Radd Dalam KHI dan Fiqh Klasik 1. Radd Dalam KHI
seluruh ahli waris, tanpa terkecuali kepada suami atau istri.
35
Hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal 193 KHI
36
“Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris dzawil furud menunjukkan pembilang lebih kecil daripada angka
penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris,
sedang sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka” Sikap tegas yang diambil oleh Kompilasi Hukum Islam yang hanya
memberikan satu pilihan yaitu sisa harta yang sesudah dibagikan kepada ashabul furudh
radd boleh diberikan kepada semua ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam Radd itu diserahkan kepada seluruh ashabul furudh, termasuk kepada suami
atau istri.
2.Radd Dalam Fiqh Klasik
Masalah radd timbul karena adanya sisa harta sesudah dibagikan kepada dzawil furudh,
sedangkan ahli waris yang berhak atas sisa harta ashabah tidak ada.
Mengenai radd para Ulama berbeda pendapat tentang pengembailannya apakah diserahkan kepada ashabul furudh atau kepada baitul mal radd itu ada atau tidak
ada. Terus para Ulama juga berbeda pendapat tentang pengembalian kepada ashabul furud siapa saja yang mendapatkan radd.
35
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal 198.
36
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Jakarta: Akademika Pressindo, 2007 hal 160.
Mengenai perbedaan ini para Ulama yang mengatakan radd itu ada diserahkan kepada ashabul furudh adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, Imam ibnu Saraqah, al-Qadhi al-Husain, al-Mutawally,
al-Mazani dan Ibnu Suraij. Para Ulama yang mengatakan radd itu tidak ada diserahkan kepada baitul
mal adalah Zaid bin Tzabit, Urwah ibnu Zubeir, Sulaiman ibnu Yasar, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki.
Para ulama yang mengatakan radd itu ada atau diserahkan kepada ashabul furudh masih berbeda pendapat tentang siapa saja ashabul furudh yang mendapatkan
radd, menurut kebanyakan para ulama yang berpendapat radd itu diserahkan kepada ashabul furudh bahwa suami atau istri tidak boleh mendapatkan radd, Alasan
pembatasan ini adalah oleh karena yang menjadi alasan adanya radd tersebut adalah hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan hukum dan
bukan karena hubungan rahim. hanya Usman bin Affan yang membolehkan suami atau istri mendapatkan
radd. Alasan yang dikemukakan adalah mereka menerima hak yang sama dalam pengurangan waktu terjadi ‘aul tentu tidak ada alasan untuk membedakannya pada
waktu menerima kelebihan hak.
37
Semua sisa harta yang ada dikembailkan kepada ahli waris dzawil furudh yang ada berdasarkan kadar furudh masing-masing. Kalau
37
Ibid, hal. 108
furudnya 13 dari harta maka radd yang diterimanya adalah 13 dari sisa harta itu dan begitu seterusnya.
38