2.2.2. Faktor –faktor yang mempengaruhi Gaya Kepemimpinan
Menurut studi tannenbaum dan Schmid menunjukan bahwa gaya dan efektifitas gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh :
1. Diri pemimpin; Kepribadian, pengalaman masa lampau, latar belakang dan
harapan pemimpin sangat mempengaruhi efektifitas kepemimpinan disamping mempengaruhi gaya kepemimpinan yang dipilihnya.
2. Ciri atasan; Gaya kepemimpinan atasan dari manager sangat mempengaruhi
orientasi kepemimpinan menejer. 3.
Ciri Bawahan; Respon yang diberikan oleh bawahan akan menentukan efektifitas kepemimpinan manajer. Latar belakang pendidikan bawahan juga sangat
menentukan pula cara manajer menentukan gaya kepemimpinannya. 4.
Persyaratan tugas; Tuntutan tanggung jawab pekerjaan bawahan akan mempengaruhi gaya kepemimpinan manajer.
5. Iklim organisasi dan kebijakan; Ini akan mempengaruhi harapan dan perilaku
anggota kelompok serta gaya kepemimpinan yang dipilih oleh manajer. 6.
Perilaku dan harapan rekan; Rekan sekerja manajer merupakan kelompok acuan penting. segala pendapat yang diberikan oleh rekan-rekan manajer sangat
mempengaruhi efektivitas hasil kerja manajer.
2.2.3. Peran penting gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya. Pentingnya gaya kepemimpinan
diterapkan kepada bawahan sesuai dengan kedewasaankematangan bawahan merupakan persyaratan mutlak keefektifan kepemimpinan dalam keberhasilan
organisasi. Dengan demikian kepemimpinan seorang pemimpin harus dapat menjalin hubungan pribadi yang baik antara yang dipimpin dengan yang memimpin.
2.2.4. Jenis –jenis gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, ketrampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Adapun jenis – jenis
gaya kepemimpinan adalah
1. Gaya eksploitati- otoritatif
Gaya eksploitatif-otoritatif ini ditandai dengan sikap yang cenderung : a
Memeras tenaga bawahan sedemikian sehingga mengabaikan hak-hak pegawai, misalnya istirahat, cuti, upah lembur, penghargaan, upah yang tidak memadai
dengan usaha yang telah dikeluarkan pegawai serta hak-hak lain yang bersifat manusiawi.
b Tidak menghargai pendapat atau saran bawahan. Dengan kata lain bawahan tidak
diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat atau saran dalam pelaksanaan pekerjaan. karyawan seakan-akan sebagai alat mati robot yang bergerak atas
perintah, jadwal dan cara kerja yang telah diberikan.
c Semua keputusan dilakukan sendiri oleh atasan, tidak dilimpahkan kepada
bawahan. Bahkan sampai pada masalah-masalah kecil ditangani sendiri oleh atasan.
d Mengutamakan sangsi hukuman sebagai usaha untuk menegakkan disiplin. Sama
sekali tidak ada pendekatan pendisplinan ini dari segi pendidikan dan kesadaran. Rasa takut menjadi barometer bagi disiplin karyawan. Masalah keteladanan,
penggunaan cara-cara yang halus dan manusiawi tidak mendapatkan tempat dalam usaha mendisiplinkan karyawan.
2. Gaya otoritatif
Gaya ini lebih lunak daripada gaya eksploitatif-otoritatif, namun mengenai pengambilan keputusan masih tetap berada ditangan pemimpin secara keseluruhan.
Adapun ciri-ciri lebih lanjut dari gaya otoritatif ini adalah sebagai berikut : a
Sedikit memberikan kelonggaran kepada bawahan untuk mengajukan saran dan pendapat kepada pemimpin. Meskipun saran atau pendapat itu kemungkinan
diterima adalah 5 : 1, akan tetapi hal itu dirasakan oleh bawahan sebagai suatu pengakuan atas hak bersuara bagi bawahan. Memenga dalam masalah saran-
pendapat dari bawahan kepada atasan tidak mungkin secara keseluruhan dapat diterima begitu saja oleh atasan. Apabila hal ini terjadi, terasa adanya
‘kelemahan’ pada atasan itu atau ‘kekuatan’ pada bawahan. b
Pengambilan keputusan berada ditangan pemimpin, hanya sedikit sekali melimpahkan kepada orang lain. Karena itu perintah-perintah masih menjadi ciri
gaya kepemimpin ini sebagai rangkaian dari sentralistis pengambilan keputusan. Kebebasan penuh orang- orang dalam menyelenggarakan pekerjaan, belum
tercermin. c
Penerapan sanksi hukuman masih menonjol sebagai usaha menegakkan disiplin orang- orang dalam organisasi. Dengan demikian motivasi kerja mereka adalah
rasa takut terhadap sanksi, sehingga hal demikian itu mengakibatkan tumbuhnya perasaan was-was atau ragu-ragu, inisiatif tidak dapat berkembang, sehingga maju
mundurnya organisasi masih terngantung pada pemimpin seorang. Memang dari segi kualitas sanksi hukuman barang kali lebih ringan daripada gaya
kepemimpinan jenis pertama. Tetapi meskipun demikian masih dirasakan sebagai hal yang menakutkan.
d Kurang adanya penghargaan terhadap hasil karya yang telah dilakukan oleh
orang-orang. Baik penghargaan yang bersifat moral-psilologis maupun yang bersifat fisik-fasilitas, apalagi yang bersifat seremonial. Hal ini tidak sejalan
dengan sifat dasar manusia yang dihargai hasil karya yang telah dicapai betapapun kecilnya, untuk kepuasan hati dan dapat membangkitkan rasa bangga
pada dirinya. Dengan begitu terangsang kegairahan dan kegembiraan dalam menjalankan pekerjaan berikutnya.
3. Gaya konsultatif
Gaya ini lebih lanjut dirasakan oleh bawahan daripada gaya otoritatif, oleh karena sudah lebih banyak memberikan beberapa kelonggaran kepada bawahan
dalam melaksanakan tugas pekerjaan. Kelonggaran-kelonggaran itu sekaligus sebagai ciri dari kepemimpinan yang bergaya konsultatif ini adalah :
Pemimpin memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengajukan pendapat dan saran berkenaan dengan pekerjaan. Tidak saja pada tugas atau
pekerjaan dalam lingkungannya sendiri melainkan dapat lebih luas lagi. Kesempatan demikian akan dapat mengembangkan kemampuan berfikir bawahan, tidak hanya
secara sektoral berkotak- kotak melainkan global dalam kaitan organisasi sistem. a
Dalam hal pembuatan keputusan menejer sudah memperhatikan pendapat bawahan serta memberikan kesempatan kepada bawahan ikut serta dalam proses
pembuatan keputusan. Bawahan sudah diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan sendiri atas tanggung jawabnya.
b Pendisplinan kerja tidak lagi dilakukan semata-mata melalui motivasi negative
yaitu dengan ancaman sanksi, menakuti, tetapi sudah menggunakan motivasi positif seperti pemberian perangsang, sistem penggajian progresif, pemberian
kemudahan-kemudahan terhadap pejabat-petugas tertentu, sistem bonus dan premi.
c Sanksi hukuman terhadap kesalahan masih tetap diperlakukan tetapi dengan
metode yang lebih bersifat edukatif dan secara bertingkat melalui peringatan- peringatan. Hal ini didasari oleh rasa kemanusiaan dan sifat manusiawi yaitu
adanya kelemahan-kelemahan bawaan, lupa, sembrono lalai, terburu-buru dan lain sebagainya yang sama sekali tidak disertai unsur kesengajaan dengan
keinginan negative. Maksud penerapan sanksi ialah untuk menimbulkan
kesadaran atas kekeliruan dan membangkitkan semangat untuk memperbaiki serta tidak mengulangi lagi kesalahan serupa dimasa mendatang.
4. Gaya partisipatif
Gaya ini merupakan tingkatan gaya yang paling tinggi dan terbaik dalam situasi yang wajar dari ke 3 rangkaian urutan gaya kepemimpinan. Dengan demikian
masalah-masalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab termasuk pembuatan keputusan telah dilaksanakan kepada pimpinan bawah. Gaya partisipatif ini memang
merupakan gaya yang amat didambakan meskipun sulit karena diperlukan sarana pendukung yang tidak mudah yaitu, watak kepribadian pemimpin itu sendiri dan
lingkungan sekitarnya baik dalam bentuk sisitem organisasi, manajemen dan administrasi dengan dampak masing-masing maupun dalam bentuk fisik kelompok
orang meliputi budaya, tradisi dan kepribadian kelompok yang dianut. Namun hal ini tidak berarti bahwa gaya ini tidak mungkin hidup dan tumbuh dalam organisasi.
2.3. KEPUASAN KERJA
2.3.1. Definisi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda–beda sesuai dengan sistem
nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang
sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang di rasakan. Biasanya orang akan merasa puas atas kerja yang telah atau sedang
ia jalankan sesuai dengan yang diharapkannya. Kepuasan kerja merupakan salah satu komponen yang mendukung
tercapainya produktivitas yang dimaksud. Davis, 1985 mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sekumpulan perasaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan
terhadap pekerjaan mereka. Kepuasan kerja dipandang sebagai perasaan senang atau tidak senang yang relative, berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku.
Karena perasaan terkait dengan sikap seseorang, maka kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagi sebuah sikap karyawan yang timbul berdasrkan penilaian
terhadap situasi dimana mereka bekerja. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya daripada tidak menyukainya.
kepuasan juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Karyawan yang merasa terpenuhi kebutuhannya akan mempersepsikan diri mereka sebagai karyawan yang
memiliki kepuasan atas pekerjaanya. Sebaliknya ketidakpuasan muncul apabila salah satu atau sebagian dari kebutuhannya tidak dapat terpenuhi.
Sedangkan, menurut Handoko, 2000:84 kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, dengan mana para
karyawan memandang pekerjaan mereka. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada
gilirannya akan menjadi frustasi. Siagian, 2006:295 berpendapat bahwa kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seseorang, baik yang bersifat positif maupun
bersifat negatif tentang pekerjaannya. Banyak faktor yang perlu mendapat perhatian dalam menganalisis kepuasan kerja seseorang. Apabila dalam pekerjaannya seseorang
mempunyai otonomi atau bertindak, terdapat variasi, memberikan sumbangan penting dalam keberhasilan organisasi dan karyawan memperoleh umpan balik tentang hasil
pekerjaan yang dilakukannya, yang bersangkutan akan merasa puas. Bentuk program pengenalan yang tepat serta berakibat pada diterimanya seseorang sebagai anggota
kelompok kerja. Situasi lingkungan berbuntut pada tingkat kepuasa kerja yang tinggi, pemahaman yang lebih tepat tentang kepuasan kerja dapat terwujud apabila analisis
tentang kepuasan kerja dikaitkan dengan prestasi kerja, dan besar kecilnya organisasi.
2.3.2. Indikator Kepuasan Kerja