diselesaikan berdasarkan prinsip syariah, yang antara lain dikarenakan tidak tersedianya hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan.
162
C. Arbitrase Tahkim
Dalam perspektif Islam, arbitrase dapat dipadankan dengan istilah tahkim.
Tahkim sendiri berasal dari kata hakkama. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim
memiliki pengertian yang sama dengan pengertian arbitrase dewasa ini, yaitu pengangkatan seseorang atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara
damai. Orang yang ditunjuk untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dinamakan hakam
163
sedangkan untuk arbitrase lazim disebut sebagai wasit. Lazimnya dalam setiap kegiatan bertransaksi, para pihak akan
memperjanjikan segala sesuatu secara seksama, termasuk pilihan hukum yang akan diterapkan dalam mengadili sengketa yang mungkin terjadi Choice of Law serta
forum penyelesaian sengketa tersebut Choice of ForumJurisdiction. Pasal 55 ayat 2 UU Perbankan Syariah bahkan secara tegas menyatakan bahwa :”Dalam hal para
pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat1, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.” Dari bunyi
162
Utary Maharani Barus, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-sama dengan Hukum Perjanjian Menurut KUHPerdata: Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syariah
dan Nasabahnya di Indonesia. Disertasi Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara dipertahankan tanggal 13 Januari 2006, hal 290-292.
163
Abdul Mannan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah; Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, makalah, disampaikan pada acara Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis
Universitas YARSI ke 40, pada hari Rabu, tanggal 7 Februari di Kampus YARSI Jakarta, hal 41.
Universitas Sumatera Utara
pasal tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa ketentuan Pasal 55 ayat 1 yang menyatakan bahwa:”Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama,” menjadi prioritas kedua apabila didalam akad para pihak sudah menentukan forum yang akan ditunjuk untuk
menyelesaikan sengketa diantara mereka nantinya. Hal ini sejalan dengan asas Pacta Sunt Servanda yang terkandung dalam pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu, perjanjian harus didahulukan
keberlakuannya daripada undang-undang, karena perjanjian yang notabene undang- undang bagi para pihak adalah lex specialis, sedangkan undang-undang adalah lex
generalis, sehingga berlaku asas lex specialis derogat legi generali, peraturan yang khusus menyampingkan peraturan yang umum.
Biasanya dalam setiap akad, para pihak akan mencantumkan suatu klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase,
164
dengan demikian mereka sepakat untuk tidak membawa sengketa yang timbul dari akad atau perjanjian tersebut ke suatu badan
peradilan negara, dalam hal ini Pengadilan Agama. Maka, yurisdiksi Pengadilan Agama tidak menjangkau sengketa perjanjian dibidang ekonomi syariah yang
didalamnya sudah mencantumkan klausula arbitrase.
164
Berdasarkan pasal 1 ayat3 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud dengan arbitrase adalah “suatu kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.”
Universitas Sumatera Utara
Maka kewenangan mengadili sengketa dalam perjanjian yang mengandung klausula arbitrase adalah badan atau lembaga arbitrase yang ditentukan bersama
berdasarkan kesepakatan. Dari sisi kelembagaan telah ada Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI, Badan Abitrase Muamalat Indonesia BAMUI yang kemudian
digantikan dengan Badan Arbitrase Syariah BASYARNAS, Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia BAPMI. Adapun dilingkungan perbankan syariah, biasanya badan
arbitrase yang dipilih adalah Badan Arbitrase Syariah BASYARNAS. Klausula yang biasanya terdapat dalam akad antara bank syariah dengan nasabahnya antara
lain berbunyi: ”Segala sengketa yang timbul berkaitan dengan perjanjian ini akan diselesaikan melalui BASYARNAS”
165
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, dalam fatwa-fatwanya yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi syariah
bahkan selalu menetapkan:”Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.”
Ruang lingkup arbitase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut ”huququl ibad” hak-hak perorangan secara penuh, yaitu aturan-aturan hukum yamg
mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta bendanya.
166
Menurut Wahbah Az`Zuhaili sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hambaliah berpendapat bahwa tahkim berlaku
165
Anshori, Abdul Ghofur, Tanya Jawab Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2008, hal.40.
166
Abdul Manan, Op.Cit, Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
dalam masalah harta benda, qisas, hudud, nikah, li’an. Berarti menurut mazhab ini, tahkim tidak hanya meliputi masalah yang berkaitan dengan hak-hak perorangan,
tetapi juga yang menyangkut hak Allah.
167
Sebaliknya para fuqoha dari kalangan mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa tahkim itu dibenarkan dalam segala hal
kecuali dalam bidang hudud`dan qisas, sedangkan dalam bidang ijtihad hanya dibenarkan dalam bidang muamalah, nikah dan talak saja. Jumhur ulama sepakat
dengan mazhab Malikiyah yang menyatakan tahkim hanya dibenarkan dalam masalah yang menyangkut harta benda saja, dan tidak dibenarkan tahkim atas masalah hudud,
qisas dan li’an, karena masalah ini merupakan kewenangan Peradilan.
168
Tetapi para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah sepakat bahwa segala apa yang menjadi keputusan hakam
wasitarbitrer langsung mengikat kepada pihak-pihak yang yang bersengketa, tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak. Pendapat ini juga didukung
oleh sebagian ahli hukum dikalangan mazhab Syafi’i.
169
Dalam konteks arbitrase syariah ditanah air, dapat dilihat dari kewenangan Badan Arbitrase`Syariah Nasional BASYARNAS berikut ini:
1. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah perdata yang
timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara
167
Ibid.
168
Ibid.
169
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tertulis untuk menyerahkan permasalahannya kepada BASYARNAS sesuai dengan prosedur BASYARNAS.
2. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa
adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.
Dapat disimpulkan dari kewenangan BASYARNAS tersebut bahwa lingkup arbitrase syariah hanya menyangkut masalah yang berkaitan dengan hak-hak
perorangan perdata yang menyangkut harta benda, tidak melingkupi masalah yang berkaitan dengan pidana, hal ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama yang telah
dikemukakan sebelumnya. Demikian pula masalah mengikatnya putusan hakam atau arbitrer juga sesuai dengan pendapat para fuqoha, yaitu langsung mengikat para pihak
yang bersengketa. Oleh karena perjanjian LC merupakan perjanjian yang menyagkut masalah perorangan dan berkaitan dengan jasa, maka prosedur arbitrase juga
merupakan salah satu choice of forum yang dimungkinkan apabila terjadi persengketaan.
Putusan Badan Arbitrase Syariah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak pasal 60 Undang-Undang No 30 Tahun 1999,
karenanya para pihak harus melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah secara sukarela. Tetapi untuk mengeksekusi putusan tersebut memerlukan “campur tangan”
pengadilan. Hal ini terdapat pada pasal 61 UU No.30 Tahun 1999 yang berbunyi: ”Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan hal ini, sesuai dengan pasal 49 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006,
Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syari’ah, maka Ketua Pengadilan Agama
lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah. Arbitrase merupakan salah satu institusi hukum Alternatif Penyelesaian
Sengketa Alternative Dispute Resolution disamping beberapa metode alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan lainnya yaitu: Negosiasi, Mediasi, dan
Konsiliasi. Negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang sama dinamis dan variasi,
serta halus dan bernuansa, sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai orang.
170
Mediasi, yaitu seperangkat proses yang membantu para pihak yang bersengketa untuk sepakat dengan masalah-masalah tertentu.
171
Konsiliasi, yaitu suatu aliansi dari dua pihak atau lebih yang sepakat untuk bergabung dalam suatu tindakan bersama atau
terkoordinasi melawan pihak atau koalisi lain.
172
Semua metode alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut dapat diaplikasikan terhadap sengketa yang terjadi dalam kegiatan ekonomi syariah,
bahkan dianjurkan untuk menghindari kebencian diantara pihak-pihak yang bersengketa, karena penyelesaian sengketa diluar pengadilan mengutamakan asas
170
Bismar Nasution, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Antara Bank dan Nasabah, makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas Mediasi Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia
dan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 2007, hal 38.
171
Ibid.
172
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
win-win solution sehingga para pihak tidak ada yang merasa kalah atau menang, berbeda dengan penyelesaian melalui pengadilan yang selalu berujung pada win lose
solution. Berkaitan dengan hal ini, Allah SWT telah berfirman
173
:”Bila kalian khawatir perpecahan diantara mereka berdua, maka utuslah seorang hakam dari
pihak keluarga pria dan seorang hakam dari pihak keluarga wanita. Bila keduanya menginginkan perdamaian, maka Allah akan memberi taufik kepada mereka berdua.
Allah itu sesungguhnya Maha Tahu, lagi Maha Adil.”
D. Penyelesaian Sengketa LC Syariah Dengan Jalur Litigasi