72
BAB IV PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA BARAT
A. Faktor-Faktor Penyebab Dan Kendala-Kendala Berperkara Prodeo di
Pengadilan Agama Jakarta Barat
Faktor penyebab perkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat adalah karena dua sebab, pertama karena adanya keterangan khusus yang
mengaturnya dalam pasal 237 HIR dan 273 R.Bg yang berbunyi: Penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkaradapat diizinkan untuk
berperkara tanpa biaya.
1
dan kedua karena adanya masyarakat kurang mampu yang membutuhkan bantuan hukum dalam menyelesaikan masalahnya, yang
mana kebutuhan akan keadilan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh konstitusi negara Republik Indonesia sebagaimana termaktub
dalam pancasila sila ke- 5 yang berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
“ dan didukung oleh UUD Negara Repuublik Indonesia Tahun 1945 pasal 27ayat 1 yang menyatakan:
pasal 27 ayat 1 Setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2
1
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam lingkungan Peradilan Agama.
2
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pembukaan dan Pasal 29 Ayat 1
73
Dalam ketentuan UUD Negara Repuublik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat 1, negara tidak membeda-bedakan antara warga negara yang satu dengan
yang lain, semua sama dihadapan hukum dan berhak memperoleh perlindungan hukum termasuk masyarakat yang kurang mampu.
Pasca satu atap yang mana Peradilan yang ada di Indonesia berada dibawah naungan mahkamah Agung, dalam realitanya banyak hal-hal yang
signifikan termasuk bagi masyarakat pencari keadilan khususnya dalam hal biaya perkara bagi yang tidak mampu, dimana mulai tahun 2007 tentang biaya perkara
bagi orang yang tidak mampu telah masuk dan diatur dalam DIPA Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. Setiap Pengadilan Agama dalam arti pihak-pihak tidak
dibebani untuk membayar biaya perkara karena sudah disediakan oleh negara. Berdasarkan masalah uang, apalagi uang kepunyaan negara sudah barang
tentu tidak bisa dipergunakan semuanya, melainkan harus jelas pengaturan dan pertanggung jawabannya. Pengadilan Tinggi Agama selaku kawal depan
Mahkamah Agung juga Mahkamah Agung itu sendiri selaku bapak semua peradilan sampai saat ini rasa-rasanya belum mengeluarkan suatu petunjuk
tentang harus bagaimana mekanisme pelaksanaan pembayaran biaya perkara bagi yang tidak mampu yang dibebankan kepada negara, sehingga dalam
kenyataannya antara Pengadilan Agama yang satu dengan pengadilan agama yang lainnya terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya.
Berangkat dari hal tersebut, penulis mencoba menulis skripsi sederhana ini dengan suatu harapan para pembaca yang berkepentingan dapat melengkapinya
74
yang pada tahapan berikutnya diharapkan dapat menjadi stimulan bagi Pengadilan Tinggi Agama untuk mengeluarkan suatu petunjuk sehingga dalam
pelaksanaannya tidak terdapat perbedaan lagi dan dapat mempermudah para masyarakat yang kurang mampu untuk mencari keadilan.
Mekanisme pelaksanaan dari bendahara DIPA kepada jurusita pada perkara prodeo pada kebanyakan dilakukan manakala perkara tersebut telah
selesai terputus, hal ini berdasarkan kepada suatu anggapan klasik dimana negara bukanlah sebagai pihak yang berkepentingan. Selain itu juga, selama ini pihak
KPPN dapat mengeluarkan uang manakala disertai dengan bukti tandatangan seorang jurusita mendapatkan biaya panggilan tersebut. Andaikan biya panggilan
tersebut menggunakan uang kantor, maka atas dasar apa hal tersebut dapat dilakukan. Padahal apabila kita melihat ketentuan dimana yang berhak
memerintahkan bendahara untuk mengeluarkan uang untuk panggilan adalah hanya Majlis Hakim yang ditunjukan Kepada Kuasa Pengguna Anggaran Pansek,
yang selanjutnya pansek memerintahkan kepada bendahara. Penyelesaian perkara prodeo yang dilakukan oleh Pengadilan Agama
Jakarta Barat, dalam aplikasinya hanya sedikit perkara prodeo yang masuk dan diselesaikan selama dua tahun dari tahun 2009-2010 hanya terdapat 47 kasus
prodeo. Pada tahun 2009 perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta Barat sejumlah 1.527 perkara, perkara yang diterima prodeo pada tahun 2009
sebanyak 23 perkara. perkara yang diselesaikan pada tahun 2009 sebanyak 1.360 perkara. Sedangkan jumlah perkara yang diterma pada tahun 2010 di Pengadilan
75
Agama Jakarta Barat sejumlah 1.605 perkara yang diterima prodeo pada tahun 2010 sebanyak 24 perkara. perkara yang telah diselesaikan pda tahun 2010
sebanyak 1.494 perkara. Penulis dapat menarik kesimpulan ternyata terdapat beberapa kendala
sehingga perkara prodeo hanya terdapat sedikit diantarannya karena tidak adanya aturan baku yang jelas yang dibuat Pengadilan Agama secara tertulis dan tidak
semua anggota masyarakat apa dan bagaimana beracara di Pengadilan Agama. Termasuk masyarakat kurang mampu sebenarnya memiliki masalah hukum yang
kaitannya dengan kewenangan Pengadilan Agama, banyak yang tidak mengetahui bahwa Pengadilan Agama melayani proses beracara secara Cuma-Cuma tanpa
biaya prodeo. Menurut hemat penulis bahwa hal ini dikarenakan karena kurannya
sosialisasi pemerintah tentang adanya biaya perkara secara Cuma-Cuma. Sehingga warga negara yang kurang mampu merasa takut untuk mengajukan
perkara kepada Pengadilan Agama, hal ini sesuai hasil riset yang dilakukan penulis bahwa 50 dari mereka buta tentang beracara secara Prodeo Cuma-
Cuma. Dan 15 merasa sungkan atau gengsi untuk mengakui bahwa dirinya tidak mampu karena mereka buta hukum dan relatif tak punya modal uang
membayar biaya perkara apalagi menyewa pengacara ternama. Bagi mereka, datang ke pengadilan Agama sama dengan menjual kemiskinan itu sendiri
Menurut penulis seharusnya pemerintah memberikan pemahaman bahwa bantuan hukum adalah hak orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar pro
76
bono publico utuk kepentingan publik sebagai penjabaran persamaan hak dihadapan hukum dan prodeo sebagai keseimbangan pelayanan hukum dimana
hukum dan keadilan tidak hanya memihak kepada orang kaya yang mempunyai uang saja, tapi kepada orang miskin.
Pengadilan Agama ditunjukan kepada semua orang yang memiliki hubungan erat dengan equality before the law persamaan sebelum hukum dan
semua orang harus punya akses terhadap pembelaan yang menjamin justice for all keadilan untuk semua orang. Oleh karena itu, bantuan hukum selain merupakan
hak asasi juga mempunyai gerakan konstitusional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prodeo merupakan hak setiap warga masyarakat tanpa
terkecuali, sehingga bagaimanapun dengan dipuaskannya orang miskin secara hukum tetap dibela walaupun mereka tidak mempunyai uang sehingga akan
meredam disparitas sosial ekonomi sehingga orang yang miskin merasa dibela dan diperhatikan.
Praktek ini secara yuridis terdukung oleh ketentuan-ketentuan universal yang berkaitan dengan menegakan Hak Asasi Manusia HAM, sehingga dapat
dikatakan bahwa pemberian bantuan hukum Cuma-Cuma berupa prodeo bagi masyarakat miskin sebagai penegakan HAM dan belas kasihan semata, sehingga
tidak akan terjadi lagi rasa minder dan gengsi untuk berperkara secara prodeo. Wajah peradilan yang baik sebagaimana yang kita cita-citakan bersama
tentu saja tidak akan dapat terwujud bila mana tidak ditunjang dengan mekanisme administrasi yang baik dan tertur. Selain itu pula proses beracara yang benar dan
77
sesuai dengan hukum acara yang berlaku, menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Pola penyelenggaraan administrasi yang baik dan hukum acara
yang dilaksanakan dengan benar tersebut meliputi segala bidang dan perkara yang menjadi kompetensi Peradilan Agama tak terkecuali dalam perkara prodeo baik
ditingkat pertama maupun banding. Hal yang telah diuraikan diatas dapat menjadi suatu pola penyeragaman dan pelaksanaan mekanisme perkara prodeo sehingga
dapat memberikan pedoman dalam penyelenggaraan peradilan khususnya bidang perkara prodeo. Adanya ketentuan yang jelas dapat menunjang penyelenggaraan
peradilan yang murah, cepat dan sederhana.
B. Penyelesaian Perkara Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat