BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahas Arab yang diambil dari kata “waritsa”
ثرو
“yaritsu”
ث ﺮ
, “wirtsan”
ﺎ ْرو
, isim failnya “waaritsun” او
ثر yang artinya ahli waris.
1
Sedangkan Faraidh bentuk jamak dari faridhah, berarti faraidh berasal dari kata “faradha”
ﺮ ض
“yapridhu”
ْﺮ ض
, “Fardhan”
ْﺮ ﺎ
, yang artinya menentukan.
2
Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan islam, seperti faraidh, fikih mawaris, dan hukm al-Waris. Kata
yang lazim faraidh, kata ini digunakan oleh an-Nawawi dalam kitab fiqih Minhaj al- Thalibin
, oleh al-Mahally dalam komentarnya atas matan minhaj, disebutkan alasan penggunannya dikarenakan lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan, oleh
karena itu, hukum ini dinamakan faraidh.
3
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,Jakarta:Hidakarya Agung, 1990 Cet Ke-8. hal. 496.
2
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus arab-Indonesia Surabaya: Pusat Progressif, 1997 Cet ke-14, hal,104. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, hal. 313.
3
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Jakarta: Prenada Media, 2005 hal. 5.
14
Ilmu waris disebut juga fiqh al-Mawaris, fikih tentang warisan, dan tata cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.
4
Dengan demikian perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Dikatakan ilmu waris
karena dalam ilmu waris ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan harta peninggalan, dikatakan ilmu faraidh karena membahas tentang bagian-bagian tertentu, yang sudah
ditetapkan ukurannya bagi setiap ahli waris.
5
Memang pada awalnya pembahasan ilmu ini didalam literatur hukum islam hanya didapatkan sebagai bagian dari kitab fiqh, yang ada pada judul bab al-Faraidh
atau faslul Faraidh. Kemudian masa berikutnya barulah secara khusus dibahas dalam kitab yang berdiri sendiri misalnya kitab, Syarhu as-Saydis Syarif ala as-Sirajiya oleh
Muhammad al-Jurjaniy Tahun 814 Hijiriyyah. Kitab Matnu al-Rahbiyyah oleh Muhammad Ali bin Muhammad Ali bin Hukum al-Ruhby Tahun 577 Hijiriyyah. al-
Furratu al-Faid oleh Sayyid Ali bin Qosim al-Abbasy Tahun 1300 H. Terakhir dalam
abad sekarang terdapat kitab khusus yang menggunakan namanya dengan memakai kata mawaris atau miras semisal al-Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah karya
Hasanain Muhammad Makhluf Tahun 1954 Masehi. Muhazzarah fi al-Mirazi al- Muqaran
Karya Abdurrahim al-Kisyka Tahun 1959 Masehi. Attirkah Wa al-Miras fi al-Islami
karya Yusuf Musa Tahun 1960 Masehi. Ahkamu at-Tirkati wa al-Mawaris
4
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al- Islami
Mesir: Arrisalah Al-Dauliyyah, 2000 Terjemah H. Addys Aldizar dan Fathurrahman. Penulis Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004 h. 13.
5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 5-6.
Karya Abu Zahrah Tahun 1963 Masehi.
6
Kitab yang terbaru sekarang adalah Ahkam al-Mawaris Fi al-Syariati al-Islami al-Mazahibu al-Arba’ah
karya Muhammad Muhyidin Abdul Hamid Tahun 1996 Masehi.
Di Indonesia penyebutan fiqh mawaris disebut juga hukum kewarisan islam,
hukum warisan, hukum kewarisan dan hukum waris, yang sebenarnya terjemahan
bebas dari kata mawaris. Bedanya, fiqh mawaris menunjukkan identitas hukum waris islam, sementara hukum warisan mempunyai konotasi umum, bisa mencakup hukum
waris adat atau hukum waris yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata.
7
Para ahli faraidh banyak memberikan defenisi tentang ilmu faraidh atau fiqh mawaris. Walaupun defenisi-defenisi yang mereka kemukakan secara redaksional
berbeda, namun defenisi–defenisi tersebut mempunyai pengertian sama. faraidh secara etimologis memiliki beberapa arti sebagai berikut
ا ْ
artinya ketetapan atau kepastian
ا ْ
ﺮ ﺪ
suatu ketentuan
ل اﺰْﻻا
menentukan
ا
penjelasan
ﻻا ْ
ل
menghalalkan
ا ء ﺎ
pemberian.
Sedangkan secara terminologi ialah penetapan kadar warisan bagi ahli waris
berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd
6
Ahmad Kuzari, Sistem Ashabah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996 hal. 3.
7
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001 hal. 4.
mengembalikan sisa harta kepada penerima warisan dan tidak berkurang kecuali dengan aul.
8
Dan menurut Ahmad Kamil al-Hudhuri., ilmu faraidh menurut etimologi ialah: “memindahkan sesuatu dari tempat ketempat yang lain” dan menurut
terminologi ialah: “hak yang diterima ahli waris dari bagian-bagian yang ditetapkan
sesudah meninggal pewaris.”
9
Menurut Syekh Muhammad Umar al-Bakari., ilmu faraidh ialah: “suatu ilmu hitung untuk mengetahui bagian-bagian tertentu penerima waris dari harta yang
ditinggalkan pewaris.”
10
Menurut al-Syarbini., mendefenisikan ilmu faraidh yaitu: “ilmu fiqh yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat
menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris ahli waris.”
11
Menurut Amir Syarifuddin., ilmu faraidh ialah: “hak-hak kewarisan yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam al-Qur’an dan Sunnah.”
12
8
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al- Islami,
h.13.
9
Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawarisu al-Islamiyyah, Mesir: Lajnatu at-Taqrib, 1366 H1966 M hal. 4.
10
Syekh Muhammad Umar al-Bakri. Hasiyyah Matnu al-Ruhbiyyah Semarang: Usaha Keluarga, Tth h. 3.
11
Muhammad al-Syarbini al- Khatib, Mughni al-Muhtaj, juz 3 Kairo: Musthafa al-Baby al- Halaby,1958 hal. 3.
12
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 39.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy., mendefenisikan faraidh secara etimologis adalah: “bagian yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk waris seperti ½ ¼.”
sedangkan secara terminologis adalah : “suatu ilmu dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara
membaginya.”
13
Dengan demikian ilmu faraidh mencakup 3 unsur didalamnya: 1.
Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris 2.
Pengetahuan bagian setiap ahli waris 3.
Pengetahuan cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta warisan.
Dasar Hukum Waris
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an menjelaskan ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara jelas, antara lain: ayat pertama, berbicara tentang bagian anak laki-laki dan
perempuan.
☺ ⌧
☺ ⌧
☺ ⌧
..............
13
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, hal. 4.
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”Q.S. al-Nisa, 4:7
Ayat kedua , berbicara tentang warisan anak laki-laki dan perempuan serta ayah
dan ibu al-furu’ dan al-ushul, seperti termaktub dalam firman Allah SWT.
⌧ ☯
⌧ ⌧
☺ ☺
⌧ ⌧
⌧
⌧ ☺
☺ .........................
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak- anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya saja, Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat banyak manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Q.S. al-Nisa, 4:11
Ayat ketiga, berbicara jika si mayyit tidak mempunyai keturunan yang mewarisi
adalah ushul.
⌧
☺
☺ ☺
☺ ⌧
☺
⌧
....................
Artinya: “dan bagimu suami-suami seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka
Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu.
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
seibu saja atau seorang saudara perempuan seibu saja, Maka bagi masing- masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris. Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” Q.S. al-Nisa, 4:12
2. Al-Sunnah
Hadis yang menjadi ketentuan pembagian warisan antara lain:
ﺪ ﺎ
ْﻮ س
ْ ﺎ ْ ا
ْﺋ ﺪ
ﺎ و
ه ْ
ْ ﺪ
ﺎ ا
ﺎ و
ْس ْ ا
ْ ْ ا
ﺎ ْس
ر ﷲا
ْ ا
ﺻ ﻰ
ﷲا ْ
و ْ
ﺎ ل
: اْﻮ ْا
اﺮ ا ﺋ
ﺎﻬ ْهﺎ ﺎ
ﻰ ﻮﻬ
ْوﻻ ﻰ
ر ﺟ
ذ ﺮآ
اور ﺎ ْا
ر ى
14
Artinya “Bercerita kepada kami Musa bin Ismail bercerita kepada kami Wahib bin Thawus dari ayahnya dari Abdullah ibnu abbas semoga ALLAH
meridhoinya dari Nabi SAW bersabda: “Berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya, untuk orang laki-laki yang
lebih utama.” H.R. Bukhari Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud.
ا ْ
ﺪ ْ
ﺻ ﺎ
ْ و
ْ ﺪ
ْ ﺎ
ْﺪ ,
و ه
ﺬا ﺪْ
ْ ْﺪ
, و
ه ﻮ
ﻻا ْﺷ
, ﺎ
ل :
ﺪ ﺎ
ْﺪ ﺮ ا
ْز ق
, ﺪ
ﺎ ﺮ
ْ اْ
ﺎ و
ْس ْ
ا ْ
, ْ
اْ ﺎ
ْس ﺎ
ل :
ﺎ ل
14
Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Berut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003 Juz 4, Cet Ke-2. Hal.318.
Artinya”Ahmad bin Solih dan Mukhlid bin Holid, ini hadis muhklid, dia itu ashbah berkata ia, bercerita kepada kami Abdul Razak, bercerita kepada kami
Mu’mar dari anak Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Abbas berkata ia, Bersabda Rasulullah SAW: Bagikanlah harta waris diantara para ahli waris
menurut kitab Allah, maka jika ada sisa laki-laki lebih utama” H.R Muslim dan Abu Dawud
3. Ijma’ dan Ijtihad. Para shahabat, tabi’in, generasi pasca shahabat dan tabi’it
tabi’in, generasi pasca tabi’in telah berijma’ tentang legalitas ilmu faraidh dan tiada seorangpun yang menyalahi ijma’ tersebut.
B. Rukun, Syarat, Sebab dan Penghalang Dalam Waris. 1.