Analisis Penulis. ANALISA PERSPEKTIF KONSEP RADD
Mereka berbeda pendapat tentang ashabu al-Furudh yang bagimana boleh mendapatkan radd. Apakah ia ashabu al-furudh disebabkan senasab atau disebabkan
hukum. Karena bila kita teliti kembali ashabu al-furudh itu adalah para ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’, mereka adalah:
ibu, Nenek, Kakek dari jalur ibu, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, suami, istri, ayah, kakek, anak perempuan, cucu perempuan,saudara perempuan
kandung, saudara perempuan seayah. Disini para ulama menyatakan bahwa ashabu al-Furudh yang boleh diberikan
radd adalah yang disebabkan senasab, suami atau istri tidak boleh mendapatkan radd, karena ia ashabu al-furudh yang disebabkan hukum. Berbeda dengan pendapat
Utsman bin Affan yang menyatakan bahwa pemberian radd diberikan kepada semua ashabu al-furudh tanpa memandang sebab, artinya suami atau istri tetap mendapat
radd. Bila kita teliti alasan yang dikemukakan para Ulama, baik yang menyatakan
radd diberikan kepada Baitul Mal atau ashabu al-Furudh sama kuatnya, karena al- Qur’an maupun Hadist yang menjelaskan secara mendetail tidak ada, kecuali hanya
interpretasi para Ulama Mujtahid untuk menentukan hukum. Seperti pendapat yang menyatakan radd diberikan kepada Baitul Mal, dalil yang dikemukakan adalah surah
an-Nisa’ ayat 13-14 yang artinya bahwa hukum ALLAH tidak boleh melampaui batas yang sudah ditentukan dari bagian-bagian ahli waris. Tidak boleh menambahi
atau mengurangi, ketika ditambahi, itu artinya melampaui ketentuan ALLAH, maka ketika ada radd diberikan kepada Baitul Mal, karena sudah menjadi hak orang islam.
Terus bila kita teliti dalil yang menyatakan radd diberikan kepada ashabu al- Furudh, surah al-Anfal ayat 75 yang artinya orng-orang yang mempunyai hubungan
kerabat lebih berhak mengambil sisa harta waris, karena mengambil sisa bukan menambahi bagian yang telah ditetapkan ALLAH, namun karena ada sebab yang
lain, seperti mewarisi disebabkan kekerabatan, pernikahan dan memerdekakan budak. Begitu juga radd bagi ashabu al-Furudh dikarenakan sebab, bukan karena
menambahi ketentuan ALLAH. Mengenai ketentuan suami atau istri mendapatkan radd atau tidak, disini para
Ulama menyatakan alasan bahwa radd itu adalah hak para ahli waris yang mempunyai hubungan darah, bukan karena hubungan perkawinan. Tetapi Utsman
bin Affan menyatakan tidak adil ketika aul, suami atau istri ikut menanggung beban atu mereka dikurangi, seharusnya ketika radd mereka dapat, artinya suami atau istri
wajib mendapatkan radd. Setelah penulis meneliti pendapat yang dikemukakan para Ulama, mengenai
masalah radd. Kaitannya dengan konsep radd dalam hukum pasitif di Indonesia adalah mengenai orang yang berhak menerima radd, menurut Imam Syafi’i, Imam
Malik, radd wajib diberikan kepada baitul Mal. Tetapi pengikut mazhab Syafi’i, Maliki, Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah berpendapat radd diberikan
kepada ashabu al-Furudh kecuali kepada suami atau istri. Didalam Kompilasi Hukum Islam mengikuti pendapat Utsman bin Affan yang menyatakan radd diberikan
kepada semua ashabu al-Furudh sesuai nisbat masing-masing. Maka perbedaan yang
mendasar antara konsep Kompilasi Hukum Islam dengan konsep para Imam Mazhab adalah pemberian radd kepada suami atau istri.
Adapun mengenai pertentangan dalam fiqh klasik dan KHI, adalah kaitannya dengan teori kebolehan mengenai hukum Islam, dengan dua hal. pertama, berkaitan
dengan kebolehan. Kedua, pengkompromian nilai dengan KHI.
18
1. Kebolehan dalam KHI ada tiga hal:
a Fiqh ikhtilaf di dalam KHI ditetapkan boleh contoh pasal 53 yang
membolehkan perempuan hamil dengan laki-laki yang menghamilinya. b
Fiqh membolehkan sedang KHI melarang contoh pasal 40 dilarangnya laki-laki kawin dengan wanita yang ahl kitab.
c Fiqh boleh, KHI membatasi contoh pasal 55 tentang poligami.
19
2. Pengkompromian Nilai
Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pula metedologi yang menguatkan nilai-nilai terutama antara Nash, syarat dan dengan hukum
adat. Karena ada beberapa hal yang tidak ada dalam Nash, tetapi dalam realita masyarakat Indonesia ada dalam bentuk adat. Sehingga diambil
jalan keluar dengan metode pengkompromian nilai seperti halnya anak angkat yang tidak terdapat dalam nash, sedang dalam masyarakat ada,
maka diambil jalan keluarnya dengan wasiat wajibah. Demikian juga ahli
18
Basiq Djalil, Pernikahan LIntas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan KHI, Jakarta: Qolbun Salim, 2005 Cet Ke-1. Hal. 184.
19
Ibid, hal. 185
waris pengganti semua itu bagian dari kandungan maslahah mursalah dalam KHI yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia baik metode
kebolehan ataupun pengkompromian nilai.
20
Adapun mengenai radd ini, menurut penulis masuk dalam kategori fiqh ikhtilaf dalam KHI ditetapkan boleh. Menurut penulis yang paling tepat penerapan
hukum radd di Indonesia, antara konsep Jumhur Mujtahid dengan Kompilasi hukum Islam adalah konsep yang ada dalam KHI, karena sesuai dengan kondisi social-
Kultur Masyarakat dan realitas yang terjadi dimasyarakat, bahwa suami atau istri sangat berperan untuk mengumpulkan harta mereka saat hidup, mereka saling bantu
untuk menunjang dalam mengumpulkan harta. Walaupun mayoritas warga Negara Indonesia dalam masalah masalul
fiqhiyyah mereka lebih condong menganut mazhab Syafi’iyyah. Dalam masalah radd mazhab syafi’iyyah tidak memberikan radd kepada suami atu istri sedangkan dalam
KHI memberikan kepada suami atau istri, karena melihat dari maqosidyus syariah yaitu tujuan dibentuknya hukum untuk mendapatkan keadilan dalam masyarakat,
yang sesuai dengan perkembangan kondisi social-kultur masyarakat, karena bahwasanya pertimbangan hukum bukan hanya pertimbangan Nash akan tetapi juga
pertimbangan realitas. Dan juga hukum bisa berubah sesuai perubahan masa, keadaan, adat dan niyat selama hukum itu tidak qoth’i.
Kemudian menurut penulis ada cara lain untuk menyelesaikan radd, yaitu kita harus melihatnya secara studi kasus perkasus, karena tujuannya untuk mendapatkan
20
Ibid, hal. 186.
keadilan didalam masyarakat, salah satu contoh ketika istri tidak mau mengurusi suami ketika sakitnya yang berkepanjangan adalah saudari perempuan kandung,
maka radd lebih dapat dirasakan keadilannya apabila diberikan kepada yang mengurusi suaminya, yaitu saudari perempuan kandung. Demikian pula apabila istri
yang terus menerus mengurusi suami maka radd diberikan kepada istri. Justru harta itu sebenarnya hasil dari babak belurnya istri, sedang suami banyak menganggurnya,
lalu apakah sisuami yang wafat itu dianggap harta suami oleh saudari perempuan kandung, kemudian radd diberikan kepada saudari perempuan kandung atau istri
tidak dapat apa-apa dari radd. Oleh sebab itu penyelesaian masalah radd hakim harus melihat studi dilapangan untuk menemukan hukum dalam menyelesaikan masalah
radd. Bisa saja masalah radd bisa diberikan kepada satu ashabu al-Furudh karena pertimbangan maqosidu al-Syariah.
Menurut penulis, penyelesaian masalah radd sebaiknya diberikan seluruhnya kepada suami atau istri, mengingat kondisi keduanya di Indonesia sangat rentan
ketika salah satu dari keduanya meninggalkan yang lain. Karena harta yang mereka kumpulkan pada hakikatnya, hasil dari usaha berdua untuk mengumpulkan harta.
Maka ketika ada pembagian waris suami atau istri, kadang tidak diperdulikan oleh ahli waris yang lain. Pemberian radd seluruhnya kepada suami atau istri dengan
pertimbangn maqosidu al- Syariah.