Konsep Radd dan Alasan Pembuatan Klausul Pasal 193 Dalam

sementara KHI dalam pasal 96 1 dinyatakan: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lama” Dalam memahami konsep radd yang ada, kompilasi hukum islam memahami bahwa radd itu harus diberikan kepada ahli waris tanpa pembatasan, artinya suami atau istri menjadi dapat bagian dari sisa harta yang sudah dibagikan radd keseluruh ashabul furudh. 13 Adapun alasan yang dikemukakan dalam pembuatan klausul pasal adalah bahwa sanya suami atau istri dalam kekurangan harta waris masalah aul ikut serta menanggung bagian yang diambil oleh ahli waris biar bisa mencukupi pembagian warisan. Alasan lainnya mengikuti pendapat Usman Bin Affan yang menyatakan radd itu boleh diberikan kepada siapa saja ahli waris ashabul furudh. Alasan ketiga adalah misi unifikasi hukum agar dalam menyelesaikan pembagian warisan tidak menimbulkan keraguan bagi pihak-pihak yang mempedominya. 14 Alasan ke empat bahwasanya maqosidu al-Syariah yaitu tujuan dibentuknya hukum untuk mendapatkan keadilan dalam masyarakat yang sesuai dengan perkembangan kondisi social-kultur masyarakat. Sebagaimana dari sisi tradisi, kebudayaan dan konteks masyarakatnya bahwa suami atau istri sangat berperan, saling membantu dalam mengumpulkan harta. 13 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal 198. 14 Ibid, hal.198

C. Konsep Radd Dalam Pandangan Ulama Beserta Aplikasinya 1.

Imam Syafi’i dan Imam Malik Radd diberikan kepada Baitul Mal, tidak boleh diberikan kepada ashabu al- Furudh secara nasab maupun secara hukum. 15 Contoh penyelesaiannya: Jika ahli warisnya suami dan anak Harta peninggalan simati Rp 36.000.000.’ maka penyelesaiannya adalah: Ahli waris bagian AM: 12 Suami 14 x 12 = 3.’ 3x 36.000.000 = Rp 9.000.000.’ 12 5 Anak perempuan 23 x 12 = 8.’ 8 x 36.000.000 = Rp 24.000.000.’ 11 12 Rp 33.000.000.’ 36.000.000 – 33.000.000 = Rp 3.000.000.’ Sisa dari pembagian ini tidak boleh diberikan kepada ahli waris ashabul furud yaitu suami dan anak perempuan, akan tetapi diberikan kepada Baitul Mal. Pendapat pengikut mazhab Syafi’i belakangan berbeda dengan Imam Syafi’i seperti: a Al-Mazani dan Ibnu Suraij. Berpendapat radd diberikan kepada ashabu al- Furudh secara nasab, tidak boleh diberikan kepada suami atau istri, walaupun baitul mal terorgansir dengan adil atau tidak. 15 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fissyariatil Islamiyyah Ala Mazahibul Arbaah, hal. 174. b Imam an-Nawawi, Ibnu Suraqah dan Imam al-Mawardi. Mereka berpendapat bahwa radd diberikan kepada ashabu al-Furudh secara nasab, kecuali suami atau istri dengan syarat baitul Mal tidak terorganisir dengan adil, jika terorganisir dengan adil, radd diberikan kepada Baitul Mal.. 16

2. Imam Ahmad bin Hanbali dan Imam Abu Hanifah

Mereka berpendapat bahwa sisa harta sesudah dibagikan kepada ashabul furudh diberikan kepada ashabul furudh senasab kecuali kepada suami atau istri, baik baitul mal terorganisir secara adil atau tidak, wajib diberikan kepada ash-habul furudh. 17 Contoh: Jika ahli warisnya terdiri dari istri, nenek dan dua orang saudari tunggal seibu, harta peninggalan simati sejumlah Rp 24.000.000,00. penyelesaiannya sebagai berikut: ahli waris FardhPorsi AM Harta waris 12 Rp 24.000.000. Istri 14 x 12 = 3; 3 x 24.000.000. = Rp 6.000.000. 12 Nenek shohih 16 x 12 = 2; 2 x 24.000.000 = Rp 4.000.000 12 2 sadri se ibu 13 x 12 = 4; 4 x 24.000.000 = Rp 8.000.000 + 12 Sisa Rp 6.000.000 Sisa lebih ini diberikan kepada nenek dan dua saudari seibu dengan jalan perbandingan. Perbandingan fardh nenek dengan 2 saudari = 16 : 13 = 1 : 2. Jumlah perbandingan = 1 + 2 = 3 = Rp 6.000.000.’ 16 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr, 1989 hal.358. 17 Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran, hal. 339.