BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa “misi suci” sacred mission Lembaga Peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi hukum itu sendiri
seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes. “The Supreme Court is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk menegakkan hukum demi
keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa dan negara, bahkan keadilan yang dimaksud adalah keadilan demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga
terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, senang, tentram, tertib dan damai. Hal ini tercermin dari setiap keputusan hakim di Indonesia yang diawali
dengan ungkapan yang sangat religius, yakni: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
1
Untuk menjalankan “misi suci” sacred mission tersebut, maka Hakim diberikan kekuasaan yang bebas dan mandiri agar putusan-putusannya tidak mudah
diintervensi oleh kekuatan extra judicial, seperti penguasa dan kekuatan lainnya dalam masyarakat seperti kekuatan politik dan ekonomi. Hal ini dijamin oleh UUD
1
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspita Sari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Cetakan ke-1, Yogyakarta : UII Press, 2005, hal. 72. Kalimat,”Demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” bila dihayati merupakan doa dan janji antara Hakim dan Tuhan yang kurang lebih berbunyi : Ya Tuhan atas nama-Mu saya ucapkan putusan tentang keadilan
ini.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
1945 yang telah mengalami empat kali perubahan dan peraturan Undang-Undang yang berlaku positif di Indonesia, antara lain:
UU No.4 Thn 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan perubahan terhadap UU No.14 Thn 1970 dan UU No.5 Thn 2004 tentang Mahkamah Agung RI
sebagai perubahan atas Undang-Undang No.14 Thn 1985. Berdasarkan realita yang ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat,
maka diperoleh gambaran bahwa tidak semua hakim memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan. Ada sebahagian hakim yang dipengaruhi penguasa dan kaum
power full lainnya elite ekonomi dan politik. Sehingga tidak heran apabila putusan- putusannya jauh dari rasa keadilan. Hal itu tampak dari berbagai tanggapan miring
yang dikemukakan masyarakat wakil rakyat, pakar hukum, praktisi hukum dan kaum awam tentang eksistensi Lembaga Peradilan sebagai “Benteng Terakhir” dalam
proses penegakan hukum dan keadilan. Pada hakekatnya berbagai tanggapan miring terhadap Lembaga Peradilan
bukanlah sekedar “isapan jempol” belaka, melainkan sebagai sebuah gambaran yang mendekati realitas yang terjadi pada Lembaga Peradilan tersebut. Hal itu tergambar
dari munculnya berbagai kasus yang sempat dipublikasikan di media massa, antara lain: Kasus buruh Marsinah di Surabaya, yang memunculkan dugaan kuat bahwa,
kasus ini diproses secara tidak wajar dengan menampilkan pelaku yang bukan sesungguhnya, sehingga menimbulkan hasil akhir putusan bahwa terpidana
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
dinyatakan ”bebas secara murni vrijspraak”.
2
Demikian pula terhadap kasus PK Peninjauan Kembali perkara Muchtar Pakpahan yang sarat dengan intervensi
kekuasaan di mana hasil akhirnya juga Mahkamah Agung RI melalui Lembaga Peninjauan Kembali Herziening memutuskan, menerima permohonan PK jaksa atas
perkara tersebut yang sudah dibebaskan MA dalam tingkat kasasi. Sementara apabila ditinjau dari Hukum Acara Pidana, putusan MA tersebut bertentangan dengan bunyi
Pasal 263 ayat I KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, yang berhak mengajukan PK adalah
terpidana atau ahli warisnya, bukan jaksa. Adapun dasar filosofis diaturnya PK dalam KUHAP adalah bukan untuk melindungi kepentingan Jaksa Penuntut Umum yang
mewakili negara, melainkan untuk melindungi kepentingan terpidana dan atau ahli warisnya dari proses peradilan pidana. Kasus lainnya yang masih hangat dibicarakan
masyarakat, yakni polemik pidana mati bagi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Ruwu. Terpidana kasus kerusuhan Poso yang telah dieksekusi mati, yang
memunculkan kesan bahwa aparat penegak hukum, termasuk hakim dipandang tidak netral dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan eksekusi terhadap mereka.
2
Sri Sumantri, M., Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Sebagai Prasyarat Negara Hukum Indonesia Tinjauan Historis Yuridis Atas dan Manifestasinya. Makalah dalam seminar “Lima Puluh
Tahun Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia”, Yogyakarta, 26 Agustus 1995, hal. 14–15.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
Putusan ini menimbulkan reaksi yang sangat keras dari masyarakat baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, ada yang meyatakan bahwa eksekusi mati bagi Tibo,
cs. adalah inkonstitusional.
3
dan sarat dengan intervensi kekuatan politik tertentu
4
. Ada pula yang menyatakan bahwa eksekusi terhadap Tibo Cs. adalah penguburan
fakta kasus kerusuhan Poso.
5
Bahkan ada yang secara tegas menyatakan bahwa proses peradilan terhadap Tibo Cs, diindikasikan sebagai “peradilan sesat” yang
pernah terjadi pada abad 21 di negara RI yang berdasarkan Pancasila yakni suatu proses peradilan yang penuh rekayasa untuk melindungi kelompok atau golongan
tertentu dan mengorbankan rasa keadilan dan kemanusiaan.
6
3
Al. Araf, “eksekusi mati di Poso Inkonstitusional” Kompas, 7 April 2006 dan lihat juga Todung Mulia Lubis, “Tibo, Akbar dan Muhaimin”, Kompas, 7 April 2006.
4
Lihat Simon Tukan, “Vonnis mati Tibo Cs. : Intervensi politik” Pos Kupang, 2 September 2006.
5
Lihat Arianta Sangaji “Tibo dan Penguburan Fakta”. Kompas 8 April 2006 dan baca Media Indonesia. 10 Agustus 2006 “Eksekusi Tibo dan kawan-kawan kuburkan fakta kasus Poso”.
6
Lihat Antonius Sudirman, “ Keadilan dalam Kasus Tibo”. Tribun Timur, 6 April 2006. h.16: Paling tidak ada beberapa alasan yang mengindikasikan bahwa kasus Tibo cs. tergolong peradilan
sesat, penuh rekayasa untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu. Pertama, pada waktu sidang kasus Tibo cs, suasana Pengadilan negeri Palu sangat tidak kondusif. Di luar pengadilan terjadi demo
dari kelompok masyarakat yang menghendaki Tibo cs. dihukum. Dalam suasana seperti ini, amat sulit bagi hakim untuk melakukan penegakan hukum secara jujur dan adil. Kedua, berdasarkan berita di
media massa, ada 16 orang yang diduga sebagai dalag kerusuhan Poso. Akan tetapi, ke-16 orang tersebut tidak tersentuh hukum. Ketiga, ditemukan bukti baru novum yang mengindikasikan Tibo cs.
tidak terlibat sebagai dalang kerusuhan Poso Kompas, 020406. Apabila alat bukti tersebut benar, dapat disimpulkan bahwa aparat penegak hukum tidak mengindahkan asperk kecermatan dan kehati-
hatian dalam proses peradilan terhadap kejahatan yang serius dengan ancaman pidana berat mati. Keempat
, kasus kerusuhan Poso sungguh dahsyat. Korban jiwa tidak kurang dari 200-an jiwa. Selain itu, kerugian harta benda tak ternilai. Ratusan rumah tinggal, tempat ibadah, kantor, toko dan pasar
terbakar dan hancur berantakan. Namun, yang menjadi dalang kasus itu hanya ditimpakan kepada Tibo cs. Kelima, kasus kerusuhan Poso yang sangat dahsyat itu terjadi dalam tiga kali 1998-2000. Akan
tetapi, sungguh tidak masuk akal yang diproses secara hukum adalah hanya ketiga orang yang terlibat dalam kasus Poso Jilid III, yang “notabene” tidak terlibat kasus Poso I dan II; sementara pelaku dalam
kasus Poso I dan II dibiarkan tanpa diadili. Keenam, rencana eksekusi terhadap Tibo cs. oleh Kejaksaan Agung RI dilakukan secara tergesa-gesa tanpa menunggu adanya grasi II oleh Presiden RI.
Dalam pasal 2 ayat 3 dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor.22 Tahun 2002 tentang Grasi ditegaskan, untuk jenis pidana tertentu termasuk pidana mati, dapat diajukan grasi yang kedua
kalinya setelah lewat dua tahun sejak grasi pertama. Sesuai dengan ketentuan tersebut, seyogianya
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
Selain kasus-kasus di atas, saat ini yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh masyarakat yakni kasus salah tangkap Polisi terhadap pelaku pembunuhan
Muhammad Asrori alias Aldo yang dituduhkan kepada pelaku-pelakunya; Imam Hambali, David Eko Proyanto dan Maman Sugianto dan bahkan hakim juga telah
menghukum Imam dengan hukuman 17 tahun dan David dengan 12 tahun penjara, sedangkan Maman Sugiyanto masih diadili, dan kasus salah tangkap ini muncul
akibat pengakuan Very Idham Heryansyah alias Ryan yang mengaku menghabisi Asrori alias Aldo.
7
Di samping itu kasus yang paling menggemparkan lembaga penegak hukum dewasa ini yakni terkuaknya kasus “Pemalsuan Vonis” terhadap terpidana Sumarlin
alias Cen Yu yang divonis PN Medan 2 tahun penjara dipalsukan menjadi 6 bulan, demikian pula vonis atas nama terpidana RR alias Apung dalam perkara penipuan
dengan vonis sebenarnya 2 tahun penjara dan bukan 7 bulan seperti yang dipalsukan.
8
Bercermin pada peristiwa-peristiwa miring yang menimpa Lembaga Peradilan, maka patut dipertanyakan, apakah Pengadilan di Indonesia sudah hancur
sama sekali dan tidak berperan netral lagi dalam menegakkan keadilan sesuai dengan
Kejaksaan Agung menunda dulu pelaksanaan eksekusi bagi tibo cs. sampai turunnya grasi yang kedua. Ketujuh
, kasus kerusuhan Poso sarat dengan muatan SARA, politik, korupsi, dan perebutan kekuasaan Bingkai, Nomor 22, 251205, yang melibatkan satu atau lebih kelompok yang saling berhadap-
hadapan berlawanan. Namun, yang diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman mati adalah anggota dari salah satu kelompok tertentu yang tidak memiliki kekuasaan. Pertanyaannya, atas dasar
apakah sehingga kelompok yang lain tidak diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku? Lihat juga, Janes Eudes Wawa ed., Kesaksian dari Balik Penjara:Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan
Marianus Riwu. Jakarta: PADMA Indonesia. 2006.
7
Harian Sinar Indonesia Baru, “Kasus Salah Tangkap, Kapolres Jombang Diperiksa Polda, Kajari Diperiksa Kejati”, Minggu, 7 September 2008 , hal. 1, Kol. 4-8.
8
Harian SinarIindonesia Baru, “Poltabes MS Temukan Dokumen 40 Vonis Palsu Di Laptop A Hok”, Medan, Selasa, 28 Oktober 2008, hal.1, Kol. 3-6.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
misi suci Lembaga Peradilan di Indonesia? Jawabannya tentu tidak Sebab masih ada hakim yang memiliki hati nurani yang jujur, meskipun jumlahnya langka, tetapi telah
menorehkan tinta emas dalam sejarah peradilan di Indonesia seperti Hakim Bismar Siregar mantan Hakim Agung yang tersohor karena putusannya yang memperluas
pengertian “barang” dalam Pasal 378 KUH Pidana dengan “jasa” seks, yang diberikan perempuan kepada lelaki gombal dan dalam setiap putusannya selalu
dijiwai oleh nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, demikian pula dengan mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang populer
karena putusannya yang membebaskan Muchtar Pakpahan dan keberaniannya membongkar kolusi di Mahkamah Agung RI dalam kasus Gandhi Memorial School,
yang pada akhirnya Mahkamah Agung RI mengakui memang telah terjadi kesalahan prosedur.
9
Sementara itu mantan Hakim Agung Asikin Kusumah Atmadja yang menjadi terkenal karena kasus tanah Kedung Ombo di mana dalam putusannya menguntung-
kan kaum pemilik tanah yang selalu menjadi korban keserakahan kaum powerfull yang biasa memanfaatkan kelemahan-kelemahan Perundang-undangan yang ada.
10
Kehadiran beberapa hakim yang jujur, sebagaimana disebutkan di atas memberikan segenggam harapan bahwa Lembaga Peradilan Indonesia belum hancur
sama sekali dan bahkan berperan netral dalam menangani setiap perkara yang dilimpahkan kepadanya. Namun, sesungguhnya yang hancur dan tidak bersifat netral
9
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2007, hal.11.
10
Ibid., hal. 12.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
adalah oknum-oknum pribadi hakim yang hati nuraninya lemah, yang selalu memanfaatkan “Lembaga Suci” tersebut sebagai sarana untuk mencari keuntungan
bagi dirinya sendiri dan atau membela kepentingan yang kuat powerfull, sementara di sisi lain justru mengorbankan kepentingan pihak yang lemah powerless melalui
putusan-putusan yang bertentangan dengan perasaan hukum dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal itu, maka sangat sulit untuk menggeneralisasikan bahwa semua hakim di Indonesia memiliki tipe yang sama tetapi terdiri atas berbagai
macam tipe, antara lain, ada yang berperan “sebagai abdi” budak pada nafsu akan kekuasaan, jabatan dan harta untuk kepentingan diri sendiri; dan atau ada yang
bertindak “sebagai alat” dari kaum powerfull penguasa dan yang berduit untuk membela kepentingannya dalam setiap proses peradilan; dan atau ada yang berperan
“sebagai corong” dari perkataan Undang-Undang semata dalam bahasa Belanda disebut Let’terknechten der wet sedangkan dalam bahasa Prancis disebut bouche de la
loi; dan ada yang memiliki tipe yang luhur, yakni sebagai abdi pada keadilan dengan mengedepankan hati nuraninya.
11
Munculnya tipe hakim yang mengedepankan hati nuraninya dalam pengambilan setiap keputusan sudah dapat menceminkan bahwa proses penegakan
hukum telah dijalankan untuk memperhatikan tujuan yang ingin dicapai yakni pencegahan kejahatan. Proses penegakan hukum adalah upaya pemulihanreaksi
hukum masyarakat terhadap terjadinya pelanggaran, kejahatan dengan tujuan bagi
11
Ibid., hal. 13.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
pelakunya dapat dijatuhi hukuman yang adil dan di masyarakat terwujud kepastian hukum yang mengayomi masyarakat.
12
Proses penegakan hukum yang bersifat adil dan manusiawi yang diharapkan berlangsung pada setiap tahap dalam sistem peradilan pidana telah terjaring dalam
suatu sistem, baik pada saat proses pemeriksaan di tingkat penyidikan ataupun persidangan. Untuk menjatuhkan pidana maupun ketika dibina sebagai narapidana di
dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat diperlakukan dengan adil serta hak-haknya sebagai warga negara tetap dihormati. Dengan kata lain bahwa proses yang
berlangsung sejak dilakukan penyidikan hingga pelaksanaan putusan di Lembaga Pemasyarakatan hendaknya berlangsung berdasarkan peraturan Perundang-undangan
yang berlaku. Di samping mengingat Hak-Hak Asasi Manusia dari pelaku tindak pidana dengan memperhatikan tujuan pemidanaan itu sendiri baik yang bersifat
umum general prevention maupun yang bersifat khusus special prevention. Dapat atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut tergantung dari aparat
penegak hukum dalam menerapkan peraturan Perundang-undangan tanpa mengabaikan hak-hak tersangka, terdakwa maupun narapidana. Sehubungan dengan
makna dari due process of law proses penegakan hukum yang adil, Mardjono Reksodiputro mengungkapkan :
Sangat keliru, pengertian proses hukum yang adil atau due process of law hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan KUHP terhadap tersangka
dan terdakwa. Pertama-tama harus dipahami bahwa proses hukum yang adil adalah lawan dari proses hukum yang sewenang-wenang yang hanya
12
Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 1995, hal. 4.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
berdasarkan kuasa aparat penegak hukum arbitrary process. Kedua, bahwa makna dan hakekat proses hukum yang adil tidak saja berupa penerapan
hukum atau peraturan Perundang-undangan yang diasumsikan adil secara formal tetapi juga mengandung jaminan akan hak atas kemerdekaan dari
seseorang warga negara bandingkan dengan alinea I pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa....
13
Jika diperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian due
process of law, sangat luas jika ditinjau dari sudut makna dan hakikatnya sebab para pelaku tindak pidana tidak hanya diperlakukan dengan adil. Akan tetapi dijamin juga
akan harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia. Hal itu berarti bahwa proses hukum yang adil harus tetap mengikuti tersangka, terdakwa ataupun terpidana hingga
pada tahap purna ajudikasi yakni pelaksanaan hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, salah satu aparat penegak hukum yang
diharapkan dapat meningkatkan penegakan hukum dan pembinaan aparatur hukum seperti yang diamanahkan dalam sasaran pembangunan di bidang hukum dalam Pelita
VI dalam Tap MPR RI No.II MPR1993 tentang GBHN adalah lembaga hakim pengawas dan pengamat yang disingkat dengan Kimwasmat.
Lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat tersebut merupakan lembaga baru yang lahir seiring lahirnya UU No.8 thn 1981 tentang KUHAP di mana Lembaga
Kimwasmat diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab XX pasal 277 sd 283 tentang pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan.
13
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum dn Lembaga
Kriminologi UI, 1994 hal. 49.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
Ide pembentukan Lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat ini sebenarnya sudah pernah dicetuskan oleh Oemar Seno Adji sekitar tahun 1972 yang merupakan
adaptasi dari Lembaga Judge de I’aplication des peines atau sering disingkat dengan “j.a.p” yang dikenal di Prancis pada tahun 1959.
Di Prancis, “Judge de I’aplication des peines” ini baru dapat menjalankan tugasnya setelah putusan dijatuhkan, bahkan sesudah orang yang dipidana itu keluar
dari Lembaga Pemasyarakatan, sementara peranannya juga hanya sebatas melakukan pengawasan dan pengamatan dalam Lembaga Pemasyarakatan maupun terhadap
Pelepasan Bersyarat. Peranan hakim pengawas dan pengamat Judge de I’aplication des peines
dalam pengawasan ditujukan kepada pihak kejaksaan, sementara pengamatan ditujukan terhadap pihak Lembaga Pemasyarakatan, sehingga sebagai lembaga
hukum yang baru, maka keberadaan hakim pengawas dan pengamat memerlukan perhatian dan pemikiran mengenai penerapannya, manfaatnya, pengaturannya dalam
KUHAP, pengaturan pelaksanaan lebih lanjut, serta bentuk dari peraturan pelaksanaan tersebut.
14
Setelah diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, hakim berkewajiban mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan yang telah
dijatuhkannya yang sebelum adanya hakim wasmat, ada anggapan bahwa wewenang hakim terbatas hanya sampai pada penjatuhan putusan dan tidak perlu mengetahui
sampai sejauh mana pelaksanaan putusannya. Hakim wasmat ini merupakan suatu
14
Oemar Seno Adji, KUHAP sekarang, Jakarta : Erlangga, 1985, hal. 125-129.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
inovasi dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Inovasi tersebut adalah kekuasaan kehakiman setelah dijatuhkan putusan pengadilan yang berupa pengawasan
keputusan hakim di samping pra-peradilan sebelum perkara diajukan ke pengadilan.
15
Dari sudut kekuasaan kehakiman secara struktural hakim wasmat adalah seorang hakim pengadilan yang melaksanakan wewenangnya setelah ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan.
16
Dalam susunan Kekuasaan Kehakiman berdasarkan UU No.4 Tahun 2004 Hakim wasmat berada pada lembaga peradilan umum di bawah Mahkamah
Agung. Hal itu berarti bahwa hakim wasmat bukan merupakan satu lembaga tersendiri, melainkan terikat dengan Lembaga Peradilan. Oleh karena itu, dalam
menjalankan fungsi kehakiman, tanggung jawab dan peranannya tidak terbatas pada pengawasan dan pengamatan saja, tetapi juga lebih jauh kepada penyelesaian kasus-
kasus yang muncul atau ditemui pada saat menjalankan tugasnya. Adapun yang dimaksud dengan fungsi kehakiman adalah seperangkat kegiatan yang berupa
mengadili suatu perkara, sengketa, yang individual konkret.
17
Dalam peraturan yang berlaku mengenai hakim wasmat, tidak satupun mengatur bahwa hakim wasmat dapat mempergunakan wewenang mengadili yang
ada padanya sebagai pihak ketiga yang tidak memihak. Untuk menentukan hukumnya dalam suatu persengketaanperselisihan mengenai hak dan kewajiban masing-masing
dalam suatu persoalan-persoalan dan dalam suatu situasi kekuasaan yang menentukan
15
Loebby Loqman, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Ichtiar, Jakarta : Datacom, 1996 hal. 125.
16
Pasal 277 ayat 2 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
17
Moh. Kosnoe, “Kedudukan dan Fungsi Kekuasaan Kehakiman Menurut UUD 1945”, Varia Peradilan, Tahun XI. No.129, Juni 1996, hal. 100.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
bagaimana hukumnya yang berlaku bagi sengketa yang diperhadapkan kepada pengadilan senada dengan pandangan dalam ajaran hukum Romawi Kuno mengenai
hakim yang mengatakan bahwa da mihi facta, dabotibi ius yang berarti, berikan saya faktanya, dan saya berikan bagaimana hukumnya.
18
Dalam konteks hakim pengawas dan pengamat, persoalannya terletak pada kewenangannya untuk
mengadakan tindakan mengadili. Apakah dimungkinkan Hakim Wasmat memberikan masukan terhadap masalah-masalah yang ia hadapi pada saat menjalankan tugas
pengawasan dan pengamatan. Tanggapan tersebut dapat menempatkan hakim wasmat sebagai pihak ketiga yang mengemban tugas kekuasaan kehakiman untuk mengadili.
Memang tidak dapat disangkal bahwa dalam hubungan antara pihak LP dengan para narapidana dapat terjadi konflik. Kecenderungan munculnya sifat konflictual di
antara mereka oleh hal-hal berikut : Pertama : masing-masing pihak kurang mempercayai pihak lainnya, yang
kedua para narapidana biasanya ingin melarikan diri akan tetapi para petugas pemasyarakatan harus mencegahnya. Hal yang ketiga adalah etik antara para
narapidana mencegah adanya kerjasama dengan para petugas pemasyarakatan. Sebagai akibatnya sikap tindak narapidana secara ketat diatur oleh peraturan-
peraturan hukum
19
Konflik di antara keduanya dapat membuat petugas bertindak secara ketat
tanpa memperhitungkan hak asasi dari narapidana. Semua tindakan petugas ditujukan demi menjaga keamanan, tetapi yang merasakan akibatnya adalah para narapidana.
Dalam hal inilah Hakim Pengawas dan Pengamat dituntut untuk berperan aktif.
18
Ibid., hal. 92 – 93.
19
Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, Ed. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, 1987, hal. 132.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
Peran Hakim Pengawas dan Pengamat untuk mengadakan pengawasan dan pengamatan menempatkannya sebagai pengontrol pelaksanaan putusan pengadilan
sebagaimana diatur dalam KUHAP maupun dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.7 Tahun 1985. Inti dari tugas pengawasan dan pengamatan adalah hakim harus
aktif menjaga agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak terpidana yang memperoleh putusan pidana penjara. Pada saat hakim menjalankan pengawasan dan
pengamatan, selalu mengadakan kontak secara langsung dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan maupun dengan terpidana sehingga dapat langsung memberikan
koreksi jika diketahuinya terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang menyebabkan penderitaan atau merendahkan martabat narapidana sebagai seorang
manusia. Mengenai hal ini ada dua pendapat yang berkembang. Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa setelah diketahui oleh hakim
Wasmat, ia dapat memberikan teguran melalui atasan Kalapas. Teguran yang dimaksudkan di sini bersifat horizontal.
20
Namun menurut Mardjono Reksodiputro, pengawasan yang demikian hanya dapat dilakukan jika terjadinya pelanggaran-
pelanggaran besar dan serius yang berupa penganiayaan bahkan menyebabkan kematian. Seharusnya hal itu diselesaikan secara hukum di dalam sidang pengadilan
dan bukan secara administratif. Kenyataan menunjukkan bahwa walaupun pelanggaran yang menyebabkan narapidana mengalami penderitaan fisik yang
disebabkan oleh sikap petugas bahkan kebiasaan perlakuan dari sesama narapidana.
20
Purwoto S Gandasubrata, “Peran dan Tanggung Jawab Hakim Pengawas dan Hakim Pengamat Terhadap Putusan Pidana Yang Dijatuhkan”, makalah dalam Seminar Nasional Kajian
Hukum Pidana LK2 SM-FHUI, Jakarta, 20 Nopember 1991, hal. 3
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
Namun, tidak pernah terdengar narapidana yang menderita fisik atau meninggal mendapatkan bantuan hukum untuk membela hak-haknya bahkan melimpahkan
masalah tersebut ke sidang pengadilan. Beranjak dari peranan Hakim Wasmat yang demikian maka yang seharusnya menjadi Hakim wasmat adalah hakim senior yang
memiliki pengalaman-pengalaman dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana dan bukanlah hakim junior sebagaimana yang ditugaskan dalam pengawasan dan
pengamatan selama ini. Walaupun secara tegas tidak ditentukan, Hakim Pengawas dan Pengamat dapat mengadakan proses peradilan pidana bagi narapidana maupun
petugas Lembaga Pemasyarakatan. Secara implisit hakim tersebut dapat menjalankan kekuasaan mengadili khususnya terhadap pelanggaran hak asasi oleh sesama
narapidana. Hal tersebut tampak dalam Pasal 17 ayat 1-7 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mengatur:
Penyidikan terhadap narapidana yang terlibat perkara lain, baik sebagai tersangka, terdakwa maupun sebagai saksi yang dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan tempat narapidana yang bersangkutan menjalani masa pidana, dan dilakukan setelah penyidik menunjukkan surat perintah
penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang dan menyerahkan tembusan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Hakim Pengawas dan Pengamat
dapat bertindak sebagai hakim yang mengadili perkara pidana yang terjadi di dalam Lapas setelah mendapatkan limpahan perkara tersebut dari pihak
kejaksaan, dengan adanya kasus yang dapat dideteksi melalui tahap awal oleh Polisi, sub-sistem lainnya akan berjalan sebagaimana mestinya.
Hal paling pokok adalah bahwa tidak ada satupun pasal dari UU
Pemasyarakatan yang baru tersebut mengatur tentang Hakim Pengawas dan Pengamat di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini menunjukkan tidak adanya kemauan atau niat
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
dari pihak Pemasyarakatan untuk menempatkan Hakim Pengawas dan Pengamat dalam ruang lingkup kegiatan Lembaga Pemasyarakatan secara intern.
Adapun tujuan pengawasan dan pengamatan yang diatur dalam KUHAP UU No.8 Thn 1981, yaitu untuk memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan
dilaksanakan sebagaimana mestinya dan untuk penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan Pasal 280 KUHAP. Selanjutnya berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Thn 1985 ketentuan Pasal 280 di atas dirinci menjadi:
1. Inti pengertian pengawasan ditujukan kepada jaksa dan petugas Lembaga
Pemasyarakatan dan, 2.
Inti pengertian pengamatan ditujukan kepada masalah pemidanaan yaitu sebagai bahan penelitian bagi pemidanaan yang akan datang.
Selanjutnya dalam UU tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No.4 Thn 2004 dalam Pasal 36 ayat 2, memberikan tugas baru bagi para hakim,
yang dalam Perundang-Undangan sebelumnya tidak diatur. Di samping memeriksa, mengadili dan memberikan hukuman, hakim mempunyai tugas khusus untuk
membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan.
21
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam tingkat pertama dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa, namun demikian ada hubungannya dengan Ketua Pengadilan
yang melakukan tugas pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan
21
Pasal 277 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
pengadilan tersebut. Pengawasan dimaksud adalah supaya terdapat jaminan, bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan itu dilaksanakan semestinya.
Adanya pengawasan dan pengamatan tersebut akan lebih mendekatkan pengadilan tidak saja dengan kejaksaan, tetapi juga dengan Pemasyarakatan. Melalui
pengawasan tersebut menempatkan Pemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana serta menetapkan tugas hakim tidak berakhir pada saat putusan pengadilan dijatuhkan
olehnya. Hal itu adalah sesuai dengan konsepsi peradilan pidana yang terpadu integrate criminal justice sistem.
Pengawasan yang ditujukan kepada jaksa sebagai pelaksana eksekusi dan petugas Lapas sebagai pelaksana pembinaan hanya terhadap putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap in kracht van genrijsde dalam hal ini putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh para pihak baik jaksa maupun
terdakwa. Selanjutnya jaksa tidak akan membiarkan putusan pengadilan tersebut melainkan dengan kewenangan yang ada padanya, melakukan eksekusi serta
menyerahkan terpidana ke Lembaga Pemasyarakatan. Pada kenyataannya tidak semua putusan pengadilan baik itu putusan perampasan kemerdekaan maupun pidana
bersyarat yang merupakan obyek pengawasan dan pengamatan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam sistem peradilan pidana terpadu criminal justice sistem, tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemidanaan dan pembinaan narapidana berada
pada sub sistem pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya para narapidana ditempatkan di dalam Lapas, untuk dibina dengan pola-pola pendekatan yang ada.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
Dari perspektif teori yang berkembang dalam criminal justice sistem bahwa pola pendekatan yang dikenal dalam pembinaan narapidana adalah medical model dan
justice model. Pendekatan medical model memiliki obsesi bahwa sistem peradilan pidana bertujuan untuk mengobati pelaku kejahatan sehingga menjadi manusia
berguna. Sedangkan pendekatan justice model menitik beratkan pada penjatuhan pidana atas pelaku kejahatan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh
karena itu, pendekatan pertama medical model mengutamakan pentingnya peran treatment pembinaan. Sedangkan pendekatan kedua justice model mengutamakan
peran punishment penghukuman
22
Perlakuan dan pembinaan narapidana apapun bentuk pola pendekatan yang diterapkan tetap dalam konteks “Negara tidak berhak untuk membuat seseorang lebih
buruk atau jahat dan sebelum dia masuk Lembaga Pemasyarakatan”. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari konsepsi Pemasyarakatan yang dicetuskan oleh
DR. Sahardjo dalam pidato pada penganugerahan gelar doktor honoris causa di Universitas Indonesia, yang telah melahirkan prinsip-prinsip pokok Pemasyarakatan
yang menekankan Pemasyarakatan tidak semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara melainkan menerapkan sistem pembinaan narapidana yang sekaligus
merupakan metodologi di bidang pembinaan terhadap pelaku kejahatan treatment of offenders.
23
22
Ramli Atmasasmita, “Masalah Pembinaan White Collar Crime Di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Pemasyarakatan Terpidana II di Jakarta, 8-9 November 1993, hal. 20.
23
A. Widioda Gunawan, Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakan, Bandung : CV. Armico, 1988, hal. 76.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
Pada kenyataannya bahwa dalam pelaksanaan konsepsi Pemasyarakatan di dalam Lapas, sering ditemui berbagai masalah, misalnya dengan munculnya kasus-
kasus melarikan diri, perkelahian sesama narapidana, bunuh diri dalam kamar hunian, pemerasan, transaksi narkoba, dan sebagainya. Dalam menghadapi kenyataan seperti
di atas, tidak tertutup kemungkinan penyebabnya karena hukum yang dijatuhkan hakim terhadap seorang terpidana terlalu berat atau terlalu ringan, sehingga ingin
melakukan kejahatan lagi di dalam Lapas atau mungkin juga karena jaksa terlambat mengeksekusi putusan sehingga hak-hak narapidana terhambat untuk diterima seperti
remisi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat atau mungkin juga petugas Lapas tidak dapat menerapkan pola pembinaan terhadap narapidana
dimaksud karena latar belakang hukuman yang dirasakan kurang sesuai terhadap dirinya sehingga tidak mendukung program pola pembinaan. Dalam menghadapi
kenyataan seperti di atas, patut dipertanyakan eksistensi dari hakim wasmat karena keberadaan hakim ini tidak terlepas dalam rangka memberikan perlindungan terhadap
hak-hak asasi narapidana sebagaimana yang tersebut dalam peraturan Perundang- undangan yang berlaku, bahkan dapat dinyatakan peran Hakim wasmat akan semakin
kompleks manakala dihadapkan dengan bentuk sanksi pidana yang baru yang diatur dalam konsep KUHP baru seperti pidana penjara, pengawasan, denda, kerja sosial
dan sebagainya. Mengingat kompleksitas tantangan Hakim WASMAT diharapkan peran dan
tanggung jawab dari Hakim WASMAT lebih dominan dalam proses penegakan hukum. Apalagi negara Indonesia adalah negara hukum rechstaat, dengan identitas
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang mesti dihormati, dan dijunjung tinggi oleh penyelenggara negara beserta segenap warga
negaranya serta menempatkan aparatnya untuk konsekuen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam hubungannya dengan putusan Pengadilan, aparat penegak hukum yang melaksanakan putusan tersebut tidak boleh melebihi apa yang diinginkan putusan
yang dijatuhkan oleh hakim dan tidak menghendaki diberlakukannya narapidana sebagai obyek yang tidak memiliki harkat dan martabat sehingga dapat diperlakukan
sewenang-wenang bahkan tidak manusiawi. Narapidana adalah manusia, makhluk ciptaan Tuhan, sehingga sekalipun ia seorang terhukum, perlu mendapat perlakuan
yang adil serta mendapat pembinaan sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dalam pembinaan terhadapnya diarahkan untuk mengubah perilakunya
menjadi lebih baik dari sebelumnya, dan menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara. Sehingga tercapai tujuan dan penegakan hukum itu sendiri, yakni
terciptanya kehidupan masyarakat yang aman dan tertib. Ikut campurnya hakim dalam pengawasan dan pengamatan yang dimaksud,
maka selain hakim akan dapat mengetahui apakah putusannya telah dilaksanakan dieksekusi atau belum juga dapat mengetahui sampai di mana putusan pengadilan
itu tampak hasil, baik bentuknya pada diri narapidana masing-masing yang bersangkutan dan juga penting bagi bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat
dalam pemidanaan selanjutnya.
Thurman S.M. Hutapea : Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
Berdasarkan uraian-uraian di atas, peneliti tertarik untuk membahas dan meneliti mengenai peran dan tanggung jawab hakim pengawas dan pengamat
selanjutnya ditulis Hakim WASMAT dalam pelaksanaan putusan pengadilan untuk mendukung pola pembinaan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan dan yang
pasti sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul: ”Peran Hakim Pengawas dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Kls IIB Siborongborong”
B. Permasalahan