Sejarah Hukum Acara Perdata

61

2. Sejarah Hukum Acara Perdata

39 Untuk memahami keadaan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia, perlu ditinjau lebih dahulu sejarah pembentukan dan perkembangannya secara selayang pandang. Dahulu pemerintah Hindia Belanda belum mempunyai peraturan hukum acara perdata yang lengkap bagi pengadilan gubernemen yang memeriksa dan memutus perkara perdat untuk golongan bumi peutra. Sementara itu, di beberapa kota besar di Jawa, pengadilan gubernemen yang memeriksa perkara perdata untuk golongan bumiputra menggunakan peraturan hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan Eropa tanpa berdasarkan perintah undang-undang. Akan tetapi ketua hooggerechtshof Mahkamah agung Hindia Belanda di batavia Mr. H. L. Wichers tidak membenarkan praktik pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara perdata untuk golongan bumiputra menggunakan hukum acara perdata yang diperuntukan bagi golongan Eropa tanpa dilandasi Undang-undang. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Desember 1946 Gubernur Jendral J. J. Ronchussen menugaskan Mr. H. L. Wiches untuk merancang sebuah Reglemen tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan bimiputra. Hanya dalam waktu 8 bulan Mr. H. L. Wichers sesuai dengan rancangannya serta peraturan penjelasnya. Namun dengan rancangan Wichers tersebut tidak luput dari koreksi dan kecaman. Ada yang beranggapan bahwa rancangan tersebut terlalu sederhana 39 Ibid, h. 7-14 62 dan pula ditambah dengan lembaga-lembaga: penggabungan, penjaminan, intervensi, dan rekes sipil seperti yang terdapat di dalam Reglemen op de Burgerlijke Rechtsvordering Acara Perdata untuk golongan Eropa. Menanggapi kritik-kritik tersebut Wichers mengajukan beberapa alasan: 1. Kalau ditambah dengan lembaga-lembaga seperti yang terdapat didalam Rv itu, tentu saja namanya bukan sederhana lagi. 2. Kalau ingin lengkap Rv sajalah yang diberlakukan. Akan tetapi untuk menyalurkan kecaman-kecaman itu Wichers menempuh jalan dengan menambahkan suatu ketentuan penutupyang bersifat umum. Setelah diubah dan ditambahkan kini menjadi pasal 393 HIR termuat dalam bab ke 15 yang mengatur tentang rupa-rupa peraturan. Ayat 2 pasal ini menetapkan bahwa HIR lah yang berlaku akan tetapi apabila benar-benar dibutuhkan dalam perkara perdata dapat dipergunakan peraturan lain yang lebih sesuai, yaitu yang mirip dengan peraturan yang terdapat dalam Rv. Rancangan Wicher tersebut diterima oleh Gubernur Jendral Rochussen dan kemudian diumumkan pada tanggal 5 april 1848 dengan srbl. no.16 tahun 1848. Kemudian dikenal het Inlands Reglement IR yang berarti Reglemen Bumiputra, mulai berlaku 1 Mei 1848. Dikemudian hari, IR tersebut mengalami beberapa kali perubahan yang mendalam dengan dibentuknya lembaga kejaksaan sebagai penuntut umum. Lembaga ini tidak lagi ditempatkan dibawah Pamong Praja melainkan dibawah Kejaksaan Agung. IR tersebut selanjutnya disebut Het Herziene Indonesisch Reglemen disingkat HIR karena adanya 63 perubahan yang mendalam dalam bahasa Belanda disebut “herziene”. Ditetapkan dalam stbl no. 44 tahun 1941. HIR disebut pula dengan sebuah Reglemen Indonesia Baru disingkat RIB. Dengan diundangkannya undang-undang No 1 Darurat tahun 1951 pada tanggal 14 januari 1951 membuat HIR semakin mendapat tempat yang utama berhubung adanya perubahan mengenai susunan kehakiman, pengadilan negeri yang berdasarkan pasal 5 3 dinyatakan sebagai pengadilan sehari-hari biasa untuk segala perkara perdata dan pidana. Dengan demikian lenyaplah dualisme dalam pengadilan. Memang diundangkannya UU No. 1 Darurat tahun 1951 adalah untuk menciptakan univiksi susunan kekuasaan dan acara segala macam pengadilan di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UU No 1 Darurat 1951 adalah tindakan sementara darurat yang diambil untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil di Indonesia. Menurut ketentuan pasal 5 UU darurat no 1 tahun 1951, acara pada pengadilan negeri dilakukan dengan mengindahkan peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri. Selanjutnya, dalam pasal 6 ayat 1 UU darurat no 1 tahun 1951 ditetukan bahwa HIR seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara perdana sipil. Sedangkan untuk perkara perdata tidak disinggung. Ini berarti untuk perkara perdata HIR dan RBg bukan hanya sebagai pedoman, melainkan sebagai peraturan hukum acara perdata yang harus diikuti 64 dan diindahkan. Selain dari HIR dan RBg peraturan Hukum acara perdata juga diperkaya pula dengan yurisprudensi mahkamah Agung Indonesia. Yang ditunggu selanjutnya untuk masa mendatang adalah hukum perdata nasional ciptaan sendiri sebagai kodifikasi hukum yang akan menggantikan hukum acara perdata warisan kolonial belanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku.

D. Sumber-sumber dan Asas Hukum Acara perdata dan Hukum Acara