Wewenang Peradilan Agama Wewenang dan Susunan Peradilan Agama

45

B. Wewenang dan Susunan Peradilan Agama

1. Wewenang Peradilan Agama

Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per” dan dengan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “melaksanakan”, menyelesaikan”. 6 Dalam literature- literatur fikih Islam, “Peradilan” disebut “qadha”, artinya “menyelesaikan” seperti firman Allah SWT surat al-Ahzab ayat 37:       بازحأا : 37 Artinya: .manakala zaid telah menyelesaikan keperluannya dari zainab” Dan ada juga yang berarti “menunaikan” seperti dalam firman Allah surat al- Jumu’ah ayat 10:       ةعمجلا : . 1 “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kepelosok bumi” Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang lebih signifikan dari peradilan yaitu ”menetapkan suatu ketetapan”. Dimana makna hukum disini pada asalnya berarti “ menghalangi” atau “mencegah”, karenanya qodhi dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang zalim dari penganiayaan. Oleh karena itu apabila 6 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2006, h. 1. mengutip dari Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al Munawwir, Cet. I, Jakarta: TP, 1996, h. 1215 46 seseorang mengatakan “ hakim telah menghukum seperti ini” artinya hakim telah meletakan suatu hak untuk mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak. 7 Kata “peradilan” menurut Istilah fikih adalah berarti: a. Lembaga Hukum tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan b. Perkataan yang harus dituruti dan diucapkan oleh seorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Dari pengertian tersebut membawa kita kepada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal yang dihadapi hakim.bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam syari`at itu, telah ada sebelum manusia ada. Sedangkan hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menetapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan suatu yang belum ada. 8 Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia. Sebab dari jenis-jenis perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut Agama Islam. 9 7 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 2. mengutip dari Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta: PT. Ma`arif, 1994, h. 29 8 Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.2 9 Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta, 2007, h. 5 47 Pada umumnya dikenal pembagian peradilan menjadi peradilan umum dan peradilan khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, baik yang menyangkut perkara perdata maupun maupun pidana. Sedangkan peradilan khusus mengadili perkara atau golongan rakyat tertentu. 10 Bertitik tolak pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang 1945 dan untuk mewujudkan cita-cita Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 35 tahun 1999, terakhir diganti dengan Undang- undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, pada pasal 10 ayat 1 dikatakan: “kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Maksud dari badan peradilan yang berada dibawahnya ialah pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer d. Peradilan Tata Usaha Negara 11 10 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. II, Yogyakarta:Liberti Yogyakarta, 1999, h. 20 11 Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 th. 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Lembaran negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951 Surabaya: karya Anda, h.5 48 Peradilan Agama merupakan salah satu institusi yang sangat urgen dalam tata kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Secara filosofis, ia dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi ketentuan penegakan hukum dan keadilan Allah dalam pergaulan hidup masyarakat. Secara yuridis, ia merupakan salah satu mata rantai peradilan Islamyang berkembang sejak masa Rasululah Saw. Sedangkan secara sosioligis, ia lahir atas dukungan dan usaha masyarakat yang merupakan bagian dari instansi kebudayaan Islam dalam kehidupan masyarakat bangsa indonesia yang sangat majemuk. 12 Pengakuan Peradilan Agama secara resmi oleh pemerintah melalui Undang-undang No. 7 th. 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, untuk mempertegas keberadaan Peradilan Agama. Undang- undang No. 7 tahun 1989 pasal 2 menjelaskan bahwa: Pasal 2 Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang- undang ini. 13 Setelah diamandemen dengan undang-undang No. 3 tahun. 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama, bunyi pasal 2 berubah menjadi: 12 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dan Alokasi Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: al- Hikmah, 1997, h. 66. 13 Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, BAB I, Pasal 2, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Depag, h. 258 49 Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Maksud pasal diatas adalah bahwa Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara hanya terbatas bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan maksud dari perkara perdata tertentu adalah sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 pasal 49 ayat 1 yang menyatakan bahwa: pasal 49 ayat 1 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Shadaqah,dan Ekonomi Syari`ah. 14 Hukum perdata dibagi dalam hukum perdata materiil, yaitu mengatur kepentingan-kepentingan perdata dan hukum formil, yaitu mengatur tentang pertikaian hukum mengenai kepentingan-kepentingan perdata atau cara mempertahankan peraturan-peraturan hukum perdata materiil dengan pertolongan hakim. 15 Undang-undang No. 3 Th. 2006 tentang perubahan atas Undang- undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagian besar mengatur 14 Ibid, h. 271. 15 L. J. Van Apeldoorn, , Pengantar Ilmu Hukum Cet. Ke XXVIII, Jakarta:Pradnya Paramita, 2000, h. 220 50 mengenai penghakiman dan hukum acara. Dalam tahap penghakiman, para hakim agama merupakan ujung tombak yang menentukan eksistensi dan dinamika Pradilan Agama secara aktual. Seperti telah dikemukakan di atas, karena dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan Undang-undang No 3 tahun 2006 tidak diatur hukum materiil yang berlaku di Peradilan Agama, maka sebagai pedoman bagi hakim, pemerintah dengan Inpres No. I Th. 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, telah berhasil menyusun Kompilasi Hukum Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Walaupun hasil karya para ulama sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam itu boleh dilatakan merupakan karya monumental, tetapi masih merupakan garis besar, sehingga tidak mungkin lengkap dalam memutus setiap perkara yang dihadapi. Oleh karena itumenjadi kewajiban para hakim Peradilan Agama untuk mendalami hukum Islam lebih jauh, baik yang terdapat dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah, maupun dalam kitab fiqih hasil karya para mujtahid. 16 Pengetahuan ini diperlukan, karena sesui dengan penjelasan umum dari Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehakiman. Bahwa, Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam 16 Muhamad Tolehan Hasan, Beberapa Cacatan Sekitar 10 Tahun undang-Undang Peradilan Agama, h. 18 51 masyarakat. Telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dari penetapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar. Singkat kata, hakim agama bukan saja harus mampu berperan sebagai penghakim Undang-undang, tetapi dengan daya kreasinya juga mampu berperan sebagai pencipta hukum. Hal ini penting mengingat pembuatan peraturan perundang-undangan biasanya berjalan lambat, padahal kita sering dihadapkan kepada kebutuhan hukum yang mendesak untuk menghakimi masalah tertentu dengan segera. Oleh sebab itu dengan adanya kreatifitas hakim agama, maka diharapkan tidak sampai terjadi kekosongan di bidang hukum. 17 Selain penguasaan hukum materiil hakim agamapun harus menguasai hukum formil hukum acara.sebagaimana tersurut dalam pasal 54 undang- undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut: Pasal 54 Hukum acara yang berlaku pada peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama adlah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang. 18 Pada dasarnya hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri adalah Herzine Indonesiscde Reglement HIR Stb 1941 No. 44. Selain 17 Ibid., h. 18 18 Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 2001, h 272 52 menggunakan HIR sebagai pedoman, dalam praktek Pengadilan Negeri kadang-kadang menggunakan pranata hukukum yang terdapat dalam Burgelijke Rechtsvordering BRv. 19 Sementara itu kebutuhan hukum dalam praktek, telah melahirkan yurisprudensi-yurisprudensi sebagai pengisi kekosongan lijmten perundang- undangan. Dengan demikian, para hakim Peradilan Agama tidak cukup hanya menguasai hukum acara yang terdapat dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan HIR saja, tetapi juga harus menguasai BRv dan kebiasaan-kebiasaan yang tercipta di Pengadilan, Aspek kementrian berkaitan dengan kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam menjatuhkan putusan.berlainan dengan aparat penegak hukum lainnya, misalnya kejaksaan dengan semboyanya”een en ondeelbar”atau “satu dan tak terpisahkan” dalam menetapkan putusan hakim mandiri dan merdeka. Dalam posisinya itu hakim tidak mempunyai atasan yang dapat mengarahkan atau merekayasa putusan yang akan dijatuhkannya. Kemerdekaan dan kemandirian hakim ini sangat asasi untuk menjamin putusan yang benar-benar obyektif. 20 Namun disamping kebaikan yang diharapkan, kemandirian dan kemerdekaan hakim itu dapat pula melahirkan hal-hal yang negatif yang tidak 19 Muhamad Tolchah Hasan, Beberapa Catatan Sekitar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama, h. 19 20 Ibid., h. 19 53 diinginkan. Sering terjadi untuk suatu perkara yang hampir sama, putusan hakim yang satu berbeda dengan putusan hakim yang lain. 21 Perbedaan itu sah saja terjadi, karena dengan dengan pengalaman yang berbeda setiap hakim bisa mempunyai persepsi dan interprestasi yang berbeda pula tentang bunyi undang-undang. Tetapi perbedaan yang kadang-kadang terlalu mencolok dan begitu sering terjadi, akan mengikis para kepercayaan para pencari keadilan terhadap hakim dan mengikis kepercayaan para pencari keadilan terhadap hakim dan mengikis kepercayaan para pencari keadilan akan memilih cara sendiri untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya melalui jalan pintas atau selau menggunakan upaya hukum dalam bentuk banding, kasasi atau peninjauan kembali PK, Unsur kemerdekaan hakim tidak boleh terlepas dari unsur “ tanggung jawab”. Dengan kata lain kemerdekaan itu berpadanan dengan tanggung jawab. Kemerdekaan hakim bukanlah kemerdekaan yang mutlak dan tanpa batas, yang cenderung menjurus kepada kesewenag-wenangan. 22 Kemerdekaan hakim adalah kemerdekaan yang dibatasi oleh tanggung jawabnya terhadap tuhan dan masyarakat.tanggung jawab hakim agama terhadap tuhan adalah spesifik karena sebelum memangku jabatannya hakim agama hanya boleh bersumpah, tidak dibuka kemungkinan untuk berjanji. 21 Ibid., h. 20 22 Ibid., h. 20 54 sumpah ini mengandung makna bahwa kemerdekaan para hakim akan diimbangi dengan penghisaban di akhirat kelak. Oleh karena itu pada setian penjatuhkan putusan di relung hati para hakim agama hendaknya selalu terpatri sabda Rasulullah SAW, bahwa “dua dari tiga kelompok hakim itu akan menjadi penghuni neraka”. Dalam sabda Rasulullah itu terkandung pesan agar setiap hakim memiliki mengetahuan hukum yang memadai dan akhlak yang mulia agar terhindar dari api neraka. 23 Tanggung jawab terhadap masyarakat berkaitan dengan keterbukaan dan obkjektifitas putusan hakim. Putusan hakim agama hendaknya tidak bertolak belakang dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyrakat. Putusan hakim yang aneh dan tidak sejalan dengan akal sehat, akan menimbulkan kecurigaan seolah- olah ada “mafia pengadilan” yang merekayasa putusan itu. Namun demikian, bukan berarti seorang hakim harus terbawa arus opini masyarakat yang tidak terkendali. Hakim harus tetap berpendirian teguh dalam memutus perkara berdasarkan hukum yang diyakininya.

2. Susunan Pengadilan Agama