. Syekh Muhammad al-Khudhari Bek. Tarikh at- Tasyri‟ al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1995/1415), hlm. 32
32 Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-
Kata infaq berasal dari kata kerja anfaqa, yang berarti menggunakan. Dalam Ensiklopedia Makna Al- Qur‘an, infaq diartikan dengan ―mengeluarkan harta dan seumpamanya dalam berbagai lapangan kebaikan‖. 34 Menginfakan harta (anfaqa al-mal ) berarti ―mengeluarkan dari tempatnya dan menggunakannya.‖ Secara umum, penggunaan harta untuk tujuan apa saja adalah infaq. Tetapi secara khusus yang dimaksud infaq di sini adalah penggunaan uang atau harta untuk kebajikan dengan mengharapkan pahala dari Allah, tanpa tujuan
duniawi. 35 Dari kata al-infaaq itu terbangun kata benda al-nafaqah, yang berarti tambahan (az-zaadu), yakni apa yang difardhukan untuk isteri, baik berupa harta
(uang), makanan, sandang, tempat tinggal dan melindungi serta hal-hal yang semisalnya. 36
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan itu dapat dirumuskan bahwa infaq berarti pengeluaran harta secara sukarela yang dilakukan seorang Muslim, baik pada saat ia lapang dalam arti banyak rizki, maupun pada saat sempit, dalam arti sulit dan sedikit rizki, berapapun jumlah dan banyaknya sesuai yang dikehendakinya. Dalam hal ini Allah SWT. memberikan kebebasan penuh kepada pemilik harta untuk menentukan jenis dan jumlah harta yang akan diberikan.
Dalam pandangan Al-Hasan Al-Bashri, infaq mencakup dua sisi, yaitu: infaq wajib (zakat) dan infaq sunat (pemberian kebajikan biasa). Salah satu rujukan yang berkaitan dengan infaq itu terdapat dalam Al- Qur‘an Surah al- Baqarah ayat 219 yang terjemahannya berbunyi: ―… Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‗Yang lebih dari keperluan.‘ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir‖. 37
34 Al-Ustadz M. Dhuha Abdul Jabbar. Ensiklopedia Makna Al- Qur‟an: Syarah Alfaazhul Qur‟an (Bandung: Fitrah Rabbani, 2012), hlm. 67.
35 Majma‘ al-Lughah al-Árabiyyah. Mu‟jam Alfazh al-Qurán al-Karim, (Kairo: Dar asy-Syuruk, 1981), hlm. 56
36 Al-Ustadz M. Dhuha Abdul Jabbar. Loc.Cit. 37 Departemen Agama RI. Al- Qur‟an dan Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), hlm.
53.
Surah al-Baqarah ayat 219 tersebut menjelaskan bahwa infaq dialamatkan bagi orang-orang yang mempunyai kelebihan harta, melebihi kebutuhan yang diperlukan keluarganya seharí-hari. Kelebihan harta yang dimaksud adalah kelebihan harta sesudah dikeluarkan zakatnya. Dalam hal ini apabila setelah membayar zakat, ternyata masih memiliki kelebihan harta, maka harta yang dikeluarkan itu dinamakan infaq. Kemudian, karena infaq itu merupakan bentuk kebaikan yang dilakukan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT., maka berapa pun jumlahnya, sedikit atau banyak, kecil atau besar bukan menjadi ukuran, yang penting motivasi-niatnya dilakukan secara ikhlas. Untuk keabadian infaq yang bernilai maslahat, di Indonesia dirumuskan melalui ketentuan wakaf uang sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Adapun komunitas orang yang pantas dan layak menerima infaq, Allah SWT. telah menyebutnya dalam Al- Qur‘an Al-Karim. Kandungan itu dapat dicermati dalam Surah al-Baqarah ayat 215, yang terjemahannya berbunyi: ―Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan kebajikan apa saja yang kamu buat, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya‖. 38 Ketentuan firman Allah SWT. yang terkandung dalam ayat di atas
menjelaskan bahwa infaq diberikan kepada orang tua (ibu-bapak) dan karib kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Tertib penyebutan itu dimaksudkan untuk menunjukkan skala prioritas (keutamaan) dari segi hubungan keluarga dan tingkatan kelompok yang patut mendapat perhatian karena kebutuhannya. Pada hakikatnya, orang yang paling berhak mendapatkan infaq adalah orang yang lebih dekat hubungan kekerabatanya dengan pemberi infaq dan orang yang lebih membutuhkan daripada yang lain, seperti ibu dan bapak dan saudara-saudara dalam lingkungan keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Hal itu didukung oleh ketentuan yang terdapat
38 Ibid., hlm. 52 38 Ibid., hlm. 52
dekat denganmu, maka berikan kepada yang lebih dekat 39 ‖. Di dalam hadis lain, seperti riwayat Abu Hurairah RA dinyatakan: ―Satu dinar anda berikan di jalan
Allah, satu dinar anda berikan untuk orang miskin, satu dinar anda berikan untuk untuk pembebasan perbudakan, satu dinar anda infakan untuk keluarga
anda. Satu dinar yang anda infakan untuk keluarga anda lebih besar pahalanya 40 ‖. Dengan pemahaman seperti itu, maka nafkah keluarga yang pada
hakikatnya merupakan kewajiban kepala keluarga dapat juga diidentifikasi dan disebut infaq. Selanjutnya apabila menafkahi keluarga itu diberikan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT., maka ia bernilai infaq dan ibadah yang berpahala besar. Dari pengertian dan penjelasan itu, maka terma dan konsep infaq tampak lebih luas dan lebih umum dibandingkan dengan konsep zakat. Karena dalam terma infaq tidak ditentukan jenis, jumlah dan waktu penunaiannya sebagaimana hal itu ditentukan untuk zakat. Dalam zakat bukan hanya jenis, jumlah dan waktu mengeluarkannya yang ditentukan, tetapi juga komunitas/golongan/asnaf orang yang berhak menerimanya ditentukan secara pasti dan rinci.
3. Pengertian, Konsep, dan Macam-macam Shadaqah
a. Pengertian dan Konsep Shadaqah
Dilihat dari kata dasar penggunaannya, kata shadaqah berasal dari kata al- Shidq yang berarti al-shihhah wa al-istiqamah fi al-qawl (benar dan konsisten dalam perkataan). Disebut shadaqah karena harta yang dikeluarkan untuk orang lain dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah merupakan manifestasi
kebenaran dan konsistensi dalam beribadah 41 . Dalam beberapa literatur berbahasa Arab, makna shadaqah disamakan dengan mahar, yaitu harta yang
wajib diberikan kepada seorang wanita yang menjadi isterinya. 42
39 Sayyid Sabiq. Op.Cit., hlm.328 40 Ibid.
41 Majma‘ al-Lughah. Op.Cit., hlm. 352.
42 Mahmud bin Ibrahim al-Khatib. Mabadi‟u al-Iqtishad al-Islamiy, (Riyadh: KSA, t.th.), hlm. 68.
Dalam konteks yang lebih umum, shadaqah dapat bermakna infaq, zakat dan kebaikan non-materi. 43 Tetapi yang jelas, shadaqah memiliki makna yang