kultur masyarakat, dan mengikuti pendapat Utsman bin Affan. Penetapan ini sebagai misi unifikasi hukum, untuk membentuk kepastian hukum di
Indonesia.
3. Penerimaan radd bagi seluruh ashabu al-Furudh menurut Kompilasi Hukum
Islam sesuai dengan proporsi bagian yang diterimanya. Sedangkan menurut Fiqh Klasik sesuai dengan pendapat para Ulama bahwa sesuai dengan
proporsi masing-masing.
4. Perkembangan sosio-kultur masyarakat Indonesia sekarang ini, suami atau
istri sangan rentan terhadap ahli waris yang lain, ketika salah satu dari keduanya meninggal. Karena pada hakikatnya, harta waris hasil dari usaha
berdua, maka ketika ada pembagian waris, suami atau istri kadang tidak diperdulikan oleh ahli waris yang lain. Sebaiknya pemberian radd diberikan
seluruhnya kepada suami atau istri, dengan pertimbangan maslahah al- Mursalah dan maqosidu al-Syariah, karena radd bukanlah hukum qoth’i,
artinya radd bisa berubah sesuai dengan perubahan masa, keadaan, adat dan niyat selama hukum itu tidak qoth’i.
B. Saran-Saran
Dari semua uraian diatas, penulis ingin mengemukakan beberapa saran yaitu:
1. Konsep radd yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam untuk dijelaskan
kepada masyarakat biar tidak terjadi kesalahan pahaman. Seperti melalui seminar, work shop, sekolah dan pondok pesantren.
2. Meskipun para ulama sepakat bahwa radd itu tidak boleh diberikan kepada
suami atau istri, seharusnya dalam prakteknya mengikuti pendapat kompilasi Hukum Islam. Melalui penetapan yang dilakukan oleh pengadilan agama, atau
fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia biar tidak terjadi persengketaan dan perdebetan hukum
3. Bagi hakim Peradilan Agama untuk mengetahui secara baik tentang konsep
radd. Karena Hakimlah yang menentukan mana yang dipakai dalam kewarisan.
4. Sebaiknya pasal tentang radd yang ada dikompilasi Hukum Islam dirubah,
dengan mempertegas kedudukan suami atau istri dalam mendapatkan radd.
5. Konsep Radd dalam pelajaran hukum waris agar dimasukkan dalam
kurikulum Tsanawiyyah dan Aliyah.