Muhammad Asrun, Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di bawah Soeharto, Bandung:

kekuasaan tiranik, karena kekuasaan tiranik senantiasa mengancam kehidupan individu warga negara dan masyarakat. 27 Pengakuan Plato tersebut menempatkan perangkat hukum sebagai instrumen yang secara nyata memberikan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat. Perlindungan hukum bagi kepentingan masyarakat dapat dilihat sebagai bagian penting dari proses penegakan hukum, namun hal ini menurut Satjipto Rahardjo bahwa dalam kenyataan masyarakat tidak terdiri dari orang-orang yang sama dalam segalanya, ada perbedaan dalam status sosial dan ekonomi, ada yang disebut stratifikasi sosial dan sebagainya. Keadaan tersebut menyebabkan, bahwa hukum yang dirancang secara adil dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan situasi yang tidak adil. 28 Hukum sebagai instrumen perlindungan masyarakat dapat dimanifestasikan mulai dari bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam wujud aparat hukum. Peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum merupakan dua dari tiga elemen sistem hukum. 29 Lawrence M. Friedman mengatakan dalam teorinya yang dikutip oleh Indriadi Thanos bahwa dalam melakukan penegakan hukum ada 3 tiga komponen hukum yang perlu diperhatikan yakni : a. Substansi Hukum Legal Substance Substansi hukum merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat. 27 Ibid. 28 Satjipto Rahardjo, Watak Kultural Hukum Modern, Jakarta: Buku Kompas, 2007 hal. 32 29

A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di bawah Soeharto, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 42. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 b. Struktur Hukum Legal Stucture Struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri dari atas lembaga-lembaga hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana yang secara kumulatif menentukan proses kerja serta kinerja mereka. c. Budaya Hukum Legal Culture Budaya Hukum ini terkait dengan kesadaran masyarakat dalam mentaati hukum itu sendiri. Kesadaran masyarakat itu ditentukan oleh pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hukum. Masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang hukum akan mempunyai pemahaman hukum dan selanjutnya akan memiliki kesadaran untuk taat hukum. Ketiga komponen diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, oleh karena itu ketiganya harus dilakukan secara simultan. 30 Jadi untuk melakukan penegakan hukum sesuai yang diharapkan maka pembenahan terhadap ketiga komponen diatas harus dilakukan. Sehingga pada akhirnya hukum benar-benar bisa menjadi “panglima” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebab substansi hukum yang dimaksudkan tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum Law in books tetapi juga pada hukum yang hidup living Law termasuk di dalamnya “Produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem itu, misalnya keputusan-keputusan yang mereka keluarkan dan aturan-aturan yang mereka susun sementara struktur 30 Indriadi Thanos, Penegakan Hukum di Indonesia, Sebuah Analisa Deskriftif. Jakarta: CV. Bina Niaga Jaya, 2008, hal. 43, terjemahan dari Lawrance M. Friedman, The Legal System; A Social Science Prespective. New York: Russel Sage Faoundation, 1975, juga dalam Friedman American Law ; New York: W.W. Norton Company, 1984, bandingkan misalnya dengan Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1986, menurut Soekanto, faktor-faktor itu adalah hukum itu sendiri, aparat penegak hukum, sarana pendukung dan masyarakat. Teori Freidman ini merupakan teri yang populer dan banyak dirujuk dalam pembahasan masalah hukum. Bahkan RPJM Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga menggunakan pendekatan yang mirip dengan teori Lawrance M. Friedman ini. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 hukum menyangkut penataan badan-badan penegak hukum lainnya serta yang penting dalam hal ini bagaimana agency-agency organ-organ pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi-fungsi struktural tersebut diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai dan berbeda dengan budaya hukum yang menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan nilai, pemikiran dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum. 31 Pembangunan substansi hukum bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab lembaga legislatif belaka. Kewenangan lembaga legislatif untuk menyalurkan jabatan dan elaborasi produk legislatif merupakan alasan utama menuntut pelaksanaan kegiatan pemerintah untuk juga bersifat responsif dan realistis terhadap tuntutan rakyat, karena tidak tertutup kemungkinan ada beberapa hal yang mengkhawatirkan dalam perancangan hukum kepada eksekutif antara lain : 1. Tidak selarasnya aturan pelaksanaan dengan aturan yang lebih tinggi vertikal. 2. Tidak sesuainya aturan yang dikeluarkan satu instansi dengan instansi lainnya horisontal. 32 Diluar ketiga komponen diatas ada juga hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam proses penegakan hukum kita, yakni masalah kejahatan , pidana dan pelaku kejahatan itu sendiri. Masalah kejahatan, pidana dan penjahat 31 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, materi kuliah Teori Hukum Kelas Pararel A dan B program studi ilmu hukum, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. 32 Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Konsepsi dan Implementasi Kapita Selekta. Yogyakarta : Galang Press, 2008, hal. 79. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 mereka yang melakukan suatu tindak pidana merupakan suatu keadaan yang tidak pernah sepi dalam kehidupan masyarakat bahkan terus berkembang sejalan dengan perkembangan dan perubahan peradaban manusia. Oleh karena itu tidak mungkin dapat dimusnahkan habis, namun hanya ditujukan kepada usaha untuk “pencegahan kejahatan” prevention of crime 33 Pencegahan kejahatan hanya dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga penegak hukum yang ada dan eksis dalam suatu negara, karena pencegahan terhadap suatu kejahatan juga merupakan suatu wujud perlindungan kepada warga negara yang diamanahkan UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, karena itu Pemerintah RI memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera bagi warganya. 34 Indonesia sebagai negara hukum berarti tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan yang sewenang- wenang dari pihak pemerintah penguasa dan tindakan rakyat yang dilakukan menurut kehendaknya. Jadi negara hukum adalah suatu negara yang mengatur bagaimana cara melindungi Hak Asasi Manusia dan negara yang tidak mengakui dan tidak melindungi Hak Asasi Manusia bukanlah satu negara hukum. 35 Dapat 33 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum dn, Lembaga Kriminologi UI, 1994, hal. 3. 34 Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007, hal. 5. 35 Bintan R. Saragih. Reformasi Dalam Perspektif Hukum Tata Negara, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002, hlm.101. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 dirumuskan kembali bahwa tiada negara dapat disebut negara hukum bila dalam konstitusinya tidak mencakup prinsip-prinsip HAM sebagai implementasi konsensus dan kedaulatan rakyat. Sementara menurut Jimly Asshiddiqie ada 9 sembilan prinsip pokok sebagai pilar utama yang menyangga tegak suatu negara sehingga dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Kesembilan prinsip itu adalah sebagai berikut : 1. Supremasi Hukum Supremacy Of Law 2. Persamaan Dalam Hukum Equality Before The Law 3. Asas Legalitas 4. Pembatasan Kekuasaan 5. Organ-Organ Eksekutif Independen 6. Peradilan Bebas Dan Tidak Memihak 7. Peradilan Tata Usaha Negara 8. Perlindungan Hak Asasi Manusia 9. Bersifat Demokratis Democratische Rechtstaats 36 Di antara kesembilan prinsip tersebut di atas ada beberapa prinsip yang sangat erat kaitannya dengan judul penelitian penulis, yakni : Supremasi Hukum, Persamaan Dalam Hukum, Peradilan Bebas Dan Tidak Memihak, Serta Perlindungan HAM. 36 Jimly Asshiddiqie. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 154-161. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 Supremasi diartikan sebagai suatu keutamaan, sehingga supremasi hukum dapat diartikan sebagai sifat mengutamakan superiority kekuasaan hukum. Prinsip utama negara hukum adalah supremasi hukum, sehingga supremasi hukum merupakan pilar negara hukum dan bahwa kekuasaan dari penguasa tunduk sepenuhnya kepada hukum. 37 Focal Concern negara hukum Indonesia yang menganut “Civil Law System” adalah penegakan supremasi hukum karena dalam sistem Civil Law itu, UU memegang peran utama untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan negara yang menganut Common Law System. Focal Concern dalam penegakan hukum adalah Rule Of Law karena di sana diutamakan posisi peradilan judge made law yang berorientasi pada hukum kebiasaan Common Law sehingga pencapaian keadilan memerlukan pengaturan oleh hukum Rule Of Law 38 Kebebasan seorang hakim dalam memeriksa maupun memutuskan suatu perkara tidak dapat diartikan dan diterapkan sebagai “kebebasan sekehendak hati” tetapi seyogianya harus diartikan sebagai “kebebasan yang serasi” dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945 serta mengakomodir berbagai bentuk masukan yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara. 39 37 Henry Pandapotan Panggabean, Fungsi MA Bersifat Pengaturan Rule Making Power, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2001, hal. 13. 38 Ibid., hlm. 14. 39 H. Eddy Djunaedi Karnasudirdja, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana, Jakarta : Universitas Indonesia, 1983, hal. 51. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 Menyinggung akan putusan hakim, tulisan W. Friedman, menguraikan pendapat Roscoe Pound tentang adanya 4 empat aspek dalam putusan hakim, sebagai berikut: a. Bahwa putusan itu merupakan gambaran proses rekayasa sosial sebagai bagian dari seluruh proses kontrol sosial b. Bahwa putusan itu merupakan bagian dari tatanan hukum yang berguna bagi pribadi perorangan c. Bahwa putusan itu menggambarkan keseimbangan antara ketentuan dari sebab yang nyata dan penguraian suatu preseden d. Bahwa putusan itu menggambarkan kesadaran akan peran yang ideal tentang tatanan sosial dan hukum Sejalan dengan itu, Hakim adalah satu-satunya penegak hukum yang diberi wewenang oleh Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 277 sampai dengan Pasal 282 untuk mengawasi apakah hak-hak narapidana itu dilindungi selama menjalani pidana penjara. Di sini tugas hakim, tidak sekedar menjatuhkan hukuman, melainkan menjaga hak-hak narapidana sebagai warga negara di Lembaga Pemasyarakatan. Memahami hal ini, pemasyarakatan narapidana dapat berhasil sangat bergantung pada pemahaman Hakim akan hakekat hukuman itu sendiri. Keputusan Hakim menjebloskan pelaku ke penjara tidak cukup sebatas hukuman hanya untuk pembalasan dan membayangkan narapidana menjadi takut. Bila ini tujuannya, maka putusan Hakim itu akan menjadi sia-sia. Disini Lembaga Pemasyarakatan membutuhkan dukungan agar subsistem lainnya mampu Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 mempersiapkan mental dan fisik terdakwa saat menjalani pidana penjara. Hal ini semua dapat terwujud bila ada pemahaman yang sama, bahwa: 1 terpidana adalah orang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat; serta 2 menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam dari Negara; 3 tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan; 4 Negara tidak berhak membuat seseorang lebih jahat sebelum ia masuk penjara. Prinsip pemasyarakatan ini, tidaklah adil bila hanya dipahami oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan semata. 40 Perlunya kesamaan pandangan di antara penegak hukum tentang tujuan pidana masih relevan untuk diwujudkan. Hal ini semata-mata bukan untuk kepentingan Lembaga Pemasyarakatan, tetapi lebih kepada usaha resosialisasi dan rehabilitasi narapidana, serta mencegah agar tidak terjadi residivis, maupun penolakan dan stigma masyarakat. Dalam hal ini Sahardjo ingin memberikan pemahaman, bahwa tanggung jawab Lembaga Pemasyarakatan tidak boleh dicampur adukkan dengan proses penjatuhan pidana. Oleh karena itu sejauh mana pemasyarakatan itu dapat memenuhi tujuan pidana, dikaji berdasarkan teori utilitarian. Teori ini dipelopori oleh Jeremy Bentham, yang berpendapat tujuan hukuman adalah: a. 1 st Object – to prevent all offences. His first, most extensive, and most eligible object, is to prevent, in as far as it is possible, and worth while, all sorts of 40 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Peranan Penegak Hukum Melawan Kejahatan dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana buku III, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1984, hal 11 Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 offences whatsoever; in other words, so to manage, that no offence whatsoever may be committed; b. 2d Object – to prevent the worst. But if a man must needs commit an offence of some kind or other, the next object is to induce him to commit an offence less mischievous, rather than one more mischievous; in other words, to choose always the least mischievous, of two offences that will either of them suit his purpose; c. 3d Object – to keep down the mischief. When a man has resolved upon a particular offence, the next object is to dispose him to do no more mischief than is necessary to his purpose; in other words, to do as little mischief than is consistent with the benefit he has in view; d. 4™ Object – to act at the least expense. The last object is whatever the mischief be, which it is proposed to prevent, to prevent it at as cheap a rate as possible. 41 Menurut teori ini, hukuman bertujuan mencegah semua pelanggaran hukum atau kejahatan. Hal ini merupakan tujuan yang paling luas, yaitu mencegah bahkan mungkin dapat mencegah semua jenis kejahatan, disamping itu, hukuman dapat mencegah hal – hal buruk. Di sini tujuan hukuman mendorong setiap orang tidak melakukan pelanggaran yang tidak berbahaya atau bukan sesuatu yang jahat, sehingga ada kebebasan untuk memilih, namun didorong untuk tidak memilih perbuatan yang tidak berbahaya. Dalam hal ini juga, hukuman bertujuan menekan kejahatan, dimana setelah seseorang itu menjalani hukuman diharapkan tidak melakukan kejahatan kembali. Dalam mencegah kejahatan harus dilakukan dengan biaya semurah mungkin. Disamping itu juga, Jeremy Bentham 1748 – 1832, seorang Hakim Inggris dan ahli filsafat memperkenalkan “hedonistic calculus” menurutnya: “Hedonistic calculus”, where by punishment would be rendered in proportion to the seriousnees of the 41 Jeremy Bentham, Utility and Punishment, dalam Philosophical Perspectives on Punishment, Edited by Gertrude Ezorsky, Albany: State University of New York Press, , 1972, hal 57. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 crime. He believed that criminal behavior would be effectively deterred by punishing an offender to the point where the pain of punishment was slightly greather than the pleasure received from commiting the offence. The same pleasure pain principle would also deter potential offender. 42 Konsep “Hedonistic calculus” ini menunjukkan hukuman itu dibuat dalam ukuran yang serius. Ia yakin, perbuatan jahat dapat dicegah melalui hukuman pidana yang dijatuhkan kepada seorang narapidana. Secara tegas pesakitan menerima hukuman adalah lebih besar dari kesenangan yang didapat. Dengan demikian, bagi Jeremy Bentham, hukuman tidak boleh dijatuhkan bila 43 : 1 where it is groundless, 2 where it must be inefficacious in the can not prevent a mischievous ac; 3 where it is unprofitable or to expensive; 4 where it is nedless. Di sini Jeremy Bentham mengingatkan, bahwa hukuman itu tidak harus dijatuhkan bila tidak memiliki dasar, bila pelarangan itu tidak efektif karena tidak dapat mencegah kejahatan, hukuman tidak perlu dijatuhkan bila tidak bermanfaat ataupun terlalu mahal maupun bila hukuman itu sia-sia. Dari pada itu juga, Jeremy Bentham menguraikan keunggulan dari suatu hukuman seperti yang ia maksudkan, dengan mempertimbangkan, “The proportion between punishments and offences, “and he gives the following rules: the 42 Robert D. Pursley, Introduction to Criminal Justice, London: Macmilan Publish-ing Company, 1987, hal. 486 – 487. 43 Samuel Enoch Stumpt, Philosophy, History and Problems, Singapore : McGraw-Hill Book, 1989, hal. 369 Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 punishments must be great enough to out weight the profit that the offender might get from the offense, the greater the offense, the greater the punishment”. 44 Di sini menurutnya, ada kesebandingan antara hukuman dengan pelanggaran, sehingga ia menjanjikan suatu aturan misalnya: hukuman harus cukup besar agar melebihi keuntungan yang diperoleh pelaku pelanggaran dari pelanggaran yang ia lakukan tersebut, semakin besar pelanggaran, maka semakin besar hukuman. Lebih jauh Jeremy Bentham mengatakan tujuan pidana adalah 45 : To begin with, Utilitarian Theories of punishment are fundamentally “forward looking” rather than “backward looking”. Punishment is depicted as being all together without moral foundations unless it can be shown to achieve one ore more future benefits. Those future benefits, all of which fall within the general scope of crime prevention, are at least three in number. General deterence, specific deterrence, and incapacition. General deterence refers to how the threat or actual imposition of punishment elevates the risk perception of prisons other than thoses who are the objects of punishment. Specific detterence refers to how the actual imposition of punishment shapes the sub seguent risk perceptions of those who are the objects of punishment. In capacitation refers to the ability of punishment to limit all together the opportunities offenders would otherwise to violate the law. Teori utilitarian ini lebih “memandang ke depan” dari pada “memandang ke belakang”, hukuman digambarkan sebagai landasan moral untuk mencapai sesuatu yang lebih bermanfaat di masa mendatang. Manfaat-manfaat itu mempunyai jangkauan pencegahan kejahatan. Jangkauan pencegahan kejahatan paling tidak mengacu kepada pencegahan umum, di sini ancaman sesungguhnya dari hukuman harus dapat mempengaruhi pandangan orang akan resiko dari suatu perbuatan jahat, 44 Ibid, h. 369. 45 Charles W. Thomas, Donna M. Bishop, Criminal Law Understanding Basic Principles, London: Sage Publication the Publisher of Profesional Social Sience. Newbury Park Beverly Hills, 1987, hal. 79 – 80. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 sedangkan pada pencegahan khusus, mengacu pada bagaimana hukuman dapat membentuk pandangan orang sebagai objek hukuman. Begitupun halnya dengan incapacitation, mengacu kepada kemampuan hukuman untuk membatasi pelaku dengan cara pemindahan pelaku kejahatan dari masyarakat. Oleh karena itu harus ada tujuan lebih jauh dari hanya pidana saja, sehingga teori ini mengharapkan hukuman dapat memperbaiki pelaku kejahatan. Oleh karena itu, menekankan pemidanaan itu masih lebih baik dari pada tidak menjatuhkan pidana. Di sini manfaat pidana adalah untuk sarana pencegahan atau pengurangan dari sesuatu yang lebih jahat. Teori utilitarian hendak mencari suatu keseimbangan akan perlunya hukuman. Kalau seandainya efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu lebih jauh. Pemahaman teori ini mengatakan, bahwa tidak mutlak suatu kejahatan itu harus di ikuti dengan suatu pidana melainkan harus dipersoalkan manfaat dari suatu pidana bagi si penjahat itu sendiri maupun bagi masyarakat. Sehingga teori ini pun mengarahkan agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan oleh seseorang tidak diulangi kembali baik oleh si pelaku maupun oleh orang lain 46 Lebih jauh teori semacam ini diuraikan oleh Van Bemmelen yang berpendapat, bahwa pidana itu bersifat : 1. Prevensi Umum pencegahan umum. Para sarjana yang membela prevensi umum berpendapat, bahwa pemerintah berwenang menjatuhkan pidana untuk mencegah rakyat melakukan tindak pidana; 46 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1983, hal. 26 – 27. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 2. Prevensi khusus pencegahan khusus. Mereka yang beranggapan, bahwa pidana adalah pembenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri, bertolak dari pendapat, bahwa manusia pelaku suatu tindak pidana dikemudian hari akan menahan dirinya supaya jangan berbuat seperti itu lagi, karena ia mengalami belajar, bahwa perbuatannya menimbulkan penderitaan, jadi pidana berfungsi mendidik dan memperbaiki; 3. Fungsi perlindungan. Mungkin sekali, bahwa dalam pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin terjadi jika ia bebas. 47 Pemikiran Van Bemmelen ini mengarahkan pada pemikiran, bahwa pidana bukan untuk memuaskan tuntutan absolute dari keadilan karena pembalasan tidak memiliki nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, pidana bukan lagi sekedar untuk melakukan pembalasan tetapi memiliki tujuan-tujuan yang bermanfaat. Jadi jelaslah, bahwa perlunya pidana terletak pada tujuannya bukan karena orang melakukan kejahatan tetapi supaya orang jangan melakukan kejahatan 48 . Sejalan dengan itu didalam pembebasan ini, teori utilitarian menjadi acuan didasarkan pada pertimbangan, bahwa Sahardjo menyatakan, bahwa: disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana, narapidana diberikan bimbingan agar bertobat dan di didik agar memiliki keterampilan serta mengayomi masyarakat. Selanjutnya Sahardjo mengatakan: “........mengingat, bahwa hukum pidana mengenai tertib masyarakat dan mengenai perlakuan terhadap manusia yang mendalam, maka apa yang kita kenal dari hukum pidana, yang buat bagian terbesar diajarkan pada kita oleh orang – orang asing, perlu diuji kecocokannya dengan pandangan hidup kita, pandangan kita tentang masyarakat dan manusia sebagai makhluk pemasyarakatan, dan dengan pandangan kita tentang pidana. Yang kami 47 Van Bemmelen, Hukum Pidana I, diterjemahkan oleh Hasnan, Bandung: Bina Cipta, 1984, hal. 27. 48 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni 1984, hal. 10. Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 rumuskan ialah tujuan dari pidana penjara. Di bawah pohon beringin pengayoman, maka tujuan hukum pidana ialah mengayomi masyarakat terhadap perbuatan – perbuatan yang mengganggu tertib masyarakat dengan mengancamkan tindakan – tindakan terhadap si pengganggu, dengan maksud untuk mencegah penggangguan. Jika gangguan terjadi, maka terhadap si pengganggu dilakukan tindakan berupa pidana yang mengandung maksud supaya si pengganggu tidak mengulangi perbuatannya lagi, tindakan mana berupa sesuatu yang tidak menyenangkan baginya. Pidana itu tentu seimbang dengan gangguan yang dilakukan. Apabila untuk mencegah pengulangan dianggap perlu supaya si pengganggu bertobat, maka pidana itu berupa menghilangkan kemerdekaan bergerak si pengganggu yang dalam hal ini pada umumnya menunjukkan kekurangan-kekurangan untuk hidup tertib di masyarakat, perlu diberikan didikan supaya dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna 49 . Sehubungan dengan ini, Sudarto juga mengatakan, bahwa teori pemasyarakatan Sahardjo sejalan dengan teori utilitarian, seperti dikatakannya, “Dimanakah kita menempatkan pemasyarakatan ini dalam teori tentang tujuan pemidanaan? Tidak sulit untuk menyatakan, bahwa pidana itu termasuk teori yang memandang pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat, jadi jelas tidak dapat digolongkan dalam teori pembalasan” 50 . Dari pendapat Sudarto ini, jelas Sahardjo berpandangan, bahwa pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara tidak hanya sebatas pembinaan narapidana semata, tetapi untuk menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan, disamping itu pula pidana penjara tidak lagi dipandang sebagai bentuk preventif. Karena, pidana itu diharapkan sebagai suatu usaha perdamaian antara narapidana dan masyarakat melalui cara penghapusan rasa bersalah terpidana, dengan 49 Ketut Sudiri, DR Sahardjo, Riwayat Hidup dan Karya-karyanya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan nilai tradisional, 1983, hal. 9 – 13. 50 Sudarto, op.cit., h. 158 Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009 memaksimalkan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Dengan demikian Sahardjo dapat juga dipandang sebagai kaum utilitaris serta pemikirannya lebih dekat kepada pemikiran PBB tentang konsepsi “The Standard Minimum Rules for the Treatment of Offenders 1957” karena memproyeksikan tujuan pidana dalam pencegahan kejahatan maupun penurunan jumlah pelanggaran hukum.

2. Kerangka Konsepsi