Perlindungan Konsumen Perusahaan Gas Negara Dalam Memperoleh Hak Informasi (Studi Pada Pt Pgn (Persero) Tbk Distribusi Wilayah Iii)

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUSAHAAN GAS NEGARA DALAM MEMPEROLEH HAK INFORMASI

(Studi Pada PT PGN (Persero) Tbk Distribusi Wilayah III)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NASRINI MANDOSARI NIM: 110200065

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUSAHAAN GAS NEGARA DALAM MEMPEROLEH HAK INFORMASI

(Studi Pada PT PGN (Persero) Tbk Distribusi Wilayah III)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NASRINI MANDOSARI NIM : 110200065

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

DR. H. HASIM PURBA, S.H.,M.HUM NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

MUHAMMAD HUSNI, S.H.,M.H. Dr. EDY IKHSAN,S.H.,M.A. NIP :195802021988031004 NIP : 196302161988031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Konsumen Perusahaan Gas Negara Dalam Memperoleh Hak Informasi (Studi Di PT PGN (Persero) Tbk Distribusi Wilayah III)” ini dapat diselesaikan. Adapun skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dan selesai dengan baik tanpa adanya keterlibatan dari banyak pihak yang selama ini telah banyak membimbing, membantu dan mendoakan penulis dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Wakil Dekan Fakultas Hukum USU Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum USU Medan.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum USU Medan.


(4)

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan USU Medan.

6. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU Medan.

7. Bapak Muhammad Husni, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.A. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak Alwan, SH. MH sebagai Penasehat Akademik yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU Medan.

10.Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU Medan yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum USU Medan.

11.Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serat seluruh pegawai di Fakultas Hukum USU Medan.

12.Bapak Abirul Trison Syahputra, SH selaku Staf bagian perwakilan hukum PT PGN (persero) Tbk SBU Wilayah III Sumbagut.

13.Teristimewa, untuk Papa tersayang Ir. H. Nanang Sumintarsono dan Mama Tercinta Hj. Sri Nikmah Pujawati, SH yang telah memberikan kepada penulis segalanya. Kasih sayang, perhatian, dan terutama telah


(5)

memberikan banyak doa, bantuan dan dorongan semangat selama penulis menjalani pendidikan hingga selesai penulisan skripsi ini. sehat-sehat ya mama, papa. Skripsi ini untuk mama dan papa.

14.Mbak-mbak tersayang Ayu Andanaly, SH dan Anisya Nesiyanti, SE. Yang telah banyak memberikan doa dan bantuan baik moril maupun materiil hingga selesainya penulisan skripsi ini. Serta keponakan penulis tersayang, Azwajun Muthaharrah.

15.Dr. Hj. Kamaliah Muis, Sp.KK yang telah banyak memberikan dukungan dan perhatian kepada Penulis.

16.Eyang kakung : H. Sumitro dan Eyang Putri : Hj. Sutarsih, serta seluruh Keluarga Besar Sei Tuan 9 Medan yang telah memberikan doa dan dorongan semangat hingga selesainya penulisan skripsi ini. 17.Almarhum atok H. Abdul Muis dan Almarhumah Nenek Hj. Siti

Habsyah Daulay serta seluruh Keluarga Besar Multatuli 21 Medan yang telah memberikan doa dan dorongan semangat hingga selesainya penulisan skripsi ini.

18.Sahabat penulis sejak SMA sampai sekarang: Syarah Ermayanti Nasution, Nafirah Yumni Harahap, Wirda Rizky Lestari, Astari Yuni Adha Lubis. Terima kasih atas pengertian dan kebersamaannya. 19.Teman-teman yang penulis sayangi : Dila, Silmi, Dani, Zahrah, Ayu,

Reni, Nana, Agik, Irin, Pita, Rani, kak Windy, Mira, Graha, Abib, dan Seluruh teman-teman grup A stambuk 2011, teman-teman Perdata BW stambuk 2011, dan seluruh teman-teman stambuk 2011 Fakultas


(6)

Hukum USU. Terima kasih atas bantuan dan dorongan semangat yang telah diberikan selama masa perkuliahan sampai selesainya skripsi ini dan terima kasih kebersamaannya.

Semoga semua bantuan dan kebaikan yang diberikan kepada Penulis mendapat balasan yang setimpal dari ALLAH SWT, agar selalu diberi kesehatan, kebaikan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, November 2015 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ..i

DAFTAR ISI ... ..v

ABSTRAK ... .vii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... .1

B. Permasalahan. ... .9

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... .9

D.Metode Penelitian ... .11

E. Keaslian Penulisan. ... .15

F. Sistematika Penulisan . ... .15

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A.Pengertian dan Perkembangan Perlindungan Konsumen ... .18

B. Asas dan Tujuan serta Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ... .34

C.Hak dan Kewajiban Konsumen dan Produsen Sebagai Pelaku Usaha ... .43

BAB III TINJAUAN UMUM PT PERUSAHAAN GAS NEGARA (PGN) (PERSERO) Tbk A.Perusahaan Gas Negara (PGN) di Indonesia ... .55

B. Bisnis Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk Distribusi Wilayah III ... .62


(8)

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUSAHAAN GAS NEGARA DALAM MEMPEROLEH HAK INFORMASI

A.Pentingnya Hak Atas Informasi Yang Benar, Jelas, Dan Jujur Bagi Konsumen Perusahaan Gas Negara ... 73 B. Peranan Perusahaan Gas Negara Dalam Memenuhi Hak Atas

Informasi Yang Benar, Jelas, Dan Jujur Bagi Konsumen ... .90 C.Hambatan Yang Timbul Dari Pihak PT PGN (Persero) Tbk

Dalam Memberikan Pelayanan Yang Optimal Terhadap Konsumen Serta Upaya Yang Dilakukan PT PGN (Persero) Tbk Dalam Memenuhi Hak Konsumen ... .97

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... .102 B. Saran ... .104 DAFTAR PUSTAKA ... .106 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

Nasrini Mandosari*) Muhammad Husni, S.H., M.H**)

Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.A***)

Banyak produk barang dan/ atau jasa yang beredar di masyarakat melalui berbagai macam bentuk penawaran baik langsung maupun tidak langsung, seperti melalui promosi ataupun melalui iklan. Hal ini selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak negatif kepada masyarakat selaku konsumen. Perlindungan kepada konsumen harus semakin diperhatikan baik oleh pemerintah ataupun oleh pelaku usaha yang dalam skripsi ini adalah PT Perusahaan Gas Negara (PGN) (persero) Tbk SBU Wilayah III. Salah satu hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak atas informasi adalah merupakan suatu hak yang sangat fundamental (mendasar). Selain itu hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris yaitu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir. Dan metode yuridis sosiologis yaitu penelitian yang didasarkan pada data primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan didukung oleh penelitian kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah bahwa hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur merupakan salah satu hak konsumen yang penting dan wajib untuk dilindungi oleh pemerintah dan dipatuhi oleh pelaku usaha dalam hal ini adalah PT PGN (persero) Tbk. Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak atas informasi diatur juga dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F, dalam TAP MPR Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sebagai salah satu wujud kepatuhannya dalam memenuhi hak-hak konsumen tersebut, PT PGN (persero) Tbk setiap tahunnya membuat laporan tahunan yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Hambatan yang dialami PT PGN (persero) Tbk dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada konsumen diantaranya adalah minimnya pengetahuan masyarakat akan haknya selaku konsumen. Oleh sebab itu sebagai upaya mengatasi hambatan tersebut, PT PGN (persero) Tbk rutin melakukan temu pelanggan.

Kata Kunci: Konsumen, Perusahaan Gas Negara, Hak Informasi, *)

Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

**)

Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

***)


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa Indonesia. Tujuan lainnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang berarti bahwa tersedianya pendidikan dalam arti luas bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan dan kecerdasan merupakan wujud dari pembangunan yang berperikemanusiaan sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila yang telah diterima sebagai falsafah dan ideologi negara Indonesia serta Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kecerdasan perlu penyediaan barang dan atau jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.

Dalam praktek perdagangan yang merugikan konsumen, diantaranya penentuan harga barang dan penggunaan klausula eksonerasi secara tidak patut, pemerintah harus konsisten berpihak kepada konsumen. Mengingat sedemikian


(11)

kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.1

Dikarenakan semakin banyaknya bermunculan berbagai macam produk dan atau pelayanan jasa yang disediakan para pelaku usaha untuk konsumen, hal ini membuat konsumen menjadi manja dan semakin bersifat konsumtif. Sehingga menyebabkan posisi konsumen menjadi lebih lemah daripada posisi pelaku usaha.

Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang dan atau pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran secara langsung. Pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan/atau jasa di satu pihak membawa dampak positif, antara lain seperti tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan kebutuhan.

Kondisi tersebut memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas barang dan/atau jasa yang diinginkannya, dan konsumen juga bebas untuk menentukan kualitas barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya. Akan tetapi, di lain pihak terdapat juga dampak negatifnya, yaitu dampak penggunaan dan teknologi itu sendiri serta perilaku bisnis yang timbul karena semakin ketatnya persaingan yang mempengaruhi masyarakat konsumen.

2

1

Erman, Rajagukguk, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2006, hal.10.

2


(12)

Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan yang setinggi-tingginya sesuai dengan prinsip ekonomi. Dalam rangka mencapai untung yang setinggi-tingginya itu, para produsen atau pelaku usaha harus bersaing antar sesama mereka dengan perilaku bisnisnya masing-masing yang dapat merugikan konsumen. Ketatnya persaingan dapat mengubah perilaku ke arah persaingan yang tidak sehat karena para pelaku usaha memiliki kepentingan yang saling berbenturan di antara mereka. Persaingan yang tidak sehat ini pada gilirannya dapat merugikan konsumen.

Sekurang-kurangnya ada empat bentuk perbuatan yang lahir sebagai akibat dari persaingan yang tidak sehat tersebut, yaitu menaikkan harga, menurunkan mutu, dumping, dan memalsukan produk.3

Dengan pemahaman bahwa semua masyarakat adalah konsumen, maka melindungi konsumen berarti juga melindungi seluruh masyarakat. Karena itu, sesuai dengan amanat Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka perlindungan konsumen menjadi penting. Konsumen atau masyarakat adalah pelaksana pembangunan yang sekaligus juga merupakan sumber pemupukan Berkaitan dengan hal-hal di atas, masyarakat selaku konsumen harus bersikap semakin kritis dalam hal mencari informasi mengenai suatu barang dan atau jasa yang akan di konsumsi atau digunakan. Konsumen juga perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialaminya karena persaingan yang tidak sehat tersebut.

3

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal.2.


(13)

modal bagi pembangunan. Untuk kelangsungan pembangunan nasional mutlak diperlukan perlindungan kepada konsumen itu.

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, baik langsung ataupun tidak langsung konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia. Mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih untuk menghadapi era perdagangan bebas yang akan datang.4

Selain itu keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindunagn konsumen di Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia seuutuhnya.5

Adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-Undang Perlindungan Konsumen justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta

4

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 5.

5

Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 65.


(14)

mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan barang dan atau jasa yang berkualitas. Didalam penjelasan umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa dalam pelaksanaannya, undang-undang tersebut akan tetap memperhatikan hak dan kepentingan para pelaku usaha.

Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen masih sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya dan masih minimnya informasi yang diperoleh konsumen dari pelaku usaha.

Konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan kepada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy pernah mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu :6

1. the right to safe products;

2. the right to be informed about products;

3. the right to definite choices in selecting products; 4. the right to be heard regarding consumer interest.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai konsumen ada hak-hak yang

6

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 21.


(15)

menjadi milik dari konsumen. Diantaranya adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.7

7

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal.27-29.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa salah satu tujuan dari perlindungan konsumen adalah menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

Kebebasan memperoleh informasi merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) dan secara global sudah diakui secara universal dalam Declaration of Human Rights and Convenant on Civil and Political Rights.

Hak atas memperoleh informasi merupakan salah satu kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada setiap orang (konsumen) atas suatu kepentingan, yang dilindungi oleh hukum itu sendiri. Oleh karena itu, masalah kebebasan informasi masuk dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 F serta TAP MPR Nomor.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Informasi yang benar dan lengkap dapat membantu konsumen untuk menentukan pilihannya terhadap barang dan atau jasa yang akan dipilihnya sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu secara hukum memberikan informasi yang salah, menyesatkan dan tidak jujur adalah melanggar hak konsumen yang dalam hal ini melanggar hak atas informasi. Dengan kata lain hal ini dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.


(16)

Tanpa informasi yang benar dan jelas mengenai harga dan kualitas dari suatu produk, maka hal ini dapat melemahkan dan mengurangi keuntungan konsumen.

Tujuan informasi dari suatu produk, tidak hanya untuk perluasan pasar, tetapi juga menyangkut informasi secara keseluruhan akan kelebihan dan kekurangan dari produk tersebut, terutama keamanan dan keselamatan konsumen.

Tahun 2015 Indonesia memasuki babak baru dalam konteks persaingan usaha dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community). Pelaksanaan AEC secara otomatis akan mendorong perdagangan menjadi semakin terbuka. Lalu lintas barang dan jasa dari berbagai negara di ASEAN berpotensi untuk membanjiri pasar Indonesia. Pemerintah juga dituntut untuk semakin memperhatikan perlindungan kepada konsumen.8

Hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang diberikan secara tidak diskriminatif dan diberikan secara proporsional. Hal ini dilakukan Indonesia akan menjadi target pasar bagi produk-produk para pelaku usaha dari berbagai negara di kawasan ini. Dengan adanya pelaksanaan AEC, maka semakin tinggi juga penggunaan teknologi dalam produksi barang dan atau jasa yang dapat menyebabkan semakin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat selaku konsumen.

8


(17)

karena tidak semua masyarakat selaku konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses atas informasi suatu produk barang dan atau jasa.

Berbagai upaya dan strategi telah dilakukan pemerintah dan para pengusaha nasional untuk memperkuat daya saing pelaku usaha dalam negeri. Diantaranya dengan menggunakan energi yang lebih efisien dan sumbernya tersedia sangat besar di Indonesia yaitu gas bumi.

Dengan harga gas bumi yang lebih murah dibandingkan dengan harga bahan bakar minyak (BBM), selain para pelaku usaha mampu menekankan beban biaya sehingga harga produknya ketika sampai di pasar masih sangat kompetitif, penggunaan gas bumi juga mempunyai tingkat polusi dan emisi yang rendah. Dalam proses produksi maupun pengolahannya, penggunaan gas bumi juga mampu menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.9

9

Pikiran Rakyat, Memperkuat Daya Saing Industri Dengan gas Bumi.

Perusahaan Gas Negara (PGN) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan tujuan untuk membangun ekonomi nasional dengan mengutamakan kebutuhan rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur secara materiil dan spiritual. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1965 tentang Pembubaran Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara Dan Pendirian Perusahaan Listrik Negara (P.L.N) Dan Perusahaan Gas Negara (P.G.N) maka dilahirkannya PGN.


(18)

Selaku BUMN dan juga merupakan sebagai salah satu pelaku ekonomi, PGN harus memenuhi hak-hak dari para konsumen seperti yang tertulis di dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Diantaranya adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

PGN adalah merupakan salah satu BUMN dalam bidang gas yang banyak memperoleh penghargaan. Hal ini terbukti dengan diterimanya beberapa penghargaan yang ditujukan kepada PGN khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan memperoleh informasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa PGN senantiasa memperhatikan hak-hak dari konsumen. Khususnya hak memperoleh informasi.

Hal tersebut diatas yang menjadi alasan penulis memilih judul : “PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUSAHAAN GAS NEGARA DALAM MEMPEROLEH HAK INFORMASI (STUDI DI PT. PERUSAHAAN GAS NEGARA (PERSERO) Tbk DISTRIBUSI WILAYAH III).

Penelitian ini diangkat menjadi sebuah penulisan skripsi dikarenakan perlindungan terhadap konsumen yang diberikan pelaku usaha terkadang tidak dilakukan secara optimal. Terlebih konsumen itu sendiri tidak mengetahui apa saja haknya selaku konsumen, misalnya mengenai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur yang akan dibahas dalam pembahasan skripsi ini.


(19)

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Sejauh Mana Pentingnya Hak Atas Informasi Yang Benar, Jelas, dan Jujur Bagi Konsumen Perusahaan Gas Negara ?

2. Bagaimana Peranan Perusahaan Gas Negara Dalam Memenuhi Hak Atas Informasi Yang Benar, Jelas, dan Jujur Bagi Konsumen ?

3. Apakah Hambatan yang Timbul dari Pihak PT PGN (PERSERO) Tbk dalam Memberikan Pelayanan yang Optimal Terhadap Konsumen serta Upaya yang Dilakukan PT PGN (PERSERO) Tbk dalam Memenuhi Hak Konsumen ?

C.Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui sejauh mana pentingnya hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur terhadap konsumen, khususnya konsumen di Perusahaan Gas Negara.

2. Untuk mengetahui apa saja peran Perusahaan Gas Negara dalam memenuhi hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur bagi konsumen.

3. Untuk mengetahui apa saja hambatan yang dihadapi Perusahaan Gas Negara dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada konsumen dan juga bagaimana upaya yang dilakukan dalam memenuhi hak konsumen tersebut.

Berangkat dari perumusan masalah dan tujuan penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:


(20)

1. Diharapkan masyarakat selaku konsumen dan sebagai pemohon dan/atau pengguna informasi publik pada Perusahaan Gas Negara dapat mengetahui apa saja yang menjadi hak-haknya, khususnya hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang akan digunakan.

2. Agar masyarakat pada umumnya mengetahui apa saja peran Perusahaan Gas Negara dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada konsumen dalam hal memenuhi hak-hak dari konsumen seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3. Diharapkan Perusahaan Gas Negara semakin menyadari kewajibannya selaku pelaku usaha dalam memenuhi apa saja yang menjadi hak konsumen khususnya hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur. Dan juga diharapkan pelaku usaha semakin memberikan pelayanan yang optimal dalam memenuhi hak-hak konsumen.

D.Metode Penelitian

Suatu penulisan skripsi haruslah dimulai dengan mengumpulkan data-data untuk sebagai bahan dalam menyelesaikan skripsi. Untuk mendukung penyelesaian skripsi ini, penulis mengumpulkan data dengan melakukan penelitian.

Didalam dunia penelitian, termasuk penelitian hukum dikenal berbagai jenis/macam dan tipe penelitian. Pembedaan jenis ini didasarkan dari sudut mana peneliti memandang atau meninjaunya. Penentuan jenis/macam penelitian


(21)

dipandang penting karena ada kaitan erat antara jenis penelitian itu dengan sistematika dan metode serta analisis data yang harus dilakukan untuk setiap penelitian. Hal demikian perlu dilakukan guna mecapai nilai validitas yang tinggi, baik data yang dikumpulakn maupun hasil akhir penelitian yang dilakukan.10

1. Jenis penelitian

Adapun metode yang dipilih dalam penelitian ini adalah:

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis empiris (yuridis sosiologis). Penelitian yuridis empiris, adalah metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir.11

Penelitian yuridis sosiologis adalah penelitian yang didasarkan pada data primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan didukung oleh penelitian kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.12

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT.PGN (PERSERO) Tbk SBU III Medan, dengan pertimbangan bahwa tempat penelitian itu adalah yang menjadi sorotan

10

Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, 2014, hal 44.

11

Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodelogi Penelitian, CV.Mandar, Bandung, 2002, hal 23.

12

Ronitijo Soemitro, Methodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalatia Indonesia, Semarang, 1998, hal 11.


(22)

dalam penulisan skripsi ini sehingga didapat data-data dan bahan tertulis mengenai masalah yang akan diteliti.

3. Sumber data

Dalam penelitan hukum empiris penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber asalnya yan belum pernah diolah oleh orang lain. Untuk memperoleh data primer penulis melakukan studi lapangan, yaitu dengan teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara. Metode wawancara sering dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan. Hal ini dikarenakan pewawancara dapat bertatap muka langsung dengan responden di lapangan untuk menanyakan segala hal yang menjadi isi atau materi wawancara. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam memperoleh hak informasi pada PT Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk SBU III.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh penulis yang sebelumnya sudah pernah diolah oleh orang lain. Untuk memperoleh data sekunder, penulis melakukan studi kepustakaan. Dalam penelitian hukum empiris (sosiologis), studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dipergunakan


(23)

bersama dengan metode lain seperti wawancara. Studi kepustakaan adalah penelitian terhadap bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan sebagai bahan untuk mendukung keberhasilan penelitian. Studi kepustakaan atau data sekunder terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang berasal dari norma dan kaidah dasar yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1965 tentang Pembubaran Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara Dan Pendirian Perusahaan Listrik Negara ( P.L.N ) Dan Perusahaan Gas Negara ( P.G.N ) dan peraturan lainnya yang setaraf.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa keterangan, kajian, analisis tentang hukum positif seperti makalah, skripsi, tesis, atau seminar serta pendapat pakar hukum.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu merupakan bahan yang mendukung, memberikan penjelasan bagi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum.


(24)

Dalam penulisan skripsi ini digunakan dua metode penelitian yaitu : Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu dengan melakukan analisis data sekunder dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang berkaitan dengan skripsi ini, serta melakukan penelitian lapangan (Field Reseacrh), yaitu penelitian secara langsung melalui wawancara kepada pihak-pihak yang terkait dengan skripsi penulis. Yakni Abirul Trison Syahputra selaku staf bagian perwakilan hukum pada PT PGN (persero) Tbk SBU Wilayah III dan Anisya Nesiyanti selaku staf bagian perwakilan Human Capital Management pada PT PGN (persero) Tbk Pusat.

5. Analisis Data

Terhadap data yang sudah dikumpul yang mencakup data bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini, yaitu dengan mempelajari secara utuh dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban yang akurat mengenai skripsi ini. Analisis kualitatif dilakukan jika diantaranya :

a. Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukuran;

b. Data tersebut sukar diukur dengan angka;

c. Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan. Metode kualitatif tidak hanya bertujuan untuk mengungkap kebenaran tetapi juga untuk memahami kebenaran tersebut dan latar belakang terjadinya suatu peristiwa.


(25)

E.Keaslian Penulisan

Skripsi ini merupakan karya asli dari penulis. Sepanjang yang diketahui berdasarkan penelusuran lebih lanjut dan informasi data uji bersih yang dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum USU, diketahui bahwa belum pernah ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen Perusahaan Gas Negara Dalam Memperoleh Hak Informasi (Studi Di PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk Distribusi Wilayah III”.

F. Sistematika Penulisan

Tulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab. Dimana masing-masing gambaran umum mengenai substansi bahasan tiap bab, antara lain sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab Pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Adapun yang dibahas di dalam bab dua ini adalah Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen yakni Pengertian Perlindungan Konsumen, Sejarah dan Perkembangan Perlindungan Konsumen,


(26)

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen serta Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen, juga Hak dan Kewajiban Konsumen dan Produsen Selaku Pelaku Usaha.

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PT PGN (PERSERO) Tbk

Tinjauan Umum tentang PT PGN (persero) Tbk yang terdiri dari Mengenai Perusahaan Gas Negara (PGN) di Indonesia, juga tentang Bisnis Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk, serta mengenai Aturan-Aturan Perlindungan Konsumen Dalam Bisnis Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk.

BAB IV : PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUSAHAAN GAS

NEGARA DALAM MEMPEROLEH HAK INFORMASI (STUDI KASUS DI PT PGN (PERSERO) Tbk

Bab ini merupakan bagian yang paling pokok dalam penulisan skripsi ini, dalam bab ini akan dibahas tentang sejauh mana Pentingnya Hak Atas Informasi Yang Benar, Jelas, dan Jujur Bagi Konsumen Perusahaan Gas Negara, bagaimana Peranan Perusahaan Gas Negara Dalam Memenuhi Hak Atas Informasi Yang Benar, Jelas, Dan Jujur Bagi Konsumen, Dan Apa Saja Hambatan Yang Timbul Dari Pihak PT PGN (Persero) Tbk Dalam Memberikan Pelayanan Yang Optimal Terhadap Konsumen Serta Bagaimana Upaya Yang Dilakukan PT PGN (Persero) Tbk Dalam Memenuhi Hak Konsumen Tersebut.


(27)

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi Kesimpulan dan Saran yang ditarik berdasarkan apa yang telah dijabarkan secara jelas di dalam BAB Pembahasan. Berdasarkan kesimpulan ini kemudian diberikan saran yang dianggap dapat memberikan masukan–masukan untuk memperluas cakrawala pengetahuan dan pemikiran tentang Perlindungan Konsumen Dalam Memperoleh Hak Informasi.


(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian dan Perkembangan Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Setiap manusia dari lahir sampai nanti dia meninggal dunia pada dasarnya adalah bertindak sebagai konsumen. Sudah semestinya ada Undang-Undang yang melindunginya. Sebelum membahas lebih jauh mengenai konsumen, ada baiknya terlebih dahulu memahami apa itu pengertian dari konsumen dan perlindungan yang melindungi konsumen tersebut.

Konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument atau konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah lawan dari produsen, berarti setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang dan/atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.13

Sebelum muncul Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hanya ada pengertian normatif tentang perlindungan konsumen dalam hukum positif di Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, istilah konsumen mempunyai definisi sebagai berikut :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan”.

13

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002, hal.3.


(29)

Indonesia. Dalam GBHN melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1993), disebutkan kata “konsumen” dalam rangka membicarakan tentang sasaran dalam bidang perdagangan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian konsumen dalam ketetapan ini.

Diantara ketentuan normatif itu, terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang ini diberlakukan pada tanggal 5 Maret 2000, satu tahun setelah diundangkan. Di dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, istilah konsumen mempunyai definisi yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.

Batasan dari konsumen menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Unsur-unsur dari definisi konsumen adalah :14 a. Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon).

14


(30)

Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 ayat (3), yang secara nyata membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan saja atau sebatas badan usaha saja. Namun, konsumen haruslah mencakup kepada orang dan atau badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

b. Pemakai

Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kata "pemakai" menekankan bahwa konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah "pemakai" dalam hal ini sekaligus menunjukkan, barang dan atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual-beli. Artinya, sebagai konsumen tidak harus selalu memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan atau jasa itu. Konsumen memang tidak hanya pembeli (buyer atau koper) saja,tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Jadi yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) adalah saat adanya peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

c. Barang dan/atau Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang.


(31)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Undang-undang perlindungan konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.

Jasa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian “disediakan bagi masyarakat” tersebut.

Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen. Artinya, jika ada seseorang yang menjual rumahnya kepada orang lain dikarenakan adanya kebutuhan yang mendadak, perbuatannya itu tidak dapat dikatakan sebagai transaksi konsumen. Si pembeli dalam hal ini tidak dapat dikatakan sebagai “konsumen” menurut undang-undang perlindungan konsumen.

d. Yang Tersedia dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Seperti bunyi dari Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa


(32)

ini, syarat itu tidak lagi merupakan suatu syarat yang mutlak yang dituntut oleh masyarakat konsumen. Contohnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.

e. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan itu tidak hanya ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk mahkluk hidup lain , seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya.

f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.

Menurut Az. Nasution, batasan mengenai konsumen adalah sebagai berikut:15

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen-antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen-akhir, adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

15


(33)

Pengertian perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 adalah:

“Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.”

Dari pengertian perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen di atas, telah memberikan cukup kejelasan bahwa pelaku usaha tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap konsumen sehingga dapat merugikan pihak konsumen.

Selain itu dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai perlindungan konsumen, hal ini membuat posisi konsumen dan pelaku usaha seimbang dan saling menghargai akan hak dan kewajibannya.

Menurut Az. Nasution, “hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen. Sedangkan hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat”.16

2. Perkembangan Perlindungan Konsumen

Sebelum membahas mengenai masalah perlindungan kosumen, kita perlu memahami mengenai sejarah gerakan perlindungan konsumen dari awal mula adanya perlindungan konsumen hingga perkembangannya sampai saat ini.

16


(34)

Dengan melihat sejarah ini, kita bisa mencermati bagaimana dengan pergulatan sosial, ekonomi, dan politik pada saat itu mendesak masalah perlindungan konsumen muncul ke permukaan wacana publik.

Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai Negara dan sampai saat ini sudah puluhan Negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai Negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Di samping itu, telah berdiri pula organisasi konsumen internasional, yaitu International Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (selanjutnya disebut YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen lain do Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.17

Gelombang pertamaterjadi pada tahun 1891. Pada tahun ini, di New York terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali di dunia. Baru pada tahun 1898, di tingkat nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Concumer’s League). Organisasi ini kemudian semakin tumbuh pesat

Perkembangan hukum konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan perlindungan konsumen pada abad ke-19, terutama ditandai dengan munculnya gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Ada tiga fase atau gelombang gerakan perlindungan konsumen.

17

Nurmadjito, makalah “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang

Perlindungan Konsumen Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas” dalam buku Hukum


(35)

dan pada tahun 1903, telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20 negara.18

Dalam perjalanannya, gerakan perlindungan konsumen ini bukannya tidak mendapat hambatan dan rintangan. Untuk menghasilkan Undang-Undang The Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act yang lahir pada tahun 1906 telah mengalami berbagai hambatan.19

Perjuangannya dimulai pada tahun 1892, namun parlemen di sana gagal menghasilkan Undang-Undang ini. Kemudian dicoba lagi pada tahun 1902 yang mendapat dukungan bersama-sama oleh Liga Konsumen Nasional, The General Federation of Women’s Club dan State Food and Dairy Chemist, namun ini juga gagal. Akhirnya pada tahun 1906 lahirlah The Food anf Drugs Act dan The Meat Inspection Act.20

Selanjutnya disebut gelombang kedua, yaitu terjadi pada tahun 1914, dengan dibukanya kemungkinan untuk terbentuknya komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu apa yang disebut dengan FTC (Federal Trade Comission), dengan The Federal Trade Comission Art, tahun 1914.21

Selanjutnya, sekitar tahun 1930-an mulai dipikirkan urgensi dari pendidik. Mulailah era penulisan buku-buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen yang disertai dengan riset-riset yang mendukungnya. Tragedi Elixir Sulfanilamide pada tahun 1937 yang menyebabkan 93 konsumen di Amerika Serikat meninggal

18

Happy Susanto, op.cit., hal.6.

19

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hal. 13.

20

Ibid

21


(36)

dunia telah mendorong terbentuknya The Food, Drug and Cosmetics Act, tahun 1938 yang merupakan amandemen dari The Food and Drugs Act, tahun 1906.22

Di negara-negara lain selain Amerika Serikat setelah era ketiga ini terjadilah kebangkitan yang berarti bagi perlindungan konsumen. Inggris telah memberlakukan Hops (Preventions of Frauds) Act dalam tahun 1866, The Sale of Goods Act, tahun 1893, Fabrics (Misdescription) Act, tahun 1955, The Restictive Trade Protection Act, tahun 1956. The Consumer Protect Act baru ada pada tahun 1961 dan diamendir pada tahun 1971.

Era gelombang ketiga dari pergolakan konsumen terjadi dalam tahun 1960-an yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya satu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (consumer law). Pada tahun 1962 Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menyampaikan consumer message ini dicantumkan formulasi pokok-pokok pikiran yang sampai sekarang terkenal sebagai hak-hak konsumen (consumer bill of rights). Presiden Jimmy Carter juga dapat dikenang sebagai pendekar perlindungan konsumen karena perhatian dan apresiasinya yang besar sekali.

23

Era ketiga ini menyadarkan negara-negara lain untuk membentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Beberapa Undang-Undang-undang Perlindungan Konsumen negara lain adalah sebagai berikut :24

a. Australia: Consumer Affairs Act, tahun 1978, b. Irlandia: Consumer Information Act, tahun 1978, c. Finlandia: Consumer Protection Act, tahun 1978,25

22

Ibid

23

Ibid

24


(37)

Selain di dunia, perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia memiliki sejarahnya sendiri.

Praktis sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah konsumen. Kendatipun demikian, hukum positif Indonesia berusaha untuk menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian tentang hak-hak konsumen.26

Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri.27

Tokoh-tokoh yang terlibat pada waktu itu mulai mengadakan temu wicara dengan beberapa kedutaan asing, Departemen Perindustrian, DPR, dan

tokoh-Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.

25

Ibid

26

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hal. 13.

27


(38)

tokoh masyarakat lainnya. Puncaknya lahirlah YLKI dengan motto yang telah menjadi landasan dan arah perjuangan YLKI, yaitu melindungi konsumen, menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah.28

Untuk mencapai tujuan tersebut, YLKI melakukan kegiatan di beberapa bidang, yaitu:29

1. Bidang pendidikan, 2. Bidang penelitian,

3. Bidang penerbitan, warta konsumen, dan perpustakaan, 4. Bidang pengaduan,

5. Bidang umum dan keuangan.

Setelah itu, suara-suara untuk memberdayakan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun melalui tulisan-tulisan di media massa.

Sebagai salah satu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), YLKI masih terus berkembang hingga kini dan tetap menjadi pelopor gerakan perlindungan konsumen. Pihak konsumen yang menginginkan adanya perlindungan hukum terhadap hak-haknya sebagai konsumen bisa meminta bantuan YLKI untuk melakukan upaya pendampingan dan pembelaan hukum.30

28

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hal.15-16.

29

Happy Susanto, op.cit, hal. 10.

30

Ibid

YLKI pada awalnya hanyalah sekelompok kecil anggota masyarakat yang pada mulanya bertujuan untuk mempromosikan hasil-hasil produksi dalam negeri.


(39)

Ajang promosi ini dinamakan Pekan Swakarya. Dengan adanya ajang promosi ini, menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan suatu tempat atau wadah yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Yayasan ini sejak awal tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen (pelaku usaha) apalagi dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan yakni dengan menyelenggrakan Pekan Swakarya II dan Pekan Swakarya III yang benar-benar dimanfaatkan produsen dalam negeri.31

Sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dilakukan selama bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki keinginan yang besar untuk mewujudkannya. Hal ini terbukti pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda.32

Selain adanya YLKI yang berperan sebagai lembaga perlindungan konsumen di Indonesia, ada juga muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak bulan Februari tahun 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International (CI). Di luar itu, saat ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, Puncaknya adalah pada era reformasi yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie tepatnya tanggal 20 April 1999 lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

31

Cellina Tri Siwi Kristiyanti,op.cit., hal.15.

32


(40)

seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai provinsi di Tanah Air.33

Jika dibandingkan dengan perjalanan panjang gerakan konsumen di luar negeri khususnya di Amerika Serikat, YLKI cukup beruntung karena tidak harus memulai usaha untuk melindungi konsumen dari nol sama sekali. YLKI dapat mempelajari bagaimana negara-negara maju yang lebih dahulu memiliki lembaga perlindungan konsumen dalam menangani kasus-kasus yang merugikan konsumen di negaranya. Hal ini dapat dijadikan pelajaran yang bermanfaat sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengulangi kesalahan yang sama.34

Metode kerja YLKI baru pada penelitian terhadap sejumlah produk barang atau jasa dan mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat. Gerakan YLKI ini belum mempunyai kekuatan untuk memberlakukan atau mencabut suatu peraturan. YLKI juga tidak sepenuhnya dapat mandiri. Hal ini tentu dikarenakan YLKI sendiri bukan badan pemerintah dan tidak memiliki kekuasaan publik untuk menerapkan suatu peraturan dan menjatuhkan sanksi.35

33

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, 2000, hal.49.

34

Cellina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal.15.

35

Shidarta, op.cit., hal.37.

Keberadaan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen. Dan diharapkan juga undang-undang ini dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-haknya selaku pihak konsumen.


(41)

Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya para pelaku usaha berlindung dibalik suatu perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu antara pelaku usaha dan konsumen. Perjanjian ini disebut perjanjian baku. Ada kalanya juga pelaku usaha berlindung dibalik informasi “semu” yang diberikan kepada konsumen. Dikatakan informasi “semu” dikarenakan informasi yang diberikan pelaku usaha kepada konsumen bersifat tidak nyata. Tidak nyata maksudnya adalah bahwa informasi yang disampaikan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

Selain di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, hukum konsumen banyak ditemukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mulai efektif berlaku pada tanggal 20 April tahun 2000.

Sesuai isi Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa:

“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.

Hal ini berarti untuk “membela” kepentingan konsumen, selain masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku, juga


(42)

harus memuat berbagai kaidah yang menyangkut hubungan dan masalah konsumen.

Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidaknya peraturan perundang-undangan itu merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan tersebut diantaranya adalah :

a. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum konsumen terutama hukum perlindungan konsumen mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, pada Pembukaan Alinea ke-4 yang berbunyi : “... Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ...” Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan tersebut berbunyi : “Tiap warga berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Penghidupan yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, adalah merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang dan juga merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh. Untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Dasar 1945 melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sejak tahun 1978 telah menetapkan berbagai Ketetapan MPR. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1993 (TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atas adanya perlindungan


(43)

konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan. Jika pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan” konsumen, TAP-MPR 1988 “menjamin” kepentingan konsumen, maka pada tahun 1993 digunakan istilah “melindungi” kepentingan konsumen. Namun dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin, atau melindungi kepentingan konsumen tersebut.

b. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

Hukum perdata yang dimaksudkan adalah hukum perdata dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemua itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tampak lebih dominan berlakunya dibandingkan dengan kaidah-kaidah hukum adat atau kaidah-kaidah hukum tidak tertulis, dan putusan-putusan pengadilan negeri maupun pengadilan-pengadilan luar negeri yang berkaitan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memuat berbagai kaidah hukum yang berkaitan dengan hubungan-hubungan hukum dan masalah-masalah antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan buku keempat memuat berbagai kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang dan atau jasa tersebut. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain, termuat kaidah-kaidah hukum yang mempengaruhi dan/atau termasuk dalam bidang


(44)

hukum perdata. Antara lain tentang siapa yang dimaksudkan sebagai subjek hukum dalam suatu hubungan hukum konsumen, hak-hak dan kewajiban masing-masing, serta tata cara penyelesaian masalah yang terjadi dalam sengketa antara konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa yang diatur dalam peraturan perundang-perundangan bersangkutan.

B. Asas dan Tujuan Serta Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Hal yang penting dalam terbentuknya suatu peraturan adalah asas. Asas memiliki arti sebagai suatu dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita.

Di dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, ada beberapa asas dan tujuan dan juga prinsip-prinsip hukum yang dapat memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang kuat.

1. Asas Perlindungan Konsumen

Adapun asas perlindungan konsumen yang tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah :

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”

Penjabaran dari lima asas perlindungan konsumen yaitu sebagai berikut :36 a. Asas Manfaat

36

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, Grasindo, 2007, hal. 160.


(45)

Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas Keadilan

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas Keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, jika diperhatikan substansinya, maka dapat dibagi menjadi tiga asas, yaitu :

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;


(46)

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan 3. Asas kepastian hukum.37

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Selain asas, hal yang diperlukan dalam suatu peraturan adalah adanya tujuan. Tujuan adalah cita-cita, sasaran yang ingin dicapai yang menjadi salah satu alasan mengapa suatu peraturan itu perlu untuk dibuat.

Seperti halnya didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kedudukan konsumen sebagai pihak yang lemah dan rentan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha perlu mendapatkan suatu perlindungan dari pemerintah dan negara.

Adapun tujuan dari perlindungan konsumen yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya senagai konsumen;Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

37

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal.26.


(47)

d. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

e. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyaman, keamanan, dan keselamatan konsumen.

3. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip-prinsip tersebut adalah :38

A.Prinsip Let The Buyer Beware

Prinsip ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen.Namun prinsip let the buyer beware ini ditentang oleh pendukung gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme). Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli. Adalah kesalahan pembeli (konsumen) jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak.

Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).

38


(48)

B. Prinsip The Due Care Theory

Prinsip The Due Care Theory ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Untuk dapat mempersalahkan si pelaku usaha, seseorang haruslah dapat membuktikan bahwa si pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian.

Dilihat dari pembagian beban pembuktian, penggugat (konsumen) harus memberikan bukti-bukti. Sedangkan tergugat (pelaku usaha) cukup bersikap menunggu. Berdasarkan bukti-bukti dari penggugat, barulah tergugat membela dirinya. Misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam peristiwa itu sama sekali tidak ada kelalaian (negligence).

Dalam kenyataan, agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti guna memperkuat gugatannya. Sebaliknya si pelaku usaha dengan berbagai keunggulannya baik secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis relatif mudah untuk berkelit dan menghindar dari gugatan-gugatan yang demikian. Disinilah letaknya kelemahan dari prinsip ini.

C. Prinsip The Privity of Contract

Dalam prinsip ini pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan. Konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability).


(49)

Dalam perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen yang bersifat masif, seperti perjanjian standar, hanya hal-hal yang dianggap kesalahan prinsipiil yang diperjanjikan. Kesalahan-kesalahan “kecil” menurut versi pelaku usaha, biasanya tidak disinggung secara khusus dalam perjanjian itu. Akibatnya, jika konsumen menuntut pelaku usaha atas kesalahan-kesalahan “kecil” itu, maka pelaku usaha akan berdalih bahwa kesalahan tersebut tidak tercakup dalam perjanjian.

D.Prinsip Kontrak Bukan Syarat

Seiring dengan semakin kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan lagi secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Jadi, kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.

Sekalipun demikian ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen di bidang jasa.

E. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liabilty atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.


(50)

Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu :

a. Adanya perbuatan;

b. Adanya unsur kesalahan;

c. Adanya kerugian yang diderita;

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum” , tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban.

Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.

Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 Herziene Indonesische Reglement (HIR) atau Pasal 283 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG) dan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang


(51)

Hukum Perdata. Dikatakan barangsiapa yang mengaku mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actorie incumbit probatio).

1. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.

Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak bahwa asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tegugat.

2. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liabilty principle). Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam


(52)

lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

Meskipun demikian, dalam Pasal 44 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, dijelaskan bahwa bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang (konsumen).

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability).

Prinsip strict liability ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaaan force majeure. Sebaliknya prinsip absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.


(53)

Menurut R.C. Hoeber prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena:

1) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks,

2) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertenti pada harga produknya,

3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability.

Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapar dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu :

a. Melanggar jaminan (brench of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yant tertera dalam kemasan produk,

b. Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik, dan

c. Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict ability).


(54)

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam perjanjian standar yang dibuatnya.

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Produsen Sebagai Pelaku Usaha

Sebagai pengguna barang dan/atau jasa, konsumen memiliki hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen itu sangat penting. Hal ini tujuannya adalah jika suatu saat nanti ada perlakuan dari pelaku usaha yang tidak adil baginya, maka konsumen dapat segera menyadari akan hal tersebut. Dengan demikian tidak ada hak-hak dari konsumen yang dirugikan.

Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan dan atau kepentingan yang diberikan dan dilindungi oleh hukum baik pribadi maupun umum. Maka dapat diartikan bahwa hak itu adalah sesuatu yang layak atau patut diterima.

Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan umum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya


(55)

mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.39

Secara tradisional dikenal dua macam pembedaan hak, yaitu hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia dan hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan, yaitu hak yang berdasarkan undang-undang.40

a. hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, mengatur hak-hak konsumen sebagai berikut :

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

39

Sudikno Mertukusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1986, hal.40.

40


(56)

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962 melalui “A special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right).

Deklarasi ini menghasilkan empat hak dasar konsumen (the four consumer basics rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut :41

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3. Hak untuk memilih (the right to choose);

4. Hak untuk didengarkan (the right to be heard).

Empat dasar hak ini diakui secara internasional. Organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

41


(57)

Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Di Indonesia, YLKI memutuskan hanya untuk menambah satu hak sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena Undang-Undang ini secara khusus mengecualikan hak-hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan di bidang pengelolaan lingkungan.

Di samping hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berdasarkan dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition). Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Maka demikian jika semua hak-hak konsumen yang diterapkan di Indonesia tersebut disusun kembali, maka susunannya adalah sebagai berikut :42

1) Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi atau digunakan sehingga konsumen tidak dirugikan baik

42


(58)

secara jasmani dan rohani. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat yang ditetapkan.

2) Hak untuk Memilih

Dalam mengonsumsi suatu produk konsumen berhak menentukan pilihannya. Konsumen tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Jika jadi membeli, maka konsumen bebas untuk menentukan produk mana yang akan dibeli.

3) Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai dengan informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai keliru atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).

Menurut Troelstrup, “pada saat ini konsumen membutuhkan banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat ini : (1) pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah (false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indikator yang jelas, dan (2) daya beli konsumen semakin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-model produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan transportasi dan komunikasi sehinga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual”.43

4) Hak untuk Didengar

43


(59)

Hak untuk didengar ini erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Dalam hal ini konsumen berhak untuk mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia menyebutkan jika diminta oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu.

Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dinyatakan bahwa lembaga penyiaran wajib meralat isi siaran dan/atau berita jika diketahui terdapat kekeliruan atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau berita. Penyanggah berita itu mungkin adalah konsumen dari produk tertentu. Ralat atau pembetulan wajib dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya kurang dari 24 jam atau pada kesempatan pertama pada ruang mata acara yang sama, dan dalam bentuk serta cara yang sama dengan penyampaian isi siaran dan/atau berita yang disanggah. Ketentuan dalam Undang-Undang Penyiaran ini jelas menunjukkan hak untuk didengar, yang dalam doktrin hukum dapat diidentikkan dengan hak untuk membela diri.

5) Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha untuk membuat eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak yang terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen


(60)

berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu.

Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Namun sebaliknya, setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian dari salah satu pihak.

6) Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya.

Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen ini tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Bentuk informasi yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menunjukkan menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.

7) Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai Dengan Nilai Tukar yang Diberikan

Hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Kuantitas dan kualitas suatu barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen dihadapkan pada kondisi take it or leave it. Akibat dari tidak berimbangnya posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan


(1)

melakukan sosialisasi terkait hak-hak konsumen seperti diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam acara temu pelanggan yang rutin dilakukan, melakukan tawar-menawar kepada pemerintah selaku regulator dan kepada tender selaku produsen. Selain itu PT PGN (persero) Tbk juga menyediakan contact center yang dapat dihubungi dengan nomor 1500645 dan/atau e-mail ke oleh semua orang selaku konsumen.

B.Saran

1. Hak atas informasi merupakan hak yang sangat penting bagi konsumen dikarenakan hak atas informasi merupakan salah satu hak asasi manusia. Baik pemerintah maupun pelaku usaha memiliki kewajiban untuk melindungi dan mematuhinya. Selain itu hak atas informasi diatur juga dalam beberapa peraturan perundang-undangan, hal ini semakin menegaskan eksistensi hak atas informasi bagi konsumen. Oleh karena itu pemerintah dan pelaku usaha dalam hal ini adalah PT PGN (persero) Tbk wajib memberikan perlindungan yang maksimal kepada masyarakat selaku konsumen dalam hal memberikan informasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Seharusnya baik pemerintah atau pelaku usaha memberikan informasi terlebih dahulu kepada masyarakat selaku konsumen sebelum membuat suatu keputusan yang memiliki kaitan dengan masyarakat seperti menaikkan harga.

2. Peran PT PGN (persero) Tbk selaku Badan Usaha Milik Negara dan pelaku usaha dalam memberikan perlindungan kepada konsumen adalah dengan


(2)

mematuhi aturan-aturan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan kepada konsumen. Diantaranya adalah memastikan hak atas informasi yang menjadi hak konsumen dipenuhi oleh pelaku usaha. Oleh karena itu sudah seharusnya PT PGN (persero) Tbk selaku Badan Usaha Milik Negara memberikan informasi-informasi ataupun sosialisasi kepada konsumen mengenai segala keputusan yang akan PT PGN (persero) Tbk terapkan. Seperti kenaikan harga gas, ataupun informasi lainnya selama informasi itu tidak menjadi informasi yang dikecualikan seperti diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Seperti kenaikan harga gas, seharusnya PGN memberitahukan wacana kenaikan harga gas kepada konsumen. Agar baik itu konsumen maupun calon konsumen PGN dapat melakukan persiapan menghadapi kenaikan harga gas seperti yang terjadi saat ini.

3. Hambatan yang didapat PT PGN (persero) Tbk dalam memberikan pelayanan dan perlindungan yang optimal kepada konsumen salah satunya adalah ketidaktahuan konsumen terhadap apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya. Dan juga konsumen tidak mengerti mengenai bahan gas merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Oleh sebab itu PT PGN (persero) Tbk selaku pelaku usaha wajib memberitahu kepada konsumen mengenai apa saja yang menjadi hak dan kewajiban mereka seperti diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, juga memberi pengertian kepada konsumen mengenai pasokan gas PGN yang terbatas. Dengan cara melakukan sosialisasi kepada konsumen, dan juga


(3)

menyebarluaskan bagaimana cara yang dapat ditempuh konsumen untuk mengakses atau mencari tahu informasi-informasi tentang PT PGN (persero) Tbk.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Halim, Abdul Barkatulah. 2008, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, Bandung: Nusa Media.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1994, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Huijbers, Theo. 1990, Filsafat Hukum, Jakarta: Kanisius.

Kartika, Elsi Sari dan Advendi Simangunsong. 2007, Hukum Dalam Ekonimi, Jakarta: Grasindo.

Mertukusumo, Sudikno. 1986, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Nasution, AZ. 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media.

Nurmadjito. Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju.

Partodihardjo, Soemarno. 2008, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang NO. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Rajagukguk, Erman. 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju. Sedarmayanti Dan Syarifudin Hidayat. 2002, Metodelogi Penelitian, Bandung: CV


(5)

Shidarta. 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sidabalok, Janus. 2010, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Soemitro, Ronitijo. 1998, Methodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Semarang: Ghalatia Indonesia.

Sudaryatmo. 1996, Masalah Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suratman Dan Philips Dillah. 2014, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta.

Susanto, Happy. 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visimedia. Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati. 2000, Hukum Perlindungan Konsumen,

Bandung: Mandar Maju.

Tri, Celina Siwi Kristiyanti. 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Zulham. 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

TAP MPR Nomor. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. TAP MPR Nomor. II/MPR/1993 tentang GBHN.


(6)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1965 tentang Pembubaran Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara Dan Pendirian Perusahaan Listrik Negara ( P.L.N ) Dan Perusahaan Gas Negara ( P.G.N ).

C. Internet

Pikiran Rakyat, Memperkuat Daya Saing Industri Dengan gas Bumi. http://www.bumn.go .id , diakses pada 23 Maret 2015.

,

diakses pada tanggal 26 Agustus 2015. Pukul 23.10 WIB.

tanggal 28 Agustus 2015 Pukul 10.15 WIB.

media.corporate-ir.net/media.../2014_PGN_Laporan_Keberlanjutan.pdf . diakses pada tanggal 25 Agustus 2015 Pukul 21.00 WIB.

Agustus 2015. Pukul 19.00 WIB.