Namun apabila memperhatikan sifat perjanjian LC syariah yang mana pihak bank penerbit LC juga berkaitan erat dengan kontrak dasarnya, baik sebagai
mudharib dalam kontrak dasar yang berbentuk mudharabah antara bank dengan pemohon LC, sebagai shahibul mal dalam kontrak dasar yang berbentuk
musyarakah, bai’ dalam kontrak dasar yang berbentuk murabahah dan seterusnya, maka kontrak dasar itu juga berpotensi sengketa perbankan.
B. Pilihan Hukum Dalam Perjanjian LC Syariah
Perjanjian LC melibatkan eksportir dan importir, bank penerbit, bank koresponden yang tidak berada dalam satu wilayah negara. LC juga melahirkan
beberapa jenis kontrak yang berkaitan satu sama lain namun tetap berdiri sendiri- sendiri, meliputi kontrak penjualan, kontrak permintaan penerbitan LC, kontrak LC
itu sendiri serta kontrak keagenan. Oleh sebab itu pengaturan pilihan hukum dalam LC lebih kompleks. Dalam transaksi bisnis internasional umumnya para pihak
menginginkan agar kontrak bisnis tersebut diatur menurut hukum nasionalnya sendiri. Untuk menghindari kesulitan dalam melakukan pilihan hukum karena perbedaan
sistem hukum tersebut, maka dalam transaksi yang menggunakan LC, International Chamber of Commerce ICC telah merumuskan Uniform Custom and Practice for
Documentary Credit UCP. Hal-hal yang mendasari lahirnya UCP adalah untuk menghindari perselisihan dan menjadi acuan jika terjadi perselisihan mengenai proses
dan hukum yang akan digunakan serta agar transaksi-transaksi yang melibatkan pihak-pihak dari beberapa sistem hukum yang terlaksana berbeda dapat terlaksana
Universitas Sumatera Utara
dengan baik tanpa terjadi misperception dan misunderstanding dari masing-masing pihak. UCP merupakan konvensi internasional yang bersumber dari kebiasaan-
kebiasaan dan praktek transaksi internasional yang berkembang dari waktu ke waktu. Terakhir adalah UCP 600 yang merupakan revisi dari UCP 500, resmi
disetujui oleh Banking Commision Meeting International Chamber of Commerce Paris pada tanggal 1 Juli 2007.
155
UCP merupakan hukum yang bersifat mengatur, bedasarkan pada prinsip Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Dengan prinsip ini berarti UCP hanya akan
diaplikasikan sebagai hukum yang mengatur hubungan para pihak sepanjang para pihak dalam kontrak mereka secara tegas mencantumkan UCP sebagai hukum yang
mengatur mereka. UCP dapat dikesampingkan para pihak jika mereka telah mengatur mekanisme sendiri dalam hubungan hukum antar mereka. Hal ini dapat dilihat dari
bunyi Pasal 1 UCP 600 sebagai berikut: ”Uniform Custom and Practice for Documentary Credit, 2007 Revision,
ICC Publication No.600 UCP, are rules that apply to any documentary credit including, to the extent to wich they may be applicable, any
standby letter of credt when the text of the credit expressly indicates that it is subject to this rules. They are binding to all parties thereto unless
expressly modified or excluded by the credit.”
156
UCP lebih merupakan model law, yang walaupun menjadi acuan hampir seluruh negara dan para pihak yang melakukan transaksi bisnis internasional dengan
155
Tjarsim Adisasmita, Op.Cit, hal.26.
156
Unifom Customs and Practice for Documentary Credit UCP, 2007 Revision, ICC Publication No.600.
Universitas Sumatera Utara
menggunakan LC, namun keberlakuannya bukanlah suatu paksaan melainkan suatu pilihan sukarela dari para pihak.
Sifat mengatur UCP ini akan berubah menjadi memaksa apabila para pihak secara tegas dalam klausula LC yang bersangkutan memilih untuk menerapkan UCP
sebagai acuan. Jika dalam kontrak para pihak tidak mencantumkan pilihan hukum, maka
hukum perdata internasional memberikan beberapa teori untuk mengatasi masalah ini. Pertama, teori Lex Loci Contractus yaitu teori yang menyatakan bahwa hukum
suatu kontrak ditentukan oleh hukum dimana kontrak tersebut dibuat.
157
Dalam hal LC, LC ditandatangani oleh bank penerbit maka hukum nasional dari bank penerbit
yang akan diberlakukan. Namun seiring pesatnya kemajuan teknologi khususnya media internet, teori ini dirasa kurang memadai karena seringkali para pihak tidak
bertemu muka secara langsung dalam aplikasi penerbitan LC, cukup membuat kesepakatan melalui internet.
Kedua, teori Lex Loci Solutionis, yaitu teori yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku atas suatu kontrak didasarkan pada tempat dimana perjanjian itu
dilaksanakan. Pada umumnya memang lazim dalam kontrak-kontrak dagang internasional, sesuai dengan praktek yang menjadi kebiasaan, bahwa ditentukan
tempat penyerahan barang-barang yang bersangkutan atau dimana jasa-jasa yang harus diberikan atau diterima.
158
Namun teori juga menemui kendala untuk
157
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Bandung: Alumni, 1998, hal.16-17.
158
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diterapkan apabila dalam suatu perjanjian terdapat beberapa tempat melaksanakan kontrak tersebut. Dalam kaitannya dengan LC juga ada kesulitan untuk menerapkan
teori ini mengingat perjanjian LC melibatkan wilayah yang berbeda antara negara importir dengan negara eksportir.
Ketiga, teori The Proper Law of The Contract yaitu teori yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku atas suatu kontrak berdasarkan “Intention of The
Parties”, atau maksud para pihak dengan melihat fakta-fakta yang secara tidak langsung menunjukkan keinginan para pihak untuk memberlakukan suatu hukum
tertentu.
159
Keempat, teori The Most Characteristic Connection, yaitu teori yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku atas suatu kontrak adalah tergantung prestasi
siapa yang paling karakteristik atau paling dominan.
160
Teori prestasi yang paling karakteristik ini cukup relevan jika diaplikasikan pada perjanjian LC mengingat LC
juga termasuk kontrak dagang internasional. Menurut teori ini, kecenderungan hukum nasional yang berlaku antuk LC adalah hukum negara dimana bank penerbit berada.
Adapun faktor-faktor yang menjadi alasan adalah di negara tempat bank penerbit berada lah dilakukan penerbitan LC, tempat dilakukan perubahan-perubahan LC,
tempat dilaksanakannya penelitian dokumen-dokumen dan tempat dilaksanakannya pembayaran LC. Namun, teori ini juga cenderung untuk memberlakukan hukum
159
Ibid.
160
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
negara dimana penerima berada karena pada negara tersebut dapat terjadi permintaan pembayaran LC, penelitian dokumen-dokumen dan pembayaran LC.
161
Dalam hal LC syariah, yang dalam konsep maupun pelaksanaannya harus berbasis syariah, dalam menentukan pilihan hukum tetap berasaskan kebebasan
berkontrak, namun tetap tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai syariah. Artinya para pihak bebas menentukan pilihan hukum, apakah berdasarkan hukum UCP yang
sudah diakui secara internasional, atau hukum nasional dari pihak-pihak yang bertransaksi, namun tetap harus berada dalam koridor syariah. Kebebasan berkontrak
dalam transaksi bisnis berdasarkan syariah dapat disimpulkan dari kaidah fiqh yang juga merupakan prinsip muamalat yang menyatakan:”Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Syariat Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melakukan
akad yang diinginkannya, sebaliknya jika ada unsur pemaksaan atau penipuan akan mengakibatkan kontrak menjadi batal atau tidak sah. Hal ini berarti bahwa Hukum
Islam terbuka terhadap perkembangan dunia bisnis dengan berbagai jenis kontrak yang baru. Dengan kata lain, orang boleh memperjanjikan apapun dengan bentuk
apapun, dan bebas menentukan pilihan hukum maupun forum yang akan diberlakukan jika terjadi persengketaan, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-
nilai syariah atau tidak mengandung hal-hal yang jelas dilarang dalam syariah. Hal ini terbukti dari hasil penelitian S3 Ilmu Hukum Universitas`Sumatera
Utara yang menyimpulkan bahwa sengketa antara bank syariah tidak murni
161
Ramlan Ginting, Op.Cit, Hal.121.
Universitas Sumatera Utara
diselesaikan berdasarkan prinsip syariah, yang antara lain dikarenakan tidak tersedianya hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan.
162
C. Arbitrase Tahkim