Tujuan Perlindungan Konsumen Asas dan Tujuan Serta Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan 3. Asas kepastian hukum. 37

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Selain asas, hal yang diperlukan dalam suatu peraturan adalah adanya tujuan. Tujuan adalah cita-cita, sasaran yang ingin dicapai yang menjadi salah satu alasan mengapa suatu peraturan itu perlu untuk dibuat. Seperti halnya didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kedudukan konsumen sebagai pihak yang lemah dan rentan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha perlu mendapatkan suatu perlindungan dari pemerintah dan negara. Adapun tujuan dari perlindungan konsumen yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah : a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang danatau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya senagai konsumen;Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 37 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal.26. d. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; e. Meningkatkan kualitas barang danatau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang danatau jasa, kesehatan, kenyaman, keamanan, dan keselamatan konsumen. 3. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip-prinsip tersebut adalah : 38 A. Prinsip Let The Buyer Beware Prinsip ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen.Namun prinsip let the buyer beware ini ditentang oleh pendukung gerakan perlindungan konsumen konsumerisme. Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli. Adalah kesalahan pembeli konsumen jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju kepada caveat venditor pelaku usaha yang perlu berhati-hati. 38 Shidarta, op.cit., hal.50-65. B. Prinsip The Due Care Theory Prinsip The Due Care Theory ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Untuk dapat mempersalahkan si pelaku usaha, seseorang haruslah dapat membuktikan bahwa si pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. Dilihat dari pembagian beban pembuktian, penggugat konsumen harus memberikan bukti-bukti. Sedangkan tergugat pelaku usaha cukup bersikap menunggu. Berdasarkan bukti-bukti dari penggugat, barulah tergugat membela dirinya. Misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam peristiwa itu sama sekali tidak ada kelalaian negligence. Dalam kenyataan, agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti- bukti guna memperkuat gugatannya. Sebaliknya si pelaku usaha dengan berbagai keunggulannya baik secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis relatif mudah untuk berkelit dan menghindar dari gugatan-gugatan yang demikian. Disinilah letaknya kelemahan dari prinsip ini. C. Prinsip The Privity of Contract Dalam prinsip ini pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan. Konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi contractual liability. Dalam perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen yang bersifat masif, seperti perjanjian standar, hanya hal-hal yang dianggap kesalahan prinsipiil yang diperjanjikan. Kesalahan-kesalahan “kecil” menurut versi pelaku usaha, biasanya tidak disinggung secara khusus dalam perjanjian itu. Akibatnya, jika konsumen menuntut pelaku usaha atas kesalahan-kesalahan “kecil” itu, maka pelaku usaha akan berdalih bahwa kesalahan tersebut tidak tercakup dalam perjanjian. D. Prinsip Kontrak Bukan Syarat Seiring dengan semakin kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan lagi secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Jadi, kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Sekalipun demikian ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen di bidang jasa. E. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan fault liabilty atau liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu : a. Adanya perbuatan; b. Adanya unsur kesalahan; c. Adanya kerugian yang diderita; d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum” , tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 Herziene Indonesische Reglement HIR atau Pasal 283 Rechtsreglement Buitengewesten RBG dan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dikatakan barangsiapa yang mengaku mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu actorie incumbit probatio. 1. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab presumption of liability principle, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah presumption of innocence yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak bahwa asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tegugat. 2. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab presumption of liabilty principle. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab presumption of nonliability principle hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabinbagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang konsumen adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Meskipun demikian, dalam Pasal 44 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, dijelaskan bahwa bagasi kabinbagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut pelaku usaha dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang konsumen. 3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut absolute liability. Prinsip strict liability ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian- pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaaan force majeure. Sebaliknya prinsip absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Menurut R.C. Hoeber prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena: 1 Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, 2 Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertenti pada harga produknya, 3 Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapar dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu : a. Melanggar jaminan brench of warranty, misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yant tertera dalam kemasan produk, b. Ada unsur kelalaian negligence, yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik, dan c. Menerapkan tanggung jawab mutlak strict ability. 4. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan limitation of liability principle sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Produsen Sebagai Pelaku Usaha