Pendapat Zaid bin Tsabit, Urwah ibnu Zubeir dan Sulaiman ibnu

⌧ ⌧ ............. Artinya : “ Hukum-hukum tersebut itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” Q.S. An-Nisa’ 4:13-14 Ayat ini turun sesudah menerangkan bagian ashabul-furudh, artinya membatasi bagian yang telah ditentukan oleh ALLAH SWT. Maka seluruh sisa harta itu diserahkan kepada baitul mal. 21

e. Abdullah ibnu Abbas

Sisa harta diberikan kepada ash-habul furudh selain suami, istri dan juga selain nenek, jika ia bersama ashabul furudh yang memiliki hubungan kekerabatan karena nasab. Jika tidak ada, ia boleh medapatkan pengembalian. Dalil yang dikemukakan adalah Warisan nenek merupakan makanan untuknya. Oleh karena itu 21 Ibid, hal. 323 nenek tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang telah ditetapkan, kecuali jika tidak ada ashabul furudh, yang memiliki hubungan karena nasab. 22

2. Pendapat para Imam Mazhab a.

Imam Syafi’i dan Imam Maliki Menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki Sisa harta yang tersisa setelah bagian ashabul furudh dibagikan radd, tidak bisa dikembalikan kepada ashabul furud , tetapi harus diserahkan ke baitul mal. 23 Demikian juga tidak boleh diserahkan kepada dzawil arham, baik keadaan kas baitul mal teratur dalam melaksanakan tugasnya maupun tidak. Sebab hak pusaka terhadap kelebihan tersebut adalah ditangan orang-orang muslimin pada umumnya. Orang-orang muslimin pada keadaan bagaimanapun tidak boleh dianggap sepi. Biarpun nashir tersebut tidak melaksanakan amanat orang-orang muslimin, tetapi hal itu tidak dapat menggugurkan hak mereka. 24 Oleh karena itu Kelebihan harta setelah dibagi-bagikan kepada ahli waris dzul al-furudh tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena tidak ada jalan untuk memilikinya dan harus diserahkan ke baitulmal. 22 Ibid, hal. 327. 23 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fissyariatil Islamiyyah Ala Mazahibul Arbaah, hal. 174. 24 Muhammad Syarbini al-Khotib, Mughnil Muhtaj Mesir: Musthapa al-Baby al-Halaby, 1958 Juz III, hal. 6.